Anda di halaman 1dari 30

Kekerasan Seksual ( Fisik Dan Psikis )

Pada Remaja dan Perempuan

Mata Kuliah Masalah Kesehatan Global

Dosen Pembimbing : Dr. Luki Dwiantoro S.Kp., M.Kep

Disusun Oleh :

Kelompok 5

Safira Maghfiroh 22020118120004/A18.1

Novianita Elce 22020118120024/A18.1

Naila Dhiya'ul Muna 22020118120035/A18.1

Tri Indriyani 22020118120043/A18.1

Ika Rachma Anggraeni N. 22020118130074/A18.1

Azizah Fitria Ramadhani 22020118130084/A18.1

Nia Apriliani 22020118130097/A18.1

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2020
A. Definisi Kekerasan Seksualitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan dapat diartikan sebagai: a)
perihal yang bersifat, berciri keras, b) perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan kerusakan fisik atau barang, c) paksaan (KBBI, 2005). Sedangkan menurut
Wahid& Muhammad (2015) mengatakan bahwa kekerasan merupakan tindakan yang
bersifat fisik yang menyebabkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain, yang
mana dapat berupa paksaan atau ketidakrelaaan atau tidak adanya persetujuan dari pihak
lain yang dilukai. Secara singkatnya, seksual berasal dari kata seks yang berarti
perbedaan biologis perempuan dan laki-laki yang disebut jenis kelamin (Abdurouf, 2003
dalam Anggraini, 2017). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa definisi dari kekerasan
seksual merupakan suatu tindakan nyata (actual) atapun intimidasi (semi-actual) yang
dilakukan oleh pelaku kepada korban yang berhubungan dengan keintiman atau
hubungan seksualitas, yang mana tindakan ini dilakukan dengan cara paksa sehingga
menyebabkan korban menderita secara fisik, materi, mental, maupun psikis (Anggraini,
2017).
B. Penyebab tindakan kekerasan pada remaja dan perempuan
Ada beberapa penyebab terjadinya tindak kekerasan yang dipandang dari beberapa aspek,
yaitu :
a. Terkait dengan struktur sosial-budaya/politik/ekonomi/hukum/agama, yaitu pada
sistemmasyarakat yang menganut patriarki, dimana garis ayah dianggap dominan,
laki-laki ditempatkanpada kedudukan yang tebih tinggi dari wanita, dianggap
sebagai pihak yang lebih berkuasa. Keadaan ini menyebabkan perempuan
mengalami berbagai bentuk diskriminasi, seperti: sering tidak diberihak atas
warisan, dibatasi peluang bersekolah, direnggut hak untuk kerja di luar rumah,
dipaksa nikah muda, kelemahan aturan hukum yang seringkali merugikan
perempuan. Terkait dengan nilai budaya, yaitu keyakinan, stereotipe tentang
posisi, peran dan nilai laki-laki danperempuan, seperti adanya perjodohan paksa,
poligami, perceraian sewenang-wenang.
b. Terkait dengan kondisi situasional yang memudahkan, seperti terisotasi, kondisi
konflik dan perang.Dalam situasi semacam ini sering terjadi perempuan sebagai
korban, misaInya dalam lokasipengungsian rentan kekerasan seksual, perkosaan.
Dalam kondisi kemiskinan perempuan mudahterjebak pada pelacuran. Sebagai
imptikasi maraknya teknologi informasi, perempuan terjebak padakasus
pelecehan seksual, pornografi dan perdagangan.
Dari berbagai penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan sebagaimana
pemaparan di atas, sebenarnya secara umum hal utama yang menjadi akar
masalahnya karena adanya ketimpangan relasi gender yang dibentuk oleh budaya
patriarkhi sehingga dalam berbagai sisi kehidupan perempuan dianggapsebagai
makhluk nomor dua. Sedangkan sebab yang lain terjadi karena sebab utama
tersebut telah menguasai seluruh sisi kehidupan dan masuk ke berbagai ranan baik
politik, ekonomi bahkan agama.
C. Dampak kekerasan seksual pada remaja dari perempuan
1. Pengkhianatan (Betrayal)
Kepercayaan biasanya menjadi modal utama bagi pelaku tindak kekerasan untuk
melancarkan aksinya misal mengajak pergi ke suatu tempat atau untuk memakan dan
meinum sesuatu yang telah dicampur dengan obat. Hal ini tentu saja akan membuat
korban menjadi tidak mudah mempercayai orang lain kembali termasuk orang –
orang terdekatnya.
2. Trauma seksual (Traumatic sexualization)
Russel dalam Noviana (2015) menyatakan bahwa perempuan yan telah mengalami
kekerasan seksal akan cenderung menolak untuk melakukan hubungan seksual
kembali dan lebih parahnya lagi, korban bisa lebih memilih untuk menjalani
hubungan dengan sesama jenis karena sudah tidak percaya lagi dengan lawan
jenisnya.
3. Merasa tidak berdaya (Powerlessness)
Tentunya korban kekerasan seksual ini merasa sangat ketakutan setelah hal tersebut
terjadi kepadanya. Mengalami mimpi buruk, phobia, kecemasan yang juga disertai
dengan rasa sakit. Korban akan mengalami perasaan tidak berdaya karena korban
merasa dirinya orang lemah.
4. Stigmatization
Korban akan merasa bersalah dan malu atas tindakan tersebut, kemudia korban akan
merasa bahwa dirinya sekarang berbeda dengan teman – temannya. Beberapa korban
juga akan marah pada dirinya sendiri yang kemudian melampiaskannya dengan
minum – minuman beralkohol untuk membantunya melupakan kejadian tersebut.
5. Dampak Biologis
Remaja yang mengalami kekerasan seksual dapat berimbas pada kesehatan organ
reproduksinya yang sebenarnya belum matang dan belum siap untuk berhubungan
seksual. Ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada organ reproduksinya
(Noviana, 2015).
D. Upaya pencegahan kekerasan seksual pada remaja dan perempuan
Pencegahan merupakan usaha yang dilakukan untuk menghilangkan atau menghindari
berbagai factor penyebab dari segala bentuk permasalahan (kekerasan seksual pada
perempuan). Dalam pencegahan tindak kekerasan seksual tehadap perempuan perlu
adanya peran anggota keluarga, masyarakat, aparat penegak hukum dan pemerintah
bersama –sama supaya hasil dari pencegahan menjadi maksimal. Program pencegahan
kekerasan seksual pada perempuan memiliki tujuan supaya diharapkan tidak terjadi
tindakan tersebut. Upaya dari program pencegahan kekerasan seksual meliputi :
1. Upaya promotive
Upaya promotive adalah suatu bentuk kegiatan yang sifatnya pembinaan dan dapat
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Upaya promotive yang dapat
dilakukan oleh pemerintah antara lain berupa pembuatan kebijakan dan promosi
pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Dalam upaya promotive, masyarakat
merupakan poin terpenting supaya mereka dapat berpartisipasi dalam melakukan
upaya pencegahan berupa pengawasan terhadap lingkungan sekitar apabila terjadi
tanda-tanda yang menjurus pada tindakan kekerasan pada perempuan dimana
bermaksud untuk melindungi calon korban dari tindakan tersebut.
2. Upaya preventif
 Kampanye anti kekerasan seksual terhadap perempuan
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada masayrakat terkait
pentingnya melakukan upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kampanye ini biasanya disampaikan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama,
pejabat yang dikenal masyarakat. Tidak hanya itu, kampanye ini juga dapat
menggunakan media sebagai sarana mennyebarkan informasi, contohnya
spanduk, poster, brosur, dan baliho, dan lain-lain. Isi dari informasi ini adalah
pesan untuk tidak melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan.
 Penyuluhan terkait pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan
Penyuluhan memiliki perbedaan dengan kampanye, dimana kampanye sifatnya
monolog sedangkan penyuluhan sifatnya dialog / tanya jawab. Bentuk dari
penyuluhan ini bisa berupa seminar, ceramah, dan lain-lain. Hal ini bertujuan
untuk menggali informasi tentang bahaya dari tindak kekerasan seksual terhadap
perempuan, dampak dan resiko yang timbul dari tindakan tersebut. Penyuluhan ini
dapat dilakukan secara langsung atau dapat dilakukan melalui media elektronik
seperti televisi, radio. Isi dari penyuluhan biasanya ditinjau dari sisi perundang-
undangan Hak Asasi Manuisa dan kewajiban masyrakat dalam melakukan
pencegahan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan.
 Pendidikan dan pelatihan
Pendidikan dan pelatihan merupakan tahap penyempurna suppaya pelaksanaan
pencegahan lebih efektif dalam masyarakat. Pendidikan bisa dilakukan melalui
pelajaran di sekolah – sekolah. Kemudian, untuk pelatihan dapat dilakukan
melalui diklat penjejangan dan teknis yang diikuti oleh masyarakat.
Beberapa kegiatan pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan yang telah
disebutkan diatas memiliki beberapa tujuan atau misi yang perlu direalisasikan,
yaitu meliputi:
a. Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan kelurga
b. Membangun keluarga harmonis dan sejahtera
c. Pemanfaatakan kelompok yang ada di masyarakat untuk pencegahan kekerasan
seksual terhadap perempuan
d. Pelibatan laki-laki dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan
e. Peningkatan kesadaran hukumdandampak kekerasan terhadap perempuan
E. Penanganan dari tindakan kekerasan seksual pada remaja dan perempuan
1. Pelatihan Asertif
Yakni konsep pendekatan behavioral (pandangan ilmiah terkait tingkah laku
manusia) yang digunakan guna memperoleh hak-haknya secara sempurna (dengan
mengembangkan self esteem serta melibatkan ekspresi perasaan yang positif (Alberti&
Emmons, 2002 dalamPutri et al, 2018).Pelatihan ini bisa diterapkan pada korban
kekerasan seksual karena biasanya akan mengalami kesulitan untuk menerima bahwa
menyatakan / menegaskan diri adalah tindakan yang layak dan benar. Pelatihan asertif
untuk korban kekerasan seksual lebih menggambarkan prinsip perilaku, seperti
kebutuhan untuk mengekspresikan diri secara penuh, terbuka, tanpa merasa takut akan
adanya olokan ataupun perasaan bersalah.
Dengan pengajaran prinsip dalam pelatihan sertifini,maka individu akan terhindar
dari konflik internal. Perilaku asertif sangat diperlukan untuk mencapai perlindungan diri
dari aktivitas kekerasan seksual yang tidak aman dan tidak diinginkan. Berperilaku asertif
lebih adaptif dari pada berperilaku pasif dan agresif, karena asertif akan memunculkan
harga diri tinggi serta hubungan interpersonal yang memuaskan karena memungkinkan
seseorang untuk mengemukan keinginannya sehingga akan timbul rasa kepuasan dan
senang.
Latihan ini dapat dilakukan sebagai penunjang dalam meningkankan kemampuan
dalam mengekspresikan diri dan berkomunikasi, karena individu dilatih untuk selalu
mengkomunikasikan kebutuhan serta ide yang dimiliki (Prabowo & Asni,.2018).
2. Konseling kelompok
Konseling kelompok dapat menyediakan lingkungan yang memberikan kesempatan
bagi anggota guna saling menerima kondisi satu dengan lainnya, dapat memberikan rasa
aman, dapat mengekspresikan ide ataupun perasaan yang muncul dalam diri. Berikut
penatalaksanaan dalam kegiatan konseling kelompok :
(1) Menyampaikan harapan dan kekhawatiran yang ada dalam diri; tujuannya untuk
mengetahui kendala yang ada, lalu akan dicarikan solusi melalui diskusi
(2) Menceritakan pengalaman; tujuannya untuk melepaskan sedikit beban yang
ditanggung dan melatih klien untuk mengekspresikan perasaaan

Keefektifan dalam konseling kelompok bisa terjadi akibat keterbukaan, kebersamaan,


saling percaya, saling menjagarahasia, saling mendengarkan, saling memahami dan
saling memberikan dukungan (Setiyani et al, 2018).
3. Pendampingan
Pendampingan ini dilakukan secara moral maupun material sehingga korban
kekerasan seksual dapat memperoleh keadilan dan kesejahteraan, dan diharapkan agar
tetap berdaya di usia dewasa kelak.
 Pendampingan medis
 Ditujukan kepada korban yang memiliki luka fisik yang nantinya akan
memperoleh penanganan lebih lanjut oleh tenaga kesehatan
 Pendampingan psikologis
 Ditujukan kepada korban yang mengalami trauma akibat kekerasan yang dialami,
seperti kehilangan percaya diri, ketakutan yang sangatmendalam, cemas, dan
menutup diri
 Pendampingan yuridis
 Ditujukan khusus kepada anak yang memiliki problem ranah hukum

Pendampingan ini dilakukan secara personal denganhome visit guna memahami anak
secara individu, dalam pendampingan harus dapat membangun suasana hangat,
kekeluargaan, dan santai agar korban dapat lebih nyaman dalam menyampaikan
permasalahannya (Kholiq, 2018)

F. Kasus Kekerasan Seksual Pada Remaja Dan Perempuan

Koma Dua Pekan, Remaja Perempuan Korban Pelecehan Seksual dan Kekerasan
Meninggal
Merdeka.com - Remaja perempuan korban pelecehan seksual berinisial ZN (15)
meninggal dunia. Ia menghembuskan nafas terakhir setelah koma selama dua pekan dan
tubuh penuh luka kekerasan.Kasus pelecehan yang menimpa ZN terjadi pada akhir
Januari 2020. Semua terungkap saat warga menemukan korban tergeletak di sebuah
perkebunan di Kampung Pamoyanan, Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara,
Kota Cimahi.
Korban langsung dibawa oleh warga ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Cibabat karena badannya dipenuhi lebam. Selain itu, ia mengalami patah pada tangan
kanannya, luka di bagian belakang telinga kanan, serta ada bekas tusukan wajah sebelah
kiri korban. Polisi yang mendapat laporan langsung menindaklanjutinya dengan olah
TKP dan mengejar pelaku. Akhirnya, pada awal Februari tersangka bernama Nanang (27)
dan seorang remaja berinisial NN ditangkap.Dari hasil pemeriksaan, kasus ini bermula
saat NN meminta korban untuk bertemu. Keduanya kemudian pergi ke sebuah gubuk di
kebun. Di sana, mereka bertemu dengan Nanang. Setelah berbincang beberapa saat, NN
diminta Nanang membeli minuman keras.Di saat kedua tersangka menikmati minuman
keras, muncul ide untuk mencekoki korban dengan alkohol hingga kehilangan kesadaran.
Akhirnya pelecehan seksual terjadi. Korban yang melakukan perlawanan membuat
tersangka memukulinya dengan batang bambu.
Keesokan harinya, korban dibawa ke rumah sakit dan mendapat perawatan.
Korban sempat sadar setelah koma selama dua pekan, namun tidak mau diajak
berkomunikasi. Setelah itu, kondisinya terus memburuk hingga akhirnya korban
meninggal dunia pada Rabu (12/2).Sebelum dimakamkan, pihak keluarga setuju untuk
mengautopsi korban dengan harapan para tersangka dihukum maksimal. "Tadinya
rencana mau dimakamin. Tapi kita tadi minta untuk di autopsi terlebih dahulu,” kata
kakak korban, Mega Arianti Syahrani di rumah duka, Jalan Baros Utama, Kota Cimahi.
Dari informasi yang dihimpun, korban akan diautopsi di Rumah Sakit Bhayangkara
Sartika Asih, Bandung. Setelah rampung, korban akan dimakamkan di
pemakaman umum Baros.Kasat Reskrim Polres Cimahi AKP Yohannes Redhoi Sigiro
mengatakan, kedua tersangka akan dijerat dengan pasal Pasal 81 dan atau 82 UU RI No
17 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dengan ancaman hukuman minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun
penjara."Karena korban meninggal dunia, ditambahkan Pasal 80 ayat 3 UU perlindungan
anak (Kekerasan mengakibatkan meninggal dunia). Ancaman hukuman penjara paling
lama 15 tahun," ucapnya.

G. Analisis Kasus Kekerasan Seksual Pada Remaja Dan Perempuan


1. Data Kasus Kekerasan Seksual
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) pada tahun 2011 dalam
Noviana,(2015) sebanyak 2.275 kasus telah terjadi kasus kekerasan pada anak maupun
remaja serta 887 kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak. Tahun 2012 telah
terjadi kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 3.871, sedangkan sebanyak 1.028 kasus
telah terjadi kekerasan seksual pada anak. Di tahun 2013, sebanyak 2.637 kasus
kekerasan yang terjadi pada anak dan 1.266 kasus telah terjadi kekerasan seksual pada
anak. Komnas Perempuan telah melihat lebih dalam berbagai bentuk kekerasan seksual
yang telah terjadi antara lain koran di keluarga atau KDRT, dan personal. Berikut
diagram bentuk kekerasan seksual KDRT atau relasi personal :

Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018

dalam KOMNAS Perempuan,(2019)

Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018

dalam KOMNAS Perempuan,(2019)


Sedangkan kekerasan seksual dengan bentuk inses merupakan kejadian yang
paling banyak dilaporkan terhadap P2TP2A dan DP3AKB, kemudian WCC / OMS, PN,
UPPA, dan RS. Serta kekerasaan seksual yang dilakukan didalam keluarga maupun
hubungan personal sebagai berikut :

Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018

dalam KOMNAS Perempuan,(2019)

Adanya kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam sebuah komunitas sepeti
lingkungan kerja, bermasyarakat, bertetangga, ataupun dilingkungan sekitar seperti
diagram berikut :
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018

dalam KOMNAS Perempuan,(2019)

Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018

dalam KOMNAS Perempuan,(2019)

2. ANALISIS KASUS
Orang dewasa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak disebut dengan pedophile
sedangkan pria dewasa dengan anak laki-laki disebut dengan pedetrasy ( Struve & Rush dalam
Tower,. (2002) dalam Andini et al,. 2019). Pada kasus tersebut NN dan Nanang dapat disebut
dengan pedophile dikarenakan mereka melakukan pelecahan seksual terhadap anak yang berusia
12 tahun. NN dan Nanang dapat dikatakan pedophilie mungkin sebelumnya pernah menonton
pornografi sehingga memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seksual dan pada saat
meminum alkohol mereka kehilangan kesadaran pada diri mereka serta melakukan tindakan
yang diluar batas seperti melakukan pelecehan seksual.

Sedangkan pedophile memiliki dua tipe yaitu tipe 1 pedodphile eksklusif ( ketertarikan pada
anak ) dan tipe 2 pedophile fakultatif ( orientasi heteroseksual pada orang dewasa, akan tetapi
tidak menemukan untuk menyalurkan hasratnya sehingga memilih anak-anak). Menurut
Adrianus E. Meliala dalam Noviana,. (2015) ada beberapa kategori Pedophilie, antara lain :

 Infantophilia
Orang yang tertarik dengan anak berusia dibawah 5 tahun
 Hebophilia
Orang yang tertarik dengan anak perempuan pada usia 13-16 tahun
 Ephebohiles
Orang yang tertarik dengan anak laki-laki
Serta ada juga yang berdasarkan perilaku, yaitu :

 Exhibitionism
Orang yang suka memamerkan, suka menelanjangi anak
 Voyeurism
Orang yang suka melakukan masturbasi didepan anak atau sekedar memegang kemaluan
anak.
Pada kasus tersebut, ZN mengalami kekerasan seksual dengan adanya ancaman sehingga ZN tak
berdaya. Yang dialami ZN dapat disebut dengan molester, yang dapat menyebabkan korban
kesulitan dalam mengungkapkan peristiwa yang sebenarnya. Korban ZN mengalami
penganiayaan dari pelaku sehingga korban mendapatkan luka di bagian belakang telinga kanan,
adanya bekas tusukan wajah sebelah kiri korban, serta mengalami patah pada tangan kanannya.
Jika dilihat berdasarkan kasus tersebut maka tingkat penganiyaan seksualnya termasuk ( Tower,
2002 dalam Andini et al, 2019 )

 Extrafamilial Abuse
Jenis tindakan ini biasanya dilakukan oleh orang lain yang bukan dari keluarga
korban. Sedangkan pada kasus tersebut, NN dan Nanang bukan merupakan keluarga
dari korban namun nanang merupakan orang yang dikenal oleh korban. Selanjutnya
korban dipaksa oleh dua orang tersebut untuk meminum alkohol sehingga korban
mengalami pelecehan seksual. Ada beberapa tahapan dalam melakukan kekerasaan
seksual salah satunya adalah melihat kenyamanan dari korban, jika korban menuruti
pelaku maka akan berlanjut dan akan lebih instensif seperti :
- Nudity ( dilakukan orang dewasa )
- Disrobing ( orang dewasa membuka pakaian di hadapan anak )
- Genital Exposure ( dilakukan orang dewasa )
- Observation Oft The Child ( ketika mandi, telanjang, dan membuang air )
- Mencium anak dengan menggunakan pakaian dalam
- Fondling ( meraba-raba dada korba, alat genital, paha dan bokong )
- Masturbasi
- Fellatio ( stimulasi pada penis )
- Cunnilingus ( stimulasi pada area vagina )
- Digital Penetration ( pada rectum )
- Dry Intercourse ( mengelus-ulus penis pelaku atau area genital lainnya

Kurangnya pengetahuan orang tua dalam mengetahui pergaulan sang anak atau ZN tidak izin
kepada keluarganya serta korban mudah percaya sama orang lain yang menjadikan penyebab
adanya perilaku kejahatan seksual . Selain itu ada beberapa faktor penyebab dari perilaku
kejahatan seksual antara lain 1.pornoaksi dan pornografi tidak terkendali yang menjadikan anak
kecil sebagai sasaran yang disebabkan lebih mudah dibujuk, dan diancam. 2. Rangsangan
seksual bisa dari penampilan perempuan untuk merangsang pria serta akan menjadikannya
sebagai tempat pelampiasan hasrat seksualnya. 3. Adanya keteledoran dari orang tua dalam
memberikan pakaian yang mini terhadap anak perempuannya, 4. Anak tersebut tidak dibekali
pengetahuan dan ketrampilan dalam melindungi dirinya dari ancaman kejahatan seksual
( Hikma,S,. 2017 )

Seseorang yang mengalami kekerasan seksual memiliki dampak yang traumatis sehingga korban
akan merasa ketakutan jika melaporkan kejadian tersebut dan merasa malu jika menceritakan
peristiwa tersebut. Menurut Ningsih & Hennyanti,.(2018) korban dari pedhopile akan mengalami
gangguan pencernaan dan alat genetalia, pusing terus menerus, mudah gugup, merasa gelisah,
dan gemetaran jika ditanya sesuatu yang berkaitan dengan masalah yang ia hadapi. Adapun
dampak psikologis , fisik, emosional yang ditimbulkan, antara lain :

Dampak Psikologis :

- Depresi
- Fobia
- Mimpi buruk
- Curiga dalam jangka yang panjang
Dampak Fisik :

- Penurunan nafsu makan


- Rasa tidak nyaman disekitar vagina atau alat kelamin
- Adanya luka ditubuh akibat kekerasan seksual
- Berisiko tertular penyakit menular seksual.
Dampak Emosional :

- Korban kekerasan seksual akan mengalami stress


- Depresi
- Mempunyai rasa bersalah
- Menyalahkan diri sendiri
- Takut dalam berhubungan dengan orang lain
- Mimpi buruk
- Insomnia
- Adanya keinginan bunuh diri
Akan tetapi, ada beberapa jenis dampak seperti pengkhiantan ( betrayal), trauma secara seksual,
merasa tidak berdaya, dan stigmazation. Dari beberapa jenis tersebut, pada kasus ZN termasuk
dalam katagori merasa tidak berdaya ( powerlessness) yang dikarenakan adanya rasa takut dalam
kehidupan korban, mengalami mimpi buruk, kecemasan yang dialami korban seperti tidak mau
berbicara, dan korban juga mengalami rasa sakit pada tubuhnya seperti patah pada tangan
kanannya, adanya bekas luka pada bagian belakang telinga kanan, dan ada bekas tusukan wajah
sebelah kiri korban ( Finkelhor & Browne, Briere dalam Tower,. 2002 dalam Noviana,.2015).

Adanya pola asuh permisif dari orang tua menjadikan anak bebas dalam melakukan
sebuah hubungan dan kekerasan seksual pada anak-anak yang lain serta anak bebas dalam
bertingkah laku karena orang tua tidak membuat sebuah aturan yang harus dipatuhi anak
(Hurlock,. (2001) dalam Sulastri,.2019). Hubungan anak dengan orang tua yang tidak harmonis
akan memberikan dampak pada perkembangan anak, kurangnya kedekatan antara orang tua dan
anak maka anak dapat dijadikan sasaran dalam kekerasaan seksual. Authoritative parenting
merupakan bentuk pengasuhan orang tua yang medukung perkembang positif dari anak seperti
terbukanya komunikasi antara anak dengan orangtua, kedekatan dengan anak, dan mendampingi
atau memantau anak dalam beradaptasi dengan lingkungan sosialnya ( Elvina,.(2018) dalam
Sulastri,. 2019 ) serta lingkungan memiliki peranan penting dalam tingkah laku individu baik
secara fisik, psikologis, dan sosial. Sebagian besar dimana tempat individu yang akan dijadikan
tempat tinggal dan dibesarkan akan mempengaruhi perilaku individu tersebut dikemudian hari
(Boswell,.1995 dalam Falshaw, & Browne,.1997 dalam Humairah,.et al,.2015). Adanya tempat-
tempat yang sepi dapat dijadikan oleh pelaku kejahatan dalam melakukan tindakannya,
pelecehan seksual tidak hanya terjadi di tempat sepi namun ditempat angkutan umum seperti bis
kota, angkot, dan lainnya sering terjadi juga pelecehan seksual. Menurut Wijaya,. (2011) dalam
Erlinawati, & Hasanah,. 2017 dari cara berpakaian dan berpenampilan yang berlebihan serta
menggoda dapat menggundang terjadinya pelecehan seksual.

H. Aspek Legal
Pelecehan seksual pada anak perlu mendapatkan perhatian yang serius karena dapat
menyebabkan anak dapat mengalami trauma dalam jangka waktu yang lama. Di
indonesia, kekerasan seksual yang terjadi pada anak telah diatur didalam UU.No 23 tahun
2007 tentang perlindungan anak yang diantaranya :
 Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian,
baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
 Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
 Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
 Pasal 80
a. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan,
atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
b. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
c. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah
sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
 Pasal 81
a. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
b. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
 Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
 Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri
atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
 Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
 Pasal 85
a. Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
b. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh
dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau
penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa
seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
 Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya
sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan
belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
 Pasal 87
Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk
kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan
dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam
kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
 Pasal 89
a. Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi
narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
b. Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi
alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
 Pasal 90
a. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal
79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87,
Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan
kepada pengurus dan/atau korporasinya.
b. Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan
pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-
masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
 Serta UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 65 mengatur tentang adanya hak
anak dalam mendapatkan perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan
seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
I. Analisis Kasus

DS : -

DO :

 Badan lebam
 Patah tangan kanan
 Luka belakang telinga kanan
 Bekas tusukan wajah sebelah kiri
 Sadar dari koma yang berlalu selama 2 pekan
 Tidak mau diajak berkomunikasi

Diagnosa Keperawatan

1. Ketakutan
2. Isolasi sosial
3. Hambatan interaksi sosial
4. Sindrom pascatrauma
5. Resiko harga diri rendah situasional
6. Keputusasaan
7. Hambatan komunikasi verbal
 Rencana keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Ketakutan : Respons Harga diri : Setelah Pengurangan
terhadap persepsi dilakukan tindakan kecemasan :
ancaman yang secara keperawatan 3 x 24 jam 1. Gunakan
sadar dikenali sebagai diharapkan pasien dapat pendekatan
sebuah bahaya meningkatkan harga yang tenang
dirinya, dengan kriteria dan
hasil sebagai berikut : menyenangkan
1. Verbalisasi 2. Nyatakan
penerimaan diri dengan jelas
dapat meningkat harapan
dari skala (1) terhadap
menjadi skala (3) perilaku klien
2. Komunikasi 3. Jelaskan semua
terbuka dapat prosedur
meningkat dari termasuk
skala (1) menjadi sensasi yang
skala (4) dirasakan yang
3. Perasaan tentang mungkin akan
nilai diri dapat dialami klien
meningkat dari selama
skala (1) menjadi prosedur
skala (4) (dilakukan)
4. Puji / kuatkan
perilaku yang
baik secara
tepat
5. Ciptakan
atmosfer rasa
aman untuk
meningkatkan
kepercayaan
6. Dorong
verbalisasi
perasaan,
persepsi, dan
ketakutan
2. Isolasi sosial : Tingkat kecemasan Keterampilan sosial :
Kesepian yang sosial : Setelah 1. individu dan
dialami oleh individu dilakukan tindakan dirasakan saat
dan dirasakan saat keperawatan 3 x 24 didorong oleh
didorong oleh Modifikasi perilaku: keadaan orang
keadaan orang lain Keterampilan jam lain dan sebagai
dan sebagai diharapkan pasien dapat pernyataan
pernyataan negatif menangani tingkat negatif atau
atau mengancam kecemasan sosial, mengancam .
dengan kriteria hasil : Dukung pasien
1. Memperbaiki untuk
penghindaran verbalisasi
terhadap situasi perasaannya
sosial dari skala berkaitan
(1) menjadi skala dengan masalah
(3) interpersonal
2. Dapat 2. Identifikasi
memperbaiki keterammpilan
persepsi diri yang sosial yang
negatif terhadap spesifik yang
penerimaan oleh akan menjadi
orang lain dari fokus latihan
skala (1) menjadi 3. Bantu klien
skala (3) untuk
3. Memperbaiki mengidentifikas
ketakutan i langkah-
berinteraksi langkah dalam
dengan anggota berperilaku
jenis kelamin dalam rangka
berbeda dari skala mencapai
(1) menjadi skala (kemampuan)
(3) keterampilan
sosial
4. Sediakan
umpan balik
(penghargaan)
bagi pasien jika
pasien mampu
menunjukkan
kemampuan
keterampilan
sosial yang
ditargetkan
5. Didik SO
pasien
(keluarga, grup
dan pimpinan)
dengan cara
yang tepat
mengenai
tujuan dan
proses training
keterampilan
sosial
3. Hambatan Interaksi Dukungan sosial : Dukungan
Sosial : Kurang atau Setelah dilakukan perlindungan
kelebihan kuantitas, tindakan 3 x 24 jam, terhadap kekerasan:
atau tidak efektif diharapkan pasien dapat Anak :
kualitas pertukaran meningkatkan dukungan 1. Identifikasi
sosialnya sosial, dengan kriteria situasi krisis
hasil sebagai berikut : yang memicu
1. Meningkatkan terjadinya
kemauan untuk penganiayaan
menghubungi 2. Tentukan
orang lain untuk apakah seorang
meminta bantuan anak
dari skala (2) menunjukkan
menjadi skala (4) tanda-tanda
2. Meningkatkan adanya
dukungan emosi penganiayaan
yang disediakan fisik
oleh orang lain 3. Tentukan
dari skala (1) apakah anak
menjadi skala (3) menunjukkan
3. Meningkatkan adanya tanda-
hubungan teman tanda
karib dari skala penganiayaan
(1) menjadi skala seksual
(4) (misalnya
kesulitan
berjalan atau
duduk, pakaian
dalam yang
robek atau
terdapat darah,
kemerahan atau
genital yang
trauma, laserasi
vagina atau
anal, infeksi
saluran kencing
yang berulang,
dll.)
4. Tentukan
apakah anak
menunjukkan
adanya tanda-
tanda
pnganiayaan
emosi
5. Dukung untuk
bisa dilakukan
observasi dan
investigasi
lebih lanjut
pada anak,
dengan cara
yang tepat
6. Sediakan bagi
anak yang telah
mengalami
penganiayaan
seksual dengan
suatu jaminan
bahwa
penganiayaan
bukanlah
kesalahan
mereka dan
berikan izin
bagi mereka
untuk
mengekspresika
n apa yang
menjadi
perhatian
mereka melalui
terapi bermain
yang tepat
sesuai usia
mereka
4. Sindrom Pemulihan terhadap Terapi trauma: Anak
Pascatrauma : kekerasan: Seksual : :
Respons maladaptif Setelah dilakukan 1. Ajarkan teknik
terus-menerus tindakan keperawatan 4 x manajemen
terhadap peristiwa 24 jam diharapkan pasien stress tertentu
traumatik yang penuh dapat memperbaiki sebelum
tekanan pemulihan terhadap eksplorasi
kekerasan seksual, trauma untuk
dengan kriteria hasil : mengembalikan
1. Meningkatkan kontrol atas
ekspresi terhadap pikiran dan
hak untuk perasaan
dilindungi dari 2. Eksplorasi
kekerasan (yang trauma dan
dialami) dari maknanya bagi
skala (1) menjadi anak
skala (3) 3. Bangun
2. Memperbaiki kepercayaan,
advokasi diri dari keamanan, dan
skala (1) menjadi hak untuk
skala (3) mendapatkan
3. Meningkatkan akses materi
perasaan mampu trauma dengan
untuk hati-hati
memberdayakan dengan
diri dari skala (1) memantau
menjadi skala (4) reaksi terhadap
4. Memperbaiki pengungkapan
resolusi tentang kejadian
rasa bersalah dari 4. Bantu
skala (1) menjadi mengidentifikas
skala (3) i dan mengatasi
permasalahan
5. Jelaskan proses
berduka kepada
anak dan orang
tua dengan
tepat
6. Bantu anak
untuk
memeriksa
asumsi dan
kesimpulan
yang
menyimpang
7. Bantu anak
untuk
mengintegrasik
an peristiwa
trauma secara
terstruktur
menjadi sejarah
dan
pengalaman
hidup.

DAFTAR PUSTAKA

2011. Lampiran Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan


dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pengintegrasian Materi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Pendidikan Dan Pelatihan Penjenjangan Dan Teknis.www.djpp.depkumham.go.id
diakses pada tanggal 18 September

Andini, et al,. 2019. Identifikasi Kejadian Kekerasaan Pada Anak di Kota Malam.
Jurnal Perempuan dan Anak 2(1) : 13-28.

Anggraini, A., D. (2017). Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual di Pusat


Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni Kota Semarang (analisis azaz–azaz dan fungsi
bimbingan konseling Islam). UIN Walisongo. Thesis

Agustina, & Ratri,.2018. Analisis Tindak Kekerasa Seksual Pada Anak Sekolah Dasar.
Ilmu Pendidikan : Jurnal Kajian Teori dan Praktk Pendidikan 3(2):151-155

Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018. Korban Bersuara, Data Bicara
Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara.
KOMNAS Perempuan,2019. file:///D:/bankdata/Downloads/Catatan%20Tahunan
%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202019%20(1).pdf Diakses pada
tanggal 19 September 2020 pukul 11.32 WIB

Erlinawati, & Hasanah,.2017. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Narapidana Remaja


Putra Melakukan Sexual Harrasement di LP Kelas II B Kota Pekanbaru. Jurnal
Kesehatan Masyarakat 1(2).

Harnoko, B. R. (2010). Dibalik tindak kekerasan terhadap perempuan. Muwazah, 2(1),


181-188.

Humairah,.et al,.2015. Kekerasan Seksual Pada Anak : Telaah Relasi Pelaku Korban dan
Kerentanan Pada Anak. Jurnal Psikoislamika 12(2): 5-10

Hikmah, S,. 2017. Menganstisipasi Kejahatan Seksual Terhadap Anak Melalui


Pembelajaran “ Aku Anak Berani Melindungi Diri Sendiri “ : Studi di Yayasan
Al-Hikmah, Grobogan. SAWWA 12(2) : 187-206
Kholiq, A. (2018). Analisis Pelaksanaan Peranan Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Meningkatkan Perlindungan Anak
(Studi Kasus di P2TP2A Kabupaten Karawang). Buana Ilmu, Vol. 3 (1), 137 –
152.

Lampiran Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuandan Perlindungan Anak


Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengintegrasian
Materi Anti KekerasanTerhadap Perempuan Dalam Pendidikan Dan Pelatihan
Penjenjangan Dan Teknis.diakses pada 18 September, dari:
www.djpp.depkumham.go.id

Ningsih & Hennyati,.2018. Kekerasan Seksual Pada Anak di Kabupaten Karawang.


Jurnal Bidan 4(2) : 56-65.

Noviana, Ivo. 2015. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya
Child Sexual Abuse: Impact And Hendling. E-Jurnal Kementerian Sosial
Republik Indonesia. Diakses pada 18 September 2020
https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/viewFile/87/55

Merdeka.com. (2020). Koma Dua Pekan, Remaja Perempuan Korban Pelecehan Seksual
dan Kekerasan Meninggal. Diakses : 16 September 2020 dari
https://m.merdeka.com/peristiwa/koma-dua-pekan-remaja-perempuan-korban-
pelecehan-seksual-dan-kekerasan-meninggal.html

Putri, U. Z. N., Kurniawan, R. A., & Humaedi, S. (2018). Mengatasi dan Mencegah
Tindak Kekerasan Seksual pada Perempuan dengan Pelatihan Asertif. Jurnal
Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, Vol. 5 (1), 1 – 110.

Prabowo, A. S., & Asni. (2018). Latihan Asertif: Sebuah Intervensi yang Efektif. Jurnal
Bimbingan dan Konseling, Vol. 7 (1), 116- 120.

Sulastri,. 2019. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Relasi Pelaku- Korban, Pola Asuh
Dan Kerentanan Pada Anak. Jurnal Psikologi Malahayati 1(2) : 61-71
Setiyani, R. W., Noviekayati, I., & Saragih, S. (2018). Konseling Kelompok untuk
Menurunkan Depresi pada Remaja Introvert Korban Kekerasan Seksual. Jurnal
Psikologi Indonsia, Vol. 7 (1), 93 – 106.

Tower, Cynthia Crosson. 2002. Understanding Child Abuse and Neglect. Boston: Allyn
& Bacon.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.


https://pih.kemlu.go.id/files/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf.
Diakses pada tanggal Sabtu 19 September 2020 pada pukul 06.00 WIB

Wahid, A. & Muhammad, I. (2001). Perlindungan Terhadapan Korban Kekerasan


Seksual: Advokasi atas Hal Asasi Perempuan. Bandung:Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai