Anda di halaman 1dari 65

EFEKTIVITAS LAYANAN KONSELING PERORANGAN DALAM

PEMULIHAN TRAUMA KORBAN PELECEHAN SEKSUAL

DINAS SOSIAL KABUPATEN 50 KOTA

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (SOS)

Pada Program Prodi Bimbingan Konseling Islam

Oleh

Puja Permata Bunda

1806002015015

PROGRAM STUDI BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT

1443 H/ 2022 M
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma adalah salah satu bentuk tekanan emosional, fisik dan mental, yang

dialami oleh seorang korban dalam suatu kejadian buruk dalam hidupnya. Hal ini

mengakibatkan rasa takut yang berlebihan, dan mengganggu pada kesehatan

mental. Akibatnya korban menjadi orang yang anti sosial, berusaha menutup diri

dari lingkungan sekitar, trauma memberikan dampak berbahaya terhadap korban,

seperti kehilangan jati diri, kehilangan kebahagian yang dulu pernah dirasakan.

(Abrianto, 2018)

Menurut Sri, (2015) trauma adalah suatu tekanan emosional dan psikologis

yang terjadi karena, peristiwa tidak menyenangkan, trauma bisa menimpa siapa

saja tampa memandang umur, dan warna kulit. Sehingga korban akan mengalami

trauma sepanjang waktu, dapat menimbulkan perasaan sakit pada seseorang atau

diri korban, baik disegi fisik maupun mental, bahkan sering menyebabkan

beberapa gangguan emosional, atau psikologis dikemudian hari yang disebut

dengan “post traumatic stress disorder” (PTSD) atau gangguan stress pasca

trauma.

Menurut Willey dan Sons dalam Citra (2015), trauma merupakan keadaan

terjadi akibat peristiwa sangat mengejutkan, dan menakutkan, bersifat mengancam

bahaya fisik atau psikis, bahkan hampir menyebabkan kematian, menurut APA

(American Pstchological Association), sebagian orang yang pernah mengalami

2
trauma, sangat sulit untuk melupakan pengalaman buruk tersebut, sehingga rasa

trauma masih terus dirasakan oleh korban. APS (Australian Psychological

Society), menjelaskan bahwa reaksi setiap orang berbeda-beda dilihat dari segi

trauma yang mereka alami, namun sebagian besar, dapat pulih dari trauma dengan

bantuan keluarga, teman-teman, dan dukungan lingkungan sosial, ada beberapa

pakar psikologis menjelaskan trauma dapat pulih dengan cara rehabilitas atau bisa

dilakukan dengan cara trauma healing.

Trauma Healing adalah, salah satu bentuk proses pemulihan yang sedang

dihadapi oleh para korban, agar bisa pulih dari pengalaman buruk, pentingnya

masa pemulihan, supaya mereka tidak merasa sendiri dalam menghadapi masalah

yang tengah mereka alami. Pemulihan setiap orang memerlukan waktu berbeda-

beda dan tidak bisa diperkirakan sampai kapan trauma tersebut akan hilang

(Kusumandari, 2019).

Trauma pada anak dapat merusak kehidupan pribadinya dalam masa

perkembangan, pertumbuhan bahkan kesehatan mental, muncul dari peristiwa

yang tidak diinginkan, masa seumuran mereka masih memerlukan kasih sayang

dari orang tua, merasakan indahnya dunia bermain, tetapi kenyataanya adalah

mereka harus menghadapi rasa truma dalam pelecehan seksual (Anhusadar, 2016)

Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan fisik termasuk dalam

sebuah tindakan kriminal, pelaku tindakan pelecehan seksual, melakukan hal

tersebut untuk memuaskan hasratnya secara paksa. Pelecehan seksual yaitu

penyalah gunaan hubungan perempuan dan laki-laki yang merugikan salah satu

3
pihak, pelecehan seksual pada anak adalah pemaksaan, ancaman atau

keterperdayaan seorang anak. Dimana orang dewasa atau remaja menggunakan

anak sebagai rangsangan seksual, pelaku pelecehan seksual dapat berasal dari

kalangan keluarga terdekat seperti paman, sepupu laki-laki dan bahkan ayah

kandung (Ratna, 2010).

Pelecehan seksual yang terjadi terhadap anak dapat menyebabkan trauma

berkepanjangan artinya, mereka akan selalu mengingat tentang apa yang telah

terjadi hingga tumbuh dewasa. Merasa dihantui oleh rasa takut dengan perasaan

menyalahkan diri sendri, sehingga menimbulkan kecurigaan kepada orang lain,

dan permasalahan akan berakibat fatal, pada masa tersebut anak sudah mengalami

tindakan pelecehan seksual, tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan

sosial. (Aisyah, 2018)

Akibat dari pelecehan seksual pada anak dapat berupa fisik, psikologis,

maupun sosial, trauma fisik meliputi melihat, meraba, melukukan pencabulan,

pemerkosaan dan berupa luka atau robek pada selaput darah. Pada psikologi

meliputi trauma mental, ketakutan, rasa malu, kecemasan bahkan keinginan atau

percobaan bunuh diri, efek lingkungan sosial yaitu perlakuan sinis dari masyarakat

di sekelilingnya, berusha menutup diri dari lingkungan dan tidak mau mengikuti

aktifitas diluar rumah, mengurung diri dikamar, takut untuk bertemu orang baru.

(Marcheyla, 2013).

Dampak terhadap korban berdasarkan peristiwa dari pelecehan seksual maka

penting adanya Undang-Undang perlindungan anak terkait maraknya pelecehan

4
seksual terjadi di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang nomor (23, 2002)

pasal 1 dan 2 menjelaskan tentang anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak masih dalam kandungan. Pasal 3

menjelaskan tentang perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya

hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat, martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas,

berakhlak mulia, dan sejahtera.

Undang-udang nomor (39, 1999) tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur

perihal hak warga negara untuk bebas dari kekerasan seksual, dalam Pasal 1 ayat 4

menyebutkan penyiksaan adalah setiap perbuatan dilakukan dengan sengaja,

sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmasi

maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan

dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah

dilakukan, atau diduga telah dilakukan.

Maka perlu adanya perlindungan anak juga terkait dengan lima pilar yakni,

orang tua, masyarakat, keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan Negara,

kelimanya memiliki keterkaitan satu sama lain, sebagai penyelenggara

perlindungan anak. Dalam bentuk paling sederhana, perlindungan anak

mengupayakan agar setiap hak anak tidak dirugikan. Perlindungan anak bersifat

melengkapi hak-hak lainnya menjamin, bahwa anak-anak akan menerima apa yang

dibutuhkan agar mereka, dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang. Akan

5
tetapi, pada kenyataannya kondisi anak di Indonesia masih sangat memperhatikan

(Fitriani, 2016).

Demikian juga terjadi di dinas sosial Kabupaten 50 kota dalam kasus

pelecehan seksual, beberapa korban banyak ditemukan pada anak usia 18 tahun ke

bawah akibat dari kasus tersebut, mereka mengalami trauma berkepanjangan.

Setiap korban mengalami trauma berbeda-beda, dampak trauma uang mereka

alami pada kesehatan mental.

Dampak trauma pada kesehatan mental yaitu, perasaan di hantui oleh rasa

takut, tidak mau bertemu dengan orang-orang baru, muncul rasa panik dan cemas

ketika ada orang yang datang untuk bertanya, tentang peristiwa pelecehan seksual

yang terjadi, akibatnya korban sering mengurung diri di dalam kamar. Mengalami

rasa sedih berkepanjangan, munculnya pikiran negatif dan, terlalu sensitif terhadap

banyak hal di sekelilingnya, merasa waspada karena takut akan ada bahaya lain.

Mngalami shock atau terkejut karena tidak bisa percaya dengan kejadian buruk

yang menimpan, tidak bisa mengendalikan diri, terus-menerus teringat kejadian

trauma tanpa bisa dikendalikan oleh perasaan sendiri.

Begitu juga dampak pada lingkungan sosial yaitu, masyarakat selalu

menyalahkan korban tentang hal yang terjadi kepadanya, mereka beranggapan

bahwa korban yang memikat pelaku untuk berbuat demikian, mereka berpikir

bahwa korban menikmati pelecehan yang terjadi, akibatnya diasingkan dari

lingkungan sosial, tidak mau berinteraksi berusaha, menutup diri dari lingkungan

6
sosial yang selalu menyudutkannya, seharusnya mereka di berikan dukungan agar

bisa bangkit dari trauma, dan tidak menyebarkan berita yang membuat korban

semakin terpuruk, mereka butuh dukungan agar bisa sembuh dari trauma.

Oleh sebab itu perlu adanya penanganan trauma, dalam kasus pelecehan

seksual untuk perbaikan mental korban, agar baik secara fisik maupun psikis salah

satu bentuk penangannya adalah melalui layanan bimbingan konseling

perorangan. Konseling perorangan yaitu, salah satu bentuk layanan tatap muka

antara seorang konselor dan klien dalam pengetasan masalah pribadi, dan proses

memberikan bantuan melalui wawancara, bertujuan untuk meringankan beban

seorang klien, agar mereka bisa bercerita tentang peristiwa yang sedang menimpa

dirinya, tugas seorang konselor ialah berusha menciptakan rasa aman, percaya, dan

menyakinkan klien agar masalah tersebut tidak disebar luaskan.

Maka perlu adanya hubungan trauma dengan layanan konseling perorangan

yakni agar dapat membantu para korban dalam pemilihan trauma, dan berusaha

mencari jalan keluar dari permasalahan menimpa para korban, memberikan

layanan agar bisa pulih dari trauma yang mereka hadapi, memberikan dukungan

dan perlindungan supaya mereka kembali pulih dan bisa menlajutkan kehidupan

tampa rasa sedih, dan tersiska oleh rasa trauma.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dirumuskan, masalah yang

dibahas dalam penelitian adalah ”Efektifitas Layanan Konseling Perorangan

7
Dalam Pemulihan Trauma Korban Pelecehan Seksual Di Dinas Sosial Kabupaten

50 Kota.”

C. Batasan Masalah

Dari permasalahan maka diperlukan batsan masalah yakni:

1. Bagaimana pemulihan trauma healing korban pelecehan seksual sebelum dan

sesudah diberikannya tindakan layanan konseling perorangan?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan batasan masalah di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai melalui penelitian yakni untuk mengetahui bagaimana.

1. Pemulihan trauma healing korban pelecehan seksual sebelum dan sesudah

diberikannya tindakan layanan konseling perorangan.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah:

1. Manfaat teoritis

Untuk memperkaya penelitian yang sudah ada sebagai bahan referensi

bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian mengenai efektivitas layanan

konseling individu dalam pemulihan trauma korban pelecehan seksual dengan

lingkup pembahasan yang lebih luas dan dapat menambah pengetahuan.

2. Manfaat Praktis

Bagi para korban dapat memulihkan trauma yang sedang dirasakan oleh

korban, dan dapat kembali seperti kehidupan sebelumnya.

