Disusun Oleh :
Kelompok 5
Pendampingan ini dilakukan secara personal denganhome visit guna memahami anak
secara individu, dalam pendampingan harus dapat membangun suasana hangat,
kekeluargaan, dan santai agar korban dapat lebih nyaman dalam menyampaikan
permasalahannya (Kholiq, 2018)
Koma Dua Pekan, Remaja Perempuan Korban Pelecehan Seksual dan Kekerasan
Meninggal
Merdeka.com - Remaja perempuan korban pelecehan seksual berinisial ZN (15)
meninggal dunia. Ia menghembuskan nafas terakhir setelah koma selama dua pekan dan
tubuh penuh luka kekerasan.Kasus pelecehan yang menimpa ZN terjadi pada akhir
Januari 2020. Semua terungkap saat warga menemukan korban tergeletak di sebuah
perkebunan di Kampung Pamoyanan, Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara,
Kota Cimahi.
Korban langsung dibawa oleh warga ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Cibabat karena badannya dipenuhi lebam. Selain itu, ia mengalami patah pada tangan
kanannya, luka di bagian belakang telinga kanan, serta ada bekas tusukan wajah sebelah
kiri korban. Polisi yang mendapat laporan langsung menindaklanjutinya dengan olah
TKP dan mengejar pelaku. Akhirnya, pada awal Februari tersangka bernama Nanang (27)
dan seorang remaja berinisial NN ditangkap.Dari hasil pemeriksaan, kasus ini bermula
saat NN meminta korban untuk bertemu. Keduanya kemudian pergi ke sebuah gubuk di
kebun. Di sana, mereka bertemu dengan Nanang. Setelah berbincang beberapa saat, NN
diminta Nanang membeli minuman keras.Di saat kedua tersangka menikmati minuman
keras, muncul ide untuk mencekoki korban dengan alkohol hingga kehilangan kesadaran.
Akhirnya pelecehan seksual terjadi. Korban yang melakukan perlawanan membuat
tersangka memukulinya dengan batang bambu.
Keesokan harinya, korban dibawa ke rumah sakit dan mendapat perawatan.
Korban sempat sadar setelah koma selama dua pekan, namun tidak mau diajak
berkomunikasi. Setelah itu, kondisinya terus memburuk hingga akhirnya korban
meninggal dunia pada Rabu (12/2).Sebelum dimakamkan, pihak keluarga setuju untuk
mengautopsi korban dengan harapan para tersangka dihukum maksimal. "Tadinya
rencana mau dimakamin. Tapi kita tadi minta untuk di autopsi terlebih dahulu,” kata
kakak korban, Mega Arianti Syahrani di rumah duka, Jalan Baros Utama, Kota Cimahi.
Dari informasi yang dihimpun, korban akan diautopsi di Rumah Sakit Bhayangkara
Sartika Asih, Bandung. Setelah rampung, korban akan dimakamkan di
pemakaman umum Baros.Kasat Reskrim Polres Cimahi AKP Yohannes Redhoi Sigiro
mengatakan, kedua tersangka akan dijerat dengan pasal Pasal 81 dan atau 82 UU RI No
17 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dengan ancaman hukuman minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun
penjara."Karena korban meninggal dunia, ditambahkan Pasal 80 ayat 3 UU perlindungan
anak (Kekerasan mengakibatkan meninggal dunia). Ancaman hukuman penjara paling
lama 15 tahun," ucapnya.
Adanya kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam sebuah komunitas sepeti
lingkungan kerja, bermasyarakat, bertetangga, ataupun dilingkungan sekitar seperti
diagram berikut :
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018
2. ANALISIS KASUS
Orang dewasa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak disebut dengan pedophile
sedangkan pria dewasa dengan anak laki-laki disebut dengan pedetrasy ( Struve & Rush dalam
Tower,. (2002) dalam Andini et al,. 2019). Pada kasus tersebut NN dan Nanang dapat disebut
dengan pedophile dikarenakan mereka melakukan pelecahan seksual terhadap anak yang berusia
12 tahun. NN dan Nanang dapat dikatakan pedophilie mungkin sebelumnya pernah menonton
pornografi sehingga memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seksual dan pada saat
meminum alkohol mereka kehilangan kesadaran pada diri mereka serta melakukan tindakan
yang diluar batas seperti melakukan pelecehan seksual.
Sedangkan pedophile memiliki dua tipe yaitu tipe 1 pedodphile eksklusif ( ketertarikan pada
anak ) dan tipe 2 pedophile fakultatif ( orientasi heteroseksual pada orang dewasa, akan tetapi
tidak menemukan untuk menyalurkan hasratnya sehingga memilih anak-anak). Menurut
Adrianus E. Meliala dalam Noviana,. (2015) ada beberapa kategori Pedophilie, antara lain :
Infantophilia
Orang yang tertarik dengan anak berusia dibawah 5 tahun
Hebophilia
Orang yang tertarik dengan anak perempuan pada usia 13-16 tahun
Ephebohiles
Orang yang tertarik dengan anak laki-laki
Serta ada juga yang berdasarkan perilaku, yaitu :
Exhibitionism
Orang yang suka memamerkan, suka menelanjangi anak
Voyeurism
Orang yang suka melakukan masturbasi didepan anak atau sekedar memegang kemaluan
anak.
Pada kasus tersebut, ZN mengalami kekerasan seksual dengan adanya ancaman sehingga ZN tak
berdaya. Yang dialami ZN dapat disebut dengan molester, yang dapat menyebabkan korban
kesulitan dalam mengungkapkan peristiwa yang sebenarnya. Korban ZN mengalami
penganiayaan dari pelaku sehingga korban mendapatkan luka di bagian belakang telinga kanan,
adanya bekas tusukan wajah sebelah kiri korban, serta mengalami patah pada tangan kanannya.
Jika dilihat berdasarkan kasus tersebut maka tingkat penganiyaan seksualnya termasuk ( Tower,
2002 dalam Andini et al, 2019 )
Extrafamilial Abuse
Jenis tindakan ini biasanya dilakukan oleh orang lain yang bukan dari keluarga
korban. Sedangkan pada kasus tersebut, NN dan Nanang bukan merupakan keluarga
dari korban namun nanang merupakan orang yang dikenal oleh korban. Selanjutnya
korban dipaksa oleh dua orang tersebut untuk meminum alkohol sehingga korban
mengalami pelecehan seksual. Ada beberapa tahapan dalam melakukan kekerasaan
seksual salah satunya adalah melihat kenyamanan dari korban, jika korban menuruti
pelaku maka akan berlanjut dan akan lebih instensif seperti :
- Nudity ( dilakukan orang dewasa )
- Disrobing ( orang dewasa membuka pakaian di hadapan anak )
- Genital Exposure ( dilakukan orang dewasa )
- Observation Oft The Child ( ketika mandi, telanjang, dan membuang air )
- Mencium anak dengan menggunakan pakaian dalam
- Fondling ( meraba-raba dada korba, alat genital, paha dan bokong )
- Masturbasi
- Fellatio ( stimulasi pada penis )
- Cunnilingus ( stimulasi pada area vagina )
- Digital Penetration ( pada rectum )
- Dry Intercourse ( mengelus-ulus penis pelaku atau area genital lainnya
Kurangnya pengetahuan orang tua dalam mengetahui pergaulan sang anak atau ZN tidak izin
kepada keluarganya serta korban mudah percaya sama orang lain yang menjadikan penyebab
adanya perilaku kejahatan seksual . Selain itu ada beberapa faktor penyebab dari perilaku
kejahatan seksual antara lain 1.pornoaksi dan pornografi tidak terkendali yang menjadikan anak
kecil sebagai sasaran yang disebabkan lebih mudah dibujuk, dan diancam. 2. Rangsangan
seksual bisa dari penampilan perempuan untuk merangsang pria serta akan menjadikannya
sebagai tempat pelampiasan hasrat seksualnya. 3. Adanya keteledoran dari orang tua dalam
memberikan pakaian yang mini terhadap anak perempuannya, 4. Anak tersebut tidak dibekali
pengetahuan dan ketrampilan dalam melindungi dirinya dari ancaman kejahatan seksual
( Hikma,S,. 2017 )
Seseorang yang mengalami kekerasan seksual memiliki dampak yang traumatis sehingga korban
akan merasa ketakutan jika melaporkan kejadian tersebut dan merasa malu jika menceritakan
peristiwa tersebut. Menurut Ningsih & Hennyanti,.(2018) korban dari pedhopile akan mengalami
gangguan pencernaan dan alat genetalia, pusing terus menerus, mudah gugup, merasa gelisah,
dan gemetaran jika ditanya sesuatu yang berkaitan dengan masalah yang ia hadapi. Adapun
dampak psikologis , fisik, emosional yang ditimbulkan, antara lain :
Dampak Psikologis :
- Depresi
- Fobia
- Mimpi buruk
- Curiga dalam jangka yang panjang
Dampak Fisik :
Adanya pola asuh permisif dari orang tua menjadikan anak bebas dalam melakukan
sebuah hubungan dan kekerasan seksual pada anak-anak yang lain serta anak bebas dalam
bertingkah laku karena orang tua tidak membuat sebuah aturan yang harus dipatuhi anak
(Hurlock,. (2001) dalam Sulastri,.2019). Hubungan anak dengan orang tua yang tidak harmonis
akan memberikan dampak pada perkembangan anak, kurangnya kedekatan antara orang tua dan
anak maka anak dapat dijadikan sasaran dalam kekerasaan seksual. Authoritative parenting
merupakan bentuk pengasuhan orang tua yang medukung perkembang positif dari anak seperti
terbukanya komunikasi antara anak dengan orangtua, kedekatan dengan anak, dan mendampingi
atau memantau anak dalam beradaptasi dengan lingkungan sosialnya ( Elvina,.(2018) dalam
Sulastri,. 2019 ) serta lingkungan memiliki peranan penting dalam tingkah laku individu baik
secara fisik, psikologis, dan sosial. Sebagian besar dimana tempat individu yang akan dijadikan
tempat tinggal dan dibesarkan akan mempengaruhi perilaku individu tersebut dikemudian hari
(Boswell,.1995 dalam Falshaw, & Browne,.1997 dalam Humairah,.et al,.2015). Adanya tempat-
tempat yang sepi dapat dijadikan oleh pelaku kejahatan dalam melakukan tindakannya,
pelecehan seksual tidak hanya terjadi di tempat sepi namun ditempat angkutan umum seperti bis
kota, angkot, dan lainnya sering terjadi juga pelecehan seksual. Menurut Wijaya,. (2011) dalam
Erlinawati, & Hasanah,. 2017 dari cara berpakaian dan berpenampilan yang berlebihan serta
menggoda dapat menggundang terjadinya pelecehan seksual.
H. Aspek Legal
Pelecehan seksual pada anak perlu mendapatkan perhatian yang serius karena dapat
menyebabkan anak dapat mengalami trauma dalam jangka waktu yang lama. Di
indonesia, kekerasan seksual yang terjadi pada anak telah diatur didalam UU.No 23 tahun
2007 tentang perlindungan anak yang diantaranya :
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian,
baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 80
a. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan,
atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
b. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
c. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah
sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 81
a. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
b. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri
atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 85
a. Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
b. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh
dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau
penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa
seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya
sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan
belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 87
Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk
kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan
dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam
kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Pasal 89
a. Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi
narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
b. Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi
alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
Pasal 90
a. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal
79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87,
Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan
kepada pengurus dan/atau korporasinya.
b. Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan
pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-
masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Serta UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 65 mengatur tentang adanya hak
anak dalam mendapatkan perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan
seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
I. Analisis Kasus
DS : -
DO :
Badan lebam
Patah tangan kanan
Luka belakang telinga kanan
Bekas tusukan wajah sebelah kiri
Sadar dari koma yang berlalu selama 2 pekan
Tidak mau diajak berkomunikasi
Diagnosa Keperawatan
1. Ketakutan
2. Isolasi sosial
3. Hambatan interaksi sosial
4. Sindrom pascatrauma
5. Resiko harga diri rendah situasional
6. Keputusasaan
7. Hambatan komunikasi verbal
Rencana keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Andini, et al,. 2019. Identifikasi Kejadian Kekerasaan Pada Anak di Kota Malam.
Jurnal Perempuan dan Anak 2(1) : 13-28.
Agustina, & Ratri,.2018. Analisis Tindak Kekerasa Seksual Pada Anak Sekolah Dasar.
Ilmu Pendidikan : Jurnal Kajian Teori dan Praktk Pendidikan 3(2):151-155
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018. Korban Bersuara, Data Bicara
Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara.
KOMNAS Perempuan,2019. file:///D:/bankdata/Downloads/Catatan%20Tahunan
%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202019%20(1).pdf Diakses pada
tanggal 19 September 2020 pukul 11.32 WIB
Humairah,.et al,.2015. Kekerasan Seksual Pada Anak : Telaah Relasi Pelaku Korban dan
Kerentanan Pada Anak. Jurnal Psikoislamika 12(2): 5-10
Noviana, Ivo. 2015. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya
Child Sexual Abuse: Impact And Hendling. E-Jurnal Kementerian Sosial
Republik Indonesia. Diakses pada 18 September 2020
https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/viewFile/87/55
Merdeka.com. (2020). Koma Dua Pekan, Remaja Perempuan Korban Pelecehan Seksual
dan Kekerasan Meninggal. Diakses : 16 September 2020 dari
https://m.merdeka.com/peristiwa/koma-dua-pekan-remaja-perempuan-korban-
pelecehan-seksual-dan-kekerasan-meninggal.html
Putri, U. Z. N., Kurniawan, R. A., & Humaedi, S. (2018). Mengatasi dan Mencegah
Tindak Kekerasan Seksual pada Perempuan dengan Pelatihan Asertif. Jurnal
Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, Vol. 5 (1), 1 – 110.
Prabowo, A. S., & Asni. (2018). Latihan Asertif: Sebuah Intervensi yang Efektif. Jurnal
Bimbingan dan Konseling, Vol. 7 (1), 116- 120.
Sulastri,. 2019. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Relasi Pelaku- Korban, Pola Asuh
Dan Kerentanan Pada Anak. Jurnal Psikologi Malahayati 1(2) : 61-71
Setiyani, R. W., Noviekayati, I., & Saragih, S. (2018). Konseling Kelompok untuk
Menurunkan Depresi pada Remaja Introvert Korban Kekerasan Seksual. Jurnal
Psikologi Indonsia, Vol. 7 (1), 93 – 106.
Tower, Cynthia Crosson. 2002. Understanding Child Abuse and Neglect. Boston: Allyn
& Bacon.