Disusun Oleh :
Adriana Yerkohok (202203152010051)
Alince weya (202102152010021)
RESUME
Jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia tergolong cukup tinggi. Hal ini didukung
dengan data yang diperoleh dari CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan di tahun
2018, terdapat laporan kekerasan di ranah personal yaitu kekerasan fisik sebanyak 3.982 kasus
dan kekerasan seksual sebanyak 2.979 kasus. Jumlah kasus ini meningkat dua kali lipat
dibandingkan tahun 2017. Sedangkan di ranah publik atau komunitas, kekerasan seksual
menduduki peringkat pertama sebanyak 2.670 kasus, sedangkan peringkat kedua kasus
kekerasan fisik, trafficking dan psikis. Terjadinya kasus kekerasan seksual meliputi pencabulan,
pelecehan seksual dan perkosaan(https:// www.komnasperempuan.go.id,diakses pada 02 Mei
2018).
Selain dampak psikologis, berdampak pada segi sosial, yaitu mencakup mengucilkan diri
dari lingkungan hingga dikucilkan oleh masyarakat, kesulitan membina hubungan. Hal ini yang
sering membuat korban perkosaan memilih untuk diam karena stigma negatif yang diterima dari
masyarakat. Selain dampak sosial dan psikologis, dampak fisik merupakan dampak yang paling
kompleks karena dampak ini menjadi awal munculnya dampak sosial maupun psikologis.
Dampak fisik dari pemerkosaan mencakup luka fisik seperti kerusakan organ tubuh (kehilangan
keperawanan), kehamilan yang tidak dikehendaki, hingga mungkin tertular penyakit seksual.
(Sulistyaningsih dan Faturochman, 2002:8-14).
Bagi seorang perempuan yang menjadi korban perkosaan pasti menjadi beban psikologis
tersendiri dan persoalan akan bertambah pelik ketika terjadi kehamilan yang akan membawa
dampak psikologis hingga sosial. Kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak dipersiapkan secara
fisik dan mental membuat korban depresi, apalagi jika korban memutuskan untuk tetap
mempertahankan kandungan. Pilihan untuk mempertahankan kandungan tersebut merupakan
keputusan yang sangat sulit dilakukan dan tidak mudah untuk menerima fakta bahwa anak yang
dilahirkan adalah hasil dari perkosaan. Namun tumbuhnya naluri seorang ibu secara alami
biasanya menjadi alasan mengapa korban perkosaan lebih memilih untuk mempertahankan
kandungannya, meskipun terdapat dampak sosial yang mengikuti.
Women’s Crisis Center menjelaskan bahwa perempuan korban kekerasan biasanya merasa
tidak mampu untuk melihat persoalan yang mendasari kekerasan maupun melihat jalan
keluar.Dalam kondisi ini, korban menjadi tidak berdaya dan putus asa dan merasa tidak ada
orang yang bisa membantunya. Dalam kondisi ini, korban sebenarnya berada dalam posisi
sedang membutuhkan orang yang bisa menjadi teman berbagi atas apa yang telah dialaminya.
Disinilah pendampingan/ konseling menjadi suatu kebutuhan bagi para korban kekerasan (Anna
Mukarnawati, 2012, Pendampingan Psikososial Korban Kekerasan Terhadap Perempuan
http://www. savyamirawcc. com/publikasi/pendampingan-psikososial-korban- kekerasan-
terhadap-perempuan/, diakses pada 26 Januari 2018).
Memiliki seorang pendamping/ konselor penting untuk kebutuhan paska peristiwa kekerasan
seksual yang dialami korban. Konselor akan sangat dibutuhkan untuk membantu pengambilan
keputusan bagi korban, pemberian dukungan sosial maupun informasi hukum yang dibutuhkan
korban. Dukungan dan dorongan yang sesuai yang diberikan pendamping akan membantu
menghubungkan korban dengan layanan eksternal terkait (Fernandez, 2011: 599). Pendampingan
yang bersifat konseling ini membangun komunikasi terapeutik.
Dalam melakukan konseling, komunikasi terapeutik menjadi bentuk komunikasi yang paling
tepat karena menurut Kusumawati dan Hartono (2010:16) bentuk komunikasi ini direncanakan
secara sadar, dan mempunyai tujuan dan kegiatanyang dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
Sebagai komunikasi yang direncana- kan secara sadar dan mempunyai tujuan, pelaku
komunikasi terapeutik perlu merencanakan tahapan dari pelaksanaan komunikasi terapeutik.
