Anda di halaman 1dari 16

POLICY BRIEF

URGENSITAS PENGENTASAN
KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP
PEREMPUAN:
KEKERASAN SEKSUAL ADALAH
KEDZALIMAN TERHADAP
MARTABAT KEMANUSIAAN

2B Lindayasos
Disusun Oleh Kelompok 2 :

Putri Nabila Suhaemi (1903054)


Nisrina Salsabila (1903059)
Geissler George Anes (1903057)
Alyssa Intan B (1903068)
DAFTAR ISI

Daftar Isi.............................................................i
Ringkasan Eksekutif...........................................1
Pendahuluan........................................................2
Deskripsi Masalah...............................................4
Rekomendasi Kebijakan......................................7
Kesimpulan.........................................................11
Daftar Pustaka.....................................................12
Apendiks atau Lampiran.....................................13
RINGKASAN EKSEKUTIF

Akar Masalah Kekerasan Seksual

Stigma Hawa Nafsu Pelaku


Maskulinitas

Victim Blaming

Ketidaksetaraan
Gender dan
Diskriminasi

Permasalahan kekerasan seksual merupakan permasalahan yang


penting dan strategis. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang
tidak bisa ditoleransi karena menimbulkan trauma mendalam bagi
korban serta masyarakat juga harus turut memberi dukungan kepada
korban, bukan memberikan stigma negatif. Dalam mengatasi hal ini,
maka dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada korban
sehingga stakeholder harus segera membuat kebijakan yang efektif
untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual di Indonesia.
Sehingga didalam policy brief ini disusun 3 rekomendasi yakni
pengesahan RUU PKS yang ditujukan kepada DPR, membangun
konsolidasi bersama gerakan masyarakat sipil untuk menghapus
stigma dan diskriminasi terhadap perempuan korban perkosaan dan
anak yang dilahirkannya yang ditujukan kepada Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Anak, serta memastikan dan
menyiapkan konselor yangberperspektif hak asasi manusia dan gender
untuk melakukan pendampingan bagi perempuan korban perkosaan
yang ditujukan kepada Kementrian Sosial
1
PENDAHULUAN
Masalah kekerasan seksual merupakan bentuk
kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat martabat
kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), oleh karenanya
penanganannya harus luar biasa juga. Namun demikian,
ironisnya istilah kekerasan seksual tidak dikenal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kekerasan seksual
dan pelecehan seksual adalah dua hal yang berbeda.
Kekerasan seksual, merupakan istilah yang cakupannya lebih
luas daripada pelecehan seksual. Pelecehan seksual adalah
salah satu jenis dari kekerasan seksual.
Menurut Komnas Perempuan, setidaknya ada 15
perilaku yang bisa dikelompokkan sebagai bentuk kekerasan
seksual, yaitu pemerkosaan, intimidasi seksual termasuk
ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan
seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan
perkawinan, termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan,
pemaksaan aborsi, Pemaksaan kontrasepsi seperti memaksa
tidak mau menggunakan kondom saat berhubungan dan
sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi
dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan (misalnya
sunat perempuan), serta kontrol seksual, termasuk lewat
aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

2
3

Upaya untuk menghentikan kekerasan merupakan hal


penting, karena kekerasan telah menimbulkan berbagai luka
pada korban. Trauma yang berkepanjangan dialami oleh korban,
perasaan malu, ketakutan, sehingga mengakibatkan korban
terkadang sulit untuk mengungkapkan kembali kekerasan yang
pernah dialaminya. Maka dari itu pengentasan kasus kekerasan
seksual harus dilakukan.
DESKRIPSI MASALAH

Di Indonesia, stereotip dalam kasus kekerasan seksual adalah


korban kerap dianggap ambil bagian sebagai pihak yang bersalah
(contoh yang sering dipakai: korban mengenakan pakaian minim
atau terbuka) padahal penyebab mengapa kejahatan seksual atau
pelecehan verbal bisa terjadi adalah cara pandang laki-laki
Indonesia terhadap perempuan.

Laporan "Why Do Some Men Use Survei PBB


Violence Against Women and How 2013
Can We Prevent it?" menunjukkan
setidaknya 40 persen responden
menganggap perempuan mesti rela
mengalami kekerasan agar keluarga
tetap bisa bertahan. Rata-rata 97
persen responden meyakini perempuan
mesti tunduk pada suami dalam
keluarga. Laporan itu menyebut ada
21,1 persen pria Papua setuju wanita
ada kalanya pantas dipukul. Di kota
yang diwakili Jakarta, ada 4,9 persen
pria beranggapan demikian. Adapun di
pedesaan (Purworejo), ada 8,5 persen
laki-laki beranggapan wanita boleh
dipukul.
4
5
Kekerasan seksual kerap kali mendapatkan penyangkalan
dari sosial. Jika korban tidak berani muncul dan hukum
tidak dapat membuktikan tidak berarti faktanya tidak ada.
Diperlukan adanya perspektif HAM dan gender untuk
memahami posisi perempuan di dalam masyarakat. Jika
pisau analisis tidak digunakan dengan benar maka stigma
pada korban akan muncul. Pisau itu digunakan untuk
membedakan korban dan pelaku. Pembelaan pada korban
ada pada pisau analisis yang seringkali luput oleh para
penegak hukum.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020

Perkembangan kasus kekerasan Data kekerasan yang


seksual jumlahnya terus dilaporkan mengalami
bertambah dan berkembang.
Catatan Tahunan (Catahu) 2020 peningkatan signifikan
Komnas Perempuan sepanjang lima tahun
menyebutkan, dalam kurun waktu terakhir. Berdasarkan data
12 tahun kekerasan seksual
terhadap perempuan meningkat Kementerian Pemberdayaan
sebanyak 792%. Artinya Perempuan dan
kekerasan terhadap perempuan di Perlindungan Anak,
Indonesia selama 12 tahun
meningkat hampir 8 kali lipat. sepanjang Januari hingga
Tercatat ada 431,471 Juni 2020 terdata 392 kasus
kasus kekerasan terhadap kekerasan seksual terhadap
perempuan.
perempuan dewasa dan 1.849
kasus kekerasan seksual
terhadap anak baik
perempuan dan laki-laki.
6

Keberadaan data di atas seperti fenomena gunung es,


hanya beberapa permasalahan yang nampak namun
terdapat permasalahan lain yang seakan tak terlihat. Di
tengah merebaknya kasus kekerasan seksual, perangkat
hukum di negeri ini belum memadai secara sistematis dan
menyeluruh untuk mencegah, melindungi, memulihkan
dan memberdayakan korban serta menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapus
kekerasan seksual.

Sebagian bisa ditangani dengan


mengedukasi masyarakat tanpa
pendekatan hukum, tapi ada sebagian
lainnya yang butuh pendekatan hukum.
Jika tidak ada pendekatan hukum, maka
sama saja seperti membiarkan korban
tanpa pemulihan dan pelaku melenggang
tanpa adanya tindak hukum
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Alternatif kebijakan yang direkomendasikan yaitu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar segera
mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal
ini dikarenakan jika UU Penghapusan Kekerasan Seksual
disahkan, maka akan berpengaruh kepada isu kekerasan
seksual di Indonesia karena tujuan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual yaitu mencegah segala bentuk
kekerasan seksual, menangani, melindungi dan
memulihkan korban, menindak pelaku dan menjamin
terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung
jawab keluarga, masyarakat dan korporasi dalam
mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

#Sahkan RUU
PKS

7
8

Jika ditinjau dari konteks Jika ditinjau dari konteks


sosiologis, terdapat urgensi UU yuridis, maka urgensi RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual Penghapusan Kekerasan
diantaranya : Seksual yaitu :
a. Korban kekerasan seksual a. Berbagai jenis kekerasan
kebanyakan berjenis kelamin seksual belum dikenali oleh
perempuan dan anak. hukum Indonesia.
b. Kekerasan seksual seolah-olah b. Tidak tersedianya
wajar dialami oleh perempuan. perlindungan yang baik
Akibatnya, viktimisasi berulang terhadap korban dan saksi
terhadap korban c. Lembaga penegak hukum
c. Kekerasan seksual sebagai mulai membuat unit dan
kejahatan terhadap kesusilaan prosedur khusus untuk
semata, didukung melalui menangani kasus kekerasan
muatan dalam Kitab Undang- terhadap perempuan. Namun,
Undang Hukum Pidana unit dan prosedur ini belum
(KUHP). tersedia di semua tingkat
d. Wacana moralitas juga penyelenggaraan hukum dan
menjadi salah satu hambatan belum didukung dengan
terbesar dalam upaya korban fasilitas maupun perspektif
memperoleh haknya atas penanganan korban yang
kebenaran, keadilan, pemulihan, memadai.
pemenuhan rasa keadilan, dan d. Masih terdapat aparatur
jaminan ketidakberulangan. penegak hukum yang
mengadopsi cara pandang
masyarakat tentang moralitas
dan kekerasan seksual

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa


RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan
untuk menekan angka kekerasan seksual yang semakin banyak
terjadi di Indonesia.
9

Alternatif kebijakan lain yang bisa dilakukan yaitu kepada


Kementrian Sosial agar memastikan dan menyiapkan
konselor yang berperspektif hak asasi manusia dan gender
untuk yang melakukan pendampingan bagi perempuan
korban perkosaan, termasuk pendampingan selama masa
kehamilan sepanjang korban perkosaan bersedia
melanjutkan kehamilannya. Hal ini karena korban yang
mengalami kekerasan seksual bukan hanya membutuhkan
konselor biasa, namun konselor yang paham mengenai
situasi yang dialami oleh korban, tidak menghakimi, dan
tentunya menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kesetaraan gender. Konselor yang menangani korban
kekerasan seksual harus empatik terhadap problematika
yang dialami oleh klien termasuk selama kehamilan jika
memang korban menghendaki untuk melanjutkan
kehamilannya

