Anda di halaman 1dari 62

MODUL

SISTEM PERADILAN PIDANA:


PENANGANAN KASUS PEREMPUAN
DAN ANAK

Dr. IKA DEWI SARTIKA SAIMIMA, SH, MH, MM


ika.saimima@ubharajaya.ac.id
LAKI-LAKI PEREMPUAN
JENIS KELAMIN PENIS, JAKUN, HAMIL MENS, TUHAN
SPERMA, DST PAYUDARA,
VAGINA
MELAHIRKAN
GENDER MACHO FEMINIM MANUSIA
MENAFAKAHI IBU RT
PENDAHULUAN
 Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan
Hak asasi manusia (HAM) merupakan jaminan
yang harus diberikan oleh negara kepada warga
negaranya.
 Penghapusan segala bentuk kekerasan
merupakan salah satu wujud dari perlindungan
HAM
 Perlindungan terhadap perempuan dan anak
harus dilakukan saat proses persidangan, karena
ditemui berbagai masalah dan kendala ketika
sedang mencari keadilan melalui proses hukum.
Permasalahan
 Hambatan yang dihadapi perempuan dalam
sistem hukum meliputi :
1. Subtansi (semua peraturan perundangan yang
berlaku, termasuk di dalamnya hukum adat)
2. Struktur (lembaga dan orang-orang yang
berperan sebagai penegak hukum, termasuk
orang-orang yang terkait dengan sistem
peradilannya)
3. Kultur hukum (sikap dan perilaku masyarakat)
belum mengakomodir dan peka terhadap
persoalan kekerasan dalam rumah tangga)
Kasus Istri Dipidana di Karawang: Jangan Kriminalisasi Korban KDRT
ISSUE TERKAIT PEREMPUAN DAN ANAK
YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
 Pertama, perkara yang melibatkan
perempuan dan anak terus menjadi tren yang
meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan
perkara yang melibatkan perempuan dan
anak bukan perkara yang bobotnya ringan.
Dalam praktik, banyak tahapan penanganan
perkara yang belum tersentuh, padahal telah
tersedia dalam UU. Seperti, UU No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
 Kedua, seringkali aparat penegak hukum
dalam penanganan perkara perempuan dan
anak tak membuat konstruksi hukum secara
tepat. Kesalahan konstruksi hukum
mengakibatkan perempuan dan anak tidak
diposisikan dengan benar sesuai dengan
hak-haknya. Atau posisi subjeknya tak dilihat
dalam perspektif gejala sosial.
 Pasal 5 Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan
Hukum, hakim dilarang menunjukkan sikap atau
mengeluarkan pernyataan yang merendahkan,
menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan
berhadapan dengan hukum; membenarkan
terjadinya diskriminasi terhadap perempuan
dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat,
dan praktik tradisional lain ataupun menggunakan
penafsiran ahli yang bias gender; mempertanyakan
dan/atau mempertimbangkan pengalaman atau
latar belakang seksualitas korban sebagai dasar
membebaskan pelaku atau meringankan hukuman
pelaku; dan mengeluarkan pernyataan atau
pandangan yang mengandung stereotip gender.
PENDAMPING BAGI PEREMPUAN
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Siapakah pendamping bagi Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum
(PBH)?
 Definisi Umum : Pendamping adalah seseorang atau kelompok atau

organisasi yang dipercaya; memiliki keterampilan dan pengetahuan


untuk mendampingi.
 Siapa saja yang dapat menjadi pendamping?

1. Paralegal
2. Keluarga
3. Psikolog
4. Psikiater
5. Pekerja Sosial
6. Petugas Pusat Pelayanan Terpadu
7. Penasihat Hukum
8. Pendamping LSM
9. Penerjemah Bahasa Isyarat/Bahasa Asing
10. Orang yang dipercaya oleh perempuan untuk melakukan
pendampingan
Tujuan adanya pendamping
 Perempuan merasa aman dan nyaman dalam
memberikan keterangan selama proses
persidangan di peradilan.
Alasan yang melatarbelakangi PBH membutuhkan
pendamping di persidangan?
 Untuk meningkatkan rasa nyaman,keberanian dan

kepercayaan diri PBH dalam pra persidangan


maupun pasca persidangan
 Pendamping memiliki peranan memberikan
informasi serta memastikan kenyamanan psikologis
dan perlindungan hak PBH
 Dengan izin Majelis Hakim, pendamping dapat

