Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

DISUSUN OELEH KELOMPOK IV


1. MUSTIKA WURI HANDAYANI (112019030639)
2. LINA AYU MEILANTIKA (112019030632)
3. ISNA INDAH H (112019030640)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS


PROGRAM STUDY S-1 ILMU KEPERAWATAN
SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini kemajuan dalam penegakan hukum mendapatkan dukungan seluruh bangsa di
dunia. Kemajuan tersebut dapat diketahui dari banyaknya instrumen hukum nasional dan
internasional yang digunakan untuk mendukung terciptanya tujuan hukum berupa
kedamaian dan ketertiban di masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai oleh hukum tersebut
sangat diharapkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak individu dan hak-
hak masyarakat dari perbuatan yang mengahancurkan sendi-sendi kemanusiaan dalam
sejarah peradaban manusia.
Isu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) adalah isu utama yang sedang
dibahas oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Dari sekian banyak hal pokok yang banyak
disoroti oleh bangsa-bangsa di seiuruh dunia adalah perbuatan kekerasan terhadap
perempuan sebagai salah modus operandi kejahatan.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk perbuatan yang
bertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan. ituiah sebabnya perbuatan kekerasan
terhadap perempuan merupakan salah satu perbuatan yang melanggar HAM sehingga
dibutuhkan suatu instrumen hukum nasional tentang penghapusan kekerasan terhadap
perempuan di Indonesia.
Hukum pidana sebagai salah satu instrumen hukum nasional yang merupakan produk
pemikiran manusia yang sengaja dibuat untuk meiindungi korban dari semua bentuk
kejahatan. Pembentukan hukum sebagai instrumen untuk melindungi hak-hak individu dan
masyarakat sangat relevan dan terkait dengan program untuk melindungi perempuan dari
tindak kekerasan. Keterkaitan tersebut sangat mendalam dengan perlindungan hukum
terhadap hak asasi manusia.( Muladi, 2005: 33)
Perempuan merupakan salah satu individu yang mengemban misi ganda dalam
kehidupan bermasyarakat. Misi pertama perempuan adalah pelanjut keterunan yang tidak
dapat diganti oleh kaum laki-laki. Misi kedua perempuan adalah sebagai seorang ibu yang
merupakan salah satu alasan mendasar mengapa perempuan perlu mendapatkan perhatian
yang khusus untuk dilindungi dan dihormati hak-haknya. ltulah sebabnya sehingga semua
perbuatan yang terkait dengan kejahatan terhadap perempuan, termaksud tindak pidana
kekerasan mendapat perhatian dalam hukum pidana. Dalam kenyataanya kedudukan
perempuan masih dianggap tidak sejajar dengan laki-laki, perempuan sering menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik, fsikis sampai pada timbulnya korban
jiwa. Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa selama ini perempuan masih ditempatkan
pada posisi marginalisasi. Perempuan tidak sebatas objek pemuas seks kaum laki-iaki yang
akrab dengan kekerasan, tetapi juga sebagai kaum yang dipandang lemah, selain harus
dikuasai oleh kaum laki-laki. ( Aroma Eimana Martha, 2003: 43).
Tindak kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga berkisar dari
bentuk yang ringan sampai yang berat juga mengenal modus operandinya. Berita-berita
tentang meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan dalam tahun-tahun terakhir ini
sudah sangat memprihatinkan masyarakat.
Masalah kejahatan khususnya tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian
dari kenyataan sosial dan bukan hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan,
tetapi prinsipnya dinilai sama. Persamaan tersebut dapat diketahui dari banyak fenomena
dalam masyarakat yang menggambarkan bahwa tingkat kejahatan semakin meningkat dan
hal ini juga berpengaruh terhadap kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Peningkatan
tindak kekerasan terhadap perempuan dari waktu ke waktu tidak dapat dielakkan dengan
berbagai bentuk perubahan sebagai pendorongnya.
Di Indonesia tindak kekerasan terhadap perempuan secara umum merupakan masalah
yang banyak dialami oleh banyak perempuan, karena masalah ibarat sebuah piramid yang
kecii pada puncaknya tetapi besar pada bagian dasarnya, sebab untuk mendapatkan angka
yang pasti sangatlah sulit. Terlebih jika tindak kekerasan tersebut terjadi dalam rumah
tangga, karena masalah tersebut masih dianggap tabu dan masih dianggap sebagi masalah
keluarga yang diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini menunjukkan masih banyak korban
perempuan kekerasan dalam rumah tangga menutup mulut dan menyimpan persoalan
tersebut rapat-rapat.
Perlindungan hukum pada perempuan dari tindak kekerasan, khususnya kekerasan telah
diatur dalam berbagai instrumen hukum nasional. Substansi hukum yang terkait dengan
kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Dalam KUHP terdapat beberapa Pasal yang terkait secara Langsung dan dapat
dikualifikasikan sebagai tindak kekerasan fisik terhadap perempuan yaitu, Pasal 351 sampai
dengan Pasal 356 KUHP. Perbuatan yang memenuhi unsur delik dalam Pasal-pasal tersebut
pelakunya dapat dikategorikan melakukan tindak kekerasan ini sebagian bersifat umum.
Selain dalam KUHP yang memberikan perlindungan hukum terhadap korban perempuan