8
3. Bagi dinas sosial Kabaupaten 50 kota, sebagai tujuan dapat mengatasi berbagai

masalah yang sedang ditangani, dan mencari solusi dan infomasi agar korban

bisa nyaman saat memberikan keterangan atau penjelasan

4. Bagi prodi, hasil penelitian di harapkan sebagai bahan acuan bagi penelitian

selanjutnya

F. Definisi Operasional

Untuk memahami pengertian dalam penulisan, dan menghindari dari

kesalahan pemahaman dalam membaca, mengartikan, kalimat dalam penelitian,

maka peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang ada dalam penelitian

sebagai berikut:

Layanan Layanan konseling perorangan, merupakan layanan

konseling yang memberikan bantuan kepada individu dengan

perorangan menggunakan teknik wawancara, antara konselor dan

konseling. Layanan konseling dapat membantu individu

dalam menutaskan masalah yang tengah dihadapi

individu dalam kehidupannya. Layanan konseling

perorangan merupakan suatu hal penting dalam

kehidupan, dengan adanya layanan konseling

perorangan, perilaku menyimpang dapat ditekankan,

sehingga akan terciptakan sikap solidaritas, dalam

melaksanakan layanan konseling perorangan tidak bisa

lepas dari peran dan dukungan orang tua, dan

9
masyarakat. Maka yang dimaksud dengan layanan

konseling perorangan adalah suatu layanan yang

memungkinkan individu untuk mendapatkan layanan

secara langsung (Plastuti, 2017).

Pemulihan Pemulihan trauma adalah suatu hal yang sangat penting

trauma untuk dilakukan bagi mereka pernah, mengalami

peristiwa menyedihkan, menguncang emosi dan mental.

Trauma menurut, kamus psikolog berarti sakit, atau

shock, sering kali berupa fisik maupun mental, dalam

bentuk shock emosi, menghasilkan gangguan lebih

kurang tentang ketahanan fungsi-fungsi mental. Taruma

healing secara bahasa memiliki arti penyembuhan,

sehingga disimpulkan bahwa trauma healing adalah

suatu proseses pemberian bantuan berupa penyembuhan

dalam mengatasi gangguan psikologis seperti

kecemasan, dan gangguan lainnya. (Parebong, 2021).

Trauma healing merupakan salah satu kebutuhan

khusunya bagi korban pelecehan seksual, dengan

menggunakan terapi healing korban diharapkan dapat

berangsur pulih dari trauma yang dialami dalam

hidupnya. Karena trauma merupakan sebuah kejadian

10
emosional dan fisik dapat dikatakan serius karena

mengakibatkan kerusakan terhadap fisik dan mental

seseorang dalam rentang waktu cukup lama, trauma

dapat menyebabkan kondisi emosional yang dapat

berkembang, karena adanya sebuah peristiwa kurang

berkenan, menyedihkan, dan menakutkan, sehingga

trauma bisa dapat terjadi dalam keadaan batin tertekan

(Rahma, 2018).

Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk bisa

mengatasi trauma pada korban pelecehan seksual,

diantaranya adalah: teknik releksasi, merupakan teknik

dilakukan untuk anak sampai menjadi nyaman dengan

diri dan jiwanya. Teknik mengeksperesikan emosi

untuk anak yang mana, bisa mencurahkan semua isi hati

sedang dirasakan. Truma healing diberikan kepada

seseorang mengalami stress diakibatkan oleh pelecehan

seksual, sedangkan pemulihannya memerlukan waktu

yang cukup lama, tergantung pada diri seseorang

tersebut selama masih mengikuti proses trauma healing

yang dilaksanakan (Citra Widyastuti, 2019).

Pelecehan Pelecehan seksual merupakan segala kegiatan terdiri

dari aktivitas seksual yang dilakukan secara paksa oleh

11
seksual orang dewasa atau oleh anak kepada anak lainnya.

Pelecehan seksual meliputi penggunaan atau melibatkan

anak secara langsung dalam kegiatan seksual, bujukan

ajakan atau paksaan terhadap anak untuk terlibat dalam

kegiatan seksual. Pelecehan seksual pada anak yaitu

“hubungan atau interaksi antara anak dengan orang

lebih tua atau dewasa seperti orang asing, saudara

kandung maupun orang tua dimana anak dijadikan,

sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksualnya,

perbuatan dilakukan dengan menggunakan paksaan,

ancaman, maupun tekanan (Novia Putri Rahayu, 2021).

Dinas Sosial Dinas sosial Kabupaten 50 kota terletak di Kecamatan

Kabupaten 50 Payakumbuh, Kabupaten lima puluh kota, Kota

Kota payakumbuh, Provinsi Sumtra Barat. Dinas sosial yang

terletak di Jl. Soekarno-Hatta, Balai Nan Duo,

Kec.Payakumbuh Barat, kodepos 26223, yang berada di

pusat kota, dinas sosial di pimpin oleh bapak Harmen,

S.H.

Dinas sosial memiliki tim pekerja sosial merangkap

seluruh kasus yang terjadi, dan langsung turun ke

lapangan dengan rekan-rekan kerja, di perintahkan

langsung oleh bapak Indra Syamsualis, S.Sos, sebagai

12
kabid rehabilitas sosial.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan, membahas tentang latar belakang, rumusan masalah,

batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematis penulisan.

BAB II : Tinjauan pustaka, membahas tentang pertama efektivitas layanan

konseling perorangan, kedua membahas tentang pemulihan trauma pelecehan

seksual.

BAB III : Metode penelitian, subjek penelitian, sumber data, teknik pengumpulan

data dan metode analisis data.

BAB IV : Hasil penelitian dan pembahasan tentang bagaimana layanan

konseling perorangan dalam pemulihan trauma pelecehan seksual, bagaimana

cara mengatasi pemulihan trauma pelecehan seksual, bagaimana efektivitas

pemulihan trauma pelecehan seksual.

BAB V : Kesimpulan dan saran.

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Trauma Healling

13
1. Pengertian Trauma Healling

Kata trauma, berasal dari kata bahasa Yunani tramatos yang berarti luka

yang bersumber dari luar, trauma memiliki pengertian ganda, yakni secara

medis dan psikologis. Trauma dalam paradigma medis adalah seluruh aspek

trauma fisik, yaitu trauma pada kepala atau bagian tubuh lainya yang juga,

dikenal sebagai cedera atau gangguan fungsi normal bagian tubuh berasal, dari

benturan keras dari benda tumpul maupun tajam (Mardiyati, 2015).

Trauma adalah jiwa atau tingkah laku tidak normal akibat, tekanan jiwa

atau cedera jasmani karena mengalami kejadian sangat membekas dan tidak

bisa dilupakan. Trauma dapat terjadi pada anak yang pernah menyaksikan,

mengalami, merasakan langsung kejadian mengerikan atau mengancam jiwa,

seperti kecelakaan, bencana alam, kebakaran, kematian seseorang, kekerasan

seksual, dan pertengkaran hebat orang tua (Hanik, 2017).

Kesimpulan dari trauma adalah tekanan emosional dialami oleh individu,

yang tengunjang jiwa dan mental dalam luka sangat dalam, mengalami

kesakitan atau shock pada fisik, berakibat timbulnya gangguan serius.

Trauma healing adalah proses pemulihan trauma dialami oleh korban,

dalam peristiwa dimasa lalu, dalam masa pemulihan dimulai dengan melibatkan

para korban dalam proses komunikasi cukup baik, dimana setiap korban

menceritakan pengalaman yang tengah terjadi. Namun hal pertama dilakukan

adalah berusaha membangkitkan rasa aman dan percaya dalam diri mereka,

dengan cara melakukan pendekatan. Perasaan aman akan mendorong seseorang

14
untuk mengungkapkan dirinya, serta menceritakan secara detail pengalaman

negative yang pernah mereka alami (Natar, 2019).

2. Gejala-gejala trauma

Taniza yang dikutip dari Kusmawati Hatta, (2015) menyatakan bahwa

gejala trauma dapat dilihat dari:

a. Gejala Fisik

Gejala fisik yang sering timbul pasca trauma adalah:

1) Tubuh terasa panas, artinya anak mengalami deman dengan suhu badan

sedikit meningkat, sehingga anak mengalami badan yang menggigil di

sertai dengan keringan.

2) Tenggorokan kering biasanya anak menjadi, malas makan, sulit untuk

menelan, bahkan mulut terasa pahit, dan tidak memiliki nafsu makan, dan

berakibat pada kesehatannya seperti mengalami penurunan berat bedan.

3) Merasakan kelelahan, dimana merekan akan mudah merasakan kelelahan,

meski anak tersebut tidak melalakukan aktifitas, badan yang terasa sakit

saat akan tidur, sehingga anak menjadi tidak nyaaman dengan keadaan

dirinya sendiri.

4) Perut terasa mual, biasanya perut tidak nyaman, akan menyebabkan rasa

mual atau ingin muntah saat memakan makanan yang sedang dimakan.

5) Badan terasa lemah, anak akan merasa gelisah, rewel, jika kondisi

badannya tidak stabil, dada terasa sakit sehingga, mengkibatkan susah

15
untuk bernapas, detak jantung lebih cepat dari sebelumnya yang akan

menyebabkan akan kehilangan kesadaran diri.

b. Kognitif.

Gejala trauma kognitif merupakan masalah satu gangguan

kecemasan saat korban mengalami pelecehan seksual, gejala yang sering

terjadi adalah:

1) Suka keliru, dan tidak percaya lagi dengan orang lain, bahkan dengan

keluarga terdekat sendiri.

2) Mengalami mimpi buruk, saat tidur sehingga anak tidak mersakan

kenyaman, takut dihantui oleh peristiwa pelecehan yang sempat

terjadi kedapa dirinya, anak mengalami stress dibawah alam

sadarnya.

3) Suka menyalahkan orang lain, dan pikiran menjadi tidak terkontrol,

saat anak mengalami taruma anak akan sering berpikir negatif dan

akan sulit untuknya bisa kembali kepikiran positif.(Anita, 2021)

c. Pada efektif (emosi)

Pada efektif gejala trauma yang sering muncul pada anak adalah:

1) Takut, artinya anak sering memperlihatkan ketakutan kepada sesuatu,

mengingatkan ke arah peristiwa pelecehan seksual yang telah terjadi,

misalanya: takut kepada ayahnya sendiri.

2) Persaan bersalah, anak memperlihatkan perasaan yang menunjukkan,

dirinya bersalah sehingga suka menghindar, tidak mau bertemu orang

16
lain, mengalami rasa terkejut berlebihan, sehingga kadang-kadang

tidak tahu berbuat apa.

3) Tidak bisa menerima keadaan dirinya, atas peristiwa yang telah

terjadi, merasa dirinya kotor dan tidak suci.

4) Sering murung, artinya anak suka menyendiri, dalam kondisi pikiran

yang kosong, dan sering merasakan sedih (Putri, 2015)

d. Pada perilaku

Pada perilaku, gejala trauma yang sering dimunculkan:

1) Menolak, semua pemberian orang baik dari keluarga terdekat maupun

orang lain, meski itu berupa benda maupan sebuah makanan.

