Anda di halaman 1dari 11

PENEGAKAN HUKUM PIDANA BAGI PELAKU

KEKERASAN/PELECEHAN SEKSUAL DALAM LINGKUP


KELUARGA DI DAERAH MUKOMUKO

KARYA ILMIAH

Nama : GANDI EGA MUKERJI

NIM : 042592788
Email : Gandiegamukerji20@gmail.com

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2023

1
ABSTRAK

Alasan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang membuat perempuan dan
anak menjadi korban kebiadaban seksual dan bagaimana penegakan hukum bagi pelaku
seksual terhadap perempuan dimana dengan menggunakan strategi pemeriksaan yang sah
dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai tempat wanita dan anak muda sebagai makhluk tak
berdaya dan rendah. Dengan begitu banyaknya terjadi kekerasan/pelecehan seksual terhadap
perempuan terutama anak perempuan didaerah padat penduduk terutama di daerah tempat
penulis tinggal yaitu di daerah Mukomuko maka persoalan-persoalan ini membuat penulis
merasa perlu untuk mempelajari dan menuangkannya kedalam bentuk karya ilmiah berjudul:
“Penegakan Hukum Pidana Bagi Pelaku Kekerasan/Pelecehan Seksual Pada Lingkup
Keluarga Di Daerah Mukomuko”. Klarifikasi aktivis perempuan di mana
kebiadaban/provokasi seksual terhadap perempuan merupakan hasil konstruksi sosial dan
sosialisasi di mata publik yang berfokus dan menitik beratkan pada kepentingan dan sudut
pandang laki-laki, sekaligus secara bersamaan menganggap wanita sebagai jenis kelamin
yang lebih rendah dan kurang penting daripada pria. Penegakan hukum terhadap pelaku
kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan diatur dalam KUHP yaitu: Merusak
kesusilaan di depan umum (Pasal 281, 283, 283 bis); Perzinahan (Pasal 284); Pemerkosaan
(Pasal 285); Pembunuhan (Pasal 338); Pencabulan (Pasal 289, 290, 292, 293 (1), 294, 295
(1)). Secara khusus, Pasal 285 tentang Perkosaan merupakan hal yang secara signifikan
mengguncang perempuan sebagai korban kebrutalan seksual karena mereka menanggung
malu seumur hidup dan umumnya mempengaruhi daya tahan mereka sehingga bahaya
disiplin yang diberikan adalah 12 (dua belas) kali. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Perilaku Pelecehan di rumah, pelaku kejahatan seksual diberikan persetujuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 48 dengan ancaman pidana penjara 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda pokok sebesar
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan sebesar Rp. 500.000.000,00. Selanjutnya pelaku
kejahatan seksual/pemukulan terhadap perempuan akan dijerat dengan ancaman pidana
sebagaimana diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2016 khususnya pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, pidana penjara paling lama 20 tahun dan pidana penjara minimal 10
tahun. Perpu ini juga menetapkan tiga persetujuan tambahan, yaitu mutilasi sintetik,
pernyataan kepribadian kepada masyarakat pada umumnya, dan pembuatan alat pengenal
elektronik.

Kata kunci: kekerasan seksual; pelecehan seksual; perempuan;

2
PENDAHULUAN

Tindakan asusila yang seringkali disebut moral offences dan pelecehan secara seksual
yang seringkali kita sebut sexual harassment adalah 2 (dua) bentuk pelanggaran kesusilaan
yang tentunya bukan hanya merupakan permasalahan hukum tetapi telah menjadi masalah
didunia.1 Para pelaku mulai dari kelompok golongan ekonomi menengah atau kelompok
ekonomi rendah apalagi tidak berpendidikan akan tetapi sudah kesemua strata sosial baik dari
strata sosial terendah maupun sampai strata sosial yang paling tinggi. Perilaku ini bisa terjadi
diperusahaan, perkantoraan dan tempat dimana berpeluang menjadikan seseorang berlainan
jenis berkomunikasi atau dapat pula terjadi dikeluarga terutama sekali daerah padat penduduk
dimana dalam satu rumah kontrakan kecil terdapat beberapa anggota keluarga sehingga
kontak fisik sering terjadi dikala sedang beraktifitas disiang hari ataupun sedang
beristirahat/tidur dimalam hari. Dengan begitu banyaknya terjadi kekerasan/pelecehan
seksual terhadap perempuan terutama anak perempuan didaerah padat penduduk terutama di
daerah tempat penulis tinggal yaitu di daerah padat penduduk di daerah Propinsi DKI Jakarta
maka persoalan-persoalan ini membuat penulis merasa perlu untuk mempelajari dan
menuangkannya kedalam bentuk karya ilmiah berjudul: “Penegakan Hukum Pidana Bagi
Pelaku Kekerasan/Pelecehan Seksual Pada Lingkup Keluarga Di Daerah Mukomuko”.

Dalam hukum pidana Indonesia tidak ada istilah kebiadaban terhadap wanita, namun
kenyataannya hal tersebut semakin terjadi di Indonesia. Akibatnya, hingga saat ini Indonesia
belum memiliki undang-undang yang secara eksplisit mengarahkan untuk mengakhiri jenis-
jenis kekejaman terhadap perempuan, khususnya perempuan muda. Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Pembuangan Perilaku Agresif di
Rumah (PKDRT) adalah undang-undang yang berlaku saat ini. Lalu pertanyaannya mengapa
perempuan sering menjadi korban?, Perlindungan hukum bagaimanakah yang seharusnya
dapat diberikan?, Lalu bagaimanakah penegakan hukum bagi pelaku?. Saya melakukan
penelitian ini melalui strategi yuridis standarisasi atau penelitian hukum perpustakaan yang
menganalisis bahan pustaka atau data opsional, lebih spesifiknya merujuk pada bahan hukum
primer KUHP, UU No.23 Tahun 2004 dan bahan hukum dekunder yakni Karya Tulis hukum
dan beberapa pendapat hukum dari para pakar.

1.RomliiAtma sasmita, KapitaaSelekta Hukum PidanaadannKriminologi, MandarrMaju, Bandung,11995, hlm. 103

3
PEMBAHASAN

A. KEKERASAN SEKSUAL DALAM LINGKUP KELUARGA TERUTAMA ANAK


PEREMPUAN.
Berdasarkan data dan informasi yang saya dapat dari Komisi Nasional (Komnas)
Perempuan terpublikasikan pada tanggal 06 Maret 2020, bahwa para pelaku kekerasan secara
seksual itu berasal dari keluarga dan hubungan personal dari para korban. Ternyata terbanyak
dilaporkan adalah sang pacar yaitu sebesar 1.675 kasus lalu pelaku kekerasan seksual lainnya
dalam dilakukan oleh sang ayah kandung dan ayah tiri tentunya. Untuk ayah kandung dan
paman mencapai 370 dan 316 kasus. Selanjutnya para suami terlapor sebanyak 190 kasus.
Ayah tiri dan saudara/kerabat juga memiliki angka tinggi yaitu sebesar 173 dan 121 kasus.
Kekerasan kepada anak terutama anak perempuan yaitu kekerasan fisik, psikologi, sosial dan
juga kekerasan secara seksual. Demonstrasi tidak etis terhadap anak muda akan lebih sering
memperkuat hubungan seksual secara tidak wajar dan tidak disukai. Kekerasan yang
dilakukan seperti pemerkosaan, penganiayaan, stimulasi oral pada klitoris, stimulasi oral pada
penis dan pemerkosaan secara paksa. Kekerasan seksual terhadap anak terutama meliputi ;
1. Tindakan dengan sengaja menyentuh, mencium dan meraba organ intim seksual anak;
2. Memperlihatkan atau mempertontonkan kepada anak media atau benda porno;
3. Tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak;
4. Menunjukkan alat kelamin pada anak dan hal lainnya yang bersifat merangsang.
Maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan
suatu tindakan yang disengaja dan dapat memberikan dampak buruk pada kondisi fisik dan
psikologis anak. Contoh kasus yaitu sebuah keluarga kurang harmonis yang mana seorang
ibu sering meninggalkan anak berdua dengan ayahnya, dan tingkat stress yang cukup tinggi
akibat sempitnya ruang hidup di sana seorang anak dengan kondisi tersebut rentan menjadi
korban kekerasan fisik dan seksual karena keluarga terdekat pun tidak menjamin akan rasa
aman bagi anak terutama anak perempuan. Di Kabupaten Mukomuko 90% pelaku kekerasan
seksual terhadap anak terutama anak perempuan merupakan orang-orang yang sudah saling
mengenal sebelumnya, bahkan termasuk kakek dan ayah kandung. Dari sudut pandang
pelaku dapat dilihat penyebab kekerasan seksual pada anak yaitu faktor internal dan
eksternal.
a. Faktor Internal, yaitu faktor yang ada pada setiap diri dari individu dan hubungan
kejahatan seksual yakni ; faktor biologis, faktor moral dan faktor kejiwaan.
b. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang terdapat dari luar sisi pelaku yaitu ;