dari kekerasan fisik juga diatur dalam Pasal 6, Pasal 16 mengenal perlindungan dan Pasal 44
mengenal sanksi pidananya dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Selanjutnya disingkat UUPKDRT)
Undang-undang tersebut dibuat dalam rangka penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan. Dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan sebagai instrumen hukum
untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan, namum dalam prakteknya belum dapat
menjamin perlindungan hukum kaum perempuan dari tindak kekerasan fisik. Instrumen
hukum belum mampu menjadi dasar untuk menjamin adanya perlindungan hukum bagi
Kaum perempuan.
Dalam Penjelasan umum Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa keutuhan dan kerukunan rumah tangga
yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah
tangga. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam
rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang
berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disingkat KDRT) adalah persoalan yang
rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan, yang kemungkinan menjadi penyebabnya yaitu:
Pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah dilakukan adalah
merupakan tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang
dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, pelaku mengabaikannya lantaran
berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Oleh
Karena itu pelaku menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi.
Kekerasan tidak hanya muncul disebabkan karena ada kekuatan tetapi juga karena ada
kekuasaan.
Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004.
Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT.
Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
korban akibat KDRT, Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap
sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa,
tindakan kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran
ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-
tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada istri dan
sebaiiknya, ataupun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang
membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-
undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan
perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan
HAM, khususnya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah
tatanan keluarga atau rumah tangga.
Perlindungan yang diharapkan oleh korban adalah perlindungan yang dapat memberikan
rasa adil bagi korban. Kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya dalah
perempuan pada prinsipnya merupakan salah satu fenomena pelanggaran hak asasi manusia
sehingga masalah ini sebagai suatu bentuk diskriminasi, khususnya terhadap perempuan dan
merupakan suatu kejahatan yang korbannya perlu mendapat perlindungan baik dari aparat
pemerintah maupun masyarakat. Perlindungan hukum terhadap perempuan korban tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga masih menimbulkan masalah terutama mengenal
ketentuan dalam hukum pidana yang mensyaratkan suatu tindak pidana hanya dapat
dillakukan penuntutan karena adanya pengaduan.
Masalah pengaduan merupakan suatu hal yang amat sulit dilakukan oleh korban kerena
dengan melaporkan tindak pidana kekerasan yang terjadi terhadap dirinya akan
menimbulkan perasaan malu jika aib dalam keluarganya akan diketahui oleh masyarakat. Di
sisi lain aparat penegak hukum tidak dapat memproses kasus tindak pidana kekerasan jika
tidak ada pengaduan dari pihak korban. Penegakan hukum pidana dalam hal ini
perlindungan korban belum dapat dilakukan secara optimal terutama dalam pemberian
sanksi kepada pelaku.
Perlindungan terhadap korban membutuhkan suatu pengakajian yang lebih mendalam
mengenal faktor penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap korban perempuan,
upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat serta kendala apa
saja yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan undangundang yang
memberikan perlindungan terhadap korban perempuan tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga.
Data dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan Makassar menunjukkan bahwa kasus
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga seperti penganiayaan, penganiayaan
yang mengakibatkan kematian, serta pembunuhan mengalami peningkatan yang cukup
tajam. Terdapat beberapa kasus yang menjadi dasar pertimbangan perlunya perlindungan
kekerasan terhadap perempuan sebagaimana data yang dikemukakan Komisi Nasional
(Komnas) Perempuan, seperti pemukulan, penyiksaan secara fisik terus menerus, bahkan
sampai pada kekerasan fisik yang mengakibatkan korban tidak dapat melaksanakan
aktivitasnya sehari-hari seperti korban Nur Jazilah. Angka kekerasan terhadap perempuan di
kota Makassar terbilang banyak, terhitung tahun 2012 terdapat 140 kasus pengaduan
diantara terdapat 22 kasus kekerasan dalam rumah tangga. (Tribun Timur,Selasa, 11/2012,
hal: 11)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka beberapa hal yang menjadi
pokok permasalahannya adalah
1. Apakah upaya-upaya perlindungan
2. Apakah kendala penegakan hukum dalam mengimplementasikan perlindungan korban
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga?
BAB II