2) Tidak mau bergaul dengan teman yang seumuran, mengurung diri di

dalam kamar, berusaha menutup diri dari laingkungan sosial.

3) Tidak adanya keinginan keluar dari rumah tampa melakukan aktifitas

yang bermanfaat bagi dirinya, tidak suka berkegiatan tentang hal

berhubungan dengan lingkungan sosial, menjadi anak pendiam,

mudah tersinggung dan serinag marah.

Berdasarkan empat aspek di atas, maka dapat dikatakan anak-anak

akan mengalami tanda-tanda trauma seperti hal tersebut. Akan tetapi tidak

semua gejala–gejala di atas dialami oleh anak-anak. Karena sistem tersebut

tergantung pada tingkat truma yang sedang dialami oleh korban, maka

pemulihannya, juga berbeda setiap anak (Suryatningsih, 2018).

3. Ciri-Ciri Trauma

17
Beberapa pakar psikologi atau psikiater merumuskan beberapa keadaan

sebagai tolak ukur mengidentifikasi seseorang dalam kondisi menderita trauma,

bahwa ciri-ciri trauma menyebabkan stress berat ialah sebagai berikut:

a. Akan menimbulkan gejala-gejala penderitaan bagi hampir setiap korban.

penghayatan yang berulang dari trauma sendiri seperti: Ingatan yang selalu

menonjol tentang, peristiwa terjadi kepadanya.

b. Selalu bermimpi berulang-ulang, dan timbulnya perasaan tiba-tiba, seolah-

olah peristiwa tersebut sedang timbul kembali, berkaitan dengan faktor

lingkungan (Hawari ,1996).

c. Destyawanti, (2021) menyebutkan bahwa berkurangnya hubungan dengan

dunia luar mulai beberapa waktu sesudah terjadinya trauma

d. Menumbuhkan prasangka tidak baik terhadap lingkungan sosial dan efek

membuat korban menjadi murung, sedih dan putus asa. Contohnya seperti:

merasa tidak nyaman, saat berada di luar rumah, rasa takut seketika masalah

akan muncul kembali, gangguan tidur disertai mimpi dan gangguan gelisah,

kurangnya daya ingat atau tidak bisa berkonsentrasi saat pembelajaran, dan

hal lainnya, peningkatan gejala apabila dihadapkan pada peristiwa

menyerupai peristiwa trauma.

4. Aspek-Aspek Traumaa

Aspek-aspek trauma disusun berdasarkan empat aspek, yaitu:

a. Kekerasan emosional

18
Kekerasan emosional dapat diartikan sebagai sikap atau perilaku

menganggu perkembangan sosial atau kesehatan mental anak. Kekerasan

emosional juga disebut sebagai kekerasan verbal, atau juga kekerasan

psikologis. Terdapat efek jangka panjang dari kekerasan emosional,

berakibat buruk bagi perkembangan pada masa remaja, dan sampai hingga

masa dewasa, perilaku anak mungkin akan menjadi antisosial. Kemungkinan

lain adalah akan terlibat dalam penganiayaan baik secara fisik maupun

emosional (Wulandari, 2018)

b. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual merupakan hubungan atau interaksi antara seorang

anak dengan yang lebih tua, atau orang dewasa seperti orang asing, saudara

sekandung atau bahkan orang tua sendiri. Anak dipergunakan sebagai objek

pemuas kebutuhan seksual pelaku, perbuatan dilakukan dengan paksaan,

ancaman, tipuan, bahkan tekanan. Kegiatan kekerasan seksual tersebut tidak

harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan korban (Bahri, 2015)

c. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik terjadi ketika orang tua atau pengasuh melakukan

tindakan tersebut terhadap anak, mereka akan selalu mengingat dan

merekam dimemorinya atas perlakuan yang sedang dialami, segala bentuk

penyiksaan fisik terjadi ketika frustasi atau marah, kemudian melakukan

tindakan-tindakan agresif secara fisik, berupa cubitan, pukulan, tendangan,

menyulutkannya dengan asap rokok. Efek penyiksaan berulang-ulang dalam

19
jangka waktu lama, akan menimbulkan cedera serius, meninggalkan bekas

baik fisik maupun psikis, anak menjadi menarik diri dari lingkungan sosial,

dan merasa tidak aman saat berada dirumah (Wulandari, 2018).

d. Penyiksaan emosional

Penyiksaan emosi terjadi ketika orang tua meluapkan emosi kepada

anaknya secara sengaja, dan membiarkannya meminta perhatian, dan

mengabaikan anaknya. Penyiksaan emosi seperti: menyiksa, membiarkan

anak basah atau lapar karena orang tua terlalu sibuk atau tidak ingin

diganggu waktunya.

Orang tua secara emosional berlaku keji pada anaknya, akan terus

menerus melakukan hal yang sama sepanjang kehidupan sampai dewasa.

Kekerasan emosi juga disebut sebagai penyiksaan emosi, penyiksaan emosi

adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain.

Dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak

berharga untuk dicintai dan dikasihi. Anak terus menerus dipermalukan,

dihina, diancam atau ditolak akan menimbulkan penderitaa tidak kalah

hebatnya dari penderitaan fisik (Nurrahmi, 2015)

5. Penyebab terjadinya trauma

20
Menurut Kartini Kartono dalam Cahya (2020) sebab-sebab trauma adalah

pernah mengalami ketakutan yang hebat, ketika seorang mengalami peristiwa

sama, dan ditimbulkan kemudian direspon oleh ketakutan, walaupun ada usaha-

usaha untuk menekankan, memberikan respon tersebut. Disamping faktor

peristiwa terjadi, hal memicu munculnya gangguan stres paska kejadian trauma

adalah ketidak berdayaan individu, seseorang tidak memiliki keterampilan

untuk bertindak dalam membela dirinya akan cenderung mudah mengalami

trauma.

Keadaan mental dan fisik individu sebelum terjadinya peristiwa trauma

juga turut berperan, bagi kesehatan mental dan fisik individu kurang bagus

maka akan terpendam kedalam dirinya. Begitu juga mekanisme pertahanan

masing-masing, sangatlah menentukan apabila pertahanan mentalnya kuat maka

peristiwa-peristiwa trauma tidak akan berpengaruh, apabila mekanisme

pertahanan mental individu lemah, maka peristiwa tersebut bisa menjadi

peristiwa menyedihkan atau sebuah bencana dalam hidupnya.

B. Layanan Konseling Perorangan

1. Pengertian layanan konseling perorangan

Layanan konseling perorangan menurut Prayitno dalam Budiman, (2018)

adalah suatu proses konseling yang dilakuan oleh seorang konselor kepada

seorang klien bertujuan untuk mengetahui, masalah terjadi dan mencari jalan

keluar dari masalah tersebut, konseling perorangan dilakukan oleh dua orang

atau empat mata didalam sebuah ruangan yang tidak bisa didengar oleh orang

21
lain. Konseling perorangan merupakan suatu hal penting dalam pendidikan

dengan adanya layanan perorangan, perilaku menyimpaang dapat ditekan

sehingga akan terciptakan sikap soladaritas.

Menurut Nursalim dan Suradi dalam Erawati, (2015) mengatakan bahwa

layanan dan konseling perorangan memungkinkan seseorang mendapat layanan

tatap muka secara perorangan dengan seorang konselor, pembimbing dalam

rangka pemabahasan pengetahuan, permasalahan, dalam pelaksanaan layanan

konseling perorangan tidak bisa lepas dari peran orang tua, dan masyarakat.

Menurut Sukardi (2010) mengatakan bahwa layanan konseling perorangan

adalah layanan langsung tatap muka dalam rangka pembahasan, pengetasan

permasalahan pribadi dialami korban dalam pelecehan seksual. Dengan dasar

pemahaman potensi psikologis yang dimiliki, seorang konselor dapat bekerja

sama dengan konseli untuk melakukan perencanaan individual mengenai masa

depan studi dan kariernya dalam perencanaan karier yang dilakukan bisa satu

visi dan satu tujuan. Secara khusus layanan konseling perorangan yaitu layanan

membantu seseorang dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya

Pengertian layanan konseling perorangan menurut Prayitno dan Amti

dalam Putra (2019) adalah cara konselor, dalam memberikan pertolongan

melalui wawancara kepada klien nantinya diharapkan dapat mengatasi masalah

yang ada didalam diri seorang klien.

Pendapat Sofyan (2013), layanan konseling perorangan adalah pertemuan

dengan konseli secara individual, dimana terjadi hubungan konseli yang

22
bermakna, dan konseli berupaya memberikan bantuan, untuk pengembangan

masalah pribadi klien dan konseling dapat mengantisipasi masalah-masalah

yang dihadapinya, masalah yang bersifat pribadi dan rahasia.

Konseling berarti orang (konselor dan konseli) untuk menangani masalah

konseli, didukung oleh keahlian dan dalam suasana laras dan integrasi,

berdasarkan norma-norma berlaku untuk tujuan yang berguna bagi konseli

( Sitorus, 2021)

Jadi layanan konseling perorangan adalah melakukan wawancara antara

seorang konselor dan seorang konseling. konseling individu bisa diartikan

proses membantu konselor kepada klien mendapat apa yang menjadi tujuan

masalah dan upaya mengembangkan pribadi klien dalam menjadikan diri klien

bisa beradaptasi dan dapat melakukan penyesuain dengan lingkungan sosial dan

moral.

Al-Qur’an menerangkan adanya konseling dalam Islam sesuai dengan

firman Allah:

        


     
Artinya: “Dan kami turunkan dari Al-qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar
dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang
zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian”. (QS: AL-
Isra: 82).
Dalam Tafsir dari Al-Mukhtashar mengatakan: dan kami turunkan dari Al-

Qur’an sesuatu yang menjadi obat penawar bagi hati dari penyakit kebodohan,

kekafiran dan keraguan, dan sesuatu menjadi obat bagi badan bila melakukan

23
ruqyah dengannya juga, dari Al-Qur’an itu kami turunkan sesuatu menjadi

rahmat bagi orang-orang mukmin beramal dengannya. Dan Al-Qur’an ini

tidaklah menambah pada orang-orang kafir kecuali kebinasaan, karena

mendengarkannya membuat mereka semakin dengki, semakin mendustakan dan

berpaling darinya.(Abdullah, 2013)

Makna dari ayat diatas yakni Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai bahan

pembelajaran untuk menata hidup menjadi lebih baik dan teratur bagi orang-

orang berpegang teguh kepada Al-Qur’an, bagi siapa tidak berpedoman dan

berpegang teguh kepada Al-Qur’an, hidupnya akan menjadi tidak tentram, akan

selalu merasakan kecemasa, kegundahan dan kegelisahan.

