Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KEKERASAN RUMAH TANGGA

(KDRT) CONTOH KASUS TRAUMA DAN


KONSELING YANG TEPAT

Nama Kelompok 5:
1. Nanda Maulana Reski 202001500686
2. Mustopa 2020015006654
3. Bagus Anugrah 202001500967

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A.PENDAHULUAN
Keprihatianan warga masyarakat terutama kaum perempuan dan relawan Lembaga Swadaya
Masyarakat terhadap banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu
faktor pendorong dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Kelahiran undang-undang ini memang tidak dapat
dilepaskan dari semangat jaman yang bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan
kekerasan terhadap kaum perempuandan anak, yang dipandang sebagai kelompok yang paling rentan
terhadap perlakuan keras.
Disahkannya UU PKDRT tersebut, merupakan suatu pemikiran yang komprehensif dari
negara dengan political will untuk memperhatikan dan memberikan perlindunganbagi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Namun yang menjadi kendala adalah upayauntuk mengungkap
bentuk kekerasan ini tidaklah mudah, selain karena pemahaman/kesadaran masyarakat tentang
kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya dipahami sebagai bentuk pelanggaran HAM, juga
kekerasan dalam bentuk inimasih dilihat dalam ranah privat.
Kekerasan yang dimaksudkan oleh Undang-undang ini diartikan sebagai setiapperbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnyakesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaranrumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atauperampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Pembentukan UU PKDRT, yang memuat kriminalisasi terhadap perbuatan kekerasan pada
perempuan dan anak, merupakan upaya yang telah dirintis sejak lama untuk mewujudkan lingkungan
sosial yang nyaman dan membahagikan bebas dari kekerasan. Idealisme ini tentulah bukan sesuatu
yang berlebihan, di tengah kehidupan abad ke-21 yang telah serba sangat maju, terasakan sebagai
suatu kejanggalan, manakalalingkungan hidup yang seyogyanya dapat memberikan suasana yang
memberikan perasaan termanusiakan sepenuhnya ternyata sebaliknya menjadi lingkungan yang
dipenuhi kekerasan atau perilaku barbar. Dengan demikian keberhasilan penegakan hukum UU
PKDRT ini menjadi dambaan banyak pihak yang merindukan suasana kehidupan damai didalam
rumah tangga.
Secara sosiologis, kekerasan merupakan sikap atau tindakan yang dipandang sangat tercela.
Oleh karena penegakan norma-norma etika atau moral secara umum bersumberpada kesadaran
dalam diri setiap orang, maka dalam situasi seperti sekarang ini tampaknya sangat sulit diharapkan
penghapusan kekerasan (dalam rumah tangga) dilakukan diluar kerangka pendekatan yang sifatnya
sistematis. Oleh karenanya kemudian dilakukan pendekatan yang sistematis dengan di aplikasikan
melalui sarana hukum pidana yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan kekerasan terhadap
perempuan dan anak.
Oleh karena itu, kami akan membawakan makalah mengenai Adat istiadat Suku Bugis secara
Rinci dan Mudah dipahami.Dari latar belakang di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
a. Apakah Pengertian KDRT?
b. Apa faktor-faktor KDRT?
c. Seperti apa Bentuk-bentuk KDRT?
d. Bagaimana Penegakan hukum UU KDRT ditinjau dalam perspektif sosiologishukum?
e. Bagaimana Dampak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
f. Bagaimana Cara Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
g. Bagaimana Perlindungan bagi korban KDRT?

B.PENGERTIAN KDRT
KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga), khususnya penganiayaan terhadap isterimerupakan
salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penelitian masyarakatmenunjukkan
bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atauanaknya saja. Rentetan
penderitaan akan menular keluar lingkup rumah tangga dan selanjutnyamewarnai kehidupan
masyarakat kita.
Menurut Mansour Fakih ,Pengertian Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik
maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang. Kekerasan rumah tangga
terkhususnyaterhadap istri sering kita jumpai bahkan dalam jumlah yang tidak sedikit. Dari
banyaknyakekerasan yang terjadi, hanya sedikit yang dapat diselesaikan secara adil. Hal ini karena
dalammasyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap
menjadirahasia atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau
tidak layak dikonsumsi oleh publik.
Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (PKDRT), Pengertian KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara seksual, fisik, psikologi atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang
mengakibatkan pada ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuanuntuk bertidak,
rasa tidak percaya atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