TINJUAN TEORI

A. Pengertian

Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan menurut WHO (dalam Bagong. S,


dkk, 2000)kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau
tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Secara filosofis,
fenomena kekerasan merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan antarpribadi, di
mana orang tidak lagi bisa duduk bersama untuk memecahkan masalah. Hubungan yang
ada hanya diwarnai dengan ketertutupan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan. Dalam
hubungan seperti ini, tidak ada dialog, apalagi kasih. Semangat mematikan lebih besar
daripada semangat menghidupkan, semangat mencelakakan lebih besar daripada
semangat melindungi. Memahami tindak-tindak kekerasan di Indonesia yang dilakukan
orang satu sama lain atau golongan satu sama lain dari perspektif ini, terlihat betapa
masyarakat kita sekarang semakin jauh dari menghargai dialog dan keterbukaan.
Permasalahan sosial biasa bisa meluas kepada penganiayaan dan pembunuhan. Toko,
rumah ibadah, kendaraan yang tidak ada sangkut pautnya dengan munculnya masalah,
bisa begitu saja menjadi sasaran amuk massa. Secara teologis, kekerasan di antara sesama
manusia merupakan akibat dari dosa dan pemberontakan manusia. Kita tinggal dalam
suatu dunia yang bukan saja tidak sempurna, tapi lebih menakutkan, dunia yang
berbahaya. Orang bisa menjadi berbahaya bagi sesamanya. Mulai dari tipu muslihat,
pemerasan, penyerangan, pemerkosaan, penganiayaan, pengeroyokan, sampai
pembunuhan. Menghadapi kenyataan ini, ada dua bentuk perlawanan yang dilakukan
sejauh ini dengan bernafaskan ajaran cinta damai.Kekerasan terhadap perempuan adalah
setiap perbuatan yang dikenakan pada seseorang semata-mata karena dia perempuan yang
berakibat atau dapat menyebabkan kesengsaraan/penderitaan secara fisik, psikologis atau
seksual. Termasuk juga ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di muka umum maupun dalam
kehidupan pribadi. (pasal 1, Deklarasi Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan, 1993).

B. Aspek Budaya :

1. Kuatnya pengertian yang bersumber pada nilai-nilai budaya yang memisahkan


peran dan sifat gender laki-laki dan perempuan secara tajam dan tidak setara.
2. Sosialisasi pengertian tersebut melalui a.l. keluarga, lembaga pendidikan, agama,
dan media massa, menyebabkan berlakunya keyakinan dan tuntutan:
3. laki-laki dan perempuan punya tempat dan perannya sendiri-sendiri yang khas
dalam keluarga/perkawinan/berpacaran.
4. laki-laki lebih superior daripada perem-puan, dan mempunyai hak penuh untuk
memperlakukan perempuan seperti barang miliknya
5. keluarga adalah wilayah pribadi, tertutup dari pihak luar, dan berada di bawah
kendali laki-laki
6. Diterimanya kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik
Aspek Ekonomi :
7. Ketergantungan perempuan secara ekonomi pada laki-laki;
8. perempuan lebih sulit untuk mendapatkan kredit, kesempatan kerja di lingkup
formal dan informal, dan kesempatan mendapat-kan pendidikan dan pelatihan.