2. Tujuan Layanan Konseling Perorangan

Tujuan layanan konseling individu menurut Gibson Mitchell dan Basile

dalam Robert (2016) menyebutkan tujuan layanan konseling individu atau

perorangan adalah:

a. Memberikan perkembangan yaitu memberikan bantuan kepada seorang klien

dalam proses pertumbuhan, perkembangan, memperhitungkan hal-hal yang

mungkin terjadi dalam proses tersebut, antara lain perkembangan kehidupan

pribadi, sosial, emosional, fisik kognitif dan lain-lain.

b. Preventif atau pencegahan adalah seorang konselor memberikan bantuan

kepada seorang klien, untuk mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan oleh

seorang klien. Seperti masalah pelecehan seksual, konselor memberikan

pengarahan bahwa, sebagai perempuan tidak boleh berpergian sendiri, selalu

24
berusaha berhati-hati di manapun berada, hal tersebut merupakan hal

pencegahan agar, tidak terjadinya pelecehan seksual (Suryadi, 2019).

c. Tujuan layanan konseling perorangan yakni ada dua yaitu: Penyelidikan

adalah mencari, menumukan masalah yang terjadi kepada seorang klien, dan

membantu dalam menyelesaikan masalah. Contohnya menyelidiki sebuah

kasus pelecehan seksual yang tengah terjadi dilingkungan sosial, melakukan

wawancara langsung, dengan korban pelecehan seksual secara perorangan .

d. Psikologis yakni memberikan bantuan dalam mengembangkan keterampilan

sosial yang baik, belajar dalam mengontrol emosi, mengembangkan konsep

diri positif dan sebagianya (Factuhurahman, 2017).

3. Fungsi Layanan Konseling Perorangan

Fungsi layanan konseling individu menurut Prayitno, dalam Suhertina

(2014) mengemukakan fungsi khusus konseling yaitu:

a. Pemahaman

Fungsi pemahaman yaitu fungsi pelayanan konseling perorangan

mengarahkan kepada pemahaman klie, baik mengenal diri maupun

lingkungan. Pemahaman tentang diri dimaksud meliputi kepribadian, bakat,

minat, pemahaman tentang lingkungan mencakup hubungan sosial,

pemahaman mengenai informasi lain dibutuhkan mencakup informasi

pendidikan, dan karier. Seperti contohnya seorang konselor bisa merasakan

dam memahami apa yang sedang dirasakan oleh seorang klien memberikan

25
dukungan terhadap masalahnya, dan mencari jalan terbaik dari permasalahan

tersebut.

b. Pencegahan atau Preventif

Fungsi pencegahan dari layanan koseling perorangan adalah dapat

membantu klien, agar dapat terhindar dari berbagai permasalahan yang

muncul, mengakibatkan dapat mengganggu, menghambat, dan bahkan

menimbulkan kesulitan bagi konseling dalam malukukan pencegahan

terhadap masalah klien. Menghindari timbulnya permasalah baru sedang

dihadapi oleh seorang klien, meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah, memberikan penilaian positif terhadap diri sendiri dan dukungan

dari kelompok maupun lingkungan. Seperti contohnya seorang klien

berusaha mengatasi masalah dari pelecehan seksual, melakukan pencegahan

agar klien tidak berlarut dalam kesedihan yang tenngah dirasakan. (Yeni,

2019).

c. Fungsi Pengentasan

Pengentasan yaitu membatu klien dalam menyelesaikan permasalah

tengah dihadap klien, seperti masalah pelecehan seksual dihadapi klien,

mencari jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi, memberikan solusi,

agar klien dapat berusaha menghilangkan rasa trauma tengah dirasakan,

yaitu membantu mengeluarkan klien dari permasalah sedang melandanya

dengan berdasarkan diagnosis dan teori-teori konseling. Tugas seorang

26
konselor yaitu membantu menyembuhkan kondisi agar bisa keluar dari

trauma, memberikan dampak negatif kepada dirinya.

d. Pemeliharaan

Fungsi pemeliharaan, adalah fungsi dalam konseling individu dapat

membantu seorang klien agar memiliki kemampuan untuk memelihara,

mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki. masalah-masalah mungkin

akan timbul serta akan menambah masalah baru bagi seorang klien, yaitu

memelihara sesuatu yang baik pada diri individu baik hal itu merupakan

pembawaan dari dirinya sendiri ataupun hasil-hasil perkembangan yang

telah dicapai selama ini.(Kityah, 2015)

e. Fungsi advokasi

Advokasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meghasilkan

kondisi pembelaan terhadap individu atas pengingkaran hak-hak dialami

oleh klien, contohnya yaitu melanggar UUD tentang perlindungan anak, dan

melakukan tindakan pelecehan seksual (Abdurrahman, 2019) .

4. Teknik layanan konseling perorangan

Teknik layanan konseling perorang di bagi dalam beberapa teknik yaitu:

a. Teknik attending

Merupakan salah satu teknik dalam kegiatan konseling individual,

teknik dilakukan oleh seorang konselor dalam upaya membangun rasa aman

dan kenyamanan dalam diri klien, sehingga memudahkan klien untuk

27
berekspresi secara bebas. Perilaku Attending meliputi kontak mata, gesture

tubuh atau gerak tubuh, dan bahasa verbal (sukri, 2019).

b. Teknik Empati

Empati merupakan kemampuan individu dalam memahami dan ikut

merasakan kondisi dialami oleh orang lain baik, yang dikenalnya ataupun

tidak. Melalui empati hubungan interpersonal, akan semakin harmonis

dilandasi saling pengertian, saling menghargai, dan saling menghormati.

Oleh karenanya, krisis empati melanda generasi Indonesia pada saat ini

adalah masalah penting yang harus diperhatikan dan dicari, solusinya baik

dalam konteks bermasyarakat maupun dalam upaya pendidikan (Sutanti,

2015) .

Empati merupakan dasar dari kecerdasan moral, mengasah kepekaan

individu, terhadap perbedaan sudut pandang dan pendapat orang lain, empati

berperan meningkatkan sifat kemanusiaan, dan moralitas, empati merupakan

emosi mengusik hati nurani seseorang, ketika melihat orang lain kesusahan.

Sikap empati juga membuat seorang menunjukkan toleransi dan kasih

sayang, memahami kebutuhan orang lain, serta mau membantu orang lain

yang sedang dalam kesulitan.

c. Teknik Refleksi

Pengertian teknik refleksi adalah teknik dilakukan oleh konselor untuk

memantulkan kembali perasaan kepada klien tentang, pikiran, dan

pengalaman klien, sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan

28
non verbal, teknik refleksi digunakan dalam mengembangkan keterampilan

yang dimiliki oleh konselor sehingga seorang klien merasa nyaman saat

berbicara, teknik refleksi digunakan untuk meningkatkan sikap untuk

membantu seorang konselor dalam memecahkan masalah dihadapi, terutama

berkaitan dengan masalah sikap respek, disamping itu juga, teknik refleksi

diri dapat berfungsi untuk membantu konselor dengan cara memberikan

informasi tentang kondisi, dan perkembangan seorang klien (Novitasari,

2020)

d. Teknik Eksplorasi

Teknik konseling eksplorasi adalah suatu keterampilan untuk menggali

perasaan, pengalaman, dan pikiran klien, hal ini penting, karena kebanyakan

klien menyimpan rahasia batin, menutup atau tidak mampu mengemukakan

pendapatnya dengan terus terang.

Teknik konseling ekplorasi digunakan untuk menggali perasaan klien,

eksplorasi memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut,

tertekan, dan terancam ( IsnaniI, 2020)

e. Teknik Parafrase

Teknik Parafrase adalah keterampilan mendengarkan empati kognitif

yang paling penting. Persingkat atau klarifikasi inti dari apa yang baru saja

dikatakan, tetapi pastikan untuk menggunakan kata-kata utama saat anda

memparafrasekan. Parafrase sering kali diumpankan kembali ke klien

dengan nada suara yang mempertanyakan, biasanya beberapa kalimat, terus

29
memberi umpan balik pada kata-kata dan frasa kunci, tetapi menangkap, dan

menyaring esensi kognitif dari apa yang dikatakan klien. Lalu, klien akan

merasa didengarkan, mereka cenderung memberikan lebih banyak detail

tanpa mengulang cerita yang sama persis. Mereka juga menjadi lebih jernih

dan terorganisir dalam berpikir. Jika parafrase tidak akurat, klien memiliki

kesempatan untuk mengoreksinya ( Istiqomah, 2021).

5. Azas-Azas Layanan Konseling Perorangan

Azas-azas layanan konseling perorang dibagi dalam beberapa azas yaitu:

a. Pengertian Asas Keterbukaan

Asas keterbukaan adalah asas menghendaki klien menjadi sasaran

layanan atau kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam

memberikan keterangan tentang dirinya sendiri, maupun dalam menerima

berbagai informasi, dan materi dari luar yang berguna bagi mengembangkan

dirinya (Syafaruddin, 2019).

Dalam hal ini konselor berkewajiban mengembangkan keterbukaan

terkait terselenggaranya asas kerahasiaan, adanya kesukarelaan pada diri

individu, agar klien dapat terbuka dan tidak berpura-pura saat menceritakan

masalahnya. Asas keterbukaan, yaitu Asas keterbukaan, yaitu asas yang

menghendaki agar individu, menjadi sasaran layanan bersifat terbuka dan

tidak berpura-pura (Tarmizi, 2018). Konseling diharapkan mampu,

membuka diri untuk kepentingan dalam, pemecahan masalah dan, mau

menerima saran-saran dan masukan dari pihak luar.

30
b. Asas kerahasiaan

Asas kerahasiaan memegang peranan penting dalam konseling

perorangan, karena masalah yang dibahas dalam konseling perorangan

bersifat pribadi, maka setiap individu diharapkan bersedia menjaga semua

pembicaraan ataupun tindakan, dalam kegiatan konseling perorangan

(Mulkiyan, 2017).

c. Asas Kesukarelaan

Dalam proses layanan bimbingan konseling perorangan diperlukan

suasana sukarela, sukarela maksudnya bahwa dalam pelaksanaan konseling

tidak adanya paksaan dari siapapun. Karena seorang klien, diharapkan secara

sukarela, dapat menceritakan atau menjelaskan masalah dialaminya kepada

konselor, dan konselor hendaknya memberikan bantuan dengan ikhlas tanpa

adanya paksaan (Aufadilla, 2020).

d. Asas Kemandirian.

Asas kemandirian, bertujuan untuk memberi kemandirian didalam diri

klien, ciri-ciri kemandirian tersebut yaitu mengenal dan menerima diri

sendiridan lingkungan, mampu mengambil keputusan. Konseling hendaknya

mampu mengarhkan semua pelayanan bimbingan dan konseling, di

selenggarakan bagi berkembangnya kemandirian sosial klien (Haryatri,

2019).

C. Korban Pelecehan Seksual

31
Pelecehan seksual adalah salah satu perilaku bertentangan dengan Undang-

Undang, baik hanya berupa tindakan mengancam atau tindakan yang sudah

mengarah kepada tindakan nyata, mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik,

benda, atau juga bisa menyebabkan kematian seseorang. Pada kasus kekerasan

seksual tidak hanya menyerang pada kekerasan fisik, tetapi secara tidak langsung

juga menyerang mental korban. Dampak mental dialami korban akibat adanya

kekerasan seksual tidak mudah dihilangkan dibandingkan dengan kekerasan fisik

yang di alami, dibutuhkan waktu cukup lama agar korban benar-benar pulih dari

kejadian yang dialaminya (Savitri, 2020)

Pelecehan seksual dapat diartikan sebagai terjadinya pendekatan seksual

tidak diinginkan oleh seseorang terhadap orang lain, pendekatan seksual dilakukan

tidak harus selalu bersifat fisik, namun juga dapat berbentuk verbal. Oleh karena

itu, pelecehan seksual dapat hadir dalam berbagai bentuk, contohnya seperti

pemerkosaan, menyentuh badan orang lain dengan sengaja, ejekan atau lelucon

mengenai hal-hal berbau seksual, pertanyaan pribadi tentang keidupan seksual,

membuat gerakan seksual melalui tangan atau ekspresi wajah (Pamungkas, 2020).

Korban sering juga disalahkan, oleh masyarakat bahwasanya korban dapat

menikmati pelecehan seksual, ketika korban sudah berani melaporkan kasus yang

terjadi padanya, tidak jarang pula aparat ataupun pihak berwajib tidak menanggapi

laporan tersebut, dan tidak serius dan menganggap remeh. Perlindungan, perhatian

terhadap kepentingan korban pelecehan seksual baik melalui proses peradilan

maupun melalui sarana kepedulian sosial, merupakan bagian mutlak perlu di

32
pertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan sosial, baik lembaga

sosial yang ada maupun lembaga kekuasaan negara (Paradiaz dkk, 2022)

Jadi kesimpulannya pelecehan seksual dirumuskan dengan permekosaan dan

pencabulan dirumuskan di dalam kitab Undang-Undang, hukuman sebagai

tindakan pidana menghilangkan kehormatan perempuan, tetapi pelecehan seksual

sudah masuk ke dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Pelecehan seksual terjadi dalam lingkungan sosial mendapatkan perhatian

khusus dari pemerintah daerah. Setiap korban harus diberikan perlindungan dan

pendampingan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang

perlindungan saksi dan korban. Begitu juga dengan tim investigasi harus

memperhatikan keadaan psikologis korban, bersikap adil, tidak memojokkan

korban. Kemungkinan besar dapat menyelesaikan masalah pelecehan seksual di

dalam lingkungan sosial yang mendapatkan reputasi baik dari publik (J. C. Sitorus,

2019)

D. Penelitian Relevan

Ditemukan beberapa penelitian yang relevan dengan tema efektivitas

layanan konseling perorangan dalam pemulihan trauma korban pelecehan seksual

dinas sosial kabupaten 50 kota. Diantaranya, skripsi Agus Riyanto, berjudul

“Pelayanan bimbingan dan konseling bagi anak korban pelecehaan seksual di

P2TP2A lamban ratu agom Kabupaten (Studi Kasus di P2TP2A Lamban Ratu

Agom Kabupaten Tanggamus)”. Fakultas dakwah dan ilmu komunikasi

Universitas Islam Negri Raden Intan Lampung. Mengatakan bahwa P2TP2A

33
lamban ratu agom dibentuk untuk menangani atau memantu korban kekeraan baik

kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual pada anak.

Pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A)

dalam memenuhi hak korban yaitu hak atas kebenaran hak atas perlindungan, hak

atas keadilan dan hak atas pemulihan atau pemberdayaan serta mewujudkan

kesejahteraan keadila, kesetaraan gender diberbagai bidang kehidupan perempuan

dan anak secara menyeluruh, tim pendamping melakukan kunjungan rumah (home

visit) dan setelah tiba dirumah korban, tim pendamping menjelaskan maksud dan

tujuan P2TP2A untuk membantu menyelesaikan permasalahan korban melalui

mediasi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial melalui konseling dan reintegrasi

sosial. Kemudian P2TP2A sebelum melakukan tindakan penanganan, terlebih

dahulu menawarkan terhadap korban untuk didampingi secara advokat melalui

jalur hukum (Riyanto, 2019)

Kemudian skripsi yang berjudul “Metode konseling dalam pendamping

anak korban pelecehan seksual di P2TP2A Kabupaten Pringsewu”. Membahasa

tentang korban pelecehan seksual terutama pada anak dapat menyebabkan anak

akan kehilangan hal-hal paling mendasar dalam kehidupannya seperti kegagalan

belajar, masalah pendidikan termasuk dropt-out dari sekolah, kesehatan fisik dan

mental buruk, gangguan emosional bahkan dapat mengganggu kepada kepribadian

berdampak sangat serius pada kehidupan anak dikemudian hari. Maka perlu

adanya penanganan tepat bagi korban yaitu berupa konseling diterapkan dalam

34
proses pendampingan untuk pemulihan anak mendapatkan perlakua salah secara

seksual. Tujuaan penelitian yaitu bisa memberikan nasihat untuk mengembalikan

pemahaman diri korban baik secara individu maupun keluarga, kepada para

korban pelecehan seksual. (Homsatun, 2018).

Kemudian artikel dari Amriana (2018). Berjudul “Layanan konseling realitas

untuk menangani pos traumatic stress disorder (PTSD) pada anak korban

pelecehan seksual”. Dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak,

maka meningkat pula pelayanan pendampingan di butuhkan oleh para korban.

Perlu ditekankan bahwa anak selalu membutuhkan bantuan dalam menyesuaikan

diri dan mengembangkan kesehatan mentalnya secara utuh. Tetapi yang terjadi,

mereka tidak lagi dengan mudah mendapatkan bantuan tersebut namun sebaliknya,

mereka menghadapi beberapa hambatan fungsi perkembangan akibat pelampiasan

emosi dan agresif, tidak semestinya dilakukan oleh orang dewasa.

Pada umumnya kasus kekerasan pada anak memicu adanya peningkatan

dampak negatif pada diri anak, tindakan kekerasan dilakukan oleh pelaku,

dilakukan oleh orang tua, guru, maupun lingkungan. Beberapa dampak negatif

ditimbulkan dapat berupa, resiko kesulitan dalam penyesuaian diri, bersosialisasi,

stress, depresi, merasa terasingkan dan tidak diterima, kehilangan keinginan

untuk bermain bersama teman sebaya.

E. Hipotesis

35
Hipotesis adalah suatu dugaan sementara yang harus dibuktikan keberannya

melalui penelitian ilmiah, hipotesis adalah jawaban dari sebuah pertanyaan, untuk

memastikan kebenaran pendapat ini suatu hipotesis harus diuji. Untuk menguji

keberannya diperlukan data yang kemudian diolah dan dihitung menggunakan

rumus statistik dengan tujuan untuk memperoleh kesimpulan dan hipotesis

digunakan bisa diterima atau ditolak.(Muri, 2014)

Pengertian hipotesis menurut Gunawan, (2009) merupakan jawaban atas

pertanyaan yang sudah dirumuskan untuk sementara berdasarkan tinjauan pustaka

atau hasil deduksi dari suatu teori, pemikiran logis, atau pengalaman. Sejalan

dengan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa, dalam kegiatan penelitian berhipotesis

perlu didukung data untuk diterima. Hipotesis sering dinamakan jawaban

sementara atau dugaan terhadap rumusan masalah berupa pertanyaan. Berhipotesis

disebut jawaban sementara atau dugaan karena memang jawaban masih perlu diuji

kebenarannya agar dapat diterima dan didukung data.

36
BAB III

METODE PENELITIAN.

A. Jenis Penelitian.

Sugiono (2013) mengemukakan penelitian kuantitatif meruapakan metode

penelitian berlandasan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti

pada populasi atau sampel, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian,

analisis data bersifat kuantitatif atau statistik, dengan tujuan untuk menguji

hipotesis yang telah ditetapkan. Metode ini disebut kuantitatif karena data

penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Jenis penelitian

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif ekperimen. Metode

ekperimen adalah metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh

perlakuan terhadap kondisi yang terkendalikan.

Penelitian ekperimen menurut Ali (2008) adalah percobaan tentang sesuatu

penelitian. Dalam hal ini melakukan percobaan, terhadap pelaksanaan eksperimen

lebih memperjelaskan hasil karya ilmiah, karena setiap penelitian mengalami dan

melakukan kegiatan percobaan. Eksperimen adalah sebuah langkah-langkah

dalam penelitian menggabungkan teoritis dan pengujian empiris, sehingga dapat

terlatih dalam cara berpikir ilmiah, dan dengan mengujinya dapat menemukan

bukti kebenaran dari teori yang dipelajari bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan menyusun hipotesis.

37
B. Tempat dan Waktu Penelitian.

Penelitian dilakukan di Dinas Sosial Kabupaten 50 Kota Dinas sosial terletak

di Jl. Soekarno-Hatta, Balai Nan Duo, Kec. Payakumbuh Barat, kodepos 26223,

berada di pusat kota, penelitian dilakukan kurang lebih 2 bulan. Pelaksanaan

penelitian ini dimulai pada tanggal 03 Maret 2022 hingga waktu yang dibutuhkan.

Setelah memperoleh informasi, penulis akan mendeskripsikannya ke dalam bentuk

laporan secara tertulis didukung oleh berbagai macam dokumen yang diperlukan

dalam penelitian.

C. Subjek Penelitian

Adapun subjek penelitian yaitu 5 orang korban pelecehan seksual yang

berada di dinas sosial Kabupaten 50 kota, yang menangani kasus tentang

pelecehan seksual.

Tabel. 1 Kategori Skala Trauma Healing

Kategori Interval
Sangat Tinggi 199- 235
Tinggi 197- 163
Sedang 155- 137
Rendah 128- 100
Sangat Rendah 100- 50

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Intrumen Penelitian.

38
Instrumen penelitian diartikan sebagai alat bantu merupakan sarana yang

dapat di wujudkan dalam bentuk benda, misalnya angket, daftar cocok atau

pedoman wawancara, lembar pengamatan atau panduan pengamatan, soal tes,

skala sikap. Instrumen merupakan alat bantu bagi peneliti dalam menggunakan

metode pengumpulan data. Pemilihan satu jenis metoda pengumpulan data

memerlukan lebih dari satu jenis instrumen. Sebaliknya satu jenis instrumen

dapat digunakan untuk berbagai jenis metode (Yogi, 2015).

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan diselidik penelitian menggunakan

model skala likert, sebuah eksperimen dirancang untuk memasukkan hanya satu

kelompok tanpa kelompok pembanding, karena skala likert lebih banyak

digunakan untuk pengukuran prilaku (Sugiyono, 2019). Pengukuran tersebut

kemudian diubah menjadi variabel dengan menggunakan skala likert. Indikator

digunakan sebagai titik awal untuk merakit elemen alat, bisa dalam bentuk

pernyataan atau pertanyaan. Survei menggunakan pengkodean setiap item

untuk menjelaskan nilai diperoleh dari survei yang diisi responden di setiap

korban pelecehan seksual.