C. FAKTOR-FAKTOR KDRT
besar, faktor-faktor penyebab terjadinya KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) dapat
dirumuskan menjadi dua bagian, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Pada faktor eksternal erat
hubungannya dengan kekuasaan suami dan diskriminasi dikalangan masyarakat, diantaranya sebagai
berikut :
a. Budaya Patriarkhi
yang menempatkan posisi laki-laki lebih unggul daripada perempuan dan berlaku tanpa
adanya perubahan, seolah-olah itulah kodrati.
b. Interprestasi Agama
yang tidak sesuai dengan universal agama, misalnya nusyuz,yakni suami boleh memukul
istri dengan alasan mendidik atau istri tidak mau melayanikebutuhan seksual suami, suami
berhak memukul dan istri dilaknat malaikat.
c. Kekerasan
berlangsung justru bertumpang tindih dengan legitimasi dan menjadi bagian dari suatu
budaya, keluarga, negara dan praktik di masyarakat sehingga menjadi bagiankehidupan.

D. BENTUK-BENTUK KDRT
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga
dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Kekerasan Fisik sebagaimana dimaksud Pasal 5a UU No. 23 Tahun 2004 adalah
perbuatanyang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
b. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan,hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan
batinnya,memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak
memperhatikankepuasan pihak istri.
d. Kekerasan ekonomi
Kekerasan ekonomi sering kali menjadi pemicu terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan
uang istri.

E. PENEGAKAN HUKUM UU KDRT DITINJAU DALAM PERSPEKTIF


SOSIOLOGIS HUKUM
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yangdimulai
dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi
hukum.Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku
manusiamewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah
disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai
prosesmenerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan
hukummempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan
hukumakan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita
dapatmengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema
“law inaction” bukan pada “law in the books”
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi oleh limafaktor.
Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat penegak
hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan
hukumnya,yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial
dimana hkumtersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan
hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil
karya, cipta danrasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Di dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 juga dinyatakan bahwa, tindak pidana
kekerasan fisik sebagai mana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal51).
Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagai mana dimaksud dalam Pasal 45 ayat(2)
merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual
sebagai mana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
merupakan delik aduan (Pasal 53).
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial
dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruangkosong
dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, makadi dalam
arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh
masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan
tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan
keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-
satunyaacuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang
menjadiacuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan
hukumitulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun
danmudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum
lainyang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum
itudatang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak
masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak
pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan
merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan padaadanya
inisiatif dari pihak sikorban.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagaidelik
aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalamsuatu urusan
warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan
ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandiriandari setiap
orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah
bahwakeengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang
berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah
perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak
terancam dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluangkeberhasilan
penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilanmaksimal.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor
kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya
sendiri,nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah
tanggaitu.Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan
segalakompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan
yangmengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-
dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.Oleh karena
itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya
penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRTharus lebih
ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalammasyarakat.Upaya
mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yangdimaksudkan adalah
upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arahyang lebih positif
berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumahtangga.

