Disusun oleh :
Sri Nuryati (857700207)
UPBJJ-UT SEMARANG
PROGRAM STUDI PGSD-BI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TERBUKA
2020.2
MODUL 1
Kegiatan Belajar 1
Hakikat, Fungsi dan Tujuan PKn di SD
Apabila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini menuntut:
1. Memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada
pengembangan pengertian tentang hakikat dan karakteristik aneka ragam demokrasi,
bukan hanya yang berkembang di Indonesia.
2. Mengembangkan kurikulum dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk
memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita demokrasi
telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktik di berbagai belahan bumi
dan dalam berbagai kurun waktu.
3. tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi
sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan
dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih.
4. Keempat, tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk
memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan
yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks.
Dengan cara itu akan memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi
yang demokratis dan untuk tujuan melatih diri sebagai warga negara yang demokratis dan
membangun kehidupan yang lebih demokratis. Itulah makna dari konsep “learning
democracy, in democracy, and for democracy”-belajar tentang demokrasi,dalam situasi
yang demokratis, dan untuk membangun kehidupan demokratis dengan PKn sebagai
wahana kurikuler yang utama.
KEGIATAN BELAJAR 2
Ruang Lingkup PKn di SD
KEGIATAN BELAJAR 3
Tuntutan Pedagogis PKn di SD
Pendidikan nilai dan moral sebagaimana dicakup dalam PKn tersebut, dalam
pandangan Lickona (1992) disebut "educating for character" atau "pendidikan watak"
Lickona mengartikan watak atau karakter sesuai dengan pandangan filosof Michael Novak
(Lickona 1992 : 50-51) yaitu, suatu perpaduan yang harmonis dari berbagai kebajikan yang
tertuang dalam keagamaan, sastra, pandangan kaum cerdik-pandai dan manusia pada
umumnya sepanjang zaman. Oleh karena itu, Lichona (1992, 51) memandang karakter atau
watak itu memiliki tiga unsur yang saling berkaitan yakni moral knowing, moral feeling, and
moral behavior atau konsep moral, rasa dan sikap moral dan perilaku moral. Setiap konsep
nilai Pancasila yang telah dirumuskan sebagai butir materi PKn pada dasarnya harus
memiliki aspek konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral.
Contohnya, untuk butir materi tenggang rasa pembelajaran PKn harus menyentuh
ketiga aspek seperti berikut.
1. Konsep Moral
Meliputi kesadaran perlunya tenggang rasa, pemahaman dan manfaat tenggang rasa,
alasan perlunya saling menenggang rasa dan bagaimana memilih cara menenggang rasa.
2. Sikap Moral
Meliputi kata hati kita tentang orang lain, rasa percaya diri, empati kita mengenai orang
lain, cinta kita terhadap tenggang rasa, pengendalian diri dan rasa hormat kita kepada
orang lain
3. Perilaku Moral
Meliputi Kemampuan, kemauan dan kebiasaan menenggang rasa orang lain
Dari pembahasan kita mengenai PKn sebagai pendidikan nilai dan moral dikaitkan
dengan konsep pendidikan watak kiranya kita dapat mencatat hal-hal sebagai berikut.
1. PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan nilai dan
moral pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan watak atau karakter peserta
didik sesuai dengan dan merujuk kepada nilai-nilai dan moral Pancasila.
2. Nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 dapat dikembangkan dalam diri peserta didik
melalui pengembangan konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral setiap rumusan
butir nilai yang telah dipilih sebagai materi PPKn.
Oleh karena itu, bagi pendidikan di Indonesia PKn dapat dikatakan sebagai program
pembelajaran nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 yang bermuara pada terbentuknya
watak Pancasila dan UUD 45 dalam diri peserta didik. Watak ini pembentukannya harus
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi keterpaduan konsep moral, sikap moral dan
perilaku moral Pancasila dan UUD 45. Dengan demikian pula kita dapat menegaskan
kembali bahwa PKn merupakan suatu bentuk mata pelajaran yang mencerminkan konsep,
strategi, dan nuansa compleement education. Pendidikan yang memusatkan perhatian pada
pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
MODUL 2
KARAKTERISTIK Pkn SEBAGAI PENDIDIKAN NILAI DAN MORAL
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memiliki salah satu
misi sebagai pendidikan nilai. Dalam proses pendidikan nasional PKn merupakan wahana
pedagogis pembangunan watak dan karakter. Dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional
PKn secara substansif pedagogis menyentuh semua esensi tujuan pendidikan nasional mulai
dari iman dan takwa kepada Tuhan YME, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Kegiatan Belajar 1.
Pendekatan PPKn Sebagai Pendidikan Nilai dan Moral di SD
A. Pendidikan Nilai
Herman (1972) mengemukakan suatu prinsip yang sangat mendasar, yakni bahwa
“value is neather taught nor cought it is learnded” yang artinya bahwa subtansi nilai
tidaklah semata-mata ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh, nilai dicerna dalam arti
ditangkap, diinternalisasi, dibakukan sebagai bagian yang melekat dalam kualitas pribadi
seseorang melalui proses belajar. Oleh karena proses pendidikan pada dasarnya
merupakan proses pembudayaa atau ekukturasi untuk menghasilkan manusia yang
berkeadaban dan berbudaya.
Dalam latar belakang kehidupan masyarakat, proses pendidikan nilai sudah
barlangsung dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai bentuk tradisi. Contohnya
tradisi dongeng namun seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi unsur-unsur tradisional terasa mulai terpinggirkan. Disitulah pendidikan nilai
menghadapi tantangan konseptual, instrumen, dan operasional.
Secara konstitusional demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang theistis atau
demokrasi yang berketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pendidikan nilai bagi
Indonesia seyogyanya berpijak pada nilai-nilai keagamaan, nilai demokratis yang
berketuhanan Yang MahaEsa, dan nilai sosial kultural yang berBhineka Tunggal Ika.
Sebagai salah satu unsur kebudayaan, kesenian pada dasarnya merupakan produk
budaya masyarakat yang melukiskan penghayatan nilai yang berkembang dalam
lingkungan masyarakat pada masing-masing jamannya. Pemanfaatan kebudayaan daerah
untuk pembelajaran untuk mendekatkan pelajaran dengan lingkungan sekitar menjadi
sangat penting.
Pada dasarnya pendidikan mempunyai dua tujuan besar yaitu mengembangkan
individu dan masyarakat yang “smart and good” (Lickona, 1992:6) yang berarti
mengembangkan individu yang cerdas (smart) dan baik (good). Dimensi tujuan ini dirinci
oleh Blom (1962) menjadi tujuan pengembangan kognitif (pengembangan pengetahuan),
afektif (nilai dan sikap) dan keterampilan psikomotorik. Pengembangan nilai dan sikap
dalam pendidikan di Indonesia terintegrasi dalam pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, pendidikan bahasa dan seni.
B. PKn Sebagai Mata Pelajaran yang Mempunyai Misi Pendidikan Nilai dan Moral
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat kesenjangan antara konsep dan muatan
nilai dengan fonomena yang terjadi dalam masyarakat, seperti kekerasan, kolusi, konfliik
antar pemeluk agama dll. Dalam undang-undang 1945 alinea ke empat, dinyatakan
dengan tegas bahwa Pemerintah Negara Indonesia di bentuk antara lain untuk
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Secara psikologis dan sosial yang dimaksudkan
cerdas bukanlah hanya cerdas rasional tetapi juga cerdas emosional, cerdas sosial, dan
juga cerdas spiritual. (Sanusi: 1998,Winataputra; 2001). Oleh karena itu proses
pendidikan seyogyanya bukan hanya proses pendidikan berpikir tetapi juga pendidikan
nilai dan watak serta perilaku.
Secara konseptual pendidikan nilai merupakan bagian tak terpisahkan dari proses
pendidikan ,karena pendidikan nilai secara subtansif melekat dalam semua dimensi tujuan
seperti yang terdapat dalam UU RI No.20 Tahun 2003 (pasal3) “untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlakul mulia, Ber-ilmu,kreatif,mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab”.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia pendidikan moral secara formal terdapat
dalam mata pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (kurikulum1994) atau
pendidikan kewarganegaraan (UU RI nomor 20 tahun 2003) dan pendidikan agama dan
bahasa. Pendidikan kewarganegaraan sendiri beisikan pendidikan nilai yang menyangkut
sikap, keyakinan dan perilaku dalam hubungan manusia dengan negaranya, masyarakat
dan bangsanya. Didalam UU RI nomor 20 tahun 2003 ditegaskan bahwa pendidikan
kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Maka secara substansif Pendidikan
kewarganegaraan merupakan wahana untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartbat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mewujudkan tujuan berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Menurut Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat atau BP KNIP tanggal
29 Desember 1945 (Djojonegoro,1996:73) ditekankan bahwa :”Untuk menyusun
masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran.
Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warganegara yang
mempunyai rasa tanggung jawab. Kemudian oleh Kementrian PPK dirumuskan tujuan
pendidikan : “Untuk mendidik warga Negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan
tenaga dan pikiran untuk Negara dan masyarakat”. Hakikat tujuan pendidikan tersebut, di
dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1950, Bab II, Pasal 3 (Djojonegoro,1996:76)
Dirumuskan menjadi “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang
demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Di
situ pun, Hakikat pengembangan warga Negara yang Cerdas, Demokratis, dan Religius
secara Konsisten dipertahankan.
Di SD PPKn bertujuan untuk menanamkan sikap dan prilaku dalam kehidupan
sehari-hari yang didasarkan kepada nilai-nilai pancasla baik sebagai pribadi maupun
sebagai anggota masyarakat, dan memberikan bekal kemampuan untuk mengikuti si
SLTP” (Depdikbud,1993:1). Sementara itu di SLTP, PPKn bertujuan untuk
”Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan menghayati nilai-nilai
pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan prilaku sebagai pribadi, anggota
masyarakat dan warga Negara yang bertanggung jawab serta memberi bekal kemampuan
untuk mengikuti pendidikan di jenjang Pendidikan Menengah”. (Depdikbud,
1994:2). Sedangkan di SMU, PPKn bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
pengembangan kemampuan memahami, menghayati, dan meyakini nilai-nilai pancasila
sebagai pedoman berprilaku dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
sehinggan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan, serta
memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut (Depdikbud, 1994b:2).
Dalam konteks itu maka teori perkembangan moral dari Piaget dan Kohlberg yang
dapat diadaptasikan. Konsepsi pendidikan nilai moral Piaget yang menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah moral
dalam kehidupan dapat diadaptasikan dalam pendidikan nilai di Indonesia dalam
konteks Demokrasi Konstitusional Indonesia dan Konteks Sosial-Kultural Masyarakat
Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika termasuk alam keyakinan agama.
Konsepsi pendidikan nilai moral Kohlberg yang menitikberatkan pada penalaran
moral melalui pendekatan klarifikasi nilai yang memberi kebebasan kepada individu
peserta didik untuk memilih posisi moral, dapat digunakan dalam konteks Pembahasan
nilai selain nilai aqidah sesuai dengan keyakinan agama masing-masing. Secara
konseptual dapat digunakan sebagai salah satu landasan bagi pengembangan paradigma
penelitian perkembangan moral bagi orang Indonesia.
Kerangka Konseptual komponen Good Character dari Lickona yang membagi
karakter menjadi wawasan moral, perasaan moral, dan prilaku moral dapat dipakai untuk
mengklarifikasi nilai moral dalam pendidikan nilai di Indonesia.
Kegiatan Belajar 2.
Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi PKn di SD
Kegiatan Belajar 3.
Hubungan Interaktif Pengembangan Nilai dan Moral dalam PKn di SD
Konsep-konsep “value education, moral education, education for virtues” yang
secara teoritik, oleh Lickona (1992) diperkenalkan sebagai program dan proses pendidikan
yang tujuannya selain pengembangan pikiran, atau menurut Bloom untuk mengembangkan
nilai dan sikap. Pendidikan nilai, etika, moral sangat penting sebagai salah satu wahana
sosiopedagogis dalam menjamin kelangsungan hidup masyarakat, bangsa, dan negara
(berlandaskan pendapat dari Roosevelt dan Honing). Tujuan dari pendidikan nilai moral yaitu
agar peserta didik menjadi melek etika, dan mampu berperilaku baik di dalam masyarakat.
Lickona (1992:6-7) berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan aspek yang
esensial bagi perkembangan dan berhasilnya kehidupan demokrasi. Dalam hal ini setiap
warga Negara seyogyanya mengerti dan memiliki komitmen terhadap fondasi moral
demokrasi yakni menghormati hak orang lain, mematuhi hukum yang berlaku, partisipasi
aktif dalam kehidupan masyarakat dan peduli terhadap perlunya kebaikan bagi umum.
Jean Piaget melalui penelitiannya mengenai perkembangan struktur kognitif anak dan
kajian moral anak selama 40 tahun, mengidentifikasikan bahwa ada dua tingkat
perkembangan moral pada anak usia antara 6-12 tahun yakni heteronomi dan autonomi. Pada
tingkatan heteronomi segala aturan oleh anak dipandang sebagai hal yang datang dari luar
jadi bersifat eksternal dan dianggap sakral karena aturan itu merupakan hasil pemikiran orang
dewasa. Sifat heteromi anak disebabkan factor kematangan struktur kognitif yang ditandai
dengan sifat egosentrisme dan hubungan interaktif dengan orang dewasa. Sedangkan
tingkatan autonomi anak mulai menyadari adanya kebebasan untuk tidak sepenuhnya
menerima aturan itu sebagai hal yang datang dari luar dirinya. Sifat autonomi dipengaruhi
oleh kematangan struktur kognitif yang ditandai dengan kemampuan mengkaji aturan secara
kritis dan menerapkannya secara selektif yang muncul dari sikap resiprositas dan kerjasama.
Piaget merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan. Piaget
membagi beberapa tahapan dalam dua domain yakni kesadaran mengenai aturan dan
pelaksanaan aturan.
Tahapan pada domain kesadaran mengenai aturan :
1. Usia 0-2 tahun : Pada usia ini aturan dirasakan sebagai hal yang tidak bersifat memaksa
2. Usia 2-8 tahun : Pada usia ini aturan disikapi sebagai hal yang bersifat sakral dan
diterima tanpa pikiran
3. Usia 8-12 tahun : Pada usia ini aturan diterima sebagai hasil kesepakatan
Tugas guru adalah membelajarkan kebajikan itu melalui percontohan dan komunikasi
langsung keyakinan serta memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kebajikan itu
dengan memberinya penguatan.
Pendekatan pendidikan nilai yang ditawarkan oleh Kohlberg sama dengan yang
ditawarkan Piaget dalam hal fokusnya terhadap perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran
moral, namun berbeda dalam hal titik berat pembelajarannya di mana Piaget menitikberatkan
pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah,
sedangkan Kohlberg menitikberatkan pada pemilihan nilai yang dipegang terkait dengan
alternatif pemecahan terhadap suatu dilema moral melalui proses klarifikasi bernalar.