duduk di samping PBH selama PBH memberikan


keterangan di persidangan
ADVOKASI TERHADAP PEREMPUAN
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Kekhasan Advokasi Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan
Pemahaman advokasi anti kekerasan terhadap
perempuan tidak sama dengan pemahaman
advokasi secara umum. Kerja advokasi dalam
konteks ini mempunyai kekhasan yaitu tidak
hanya memperhatikan prinsip-prinsip dasar
secara umum, namun juga perlu memahami
prinsip-prinsip yang lebih spesifik terkait
dengan persoalan spesifik yang dialami oleh
perempuan
 Kedua Kekerasan terhadap perempuan tidak
mengenal tempat. Kekerasan dapat terjadi
baik diruang publik, maupun diruang
keluarga. Jika dipetakan maka kekerasan
terhadap perempuan terjadi pada tiga ruang
yaitu keluarga, komunitas dan negara. Dalam
sejumlah kasus, keluargalah wilayah yang
paling tinggi terjadinya kekerasan. Konse-
kuensi dari situasi ini adalah bagaimana
menciptakan kebijakan yang dapat masuk
dalam hal yang privat, namun tetap
menghargai privacy.
 Ketiga, Kekerasan terhadap perempuan tidak bisa
dihapuskan dari akar masalahnya yaitu
diskriminasi. Dalam konteks ini advokasi tidak
bisa hanya diarahkan pada institusi struktural
formal, tetapi juga institusi kultural. Kekerasan
terhadap perempuan tidak terlepas dari proses
internalisasi nilai-nilai sosial dalam masyarakat
yang terbangun secara sistematik, baik melalui
kebijakan Negara, budaya masyarakat setem- pat
maupun ajaran agama yang ditafsirkan secara
bias gender. Akibat internalisasi ini kekerasan
terhadap terhadap perempuan dianggap wajar
oleh masyarakat, bahkan jika ada perempuan
yang lebih berdaya, masyarakat cenderung
melakukan resistensi terhadapnya.
Advokasi untuk kepentingan siapa?
 Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam proses
advokasi anti kekerasan terhadap perempuan adalah
keberadaan korban. Dalam proses ini, korban
merupakan indikator utama yang menentukan apakah
advokasi yang berlangsung dapat memberdayakan
atau justru sebalik- nya menyebabkan mengalami
kekerasan untuk kedua kalinya. Hal ini penting
diperhatikan karena dalam proses memperjuangkan
kasusnya, korban dapat menjadi lebih tertekan,
bingung, dan depresi. Untuk itu, dalam advokasi yang
melibatkan korban, lembaga layanan harus memiliki
kepekaan dan pemahaman mekanisme kemungkinan
terjadinya proses pengulangan kekerasan pada
korban, sehingga seminimal
Tiga hak korban yang menjadi prinsip penegakan hak
korban yang harus diperhatikan dalam proses
advokasi
 yaitu hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Ketiga hak
korban ini harus saling terkait sehingga kerja advokasi dan
pemulihan korban menjadi hubungan saling menguatkan.
Seringkali yang terjadi adalah pertentangan antara kedua belah
pihak. Masing-masing pihak tetap mempertahankan
pendiriannya.
 Korban, pada sejumlah pengalaman advokasi seringkali
kemauannya berbeda dengan kenyataannya yang terjadi. Pihak
korban seringkali menganggap pendamping tidak memahami
apa yang diinginkan dan menganggap pendamping hanya
memanfaatkan korban. Begitupula dengan pihak yang
melakukan advokasi seringkali korban dianggap terlalu susah
dan berbelit-belit sehingga menyusahkan proses advokasi.
Banyak pendamping yang justru merasa kesulitan bila mengajak
korban dalam proses advokasi hukum. Tidak sedikit akhirnya
proses advokasi berhenti ditengah jalan hanya karena perbedaan
dua kepentingan.
Prinsip-prinsip kerja advokasi Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan
 Advokasi sebagai alat transformasi sosial.
Prinsip ini menekankan bahwa advokasi tidak
saja bertujuan adanya perubahan dalam ting-
kat kebijakan, namun lebih menekankan pada
pemberdayaan diri sendiri. Hal ini
dikarenakan advokasi adalah sebagai bagian
dari gerakan sosial, yang berbasis pada
pengorganisasian masyarakat dan
pemberdayaan gerakan sendiri.
 Kekuatan advokasi tergantung pada kemapanan upaya pengorga-
nisasian yang telah berjalan. Advokasi tidak hanya mengandalkan
kekuatan internal organisasi tetapi juga memerlukan kekuatan
eksternal. Artinya, advokasi tidak saja kerja penguatan organisasi,
tetapi juga penguatan jaringan.
 Mengutamakan hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi
korban kekerasan. Dalam hal ini advokasi dan pemulihan korban
harus saling mendukung, tidak bertentangan anatar kedua kepenti-
ngan, baik korban maupun pihak yang melakukan advokasi.
 Proses advokasi sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, akunta-
bilitas dan transparansi. Prinsip ini berlaku umum sebagai bagian
dari landasan pelaku gerakan sosial.
 Proses advokasi mencakup tahapan pasca-advokasi. Proses
advokasi tidak sebatas pada pra-advokasi, selama proses advokasi
saja, tetapi juga meliputi pasca advokasi. Tahap ini justru penting,
karena tahap inilah yang justru penting karena kalau tidak
dilakukan penguatan dapat merubah orientasi yang sudah
terbangun selama proses advokasi.
 Advokasi di tengah budaya kekerasan meuntut kesiapan dengan
sis- tem perlindungan bagi perempuan pendamping korban. Hal ini
di- karenakan mereka juga rentan terhadap stigmatisasi,
pengucilan dan serangan.
Sistem Peradilan Pidana Anak