F. DAMPAK DARI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


a) Kehilangan minat untuk merawat diri, yang tampil dalam perilaku menolak atau enggan
makan/minum, makan tidak teratur, malas mandi atau berdandan, tampil berantakan seperti
rambut kusut, pakaian awut-awutan.
b) Kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, yang tampil dalam perilaku mengurung
diri di kamar, tidak mau berhubungan dengan orang lain, cenderung diam, danenggan bercakap-
cakap.
c) Perilaku depresif , tampil dalam bentuk pandangan mata kosong seperti menatap jauh ke depan,
murung, banyak melamun, mudah menangis, sulit tidur atau sebaliknya terlalu banyak tidur, dan
berpikir tentang kematian.
d) Terganggunya aktivitas atau pekerjaan sehari-hari, seperti sering menjatuhkan barang tanpa
sengaja, kurang teliti dalam bekerja yang ditunjukkan dengan banyaknya kesalahan yang tidak
perlu, sering datang terlambat atau tidak masuk bekerja, tugas-tugas terlambat tidak sesuai
tenggat waktu, tidak menyediakan makanan untuk anak padahal sebelumnya hal-hal ini
dilakukannya secara rutin.
e) Ketidakmampuan melihat kelebihan diri, tidak yakin dengan kemampuan diri, dan kecenderungan
membandingkan diri dengan orang lain yang dianggapnya lebih baik. Contohnya menganggap
diri tidak memiliki kelebihan meski fakta yang ada menunjukkan hal sebaliknya, atau sering
bertanya apakah yang ia lakukan sudah benar atau belum.
f) Kehilangan keberanian untuk melakukan tindakan yang ditunjukkan dengan tidak berani
mengungkapkan pendapat atau tidak berani mengingatkan pelaku jika bertindak salah.
g) Stres pascatrauma, yang tampil dalam bentuk mudah terkejut, selalu waspada; sangat takut bila
melihat pelaku, orang yang mirip pelaku, benda-benda atau situasi yang mengingatkan akan
kekerasan, gangguan kilas balik (flash back) seperti tiba-tiba disergap bayangan kejadian yang
telah dialami, mimpi-mimpi buruk dan atau gangguan tidur.
h) Kebingungan-kebingungan dan hilangnya orientasi, yang tampil dalam bentuk merasa sangat
bingung, tidak tahu hendak melakukan apa atau harus bagaimana melakukannya, seperti orang
linglung, bengong, mudah lupa akan banyak hal, terlihat tidak peduli pada keadaan sekitar,tidak
konsentrasi bila diajak berbicara.
i) Menyakiti diri sendiri atau melakukan percobaan bunuh diri.
j) Perilaku berlebihan dan tidak lazim seperti tertawa sendiri, bercakap-cakap sendiri,terus berbicara
dan sulit dihentikan, pembicaraan kacau; melantur, berteriak-teriak, terlihat kacautak mampu
mengendalikan diri, berulang-ulang menyebut nama tertentu, misalnya nama pelaku tanpa sadar.
k) Perilaku agresif, seperti menjadi kasar atau mudah marah terhadap anak/pekerja rumah tangga/staf
atau rekan kerja, membalas kekasaran pelaku seperti mengucapkan kata-katakasar, banyak
mengeluhkan kekecewaan terhadap pelaku.
l) Sakit tanpa ada penyebab medis (psikosomatis), seperti infeksi lambung, gangguan pencernaan,
sakit kepala, namun dokter tidak menemukan penyebab medis, mudah merasa lelah,seperti tidak
bertenaga, dan pegal/sakit/ngilu, tubuh sering gemetar.
m) Khusus pada anak, dampak psikis muncul dalam bentuk:
(a) mundur kembali ke fase perkembangan sebelumnya seperti kembali mengompol, tidak berani
lagi tidur sendiri, kembali ingin terus berdekatan dengan orang lainyang dirasa memberi rasa
aman, harus selalu ditemani.
(b) gangguan perkembangan bahasa seperti keterlambatan perkembangan bahasa, gangguan
bicara seperti gagap.
(c) depresi yang tampil dalam bentuk perilaku menolak ke sekolah, prestasi menurun, tidak dapat
mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan rumah dengan baik yangditandai dengan banyaknya
kesalahan, kurangnya perhatian pada tugas atau pada penjelasan yang diberikan orang tua/guru,
dan berbagai keluhan fisik.

G.CARA PENANGGULANGAN KEKERASAN DALAM RUMAHTANGGA


Cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh padaagamanya
sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan
penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu
mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain.Sehingga
antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga
yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan
kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota
keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa
saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga
yang kadang juga berlebih-lebihan.
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

H. PERLINDUNGAN BAGI KORBAN KDRT UU PKDRT


juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan
perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan
diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
a. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama
7(tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
b. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasidan
negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan
mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).
c. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan
yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan
penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh)
hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditanda tanganinya
mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan.
d. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi
terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan
tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum
sebagai alat bukti.
e. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan
memberirasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga
terkait.
f. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan
secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan
fisik kepada korban.
g. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak,
kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.

I.KESIMPULAN
KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga), khususnya penganiayaan terhadap isteri
merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penelitian
masyarakat menunjukkan bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang
istri atau anaknya saja. Rentetan penderitaan akan menular keluar lingkup rumahtangga dan
selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita. Secara Garis besar, faktor-faktor penyebab
terjadinya KDRT (Kekerasan dalamRumah Tangga) dapat dirumuskan menjadi dua bagian,
yakni faktor eksternal dan faktor internal.
Pada faktor eksternal erat hubungannya dengan kekuasaan suami dan diskriminasi di
kalangan masyarakat. Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan”
hukum yangdimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan
evaluasihukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai
perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan
yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata
dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagai mana pendapat kaum legalistic. Namun
proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut,
karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan
pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan
selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”
DAFTAR PUSTAKA

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.

Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender,
Yogyakarta: CIDESINDO.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional
,Bandung: Alumni.

Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.

Anda mungkin juga menyukai