2. Uji Validitas

Temuan dianggap valid jika ada kesamaan antara data yang dikmpulkan

dengan data sebenarnya terjadi di lokasi yang diteliti. Diaktifkan berarti dapat

menggunakan alat untuk mengukur. Oleh karena itu, peneliti harus mampu

mengelola apa yag mereka selidiki, mengasah keterampilan mereka, dan

39
menggunakan alat untuk mengukur variabel yang mereka selidiki (Sugiyono,

2019).

Data yang terkumpul dihitung dengan menggunakan rumus-rumus teknik

korelasi product moment sebagai berikut:

r xy =𝑵 Σ𝒙𝒚 −(Σ𝒙) (Σ𝒚)

Keterangan :

r xy : Koefisien Korelasi

∑X : Jumlah Skor Butir

∑ Y : Jumlah Skor Total

∑ Y : Jumlah Kodrat Butir

∑ Y2 : Jumlah Kuadrat Total

∑XY : Jumlah Perkalian Skor Item dengan Skor Total

N : Jumlah Responden (Sugiyono, 2019)

Berdasarkan rumus kolerasi product moment di atas, hasil dari validasi

emeprisnya antara lain:

40
Tabel. 2 Hasil Uji Validitatas

NO Variabel Item Valid Tidak Valid

1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 6, 9, 10, 16, 20,


1 Trauma Healing
9, ,11, 12, 13, 14, 21, 26, 27, 30,
15,17, 18, 19, 22, 23 31, 33, 34, 38,
24 ,25, 28, 29, 32, 36, 39, 40, 41, 42,
37, 43, 44, 45, 46, 47, 50.
48, 49

Jumlah 32 18

Dengan demikian butir yang dinyatakan valid dapat di jadikan intrumen

penelitian dan item yang tidak valid, di buang karena tidak memenuhi syarat yang

telah di tentukan.

3. Uji Reliabilitas

Menurut Arikunto, “reliabilitas adalah pemahaman bahwa alat tersebut

sudah cukup baik untuk digunakan sebagai alat akuisisi data” (Pinasti, 2011).

Keandalan perangkat dalam penelitian ini menggunakan rumus Alpha

r 11 =

keterangan:

r 11 : Reliabilitas Instrumen

k : Banyaknya Soal

41
∑ : Jumlah Varian Butir

: Varian Total.

Uji reliabilitas dilakukan dengan menggun akan rumus SPSS versi 25,

dan setelah dilakukan uji reliabilitas menggunakan SPSS, maka ditentukan

reliabilitas alat yang digunakan dalam penelitian. Menurut Nunnally instrument

dikatakan reliable jika koefisien reliabilitas Alfha Cronbach lebih dari 0,70 (ri >

0,70). Tavakol & Dennick menyatakan bahwa jika koefisien reliabilitas Alfha

Cronbach kurang dari 0,70 (ri < 0,70), untuk merevisi atau menghilangkan item

soal yang memiliki korelasi renda (Yusup, 2018). Adapun hasilnya dapat dilihat

dari tabel

Tabel. 3 Hasil Uji Reabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items


.854 32

E. Teknik Analisi Data

Analisis data merupakan salah satu proses penyelidikan dilakukan setelah

semua data diperlukan untuk memecahkan masalah yang diteliti telah terkumpul

secara lengkap (Muhson, 2006). Teknik analisis data digunakan adalah uji rank

bertanda Wilcoxon, uji peringkat bertanda Wilcoxon adalah uji nonparametrik

untuk analisis skala ordinal dari signifikansi perbedaan antara dua pasang data,

tetapi tidak berdistribusi normal (Sugiyono, 2019).

42
Dasar pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak Ho pada uji

wilcoxon signed rank test adalah jika probabilitas (Asymp.sig < 0,05 maka

Hipotesis ditolak. Jika probabilitas (Asymp.sig > 0,05 maka Hipotesis diterima.

Syarat dari uji Wilcoxon Signed Rank Test antara lain:

1. Variabel terikat memiliki skala interval atau rasio data, tetapi distribusi datanya

tidak berdistribusi normal. Oleh karena itu, jika dataset (distribusi) memiliki

skala inteval rasio, harus terlebih dahulu menguji normalitasnya. Jika hasil uji

normalitas menunjukkan hasil normal, maka metode yang sesuai adalah dengan

menggunakan uji t berpasangan, tetapi jika data menunjukkan hasil yang tidak

normal, maka pengujiannya menggunakan uji peringkat Wilcoxon Signed Rank

Test.

2. Variabel bebas terdiri dari dua pasang kategori

3. Bentuk dan distribusi data antara dua kelompok pasangan adalah simetris. Jika

asumsi ini gagal, gunakan tes alternatif lain, tes sign test.

Rumus yang digunakan pada Wilcoxon Signed Rank Test adalah

sebagai berikut:

T – n (n + 1)

Z = T-σT = 4 .

43
Keterangan:

T = Jumlah rangking bertanda terkecil

N = banyaknya pasangan yang tidak sama nilainya (Sugiyono, 2013).

F. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian terdiri dati 3 (tiga) tahap antara lain sebagai berikut:

1. Tahap persiapan

a. Survei ke Dinas Sosial Kabupaten 50 Kota untuk menentukan lokasi

servei

b. Menentukan rencana penelitian.

c. Mengolola izin penelitian kampus

d. Izin pengawasan instansi

e. Menyiapkan intrumen penelitian berupa trauma healiang dalam

mengatasi kasus pelecehan seksual

f. Memeberikan ekperimen pada skala yang telah di valiadasi untuk

korban pelecehan seksual dengan masalah yang sama dengan subjek

penelitian.

g. Hasil ekperimen di olah dengan komputer SPSSversi 25 dalam

menentukan elemem yang valid atau tidak valid.

2. Tahap peleksanaan

44
a. Memberikan skala penelitian pretes kepada subjek penenlitian dalam

penenlitian menegenai taruam healing dalam pemulihan trauma korban

pelecehan seksual.

b. Memprediksi angket dan menetapkan subjek penelitian 5 orang dengan

kategori

c. Memberikan ekperimen kepada subjek penelitian dengan layanan

bimbingan konseling perorangan.

d. Posttest.

Tabel. 4 Rancangan .Layanan Bimbingan .Perorangan

No. .Hari/ .Materi. Waktu


Tanggal/
Tahun.

1 Senin, 18/ 07/ Pengukuran pretest trauma korban 110


2022 pelecehan seksual Menit

2 Rabu, 20/ 07/ Pengetahuan tentang bahaya pelecehan 110


2022 terhadap diri sendiri, dan memberikan Menit
motivasi untuk bisa bangkit dari rasa
trauma

3 Jumat, 22/ 07/ Membuka diri kearah yang lebih positif 110
2022 dan Pengukuran posttest trauma korban Menit
pelecehan seksual

3. Tahap penyelesaian

a. Penelitian memberikan subjek penelitian posttest

b. Terakhir adalah membandingkan hasil sebelum dan sesudah tes.

45
BAB IV

HASIL PENELITIAN

46
A. Deskripsi Data Penelitian

Didasarkan paga pengumpulan data dari hasil intrumen yang dianalisis.

Hasil penelitian ini berupa skor, mengetahui hasil tentang efektivitas layanan

konseling perorangan dalam mengatasi taruam korban pelecehan seksual

kabupaten 50 kota. Pengumpulan data menggunakan angket yang di berikan

keada 5 orang responden untuk melihat perbedaan skor sebelum dan sesudah

tes dalam mengatasi tarauma korban, tujuannya adalah untuk memberikan

pretest dan posttest untuk melihat perbedaan trauma korban sebelum dan

sesudah perlakuan dalam bentuk layanan konseling perorangan.

1. Hasil Pretest

Hasil perlaksanaan untuk mendapatkan nilai pretest. Bisa ditinjau pada

table di bawah ini:

Tabel. 5 Hasil prtest Trauma Healing

Responden Skor Kategori Responden Skor Kategori

AN 152 Sedang HHR 124 Rendah

RF 137 Sedang FT 197 Tinggi

RA 144 Sedang JAN 155 Sedang

INJ 136 Sedang HSP 145 Sedang

NAP 128 Rendah AJS 191 Tinggi

MHU 199 Tinggi AAS 187 Tinggi

47
DY 209 Sangat AD 209 Sangat Tinggi
Tinggi
YPS 201 Sangat SG 130 Rendah
tinggi
NU 222 Sangat MUN 194 Sedang
Tinggi
MS 209 Sanagt SL 179 Tinggi
Tinggi
RN 209 Sangat KF 190 Tinggi
Tinggi
WRY 197 Tinggi TSL 202 Sangat Tinggi

RM 204 Sangat FA 190 Tinggi


Tinggi
AS 147 Sedang SU 159 Sedang

AY 127 Rendah FX 163 Sedang

SF 173 Tinggi ID 178 Tinggi

JK 203 Sangat DW 208 Sangat Tinggi


Tinggi
RM 193 Tinggi TU 174 Tinggi

SA 235 Sangat RE 210 Sangat Tinggi


Tinggi

Responden Skor % Kategori


AN 152 60,8 Sedang
FT 137 54,8 Sedang
RRA 144 57,6 Sedang
INJ 136 54,4 Sedang

48
HHR 124 49,6 Sedang
Rata-Rata 693 55,44 Sedang

Trauma korban pelecehan seksual berdasarkan hasil yang dari pretest

dengan 38 subjek, skor taruama korban saat mengalami peristiwa pelecehan

seksual. Dengan rata-rata 55,44% dan terdapat 4 korban dalam kategori

rendah dengan skor (124-130) 9 korban dalam kategori sedang dengar skor

(137-155), 12 korban dalam kategori tinggin dengan skor (163-199) dan 12

korban dengan kategori sangat tinggi dengan skor (200-235)

2. Hasil Posttets

Didapatkan rata-rata dari nilai posttest, dapat ditinjau pada table di

bawah ini:

Tabel.6 Hasil Posttets

Responden Skor % Kategori


AN 182 72,8 Tinggi
FT 178 71,2 Tinggi
RRA 164 65,6 Sedang
INJ 184 73,6 Tinggi
HHR 184 73,6 Tinggi
Rata-Rata 892 71,36 Tinggi

Tabel. 6 menunjukkan data setelah tes posttest rata-rata berada pada

katgori tinggi da nada yang berada pada kategori sedang, setelah diberikan

perlakuan berupa layanan konseling perorangan sehingga mengalami

peningkatan yang signifikan. Responden 5 orang yang mengikuti layanan

49
konseling perorangan dengan rata-rata 71,36% responden layanan konseling

perorangan berada pada kategori yaitu tinggi terdapat 1 orang korban dengan

kategori sedang dengan skor (164) dan 4 orang korabn dengan kategori tinggi

dengan skor (178-184).

3. Perbandingan Pretets dan Posttest

Hasil perbandingan pretest dan posttest dapat dilihat di pada

Table.7 dibawah ini:

Tabel. 7 Perbandingan Skor Pretest dan Posttest Trauma Healing

Korban

Kode Pretest Posttest Pretest


&Posttest
Skor % Kategori Skor % Kategori
AN 152 60,8 Sedang 182 72,8 Tinggi 30
FT 137 54,8 Sedang 178 71,2 Tinggi 41
RRA 144 57,6 Sedang 164 65,6 Sedang 20
INJ 136 54,4 Sedang 184 73,6 Tinggi 48
HHR 124 49,6 Rendah 184 73,6 Tinggi 60
Rata-Rata 55,4 71,36

Dari table diatas, terlihat perbedaan yang signifikan antara pretest dan

posttests trauma korban pelecehan seksual, sebelum diberikan palayanan

konseling perorangan dan sesudah diberikan pelayanan konseling perorangan

bahwa ada penungkatan taruama healing korban pelecehan seksual. Rata-rata

50
responden sebelum diberikan tindakan yaitu 55,4 % kategori sedang dan

setelah diberikan berupa layanan konseling perorangan rata-ratanya menjadi

71,36 %. Hal ini dapat dilihat dari 5 responden yang memiliki kategori

sedangn mengalami kenaikan. Dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan

trauma healiang pada korban pelecehan seksual sebelum dan sesudah

diberikannya layanan konseling perorangan terdapat peningkatan pemulihan

taruama korban pelecehan seksual.

B. Pengujian Hipotesis

Data dikumpulkan dengan uji Pairead Samples Test. Analisis ini

menjelaskan apakah ada perbedaan yang signifikan antara eksperimen

sebelum dan sesudah diberikannya perlakuan. Ujihipotesis ini dilakukan

dengan menggunakan analisis statistic Pairead Samples Test dengan

program computer SPSS 25. Berdasarkan hal tersebut, memperoleh hasil

perhitungan tang dirangkum dalam table berikut.

Tabel. 8 Hasil Uji Pairead Samples Test ( Uji -t)

Paired Samples Test


Paired Differences t df

51
95% Confidence
Std. Interval of the Sig.
Std. Error Difference (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper tailed)
PRE -39.80000 15.53061 6.94550 -59.08381 -20.51619 -5.730 4 .005
TEST -
POST
TEST

Tabel. 8 diatas menunjukkan bahwa mean 6.94550, Std Deviation

15.53061, Std Error Mean 6.94550, Lower -59.08381, Upper – 20.51619, t -

5.730 sedangkan df 4 dan sig (2- tailed) .005. Nilai Asymp.Sig .005

berdasarkan hasil perhitungan uji-t yang bersangkutan menggunakan SPSS

versi 25. Dapat dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima karena nilai skor lebih

kecil dari ( 0,000 ≤ 0,05).

Dengan kata lain terdapat perbedaan rata-rata antara hasil pretest dan

posttest. Layanan tersebut diberikan akan menumbuhkkan pemulihan trauma

korban dalam peristiwa pelecehan seksual.

C. Pembahasan

1. Gambaran Trauma Healing

Berdasarkan rekomendasi dari kabit Rehabilitasi Dinas Sosial

Kabupaten 50 Kota dan para pendamping di lapangan untuk melakukan

penelitian kepada para korban pelecehan seksual, kemudian memberikan

penelitian berupa pretest subjek penelitian, dalam subjek penelitian mengenai

52
trauma healing dalam mengatasi tarauma korban akibat dari pelecehan

seksual. Kemudian hasil angket tersebut di analisis dan menentukan sebanyak

5 orang responden, sesuai dengan kondisi trauma korban saat mengalami

pelecehan seksual, setelah itu baru di berikan perlakuan berupa layanan

konseling perorangan.

Setelah diberikan layanan konseling perorangan, kemudian disusun

dengan memberikan pretests dan menghitung rata-rata skor trauma korban

pelecehan seksual yang akan mendapatkan perlakuan. Hasil skor 693 dan

rata-ratanya 55,44% masuk dalam kategori sedang . Dengan rincian bahwa An

skor 152 dan rata-rata 60,8% dengan kategori sedang, sedangkan peringkat

terendah yaitu Hhr dengan skor 124 dan rata-rata 49,6% dengan kategori

sedang. Setelah diberikan perlakuan terhadap 5 orang responden dengan skor

892 dan rata-rata 71,36% dengan kategori tinggi. Sebagai contohnya Hhr

sebelum diberikan perlakuan skor 124 dan rata-rata 49,9% kategori sedang

dan setelah diberikan perlakuan ada peningkatan skor dan rata-ratanya.

Dimana skor Hhr 182 dan rata-rata 72,8% dengan kategori tinggi, ini

menunjukkan adaanya peningkatan sebelum dan sesudah diberikan layanan

konseling perorangan.

Berdasarkan uji paired sample test (uji-t) menunjukkan bahwa adanya

perbedaan antara nilai rata-rata pretest dan posttest sebelum dan sesudah

diberikan layanan konseling perorangan, pernyataan ini berdasarkan uji-t yang

mana mean 6.94550, Std Deviation 15.53061, Std Error Mean 6.94550, Lower

53
-59.08381, Upper – 20.51619, t -5.730 sedangkan df 4 dan sig (2- tailed) .005.

Nilai Asymp.Sig .005 berdasarkan hasil perhitungan uji-t yang bersangkutan

menggunakan SPSS versi 25. Dapat dikatakan H o ditolak dan Ha diterima

karena nilai skor lebih kecil dari ( 0,000 ≤ 0,05). Kesimpulan adalah layanan

konseling perorangan efektifitas dalam pemulihan trauma korban pelecehan

seksual di kabupaten 50 kota. Hasil penelitian ini didukung dengan pernyataan

bahwa pemulihan trauama korban merupakan proses perjalanan untuk

mencapai suatu kesembuhan dalam mengembalikkan semangat dalam diri

korban untuk melangsung kehidupan yang lebih baik (Fadilah, 2018)

2. Perbedaan skor pemulihan trauma korban dari pretest dan posttest

Skor dan rata-rata pemulihan trauma korban pretest dan posttest

dalam peristiwa pelecehan seksual terdapat perbedaan antara prtest dan

posttest. Sebelum diberikan tindakan (pretest) rata-ratanya 55,44% dan

setelah diberikan tindakan rata-ratanya adalah 71,36%. Dengan skor dan

rata-rata presentasi setiap korban dalah An presentasi skornya 152 dan rata-

rata 60,8% , masuk dalam kategori sedang, Ft skor 137 dan rata-rata 54,8%

sedang, Rra skor 144 dan rata-rata 57,6% sedang, Inj skor 136 rata-rata

54,4%, dan Hhr skor 124 dan rata-ratanya 49,6 % kategori rendah.

Artinya masih ada beberapa pemulihan truama korban yang belum bisa

pulih. Sedangkan hasil sesudah diberikan tindakan (posttest) berupa

layanan konseling perorangan menunjukkan rata-rata 71,36% berada pada

54
kategori tinggi. Terdapat 4 orang korban dengan kategori tinggi, An dengan

skor 182 dan rata-rata 72,8% dengan kategori tinggi, Ft skor 178 rata-rata

71,2% kategori tinggi, Rra skor 164 rata-rata 65,6% kategori sedang, Inj

skor 184 rata-rata 73,6% tinggi, dan Hhr dengan skor 184 dan rata-ratanya

73,6% kategori tinggi. Terdapat peningkatan trauama healing korban

pelecehan seksual.

Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan bahwa layanan konseling

perorangan membantu para korban pelecehan seksual, dalam masa pemulihan

dengan menggunakan metode trauma healing, dan meningkatkan pemulihan

secara bertahap dengan mendiskusikan dan memahami pentingnya bahaya

pelecehan seksual pada diri sendiri. Oleh karena itu, melalui bimbingan

konseling perorangan diharapkan setiap individu dapat bisa sembuh dan

bangkit dari trauma yang dirasakan..Melalui konseling perorangan mereka

bisa membuat keputusan sendiri, mengembangkan pikiran positif dan

menghasilkan tindakan yang lebih efektif dalam kehidupan sehari-hari, dalam

konseling perorangan mereka dapat menceritakan permasalahan dan mencari

jalan keluar terbaik agar masalah tersebut tidak terulang kembali (Rico, 2021)

3. Implementasi Terhadap Program BKI

55
Berdasarkan hasil penelitian ini, layanan bimbingan konseling

perorangan dapat meningkatkan pemulihan trauma korban akibat

pelecehan seksual dalam mengatasi truma yang dirasakannya. Menerima

dan memahami diri sendiri dan lingkungan, pemulihan trauma pada

korban bertujuan untuk memulihkan kesehatan mental, pisik dan sosial .

Bimbingan konseling perorangan dilakukan untuk meningkatkan

kesadaran diri korban tentang dampak yang ditimbulkan dari pelecehan

seksual yang terjadi.

Layanan bimbingan konseling perorangan yang diberikan sesuai

dengan kebutuhan dan fasilitas yang ada. Program yang dapat dilakukan

dengan memberikan layanan bimbingan perorangan dan layanan

konseling lainnya, sehingga dapat membantu korban dalam

meningkatkan kualitas diri.

Hasil penelitian ini menjadi rekomendasi untuk bimbingan dan

konseling bagi semua yang terlibat dalam proses layanan konseling

perorangan di dinas sosial kabupaten 50 kota. Hal ini dikarenakan

layanan konseling perorangan memungkinkan korban bebas dalam

mengemukakan perasannya. Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini,

diusulkan kepada korban pelecehan seksual, agar dapat mengikuti layanan

bimbingan perorangan supaya bisa menambah wawasan dan

meningkatkan kemampuan diri dimanapun berada. Untuk pendamping

56
rehabilitas, agar memberikan layanan bimbingan peroranagn yang

terstruktur dalam masa pemulihan korban, agar menjadi diri yang lebih

baik dalam hal pribadi maupun sosial. Untuk kepala rehabilitas sosial,

agar dapat melengkapi dan memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana

dalam memberikan layanan bimbingan perorangan, dikarenakan guru

BK/ konselor membutuhkan media-media yang dapat mendukung

berjalannya layanan dengan baik serta dapat mengalokasikan waktu 2

jam, agar layanan bisa berjalan dengan baik dan lancar. Untuk peneliti,

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan kesdaran diri, baik

dalam berbagai jenis layanan konseling maupun dalam metode/

pendekatan lain yang digunakan dalam layanan tersebut

BAB V

57
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah di jelaskan dalam BAB IV

pembahasan efektivitas layanan konseling perorangan dalam pemulihan

trauma korban pelecehan seksuak dinas sosial kabupaten 50 kota, maka secara

khusus kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan skor dan

ketegori yang besar antara pretest dan posttest pada pemulihan trauma korban

pelecehan seksual.

Semua layanan bimbingan dan konseling perorangan yang ada dapat di

implementasiakan dalam pemulihan trauma korban dalam kasus pelecehan

seksual, niat untuk bisa bangkit dari trauma, hal tersebut merupakan salah satu

bentuk kelalaian orang tua dalam menjaga dan mendidik anak-anaknya,

mereka perlu mendapatkan dukungan dan perhatian dari orang tua, serta

lingkungan sosial, agar kejadian tersebut tidak terjadi kembali.

B. Saran

Berdasarkan penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang di sampaikan,

ada beberapa saran yang dapat disampaikan setelah penelitian ini dilakukan,

anatara lain:

4. Korban diharapkan agar bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT dan

rajin dalam beribadah.

58
5. Korban bisa lebih terbuka dengan orang tua, terhadap hal yang terjadi, bisa

menghargai, mencintai dan tegas terhadap diri sendiri.

6. Pendamping layanan konseling bimbingan perorangan ini hendaknya terus

mengembangkan dan menggunakan, layanan tersebut untuk mengatasi

permasalahan korban, mendiskusikan masalah yang sedang mereka alami

dan mencari jalan keluar dari permsalahan tentang pelecehan seksual yang

sedang marak terjadi.

7. Dalam penelitian ini, penelitian menyadari bahwa masih terdapat beberapa

kesalahan. Kepada para peneliti selanjutnya, agar bisa meningkatkan dan

mendetailkan indikator penelitiannya terlebih luas lagi.

59
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Shalih Bin Abdullah Bin Hamid Abdullah, Dr. S. Bin. (2013). Tafsir Al-Mukhtashar /
Markaz Tafsir Riyadh.

Abdurrahman, Y. (2019). Modus Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Islam


Sebagai Upaya Pencegahan Bahaya Narkoba. 2(1), 40–51.

Abrianto, H. (2018). Terapi Menulis Pengalaman Emosional Dalam Penurunan


Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Penyintas Bencana. 3 (2).

Ali, M. (2008). Guru Dalam Proses Belajar Mengajar.

Amriana, M. Munir. (2018). Layanan Konseling Realitas Untuk Menangani Post-


Traumatic Stress Disorder (Ptsd) Pada Anak Korban Kekerasan Seksual. 1
(1).

Anhusadar, L. O. (2016). Fenomena Kekerasaan Seksual Terhadap Anak.

Anita, R. (2021). Peran Pekerja Sosial Dalam Trauma Pasca Bencana Alam
Menggunakan Kognitif. 7 (2), 77–90.

Aprlia Nur Istiqomah. (2021). Keterampilan Dasar Konseling Mahasiswa Program


Studi Bimbingan Dan Konseling Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah Dan
Keguruan Uin Raden Intan Lampung Tahun 2020/2021. Fakultas Tarbiyah
Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Aufadilla. (2020). Asas- Asas Bimbingan Konseling. 2020.

Bahri, S. (2015). Suatu Kajian Awal Terhadap Tingkat Pelecehan Seksual Di Aceh. 9
(1), 50–65.

Cahya, T. A. (2020). Teknik Mengatasi Trauma Pada Korban Pelecehan Seksual


Analisis Teknik Transferensi Dan Membaca Al-Qur’an (Studi Kasus Di Balai
Rehabilitas Sosial Anak Paramita Mataram ) 2020. Universitas Islam Negeri
(Uin) Mataram.

Citra Widyastuti. (2019). Play Therapi Sebagai Bentuk Penangan Konseling Trauma
Healing Pada Anak Usia Dini. 16, 104–106.

60
Destyawanti, N. (2021). Fungsi Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga Dalam
Menangani Trauma Fisik Dan Mental Anak Korban Kekerasan Seksual Di
Kabupaten Pringsweu. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Erawati, E. (2015). Hubungan Presepsi Siswa Terhadap Layanan Konseling Individu


Dengan Tingkat Kepuasan Siwa Konseling Dismp Negri 1 Kebomas Gresik.
10, 10.

Factuhurahman, M. (2017). Problematika Pelaksanaan Konseling Individu. 3(2).

Fadilah, K. (2018). Pemulihan Trauma Psikoterapi Pada Perempuan Korban


Kekerasan Seksual Di Yayasan Pulih. Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Fitriani, R. (2016). Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak Dalam Melindungi


Dan Memenuhi Hak-Hak Anak. 11 (2), 251.

Gunawan, U. (2009). Teknik Penelitian Tindakan Kelas.

Haryatri. (2019). Urgensi Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah Dasar. 5 (1).

Hawari, D. (1996). Alqur’an Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Mental,.

Homsatun. (2018). Metode Konseling Dalam Pendampingan Anak Korban Pelecehan


Seksual Di P2tp2a Kabupaten Pringsewu. Fakultas Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Isyatul Mardiyati. (2015). Dampak Trauma Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Terhadap Perkembangan Psikis Anak. 1 (2), 27–28.

Jamil Aisyah, F. A. (2018). Peran Dinas Sosial Dalam Menangani Korban


Kekerasan Seksual Pada Anak (Study Kasus Di Dinas Sosial Kota Bengkulu).
Institut Agama Islam Negri (Iain) Bengkulu.

Kityah, M. (2015). Pendekatan Bimbingan Dan Konseling Bagi Korban Pengguna


Narkoba. 35 (1).

Kusmawati Hatta. (2015). Peran Orangtua Dalam Proses Pemulihan Trauma Anak.
1 (2), 57–59.

Kusumandari, Bayu R. D. (2019). Game Peka Untuk Trauma Healling Pada Anak
Pasca Bencana Dikabupaten Banyumas. 21 (3).

61
Marcheyla, S. (2013). Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap
Perempuan. 1(2).

Mulkiyan, M. (2017). Mengatasi Masalah Kepercayaan Diri Siswa Melalui


Konseling Kelompok. 5 (3), 136–142.

Muri, Y. (2014). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif Dan Penelitian Gabungan


( 1 St Ed.).

Natar, A. N. (2019). Trauma Healling Bagi Kemampuan Korban Konflik: Belajar


Dari Konflikn Maluku Dan Poso. 4 (1).

Novia Putri Rahayu. (2021). Pemulihan Trauma Kekerasan Seksual Pada Anak Oleh
Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera
Barat. Institut Islam Negri (Iain) Batusangkar.

Nurrahmi, H. (2015). Konseling Bagi Anak Yang Mengalami Perilaku Kekerasan.

Pamungkas. (2020). Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana


Kekerasan Seksual Terhadap Anak. 28 (1), 84–91. Http://Dx.Doi.Org/10.469
30/Ojsuda.V28i1.464

Paradiaz Dkk, R. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual.


4 (1), 61–75.

Parebong, R. E. (2021). Pendekatan Trauma Healling Untuk Mengatasi Pathological


Grief Pada Anak Usia Remaja Yang Di Tinggalkan Orang Tuanya. 1 (2),
109–120.

Plastuti, D. (2017). Hubungan Persepsi Dengan Motivasi Siswa Sekolah Menengah


Kejurusan Dalam Konseling Perorangan. 1 (1), 116–124.

Putra, A. (2019). Dakwah Melalui Konseling Individu. 2 (2), 97–111.

Putri, A. W. (2015). Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia (Pengetahuan, Dan


Keterbukaan Masyarakat Terhadap Gangguan Kesehatan Mental). 2 (2),
147–300.

Rahma, A. (2018). Analisis Kebutuhan Program Trauma Healling Untuk Anak-Anak


Pasca Bencana Banjir Di Kecamatan Sungau Pua Tahun 2018:
Implenmentasi Manajeman Bencana. 12 (7).

62
Ratna, S. (2010). Pelecehan Seksua Terhadap Anak. 2, 1–146.

Rico, P. D. (2021). Konseling Individu Dalam Membenatu Meningatkan


Kepercayaan Diri Amak Korban Pelecehan Sekaual Di Lemebaga
Perlindungan Anak (Lpa) Kabupaten Tulang Bawang Barat. Uneversitas
Islam Negri Raden Intan Lampung.

Riyanto, A. (2019). Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Bagi Anak Korban


Pelecehan Seksual Di P2tp2a Lamban Ratu Agom Kabupaten Tanggamus
(Studi Kasus Di P2tp2a Lamban Ratu Agom Kabupaten Tanggamus).
Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung.

Robert, G. (2016). Bimbingan Dan Konseling.

Savitri, N. (2020). Pembuktian Dalamtindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap


Anak. 4 (2), 276-293. Http://Dx.Doi.Org/10.23920/Jbmh.V4i2. 323

Sitorus, J. C. (2019). Qou Vadis,Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan


Seksual Di Kampus. 3 (1), 30–39.

Sitorus, Muhammad Walimsyah. (2021). Konseling Individu Dalam Meningkatkan


Kepercayaan Diri Siswa Korban Kekerasan Di Madrasah Ibtidaiyah Al-
Afkari. 1 (1).

Sofyan, Willis. (2013). Konseling Individual Teori Dan Praktek.

Sri, R. (2015). Psikologi Abnormal Tinjauan Islam. Dalam Psikologi Abnormal


Tinjauan Islam (Hlm. 49).

Sugiono, Prof. D. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif Dan R&D.

Suhertina, D. S. (2014). Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Cv.Mutiara Pesisir


Selatan.

Sukardi, S. (2010). Evaluasi Pendidikan, Prinsip Dan Operasionalnya.

Sukri, Made. (2019). Mengatasi Permasalahan Dan Peningkatan Prestasi Belajar


Ipa Melalui Konseling Efektif Fengan Perilaku Attending Pada Siswa Vlll B 2
Semester Ganjil Tahun 2018/ 2019 Smp Negri 6 Sungaraja. 17 (1).

63
Suryadi. (2019). Konseling Individual Untuk Mengatasi Perilaku Bullying Pada
Perbedaan Gender Di Mts Negeri Sleman Maguwoharjo Yogyakarta. 9 (1),
54–57.

Suryatningsih, H. (2018). Dampak Gempa Bumi Lombok Terhadap Prilaku Anak.

Syafaruddin, Dkk. (2019). Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling


(Telaah,Konsep,Teori Dan Praktik). 2019.

Tarmizi. (2018). Profesionalisasi Profesi Konselor Berwawasan Islami. 2018.

Tri Sutanti. (2015). Efektivitas Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Empati


Mahasiswa Prodi Bk Universitas Ahmad Dahlan. 1, 188–189.

Undang-Udang Nomor 39. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Hak


Asasi Manusia.

Undang-Undang No 23. (2002). Undang-Undang (Uu) Tentang Perlindungan Anak.

Wenny May Isnanii. (2020). Implementasi Teknik Konseling Eksplorasi Dalam


Layanan Konseling Individual Di Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah 1
Pekanbaru. Uin Suska Riau Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Wulandari, V. (2018). Hubungan Kekerasan Emosional Yang Dilakukan Oleh


Orangtua Terhadap Perilaku Remaja. 5 (2), 132–136.

Yeni, Septi. (2019). Pelaksanaan Konseling Individu Bagi Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan
Anak (P2tp2a) Kabupaten Kampar. Universitas Islam Negri Sultan Syarif
Kasim Riau.

Yogi, P. (2015). Intrumen Penelitian.

Yusup, F. (2018). Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Kuantitatif.


Jurnal Tarbiyah : Jurnal Ilmiah Pendidikan, 7(1), 17–23.

64
65

Anda mungkin juga menyukai