4
1. Media Massa, merupakan sarana informasi dalam kehidupannseksual. Media massa
pulalah yang banyak mewarnai dramatisasi umumnya digambarkan tentang kepuasan
pelaku.
2. Ekonomi, akan berpengaruh kepada seseorang dengan pendidikan yang rendah maka
secara ekonomi akan cenderung mendapatkan pekerjaan yang tidak layak dan dengan
keadaan ekonomi yang rendah maka peningkatan kriminalitas termasuk kejahatan
seksual akan terjadi.
3. Sosial Budaya, kasus kejahatan asusila atau pemerkosaaan sangat berkaitan pada
aspek sosial budaya karena modernisasi berkembang budaya saling terbuka dan
pergaulan bebas.
4. Faktor eksternal lainnya adalah lingkungan padat penduduk dimana rumah saling
menempel dan berdekatan sehingga kontak fisik sering terjadi ini merupakan faktor
pendorong sering terjadinya kekerasan/pelecehanan seksual pada lingkungan sekitar.

Lingkungan keluarga adalah lingkungan dimana dua atau lebih seorang individu yang
terikat oleh hubungan suatu perkawinan dan setiap anggota keluarga akan saling berinteraksi
satu dengan yang lainnya. Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) terbagi; fungsi efektif,
sosialisasi, reproduksi, ekonomi dan perawatan atau pemeliharaan kesehatan.
Macam-macam peranan dalam keluarga menurut (Istiati, 2010) :
1. Peranan ayah sebagai kepala keluarga, pendidik dan pelindung, mencari nafkah, serta
pemberi rasa aman bagi anak serta istrinya dan sebagai anggota dari kelompok sosialnya
sebagai anggota masyarakat di lingkungan dimana mereka tinggal sehingga peran ayah
sangat sentral dalam melindungi anggota keluarganya dari tindakan kekerasan seksual.
2. Peranan Ibu sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya sebagai pelindung dari anak-
anak saat ayah sedang tidak ada dirumah, mengurus rumah tangga serta dapat berperan
juga sebagai pencari nafkah.
3. Peranan anak-anak adalah melakukan peranan sosial yang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak-anak itu sendiri baik secara mental, fisik, sosial dan spiritual.

B. PENEGAKAN HUKUM PIDANA BAGI PELAKU KEKERASAN/PELECEHAN


SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN.

5
Saat ini belum ada perubahan yang mendasar terjadi dibandingkan dengan beberapa
dekade lalu karena tidak terlalu dirasakan perbedaanya karena diskriminasi gender belum
sepenuhnya disingkirkan didalam kehidupan manusia itu sendiri.
Rupa-rupa instrumen internasional mampu mendorong pergerakan untuk menerima dan
mengadopsi sebuah komunitas internasional dalam lingkup domestik kesejumlah peraturan
hukum UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.
Melihat keadaan masyarakat yang dipacu oleh bangunan sosial politik akan menarik
perhatian didalam lingkungan internasional yaitu tindakan asusila kepada anak. Kekerasan
kepada anak telah menjadi perhatian komuniti international yang merumuskan yakni
Conventionnthe Elimination of all Forms of Discrimination Againnst Women. The
Economic and Social Council adalah sebuah Resolusi Tahun 1984 No.14 tertanggal 14 Mei
1984 mengenai kekerasan secara seksual didalam sebuah keluarga agar bidang ini
memasukkan anggaran program tahun 1986-1987 untuk Branch for the Advancement of
Women, Center for Social Development and Humanitarian Affairs of The United Nation.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga dipublikasikan mencakup minuman


beralkohol dan obat-obatan terlarang, kekerasan fisik, stres kejiwaan, gila, under
development, dipendensi ekonomi, frustasi, faktor-faktor budaya dan ketidaksetaraan
struktural. Di Indonesia tidak ada istilah hukum kekerasan terhadap perempuan, walau fakta
bahwa semakin marak tindakan kekerasan itu sendiri. Kekurangan undang-undang yang
secara eksplisit mengatur pembuangan jenis-jenis kekejaman seksual terhadap perempuan.
Yang dimanfaatkan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Pengakhiran Perilaku Agresif di Rumah (PKDRT). Dalam KUHP ada beberapa aksi unjuk
rasa yang masuk dalam klasifikasi “kebrutalan seksual”, lebih spesifiknya: merugikan
tolerabilitas publik (Pasal 281, Pasal 283, Pasal 283 bis); Perselingkuhan (Pasal 284);
Penyerangan (Pasal 285); Pembunuhan (Pasal 338); Percabulan (Pasal 289, Pasal 290, Pasal
292, Pasal 293 ayat (1), Pasal 294, Pasal 295 (1)), jelas yang paling menyiksa adalah jenis
kekejaman seksual sebagai penyerangan karena penyerangan ini meninggalkan rasa malu dan
luka yang sangat dalam dan tidak dapat dilihat oleh korban saja sehingga mempengaruhi
keberadaan orang yang bersangkutan. Jenis kekejaman seksual, khususnya penyerangan,
telah diarahkan dalam Pasal 285 KUHP tentang hubungan seksual yang terjadi bukan atas
keinginan bersama, yang dibatasi oleh satu pihak. Korban merasa benar-benar dan mentalnya
diremehkan, keganasan selesai dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, korban

6
mengalami hambatan mental dan kondisi ketidakmampuan lainnya, sehingga tidak
mengingkari apa yang telah terjadi, tidak memahami dan tidak dapat dianggap bertanggung
jawab atas apa yang telah terjadi. korban telah ditemui. Dibandingkan perumusan KBBI,
frasa perkosa sebagai ‘menundukkan’, ‘memaksa’, ‘kekerasan’, ‘menggagahi’ 2. Memperkosa
itu sendiri memilki makna luas karena tidak ada batasan bagi para pelaku, para korban
maupun pada bentuk kekerasan lainnya. Persamaan KUHP berkenaan kata memaksa dengan

kekerasan, Sehingga dalam perkembangannya, para perumus Rancangan KUHP saat ini
tidak menganggap penyerangan sebagai masalah yang benar-benar jujur, tetapi juga termasuk
kekejaman dan kekejaman yang dipandang sebagai pelanggaran dan pengingkaran terhadap
kebebasan umum, khususnya perempuan. Dengan pengertian dalam Pasal 489 R-KUHP yang
tidak mengenal perbuatan korupsi dan pelanggaran yang tidak wajar dan perincian yang lebih
luas, khususnya komponen-komponen yang menyertainya:

1. Seorang laki-laki dan perempuan; Bersetubuh; Bertentangan dengan kehendaknya;


2. Tanpa persetujuan; Atau dengan persetujuan yang dicapai melalui ancaman; atau ia
percaya bahwa pelaku itu adalah suaminya; atau usia perempuan di bawah 14 tahun;
3. Memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut perempuan; atau
4. Menusukan barang yang bukan bagian tubuh ke dalam dubur atau oral wanita.

Berdasakan Pasal 489 R-KUHP diatas ada beberapa perubahan cukup mendasar dan tidak
diperkenankan persetubuhan dapat dilakukan terhadap perempuan dengan ancaman
kekerasan saja, tetapi bisa oleh hal seperti dibawah ini ;

___________________________________________________________________________

2.Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana Dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Alumni, Bandung, 2000, hlm-85.

1. Dengan memperdaya korban untuk berspekulasi bahwa pelakunya adalah pasangannya;


2. Demonstrasi yang dilakukan terbatas pada persetubuhan maupun dalam berbagai jenis
kekejaman seksual yang sudah sering terjadi di mata publik.
3. Penyerangan tidak dibatasi di luar ikatan perkawinan dengan pelakunya tetapi juga
termasuk penyerangan terhadap pasangan oleh isterinya, yang dikenal sebagai
penyerangan suami istri yang juga diatur dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT.

Pembukaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT huruf 'c'
menyatakan bahwa: “korban KDRT yang sebagian besar perempuan harus mendapat

7
perlindungan dari negara dan masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyiksaan dan/atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan.”3 Harapan UUPKDRT Nomor 23 Tahun 2004 adalah agar masyarakat luas
lebih mampu melaksanakan hak dan kewajibannya dalam lingkup rumah tangga sesuai
dengan asas agama yang mereka anut. Penegak hukum dan aparat terkait dalam penanganan
korban KDRT akan lebih peka dan tanggap dalam penanganan kasus KDRT untuk
pencegahan, perlindungan dan keadilan.4 Pasal 5 UUPKDRT No.23/2004 menyatakan:5
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan. dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara : Kekerasan fisik; Kekerasan psikologis; kekerasan
seksual; atau Pengabaian rumah tangga. Kekerasan seksual menurut Pasal 8 UUPKDRT
No.23 Tahun 2004 dinyatakan sebagai:6

1. Seks terbatas dilakukan terhadap individu yang tinggal dalam lingkup keluarga;
2. Hubungan seksual yang dibatasi terhadap satu individu sebatas keluarganya dengan orang
lain untuk tujuan bisnis atau alasan tertentu.

____________________________________________________________________________________________________
3. Nanda Yunisa, UURI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), edisi lengkap,
Permata Press, tanpa tahun, hlm. 1 Nanda Yulisa, Loc-Cit, hlm. 1
4. Maidin Gultom, Op-Cit, hlm. 16
5.Nanda Yulisa, Loc-Cit, hlm. 4
6.Nanda Yulisa, Op-Cit, hlm. 5

PENUTUP

Kesimpulan

Informasi yang saya terima dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang telah
menyebar ke publik bahwa pelaku kebiadaban seksual mulai dari hubungan keluarga dan
individu adalah yang paling umum diumumkan. Komnas Perempuan dalam laporannya
mengungkapkan bahwa bahkan ayah dan paman bukanlah pembela kebiadaban seksual dalam
keluarga. Kekejaman seksual terhadap wanita dan anak-anak dibangun dalam kerangka nilai

8
yang menempatkan wanita dan anak-anak sebagai makhluk yang tidak berdaya dan kelas dua.
Penjelasan lain adalah kualitas korban itu sendiri. Kekejaman seksual yang dialami oleh
korban disebabkan oleh perilaku korban yang kadang-kadang disambut secara tidak sengaja
atau bahwa korban memiliki kualitas karakter tertentu yang membuatnya cenderung
melakukan kebrutalan seksual. Mengingat klarifikasi seorang aktivis perempuan bahwa
kebrutalan seksual terhadap perempuan merupakan hasil dari desain dan sosialisasi sosial di
mata publik yang berfokus dan menitikberatkan pada kepentingan dan sudut pandang laki-
laki sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kurang
penting daripada laki-laki. Persyaratan hukum pidana terhadap pelaku kekejaman seksual
terhadap perempuan diatur dalam KUHP, khususnya: Merugikan Perkosaan secara paksa
(Pasal 281, Pasal 283, Pasal 283 bis); Perselingkuhan (Pasal 284); Penyerangan (Pasal 285);
Pembunuhan (Pasal 338); Kata-kata kotor (Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293 (1),
Pasal 294, Pasal 295 (1)). Pasal 285 tentang penyerangan mengguncang korban karena ia
harus menanggung aib dan aib seumur hidupnya yang akan sangat mempengaruhi daya tahan
korban dengan tujuan bahaya hukuman yang diberikan adalah 12 (dua belas) lama. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perilaku Pelecehan di dalam rumah, pelaku
kekejaman seksual diberikan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47
dan Pasal 48 dengan ancaman pidana penjara 4 (empat) kali lama dan paling lama 20 ( dua
puluh) lama dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling
banyak Rp.500.000.000,00 (500.000.000 rupiah). Juga pelaku kejahatan seksual terhadap
remaja putri akan dipidana dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Perpu No.1
Tahun 2016 khususnya pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara paling lama
20 tahun dan pidana penjara minimal 10 tahun. Perpu ini juga menetapkan tiga dukungan
tambahan, yaitu pengebirian majemuk, pernyataan kepribadian kepada masyarakat umum,
dan pembuatan alat pengenal elektronik.

Saran

Sosialisasi akan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT harus segera
dilaksanakan karena UU tersebut secara jelas menyebutkan bentuk-bentuk kekerasan yang
dapat terjadi pada anak agar masyarakat mengetahui dan memahami klasifikasi kekerasan
terhadap anak dan perempuan khususnya kekerasan seksual. yang khusus untuk kekerasan.
Pelaku kejahatan seksual mendapatkan hukuman penjara yang sangat berat dan denda yang
besar, serta tentang Pemerkosaan dengan akibat yang menyertainya yang sangat mengerikan
bagi seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Demikian pula sosialisasi

9
Perpu No.1/2016 khususnya ancaman kebiri yang akan diberikan kepada pelaku
kejahatan/pelecehan seksual terhadap anak perempuan harus gencar dilakukan untuk
meminimalisir terjadinya kekerasan seksual terhadap anak perempuan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Harkrisnowo, Harkristuti., Hukum Pidana Dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Alumni,


Bandung, 2000
Romli Atma sasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, MandarMaju,
Bandung, 1995
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Nanda Yunisa, UURI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT), edisi lengkap, Permata Press, tanpa tahun, hlm. 1 Nanda Yulisa, Loc-
Cit, hlm. 1

11

Anda mungkin juga menyukai