Tahapan komunikasi terapeutik secara umum dibagi dalam berbagai dimensi sebagai berikut:
Tahap Pra Interaksi, Tahap Perkenalan, Tahap Orientasi, Tahap Kerja, dan Tahap Terminasi
(Wahyuni dan Saam, 2013:24).
Tahap pra interaksi adalah tahapan yang mencakup seputar perencanaan untuk interaksi
pertama dengan korban (Varcarolis, 2005:164). Tahap pra interaksi bertujuan untuk menggali
informasi awal mengenai korban seperti kasus korban, keluarga, dan mempelajari kondisi korban
seperti perasaan, ketakutan, dan kecemasan korban (Al-A’araj dan Al-Omari, 2014:16).
Penggalian informasi pada tahap awal ini diperlukan supaya pendamping dapat menerapkan
strategi yang tepat ketika berinteraksi dengan korban. mendapatkan informasi mengenai kasus
melalui proses monitoring melalui media; rujukan dari komunitas, rumah sakit, maupun pihak
kepolisian; maupun pelaporan maupun rujukan yang ditujukan kepada pihak pemberi
pendampingan Psikologis tersebut`
Proses penggalian informasi tentang kekerasan seksual ini memiliki tujuan untuk
mendapatkan informasi mengenai layanan apa yang segera dibutuhkan oleh korban. Hal ini bisa
berkaitan dengan pemeriksaan psikologis, fisik, maupun bantuan hukum untuk korban. Dalam
tahap pra interaksi unsur pengetahuan yang dimiliki terkait dengan masalah klien adalah unsur
penting yang harus diketahui oleh seorang pendamping karena pengetahuan tersebut berguna
sebagai bekal dalam berinteraksi.
b. Tahap Perkenalan dengan Korban
1. Dampak fisik, berupa kekerasan fisik yang dialami korban seperti pukulan, pendarahan
dan pingsan setelah kejadian, luka pada alat kelamin hingga kehamilan;
2. Dampak psikologis, yang dirasakan korban biasanya adalah rasa marah kepada
pelaku,merasa bersalah, merasa tidak berharga, dan takut; dan
3. Dampak sosial-psikologis, berkaitan erat dengan sikap masyarakat di lingkungan korban
(Ekandari, Mustaqfirin, dan Faturochman, 2001: 11-19).
Dampak yang berbeda pada masing- masing korban juga menuntut pendamping untuk
menetapkan strategi pendekatan yang berbeda pada masing-masing korban
Pada tahap ini pendamping mulai melakukan pengumpulan data dan mengupayakan agar
korban dan keluarganya bersedia memberikan informasi terkait masalahnya secara lengkap.
Selama tahap kerja, konselor dan klien bersama-sama mengidentifikasi dan menjelajahi
daerah dalam kehidupan klien yang menyebabkan masalah. Tahapan ini bertujuan untuk
memulai cara penanganan situasi klien yang berasal dari cara-cara penang gulangan sebelumnya
yang dirancang untuk bertahan dalam lingkungan/situasi yang sulit (Varcaloris, 2005: 165).
Setelah mengetahui dampak yang dirasakan oleh korban maka akan diberikan motivasi-
motivasi kepada korban, seperti: untuk tetap semangat menjalani hidup, tetap fokus
melanjutkan pendidikannya, bersyukur, dan tidak menyalahkan diri sendiri. Dan menambahkan u
paya lainyang dapat dilakukan pendamping jika korban mengalami dampak psikologis yaitu
dengan merujuk korban kepada psikolog untuk mendapatkan layanan seperti terapi. Hal ini
dikarenakan menghilangkan trauma yang dialami korban tidak bisa secara instan.
B. PERMASALAHAN PSIKOLOGIS PADA WANITA KORBAN KDRT
Kekerasan adalah sesorang atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologi
sesorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber,
namun salah satu kekerasan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan
oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan bias gender ini di sebuat gender-related
violence. Pada dasarnya kekerasan gender di sebabkan oleh ke tidak setaraan kekuatan yang ada
dalam masyarakat
Undang-undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT Bab I pasal I mengenai ketentuan
umum, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan
korban yang dimaksud dalam UU tersebut adalah orang yang mengalami kekerasan atau
ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga seperti suami, istri, anak orang-orang yang
memiliki hubungan keluarga dengan anggota inti (suami, istri, anak) karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, permgasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga.