Dr. Ika Dewi Sartika Saimima, SH, MH, MM


ika.saimima@ubharajaya.ac.id
KONVENSI HAK ANAK
 Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen internasional yang
diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 19901. Konvensi ini dibagi
menjadi delapan kluster, yaitu langkah-langkah implementasi;
definisi; prinsip-prinsip; hak sipil dan kebebasan; lingkungan
keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan
kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, budaya, dan
rekreasi; dan perlindungan khusus.

 KHA Pasal 42 menyebutkan bahwa “Negara-negara Peserta berupaya
agar prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan Konvensi ini diketahui
secara luas oleh orang dewasa dan anak- anak melalui cara-cara dan
aktif.” Salah satu upaya yang dilakukan adalah desiminasi ke publik,
antara lain kepada para perancang peraturan perundang-undangan,
perencana, pelaksana layanan, dan auditor pembangunan, serta para
pendidik, pekerja sosial, aparat penegak hukum, tenaga medis, dan
yang bekerja bersama atau untuk anak.
Sejarah Konvensi Hak Anak
 Konvensi Hak Anak adalah hak-hak anak yang
komprehensif. Hak anak merupakan perjanjian
universal yang pernah diratifikasi sebagai instrumen
internasional. Konvensi hak anak diadopsi dalam
Sidang Umum PBB tahun 1989.
 Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treaty
(traktat atau pakta), merupakan perjanjian di antara
beberapa negara. Perjanjian ini mengikat secara
yuridis dan politis. Oleh karena itu, konvensi
merupakan suatu hukum internasional atau
disebut’instrumen internasional’. Dari pengertian
tersebut maka disimpulkan bahwa Konvensi Hak Anak
merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis
dan politis di antara berbagai negara yang mengatur
hal-hal yang berhubungan dengan hak anak.
RANCANGAN DEKLARASI HAK ANAK
(DECLARATION OF THE RIGHTS OF THE CHILD)
 Pada tahun 1923 diadopsi oleh lembaga Save the Children
Fund International Union.
 Sepuluh (10) Pernyataan hak anak itu adalah:

1. Hak akan nama dan kewarganegaraan;


2. Hak kebangsaan;
3. Hak persamaan dan non diskriminasi;
4. Hak perlindungan;
5. Hak pendidikan;
6. Hak bermain;
7. Hak rekreasi;
8. Hak akan makanan;
9. Hak kesehatan; dan
10. Hak berpartisipasi dalam pembangunan.
RATIFIKASI KONVENSI HAK ANAK DI INDONESIA
Indonesia meratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden
No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990. Tetapi KHA
baru mulai diberlaku di Indonesia mulai tanggal 5 Oktober
1990.
Pasal 49 ayat 2, “Bagi tiap-tiap negara yang meratifikasi
atau yang menyatakan keikutsertaan pada konvensi (Hak
Anak) setelah diterimanya instrumen ratifikasi atau
instrumen keikutsertaan yang keduapuluh, konvensi ini
berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal diterimanya
instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan dari
negara yang bersangkut.
Untuk menguatkan ratifikasi tersebut dalam upaya
perlindungan anak di Indonesia, maka disahkanlah
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Konvensi Hak Anak PBB berdasarkan pada empat prinsip,
 Non-diskriminasi : Pasal 2 ayat 1: “Negara-negara peserta akan
menghormati dan menjamin hartinya semua hak yang diakui dan
terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa
memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, Bahasa, agama,
pandangan politik, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status
kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si
anak sendiri atau dari orangtuanya atau wali yang sah”

 Pada pasal 2 ayat 2 dijelaskan tentang jaminan perlindungan anak dari


segala bentuk diskriminasi, “Negara-negara Peserta akan mengambil
semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari
semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada
status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari
orangtua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya” (ayat 2).

 Kepentingan Terbaik, yaitu bahwa “dalam semua tindakan, maka


kepentingan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga
peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislative, maka
kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan
utama” (pasal 3 ayat 1 KHA)
Kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, artinya
“Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak
memiliki hak yang melekat atas kehidupan” (Pasal 6 ayat 1).
“Negara-negara Peserta akan menjamin sampai batas
maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak”
(pasal 6 ayat 2).

Penghargaan terhadap Pandangan Anak


(Pasal 12) maksud prinsip ini adalah menghargai pendapat
anak berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut kehidupan
anak, pengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang dalam
pasal 12 (ayat 1) KHA sebagai berikut. “Negara-negara
peserta akan menjamin agar anak-anak yang mempunyai
pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan
pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal
yang mempengaruhi anak, dan penanganan tersebut akan di
hargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak”
Protokol Opsional
 Konvensi Hak Anak PBB dilengkapi dengan
tiga protokol opsional, dua di antaranya telah
diratifikasi oleh Indonesia, yaitu:
1. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak PBB
tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik
Bersenjata2.
2. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak PBB
tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan
Pornografi Anak3.
3. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak PBB
tentang Prosedur Komunikasi.
 Penanganan perkara pidana terhadap anak
tentunya beda dengan penanganan perkara
terhadap usia dewasa, penanganan terhadap anak
tersebut bersifat khusus karena itu diatur pula
dalam peraturan tersendiri. Pemahaman terhadap
proses penanganan perkara anak tentunya
mungkin masih ada sebahagian kalangan
masyarakat yang belum mengerti atau paham,
sehingga kadang-kadang memunculkan penilaian
bermacam-macam, malah yang lebih fatal
bilamana terjadi salah penilaian bahwa
penanganan terhadap anak khususnya anak yang
berkonflik hukum mendapatkan perlakuan
istimewa dan ada juga yang menganggap anak
tidak bisa dihukum padahal tidak sejauh itu, hanya
saja proses penanganannya diatur secara khusus.
Sistem peradilan pidana anak
 adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan
hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan
setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan,
keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan
terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak,
proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
 Dalam sistem peradilan pidana anak bahwa terhadap anak adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak
yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum
berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang
menjadi korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas
tahun) yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian
ekonomi yang disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksi
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan proses hukum mulai tingkat
penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami;
 Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap
berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah
anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai
umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak).
 Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan
atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik,
pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk
menyerahkanan kepada orang tua/wali atau
mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan
pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan
kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejateraan sosial
(Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI
Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun).
 Kalau dalam perkara dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap
tingkatan pemeriksaan tidak perlu didampingi orang tua/wali
namun dalam perkara anak berhadapan hukum perlu
didampingi orang tua/wali.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana anak yakni Penyidik,
Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial

 Penyidik adalah Penyidik Anak;


 Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak;
 Hakim adalah Hakim Anak;
 Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat
fungsional penegak hukum yang melaksanakan
penelitian kemsyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, pendampingan terhadap anak di dalam
dan di luar proses peradilan pidana;
 Pekerja Sosial adalah seseorang yang bekerja baik
pada lembaga pemerintah maupun swasta yang
memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta
kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh
melalui pendidikan, dan atau pengalaman praktik
pekerjaan sosial untuk melaksanakan masalah sosial;
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERSIFAT KHUSUS
dalam PENANGANAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM

 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan


Pidana Anak, sebelumnya Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak;
 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang;
 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12
(Dua Belas) Tahun;
 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak;
 Peraturan Jaksa Agung No. 06/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman
Pelaksanan Dive
Proses Penyidikan dan Penuntutan
terhadap Perkara Anak
Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan
berdasarkan keputusan kepala kepolisian atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian RI sedangkan
penuntutan dilakukan oleh Penuntut Umum yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
Dalam melakukan penyelidikan terhadap perkara anak,
penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran-saran
dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan kemudian Balai Penelitian
Kemasyarakatan wajib menyerahkan hasil penelitian
kemasyarakatan paling lama 3 hari sejak permintaan
penyidik.
 Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak
korban penyidik wajib meminta laporan sosial
dari pekerja sosial atau tenaga kesejahtaraan
sosial setelah tindak pidana dilaporkan;
selanjutnya terhadap anak yang diajukan
sebagai anak yang berkonflik hukum (ABH)
pada tingkat penyidikan, penuntutan dan dan
pemeriksaan perkara anak di pengadilan
wajib diupayakan diversi.
DIVERSI
adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana
di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
 Diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun;
 Dan bukan pengulangan tindak pidana;
Selanjutnya selain ketentuan tersebut, berlaku pula terhadap anak yang
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara dibawah 7
(tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana
penjara (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk dakwaan subsidiaritas,
alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan) (Pasal 7 PERMA Nomor
4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak))

Diversi bertujuan:
 Mencapai perdamaian anatara korban dan anak;
 Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan;

 Menghindarkan anak dari dari perampasan kemerdekaan;

 Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi ;

 Dan menanamkan rasa tanggung jawab pada anak;


 Dalam proses Diversi itu sendiri tentunya ada
pihak yang dilibatkan yakni anak, orang tua,
korban, dan atau orang tua/wali,
pembimbing kemasyarakatan dan pekerja
sosial profesional berdasarkan pendekatan
keadilan restorative justice yang mengadung
arti bahwa penyelesain perkara tindak pidana
yang melibatkan pelaku, korban dan pihak-
pihak lain terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula.
HASIL KESEPAKATAN DIVERSI
Perdamaian dapat berupa: dengan atau ganti
kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali,
keikut sertaan dalam pendidikan/pelatihan dilembaga
pendidikan atau LPKS, pelayanan masyarakat.
Dalam hal kesepakatan tercapai, maka setiap pejabat
yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan diversi
untuk diterbitkan penghentian penyidikan,
penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan
perkara dan bilamana tercapai maka proses
pemeriksaan dilanjutkan.
Selanjutnya dalam hal tidak terjadi kesepakatan
dalam waktu yang ditentukan maka pembimbing
kemasyakatan segera melaporkan kepada pejabat
untuk menindaklanjuti proses pemeriksaan.
Proses Pemeriksaan Anak
 Penyidik, Penuntut Umum, Pembimbing
Kemasyarakatan dan atau pemberi bantuan
hukum dan petugas lainnya dalam memeriksa
perkara anak, anak korban dan atau anak saksi
tidak memakai toga atau atribut kedinasan (Pasal
22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), kemudian
dalam setiap tingkatan pemeriksaan anak wajib
diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh
pembimbing kemasyarakatan atau pendamping
dengan ketentuan yang berlaku;
Penahanan terhadap anak (Pasal 32 UU Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)
adalah sebagai berikut
 Penahanan terhadap anak tidak boleh
dilakukan dalam hal memperoleh jaminan
dari orang tua atau lembaga bahwa anak
tidak melarikan diri, menghilangkan barang
bukti atau merusak barang bukti atau tidak
akan mengulangi tindak pidana;
 Penahananan dapat dilakukan dengan syarat:

◦ Umur anak 14 (empat belas) tahun;


◦ Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman
pidana penjara selama 7 tahun atau lebih.
Penahanan terhadap anak tentunya berbeda pula
dengan terdakwa {dewasa} dan terhadap penahanan
terhadap anak yang berkonflik hukum tersebut yakni
sebagai berikut:
 Penahanan oleh Penyidik paling lama 7 hari dan

dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum, selama 8


hari; sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20 hari
dengan perpanjangan 40 hari;
 Penahanan oleh Penuntut Umum, paling lama 5 hari

kemudian dapat diperpanjang oleh Hakim selama 5


hari sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20 Hari
dan diperpanjang selama 30 hari;
 Penahanan Hakim selama 10 hari kemudian
diperpanjang selama 15 hari oleh Ketua PN,
sedangkan terdakwa dewasa adalah 30 hari dan
dapat diperpanjang selama 60 hari.
Proses pemeriksaan pada sidang
pengadilan
Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap anak dalam
tingkat pertama dilakukan dengan hakim tunggal, namun
Ketua Pengadilan dalam pemeriksaan perkara anak dengan
hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam pidana
penjara 7 tahun atau lebih sulit pembuktiannya.
Hakim dalam memeriksa perkara anak dalam sidang anak
dinyatakan tertutup untuk umum kecuali pembacaan
putusan. Kemudian dalam peroses persidangan (Pasal 55
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak) Hakim wajib memerintahkan orang
tua/wali atau pendamping atau pemberi bantuan hukum
lainnya; dalam hal orang tua,wali atau pendamping tidak
hadir, sidang dilanjutkan dengan didampingi advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya dan atau pembimbing
kemasyarakatan.
 pada saat memeriksa anak korban atau anak saksi, hakim dapat
memerintahkan agar anak dibawa keluar (Pasal 58 Undang-
Undang R.I. Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak). Dalam hal anak korban atau anak saksi tidak dapat
untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, hakim
dapat memerintahkan anak korban atau anak saksi didengar
keterangannya di luar persidangan melalui perekaman elektronik
yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dengan dihadiri
penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan
hukum, melalui pemeriksaan jarak jauh atau teleconference (Pasal
58 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak).
 Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan
kepada orang tua/wali/pendamping untuk mengemukakan hal
yang bermanfaat bagi anak, kemudian pada saat pembacaan
putusan pengadilan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum
dan dapat tidak dihadiri oleh anak.
 Penjatuhan hukuman terhadap anak yang berkonflik hukum dapat
dikenakan pidana dan tindakan, dan anak hanya dapat dijatuhi
pidana atau dikenai berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
 pada saat memeriksa anak korban atau anak saksi, hakim dapat
memerintahkan agar anak dibawa keluar (Pasal 58 Undang-
Undang R.I. Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak). Dalam hal anak korban atau anak saksi tidak dapat
untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, hakim
dapat memerintahkan anak korban atau anak saksi didengar
keterangannya di luar persidangan melalui perekaman elektronik
yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dengan dihadiri
penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan
hukum, melalui pemeriksaan jarak jauh atau teleconference (Pasal
58 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak).
 Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan
kepada orang tua/wali/pendamping untuk mengemukakan hal
yang bermanfaat bagi anak, kemudian pada saat pembacaan
putusan pengadilan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum
dan dapat tidak dihadiri oleh anak.
 Penjatuhan hukuman terhadap anak yang berkonflik hukum dapat
dikenakan pidana dan tindakan, dan anak hanya dapat dijatuhi
pidana atau dikenai berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
 Apabila dalam hukum materil seorang anak yang
berkonflik hukum diancam pidana kumulatif berupa
pidana penjara dan denda, maka pidana denda diganti
denan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling
lama 1 tahun. Pidana pembatasan kebebasan yang
dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ dari maksimun
pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa
(Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), sedangkan
terhadap ketentuan minimum khusus pidana penjara tidak
berlaku terhadap anak (Pasal 79 Undang-Undang RI
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak).
 Penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum
ditempatkan pada Lembaga Penempatan Anak Sementara
(LPAS), sedangkan tempat anak menjalani masa pidananya
ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA). Kemudian terhadap tempat anak mendapatkan
pelayanan sosial berada pada Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial (LPKS).
 Terhadap putusan Hakim pada tingkat pertama,
baik anak yang berkonflik hukum mapun
Penuntut Umum tentunya dapat melakukan
upaya hukum selanjutnya yakni banding, kasasi
dan peninjauan kembali.
 Terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang

berkonflik hukum, yakni anak korban dan anak


saksi berhak atas semua perlindungan dan hak
yang diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam
penanganan kasus anak.

 Tidak melakukan hal yang membahayakan


bagi anak.
 Penanganan harus ramah dan berpusat pada

anak.
 Menjaga kerahasiaan.
 Memastikan akuntabilitas.
 Mendapatkan persetujuan.
 Mematuhi standar etika.
Strategi Pencegahan dan Advokasi
Kasus Kekerasan Terhadap Anak
 Negara wajib mengambil langkah-langkah:
Administratif, Legislatif, Sosial dan
Pendidikan, untuk melindungi anak dari
segala bentuk kekerasan
 Kekerasan mental meliputi: Tindakan
merendahkan martabat, Pelecehan, Perlakuan
salah secara verbal, Dampak isolasi, Praktek-
praktek lain yang menyebabkan atau
mengakibatkan kerugian psikis
Tolong Diingat…..

PEREMPUAN DAN ANAK


MEMANG BERBEDA
DENGAN LAKI-LAKI…
TETAPI BUKAN UNTUK
DIBEDA-BEDAKAN

Anda mungkin juga menyukai