Kiselica & Robinson (2001) mengemukakan bahwa konselor


dituntut untuk memiliki perikemanusiaan dengan pendekatan
terapi humanis. Dalam pendekatan ini konselor memberikan
kemerdekaan sepenuhnya kepada konseli untuk mengekspresikan
apa saja yang dikehendaki konseli. Pendekatan ini ditujukan agar
tidak menciptakan kondisi yang mengancam bagi konseli sehingga
konseli merasa terlindungi dan memiliki rasa aman untuk
mengutarakan segala sesuatu yang menjadi permasalahannya.
Secara umum konseling berperspektif gender tidak jauh
berbeda dengan konseling bagi komunitas-komunitas tertentu. Hal
mendasar yang penting untuk dipahami dalam proses konseling
feminis adalah tidak sekedar memasukkan isu-isu gender ke dalam
proses konseling tetapi dibarengi dengan pemahaman yang
mendalam tentang konsep-konsep kesetaraan gender, perspektif
nilai pada perempuan dan memandang setiap orang memiliki
kemampuan untuk menentukan pilihan dan membuat keputusan
secara mandiri.
10

Maka dari itu untuk dapat melindungi korban dan


melakukan konseling yang efektif, maka sebaiknya Kementrian
Sosial menyiapkan konselor khusus untuk menangani kasus
kekerasan seksual yang mengedepankan hak asasi manusia dan
kesetaraan gender karena jika konselor yang mengatasi korban
berhaluan patriarki, maka akan semakin membuat korban
merasa tersudutkan.

Alternatif kebijakan selanjutnya yaitu kepada Kementrian


Pemberdayaan Perempuan dan Anak agar membangun
konsolidasi bersama gerakan masyarakat sipil untuk menghapus
stigma dan diskriminasi terhadap perempuan korban perkosaan
dan anak yang dilahirkannya. Hal ini karena masih banyak
masyarakat Indonesia yang melayangkan stigma negatif kepada
korban kekerasan seksual.

Ketiga rekomendasi dan alternatif kebijakan ini ditentukan melalui


metode tinjauan pustaka (literature review). Adapun berbagai sumber
literature yang dimaksud seperti buku, jurnal berisi pengetahuan
teoritik dan kasus serta hasil penelitian yang sudah teruji dan dapat
dipertanggungjawabkan. Semuanya ini dapat digunakan sebagai
sumber informasi untuk menawarkan alternatif kebijakan dalam
memecahkan masalah.

JUSTICE
KESIMPULAN

Masih banyak terjadi kasus kekerasan seksual di


Indonesia sehingga dibutuhkan suatu kebijakan yang
dapat mengatasi darurat kekerasan seksual di Indonesia
seperti yang tadi dijelaskan bahwa perlunya pengesahan
RUU PKS karena sifatnya yang komprehensif, mulai
dari pencegahan, pemulihan sampai pada pemantauan.
Lalu dalam melakukan konseling kepada korban
kekerasan seksual, maka harus menjunjung tinggi HAM
dan kesetaraan gender serta harus ada upaya untuk
menghapus stigma terhadap korban kekerasan seksual.
Maka dari itu diharapkan lembaga-lembaga terkait
untuk membuat kebijakan yang berpihak pada korban
karena kasus kekerasan seksual bukanlah kejahatan
biasa. Selain itu, masyarakat juga harus bahu membahu
dalam mengatasi permasalahan ini dan menghapus
stigma negatif yang selama ini ditujukan pada korban
kekerasan seksual karena walau bagaimanapun, tidak
ada yang ingin menjadi korban

11
DAFTAR PUSTAKA

Dhoni, Arman. 2017. Melawan Stigma dan Prasangka terhadap


Perempuan Indonesia. Diakses pada tanggal 24 April melalui
https://tirto.id/melawan-stigma dan-prasangka-terhadap-
perempuan-indonesia-ckko
Dunn, William N. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta :
Gadjah. Mada University Press.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. 2018.
Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Pusaran Politik
Populisme: Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap
Perempuan. Diakses pada tanggal 25 April 2021 melalui
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/
Publikasi/Catatan%20Tahunan%20Kekerasan%20Terhadap%2
0Perempuan%2020
Nurherwati, Sri. 2014. Perspektif HAM dan Gender Merupakan
Dasar Keberpihakan Pada Korban. Diakses pada tanggal 24 April
2021 melalui http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/sri-
nurherwati-perspektif-ham-dan-gender-merupakan-dasar-
keberpihakan-pada-korban
Widadio, Nicky Aulia. 2019. Melawan Stigma Terhadap Korban
Kekerasan Seksual. Diakses pada 25 April 2021 melalui
https://www.aa.com.tr/id/nasional/melawan-stigma-terhadap-
korban-kekerasan-seksual/1551727

12
LAMPIRAN

13
14

Anda mungkin juga menyukai