Muhamad Kamal Zubair dalam Jurnal Al- Ma’iyyah, mengemukakan empat jenis kekerasan
yaitu: kekerasan terbuka, kekerasan yang di lihat seperti perkelahian, kekerasan
tertutup,kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan, seperti mengancam, kekerasan
agresif,kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu,
seperti penjabalan dan kekerasan definisi, kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri.
Mansour Fakih, menjelaskan macam dan bentuk kejahatan yang bisa di kategorikansebagai
kekerasan gender, di antaranya:
Ketiga, Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation),
misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
Berbagai alasan diajukan oleh suatu masyarakat untuk melakukan pneyunatan ini. Namun salah
saatu alasan terkuat adalah adanya anggapan dan bias gender di masyarakat, yakni untuk
mengontrol kaum perempuan. Saat ini, penyunatan perempuan sudah mulai jarang kita dengar.
Kelima, Kekerasan dalam bentuk pemaksaan pornografi. Porngrafi adalah jenis kekerasan
lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecahan
terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan di jadikan objek demi keuntungan
seseorang.
Dampak psikologis korban kekerasan tersebut di atas, tentu diamati dan di pelajari oleh
para ahli psikologi yang meneliti tentang gejala-gejala kejiwaan yang timbul pada korban setelah
terjadinyakekerasan. Sebagaiman dikemukakan oleh Jalaluddin, bahwa psikologi secara umum
memangmempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran
Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia
dewasa,normal dan beradab. Dengan demikian ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati
melalui sikap
dan perilaku manusia. Namun terkadang ada di antara pernyataan dalam aktivitas yang tampak
itu merupakan gejala campuran, sehingga paraahli psikologi, yaitu pikiran, perasan,
kehendak dangejala campuran seperti integensi, kelelahan maupun sugesti.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya KDRT yaitu: 1) Faktor Ekonomi, 2) Faktor
Perselingkuhan, 3) Faktor perbedaan pendapat yang tidak satu visi dan misi lagi dalam
membangun rumah tangga yang pada akhirnya menimbulkan konflik di antara mereka sehingga
terjadi pertengkaran yang berakibat pemukulan dari suami kepada isteri.
Kesehatan ibu sangat ditentukan oleh status kesehatan jiwanya, oleh karena itu jiwa ibu
perlu mendapat perhatian terutama ibu yang mengalami trauma setelah mengalami proses
persalinan. Kesehatan jiwa ibu yang terganggu akan sangat mempengaruhi kesehatan dan
kesejahteraan keluarganya.
Berbagai masalah psikologis yang dialami ibu bersalin di rumah sakit sangat
memerlukan perhatian dan perawatan yang optimal dari seorang perawat/bidan dan keluarganya.
Maka menjadi sangat penting peran perawat/bidan dan dukungan keluarga dalam membantu
ibu untuk beradaptasi dengan perubahan psikis setelah melahirkan, terutama yang mengalami
stres pasca trauma akibat prosedur pertolongan persalinan di rumah sakit.
Menurut WHO (1993) bahwa satu dari sepuluh bayi berusia 6 sampai 9 bulan diasuh oleh
ibu yang mengalami gangguan jiwa. Demikian juga Ayers dan Pickering (2001), menemukan
bahwa 2,8% ibu memenuhi kriteria diagnostik untuk post traumatic stress disorder
pada enam minggu setelah melahirkan, kemudian akan menurun menjadi 1,5% setelah enam
bulan, yang melahirkan dengan cara spontan, seksio sesaria, maupun ekstraksi vakum. Lovelan-
Cook, et al. (2004) menjelaskan bahwa sekitar 7,7% wanita, setelah melahirkan memenuhi
kriteria diagnostik untuk mengalami post traumatic stress disorder dengan gangguan mood dan
kecemasan.
Menurut Czarnocka dan Slade (2000), prevalensi dan perjalanan penyakit post traumatic
stress disorder selama kehamilan dan pasca kelahiran (post partum) tidak mendapat
cukup perhatian. Dokumentasi laporan mencatat bahwa pengalaman traumatik obstetrikal seperti
proses melahirkan, kelahiran, keguguran, kematian janin, bayi lahir mati adalah sebagai
pendorong simtomatologi yang berkaitan dengan trauma.
Menurut Shinto (2007, dalam Evariny, 2007), bahwa apabila beban trauma terus berlanjut,
dampaknya akan berbekas pada janin. Terlebih jika ibu sampai mengalami stres. Oleh karena itu,
ibu hamil sebaiknya bukan hanya memperhatikan bagian kesehatan fisiknya saja, melainkan juga
kesehatan psikologisnya. Salah satunya adalah dengan menghin dari trauma masa hamil yang
dapat berujung pada stres, yakni timbunan permasalahan yang tidak bisa diatasi dengan
baik.Jenis Gangguan Psikologis Setelah Melahirkan
Hingga kini, belum diketahui pasti penyebab utama terjadinya gangguan psikologis setelah
melahirkan. Hanya saja, diketahui ada beberapa faktor yang dapat memicu munculnya gangguan
ini, termasuk faktor hormonal, lingkungan, emosional, hingga faktor genetik.
Jenis gangguan psikologis setelah melahirkan juga beragam, berikut beberapa di antaranya:
Sekitar 40-80% wanita mengalami baby blues syndrome setelah melahirkan. Baby blues
syndrome ditandai dengan rasa khawatir atau keraguan yang berlebihan terhadap
kemampuannya merawat anak. Selain itu, penderita baby blues kerap bersikap gelisah,
tidak sabar, lekas marah, bahkan bisa menangis tanpa alasan yang jelas, hingga sulit tidur.
Sebagian penderita baby blues juga merasa sulit membangun ikatan dengan bayinya. Baby
blues biasanya berlangsung selama beberapa hari dan dapat hilang dengan sendirinya
dalam waktu 1 hingga 2 minggu. Bertukar pikiran dengan sesama ibu atau teman yang
mampu memahami beban seorang ibu, kemungkinan dapat membantu pemulihannya.
Banyak anggapan yang kurang tepat atau stigma bahwa orang yang menjalani psikoterapi
ke psikolog atau psikiater menandakan bahwa orang tersebut mengalami gangguan jiwa atau
gila.Padahal kenyataannya bukan demikian.
Psikoterapi ditujukan bagi siapa saja yang menya dari bahwa dirinya memiliki masalah
psikologis atau berisiko tinggi mengalami gangguan mental dan berniat mencari pertolongan
untuk mengatasi masalah tersebut.
Berikut ini adalah beberapa keluhan atau masalah kejiwaan yang perlu ditangani dengan
psikoterapi:
Merasa putus asa atau sedih yang luar biasa selama beberapa bulan, misalnya
karena depresi.
Rasa cemas, takut, atau khawatir yang berlebihan yang menyebabkan kesulitan dalam
menjalani aktivitas atau pekerjaan sehari-hari.
Perubahan suasana perasaan atau mood yang ekstrim, misalnya tiba-tiba bersemangat atau
sangat sedih tanpa alasan yang jelas.
Mulai menunjukkan perilaku negatif, seperti mudah marah, penyalah gunaan zat atau
narkoba, kecanduan minuman beralkohol, atau makan berlebihan.
Memiliki ide atau keinginan untuk bunuh diri atau menyakiti orang lain.
Memiliki halusinasi.
Kesulitan mengungkapkan perasaan atau merasa tidak ada orang lain yang bisa memahami
perasaan atau masalah yang Anda hadapi.
Memiliki obsesi atau kebiasaan yang sulit dihentikan, misalnya terlalu sering merapikan
dan membersihkan rumah, mencuci tangan berkali-kali, hingga bolak balik ke dapur untuk
memeriksa kompor gas berulang kali.
Keluhan-keluhan di atas bisa saja terjadi saat seseorang mengalami tekanan batin atau
peristiwa traumatis, misalnya setelah perceraian, ada anggota keluarga atau teman dekat yang
meninggal, baru saja kehilangan pekerjaan, atau baru saja menjadi korban bencana atau
kekerasan.
Selain karena kejadian traumatis, beberapa gejala di atas juga kemungkinan bisa disebabkan
oleh gangguan mental tertentu, seperti gangguan identitas disosiatif (kepribadian ganda),depresi,
gangguan kepribadian, gangguan bipolar, PTSD, gangguan cemas, dan skizofrenia. Jenis-jenis
Psikoterapi.
Metode dan teknik psikoterapi yang dilakukan oleh psikolog atau psikiater ada banyak. Jenis
terapi yang akan digunakan umumnya disesuaikan dengan kondisi pasien dan respon pasien
terhadap psikoterapi.
Misalnya jika dulu pasien sering menggunakan obat-obatan atau minuman beralkohol untuk
mengatasi stres, maka dengan psikoterapi ini, pasien akan dilatih untuk merespon stres
dengan aktivitas yang lebih positif, misalnya berolahraga atau meditasi.
Jenis psikoterapi ini akan menuntun pasien melihat lebih dalam ke alam bawah sadarnya.
Pasien akan diajak untuk menggali berbagai kejadian atau masalah yang selama ini terpen
dam dan tidak disadari.
Dengan cara ini, pasien dapat memahami arti dari setiap kejadian yang dialaminya.
Pemahaman baru inilah yang akan membantu pasien dalam mengambil keputusan dan
menghadapi berbagai masalah.
3. Terapi interpersonal
Jenis psikoterapi ini akan menuntun pasien untuk mengevaluasi dan memahami bagaimana
cara pasien menjalin hubungan dengan orang lain, misalnya keluarga, pasangan, sahabat,
atau rekan kerja.Terapi ini akan membantu pasien menjadi lebih peka saat berinteraksi atau
menyelesaikan konflik dengan orang lain.
4. Terapi keluarga
Terapi ini dilakukan dengan melibatkan anggota keluarga pasien, khususnya jika pasien
memiliki masalah psikologis yang berhubungan dengan masalah keluarga. Tujuannya agar
masalah yang dihadapi pasien dapat diatasi bersama dan memperbaiki hubungan yang
sempat retak antara pasien dan keluarga.
5. Hipnoterapi
Hipnoterapi adalah teknik psikoterapi yang memanfaatkan hipnosis untuk membantu pasien
agar bisa mengendalikan perilaku, emosi, atau pola pikirnya dengan lebih baik.
Metode psikoterapi ini cukup sering dilakukan untuk membuat pasien lebih
rileks,mengurangi stres, meredakan nyeri, hingga membantu pasien berhenti melakukan
kebiasaan buruknya, misalnya merokok atau makan berlebihan.
Selain itu, hasil dari psikoterapi pun akan berbeda pada tiap individu. Jenis psikoterapi
tertentu mungkin cocok untuk satu pasien, namun belum tentu efekfif jika diterapkan pada
pasien yang lain. Oleh sebab itu, dianjurkan berkonsultasi dengan psikolog untuk
menentukan terapi yang sesuai dengan kondisi pasien
Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) tidak hanya dihadapi para remaja yang terjebak
seks bebas, pasangan yang sudah menikah juga bisa mengalaminya jika tidak ikut KB. Pada
peserta KB, tingkat kegagalan yang memicu KTD hanya sebesar 2 persen."Tingkat kegagalan
KB sangat kecil, ada juga yang tetap hamil di luar perencanaan tapi presentasinya hanya sekitar 2
persen," ungkap Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Sugiri
Sjarief saat ditemui di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Tenggara, Kendari, Rabu (15/6/2011).
Sugiri menambahkan, peserta KB yang mengalami KTD sangat jarang memilih aborsi atau
penguguran kandungan sebagai jalan keluar. Ada beberapa yang aborsi, namun Sugiri yakin
sebagian besar tetap membesarkan anak hasil KTD dengan penuh kasih sayang.
Aborsi sangat jarang dijadikan pilihan karena para peserta KB selalu dibekali nilai-nilai oleh
petugas penyuluh, bahwa bagaimanapun anak adalah amanah Tuhan. Dengan pemahaman seperti
itu maka anak harus dirawat dengan kasih sayang meski semula tidak direncanakan. Sementara
itu berdasarkan data Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2007,
sebagian besar KTD di kalangan peserta KB terjadi pada kehamilan anak ke-4 dan seterusnya
yakni 25 persen. Sebaliknya, hampir semua anak pertama merupakan kehamilan yang
direncanakan yakni 93 persen. Tanpa melihat urutan kelahiran, secara umum hampir semua
yakni 80 persen kehamilan di kalangan peserta KB adalah kehamilan yang terencana dengan
baik. Sebanyak 12 persen adalah kehamilan yang diinginkan, namun waktunya tidak tepat karena
terlalu cepat.
Sementara di kalangan remaja belum menikah, 60 persen responden mengaku pernah aborsi baik
disengaja atau spontan (keguguran) saat mengalami KTD (SDKI 2007). Sementara itu 40 persen
responden tetap melanjutkan kehamilan hingga lahir, termasuk yang pernah mencoba aborsi tapi
gagal.