C. Aspek Hukum :

1. Status hukum perempuan yang lebih lemah dalam peraturan perundang-undangan


maupun dalam praktek penegakan hukum;
2. Pengertian tentang perkosaan dan KDRT yang belum menjawab sepenuhnya
kebutuhan perlindungan bagi korban dan penanganan pada pelaku;
3. Rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki perempuan tentang hokum
4. Perlakuan aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya peka pada perempuan
dan anak perempuan korban kekerasan.

D. Aspek Politik :

1. Rendahnya keterwakilan kepentingan perempuan dalam proses pengambilan


keputusan di bidang politik, hukum, kesehatan, maupun media.
2. Kekerasan terhadap Perempuan masih belum sepenuhnya dianggap sebagai
persoalan yang berdampak serius bagi negara,
3. Adanya resiko yang besar bila memperta-nyakan aturan agama,
4. Terbatasnya partisipasi perempuan di organisasi politik.

E. Jenis Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan secara khusus digolongkan dalam beberapa hal


sebagaimana pendapat Aroma Elmina Martha (2003: 24) sebagai berikut :

1. Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim personal. Berbagai bentuk


kekerasan yang terjadi di dalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya
memiliki kedekatan tertentu. Tercakup disini adalah penganiayaan terhadap istri,
pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap
orang tua, serangan seksual atau perkosaan oleh anggota keluarga
2. Kekerasan dalam area publik. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di luar
hubungan keluarga atau hubungan personal lain, sehingga meliputi berbagai
bentuk kekerasaan yang sangat luas, baik yang terjadi di semua lingkungan
tempat kerja maupun di tempat umum
3. Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup negara. Kekerasan secara fisik,
seksual dan/atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan, didiamkan terjadi oleh
negara di mana pun terjadinya. Termasuk dalam kelompok ini adalah
pelanggaran hak asasi manusia dalam pertentangan antar kelompok, dan situasi
kelompok, dan situasi konflik bersenjata yang terkait dengan pembunuhan,
pemerkosaan, perbudakan seksual daan kekerasan paksa.

Tema sentral persoalan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya berhubungan


dengan kekerasan yang berbasis gender. Bentuk kejahatan ini pada dasarnya merupakan
bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak
kebebasannya yang setara dengan laki-laki.

Coomaraswany (Aroma Elmina Martha, 2003: 25) menyatakan bahwa ada tiga
kriteria yang mengategorikan jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan berbasis gender
yaitu:

1. Berdasarkan Motif Kekerasan Kekerasan berdasarkan motif pelaku didasarkan


pada asumsi bahwa tidak ekerasan dilakukan terhadap perempuan terdapat
hubungan personal antara pelaku kekerasan dengan korban. Wujud tindak
kekerasan yang dimaksud berupa:

a. Jenis tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan semata-


mata karena seksualitas dan gender mereka, seperti tindak perkosaan,
pembunuhan bayi perempuan dan perdagangan perempuan serta
kejahatan seksual lainnya. Semua perbutan kekerasan ini secara
fundamental berhubungan erat dengan konstruksi masyarakat tentang
seksualitas perempuan dan peranannya dalam hirarki social
b. Jenis kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian
hubungannya dengan seseorang laki-laki. Tindak kekerasan ini dapat
berupa kekerasan domestik dan kekerasan berdalih kehormatan.
Kekerasan kategori ini muncul akibat pemosisian perempuan sebagai
pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari
seseorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya, kemudian suaminya.
c. Jenis kekerasan yang ditimpalkan kepada seseorang perempuan karena
ia warga dari suatu etnis atau ras tertentu. Hal ini biasanya terjadi
dalam perang, kerusuhan atau pertikaian antar kelas atau kasta.
Perempuan dijadikan sarana penghinaan terhadap kelompok lain
dengan cara menyakiti, melukai, atau memerkosa dan membunuh
mereka. Praktek ini erat kaitannya dengan persepsi bahwa perempuan
adalah milik (property) laki-laki yang menjadi musuh dari laki-laki
lain

2. Berdasarkan Tempat Terjadinya Kekerasan

Bila kriteria ini digunakan maka ada tiga wilayah utama tempat terjadinya
kekerasan terhadap perempuan, yaitu di dalam keluarga (domestic vioience),
di lingkungan komunitas dan tempat umum serta tempat kerja. Kekerasan
berbasis jender yang terjadi di tiga wilayah yang disebut terakhir ini sering
dikenal nama non-domestic violence

3. Berdasarkan Pelaku Kekerasan

Berdasarkan kriteria ini dapat dibedakan dua jenis kekerasan jender yang
dilakukan orang dekat yang dikenal dan yang dilakukan oleh pihak asing
(strangers). Kekerasan berbasis jender yang dilakukan oleh negara atau oleh
pihak-pihak yang direstui oleh negara (state violence) termasuk dalam
kategori yang kedua ini.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban Kekerasan Dalam


Rumah Tangga saat ini diatur dalam perundangundangan di Indonesia, seperti:
Kitab Undang-Undang Pidana, Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bentuk perlindungan hukum
secara langsung melalui lembaga-lembaga yang ada seperti: Pusat Pelayanan
Terpadu, serta Lembaga Bantuan Hukum.
2. Kendala aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan perlindungan hukum
terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga oleh;

a. Kepolisian

a) Pihak korban dan keluarga korban tidak mau memberikan keterangan akan
adanya kekerasan dalam rumah tangga karena merasa malu;
b) Kasus KDRT tidak ditindaklanjuti pada tahap selanjutnya karena korban
memilih menarik iaporanya dengan alasan memelihara keutuhan keluarga

b. Kejaksaan

a) Tidak memenuhi syarat-syarat materii seperti tidak adanya atau kaburnya


tempus delictinya
b) Tidak memenuhi syarat-syarat formal seperti kurangnya alat bukti

c. Kehakiman
a) Korban tidak hadir dalam persidangan
b) BAP dari Kepolisian tidak lengkap, korban tidak memberi keterangan
c) Pelaku tidak hadir dalam persidangan

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai


berikut;

1. Perlunya sosialisasi yang Lebih intens dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2004 sebagai payung hukum terhadap korban-korban kekerasan daian rumah
tangga, agar baik pelaku maupun korban khususnya suami maupun istri semakin
mengerti dan memahami tentang hak-hak dan kewajibannya dalam lingkup rumah
tangga
2. Agar kepada setiap korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga berani
mengungkapkan dan melaporkan segala bentuk perlakuan kekerasan dalam rumah
tangga sesuai dengan aturan hukum yang ada, sehingga dengan demikian
diharapkan tindak pidana 66 kekerasan dalam rumah tangga khususnya yang
dialami oleh perempuan dapat semakin diminimalisir
3. Agar aparat penegak hukum bisa semakin tanggap terhadap segala bentuk tindak
kekerasan yang terjadi dalam Iingkup rumah tangga dengan menerapkan hukum
sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku: Abidin, Andi Zainai. 2007. Hukum Pidanal. Sinai Grafika, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi. 1998. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy),bahan


Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Fakuitas Hukum Universitas
Dipanegoro, Semarang.

Aroma Elmina Martha, 2003, Perempuan, Kekerasan, dan Hukum, Penerbit Ull
Press, Yogjakarta.

Chazawi, Adami, 2009, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta, Rajawali


Pers, Jakarta.

Gosita, Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Pressindo.

Hamzah, Andi. 2009. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP.


Sinai Grafika, Jakarta.

Idris, Zakariah. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendiriikan


Dan Kebudayaan RI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai