Kejahatan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengerikan dan
mengancam kesejahteraan individu. Korban kejahatan seksual sering kali mengalami dampak
yang parah, baik secara fisik maupun psikologis. Dalam situasi yang sulit ini, pendampingan dan
advokasi menjadi faktor kunci dalam membantu korban kejahatan seksual memulihkan diri dan
memperjuangkan hak-hak mereka.Pendampingan merupakan proses yang melibatkan dukungan
emosional, praktis, dan informasi yang diberikan kepada korban kejahatan seksual. Melalui
pendampingan, korban merasa didengar, dipahami, dan didukung dalam menghadapi trauma
yang mereka alami. Pendamping memberikan ruang aman bagi korban untuk berbagi
pengalaman mereka, membantu mengurangi beban emosional yang mereka tanggung, dan
memberikan panduan praktis dalam menghadapi proses pemulihan.Di sisi lain, advokasi
berperan sebagai suara bagi korban kejahatan seksual. Advokat mewakili kepentingan korban,
memperjuangkan hak-hak mereka di dalam sistem hukum dan masyarakat. Mereka berupaya
untuk menghilangkan stigma, meningkatkan kesadaran, dan memperjuangkan akses yang setara
terhadap layanan kesehatan, dukungan psikologis, dan proses peradilan yang adil bagi korban.
Namun, terdapat juga tantangan dan kontroversi yang perlu dihadapi. Beberapa tantangan
meliputi kesaksian korban yang kompleks, pembuktian hukum yang sulit, dan interaksi dengan
sistem peradilan yang tidak selalu responsif terhadap kebutuhan korban. Namun, dengan
meningkatnya kesadaran dan peningkatan pemahaman tentang kompleksitas kejahatan seksual,
pendampingan dan advokasi tetap menjadi aspek penting dalam memperjuangkan pemulihan dan
keadilan bagi korban.
Merujuk pada Pasal 7 ayat (1), Rome Statute of The Internasional Criminal Court,
kekerasan didefinisikan sebagai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga dapat
dikategorikan sebagai The Most Serious Crime. Dijelaskan pula dalam Undang – Undang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual No. 12 Tahun 2022 Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
“Tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana
sebagaimana diatur dalam undang- undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya
sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini”. Pada
kurun waktu 2020 hingga 2022, kekerasan seksual meningkat hingga 118% . Ini mencakup tahun
2020 yang berjumlah 2.134 kasus dan meningkat menjadi 4.660 kasus pada tahun 2022.
Peningkatan kasus kekerasan seksual ini justru diiringi dengan adanya normalisasi oleh
masyarakat atau sering dikenal dengan istilah “Rape Culture”. Rape Culture memposisikan
kekerasan seksual sebagai salah satu yang lumrah dan tidak perlu dipermasalahkan. Hal tersebut
akan lebih berbahaya manakala pemangku kebijakan turut menormalisasikan adanya kekerasan
seksual.
Data dari Komnas Perempuan menyebutkan, hanya 22% dari kasus pemerkosaan di
Indonesia pada tahun 2016-2019 yang lanjut ke meja hijau. Sisanya hanya diselesaikan melalui
mediasi atau terhambat prosesnya karena kekurangan bukti. Pelaku kekerasan seksual sendiri
sejatinya tidak pandang bulu, semua orang memiliki probabilitas untuk menjadi pelaku
kekerasan seksual, baik itu laki-laki maupun perempuan, baik itu individu maupun kelompok.
Pendampingan emosional merupakan aspek penting dalam membantu korban kejahatan seksual
menghadapi trauma yang mereka alami dan mengurangi beban psikologis yang mereka
tanggung. Dengan adanya pendamping, korban merasa didengar, dipahami, dan didukung dalam
mengatasi dampak psikologis yang menghantui mereka. Selain itu, pendampingan juga memiliki
dimensi praktis yang sangat berarti. Pendamping memberikan panduan dan bantuan praktis
kepada korban, seperti mengarahkan mereka ke layanan medis, psikologis, dan hukum yang
dibutuhkan untuk memulihkan diri dan mencari keadilan. Pendampingan juga berperan dalam
memperkuat korban, membantu mereka membangun kembali kepercayaan diri yang terkoyak
oleh kejahatan seksual dan meningkatkan kemandirian agar mereka dapat memulai proses
pemulihan dengan lebih baik
Melihat banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap dan tidak menemukan
titik terang sehingga menimbulkan ketidakadilan pada sisi korban. Adanya regulasi mengenai
Kekerasan Seksual seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
dan/atau Peraturan Menteri Kebudayaan Riset Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 mengenai
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi dan segala regulasi lainnya
harus dipahami dan dimplementasikan dengan baik. Setiap individu, kelompok, lembaga harus
bisa memberikan ketegasan terhadap pelaku Kekerasan Seksual agar tidak menganggap enteng
hal tersebut. Selain sudah hadirnya payung hukum untuk menindaklanjuti pelaku, harapannya
setiap instansi/lembaga dapat dengan tegas memberikan sanksi internal kepada pelaku guna
menimbulkan efek jera dan memerdekakan keadilan bagi para korban kejahatan seksual.
Daftar Pustaka