Anda di halaman 1dari 5

Dosen Pengampuh : Nur Fitriany Fakhri, S. Psi, M.A.

Perdana Kusuma, S. Psi, M. Psi.T

PAPER

PSIKOLOGI SOSIAL TERAPAN

Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswa Universitas Sriwijaya Oleh Oknum Dosen

Oleh

Faradilla Nurul Suci/200701501037

Kelas G

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

FAKULTAS PSIKOLOGI

TAHUN 2021
A. Permasalahan Sosial yang Sedang Mengemuka di Masyarakat
Viral di media sosial, curahan hati seorang mahasiswi yang mengaku jadi
korban pelecehan seksual oleh oknum dosen pembimbing skripsinya saat sedang
melaksanakan bimbingan skripsi. Mahasiswi tersebut mengaku berasal dari
Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang. Curhat si mahasiswi itu viral dan membuat
heboh warga. Dalam unggahannya, mahasiswi itu mengaku menjadi pelecehan
seksual oleh oknum dosen pada Sabtu (25/8/2021) saat hendak mengurus skripsi yang
sempat tertunda satu semester. Kemudian, ia menemui dosen tersebut untuk
bimbingan. Dosen yang diduga menjadi pelaku tersebut sempat menanyakan kepada
korban mengenai penyebab ia menunda skripsi satu semester.  Setelah mengaku
terdesak, mahasiswi ini akhirnya bercerita permasalahannya di rumah hingga dari
masalah keluarga sampai ekonomi. Korban pun tak kuasa menahan tangis saat
menceritakan itu kepada pelaku. Tanpa diduga pelaku lalu memeluk korban dengan
dalih ikut bersimpati. Awalnya korban tak menaruh curiga, tetapi pelaku mendadak
memeluknya secara erat sampai peristiwa pencabulan itu berlangsung. "Demi allah
aku tidak ngarang cerita ini min. Tolong di up aku butuh saran. Kalo nak cerita samo
kawan aku malu, (kalau mau cerita dengan teman saya malu)," tulis si mahasiswi
dalam unggahannya. 
Secara terpisah, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sriwijaya
dari Bidang Pemberdayaan Perempuan, Ifeh, mengaku telah mengetahui kabar
pelecehan seksual yang menimpa rekan mereka itu setelah viral di media sosial.
Menurut Ifeh, saat ini, pihak BEM Unsri tengah menemui pihak rektorat terkait
persoalan tersebut. "Kami sedang menghadap beramai-ramai menemui rektorat, nanti
saya kabari lagi," kata Ifeh lewat pesan singkat kepada Kompas.com, Senin
(27/9/2021). Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unsri
Iwan Stia Budi mengaku belum mengetahui kabar pelecehan seksual oleh oknum
dosen tersebut. Dengan demikian, pihak rektorat terlebih dulu akan menelusuri
kebenaran dari informasi yang kini sudah beredar di media sosial. "Iya (baru tahu)
dari kalian inilah," ujar Iwan kepada Kompas.com, Senin (27/9/2021). "Berita ini
masih sangat abstrak. Jadi Unsri perlu menelusuri kebenaran informasi ini lebih
lanjut," lanjutnya.
Kasus diatas adalah salah satu contoh dari sekian banyaknya kasus pelecehan
seksual yang terjadi di lingkup perguruan tinggi. Ini hanyalah satu contoh kasus,
masih banyak kasus-kasus lain yang belum terungkap. Hal ini harusnya menjadi
perhatian khusus bagi semua orang terutama bagi para praktisi maupun ilmuwan
psikologi sosial terapan karena permasalahan ini sebenarnya dapat dicegah dengan
penerapan psikologi komunitas dilingkungan kampus.
B. Analisis Kasus
Perilaku kekerasan seksual dengan berbagai bentuknya semakin marak terjadi,
baik pada tingkat domestik, lokal, nasional, regional, maupun dunia. Kekerasam
seksual merupakan problem perilaku dan problem sosial yang memiliki dampak
merugikan bagi korban, keluarga, teman dan komunitas. Di Indonesia sendiri,
menurut sebuah survei daring kekerasan seksual di Indonesia yang diadakan oleh
komunitas Lentera Sintas Indonesia, Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org,
yakni pada bulan Juni 2016, terdapat 25.213 responden yang berpartisipasi, yang
terdiri dari 12.812 responden perempuan, 12.389 responden laki-laki, dan 12
responden transgender. Perolehan data sebanyak 5.983 responden perempuan, 3,543
responden laki-laki, dan 10 responden transgender pernah mengalami kekerasan
seksual (Change.org, 2016, diakses pada 12 Oktober 2018). Berdasarkan data dari
survei daring kekerasan seksual di Indonesia diatas, terlihat bahwa yang mampu
menjadi korban kekerasan seksual dengan peringkat paling atas dengan jumlah 5.983
korban, tidak hanya kaum perempuan saja, melainkan kaum laki-laki dan transgender
juga memiliki potensi untuk menjadi korban kekerasan seksual. Banyaknya kasus
kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan masyarakat, ternyata tidak mampu
menggerakkan masyarakat untuk bersuara. Hal ini dapat dibuktikan dalam survei
diatas, dari total 1.636 responden yang mengalami pemerkosaan, ada sebesar 93%
yang tidak melaporkan kasusnya, hanya 98 responden yang melapor, tetapi kasusnya
terhenti, pelaku bebas, dan berakhir damai. Alasan bagi korban kekerasan seksual
untuk diam dan tidak melaporkan tindak kekerasan seksual tersebut sangat beragam,
yakni perasaan “malu” menjadi alasan utama mereka. Penyebab lainnya meliputi,
takut disalahkan atau tidak dipercaya, takut dikhianati oleh pihak berwajib yang
dipercaya (korban perkosaan justru yang disalahkan oleh penegak hukum), tidak
memiliki bukti yang cukup, tidak didukung oleh keluarga dan teman, serta
diintimidasi oleh pelaku dan keluarga, karena pelaku merupakan ayah, paman, dan
saudara. Bagi korban kekerasan seksual, bukan hal yang mudah bagi mereka untuk
mengungkapkan kejadian yang dialami. Oleh karena perlu dilakukannya prevensi
(pencegahan) dengan tujuan menghentikan kemungkinan-kemungkinan terjadinya
perilaku kekerasan seksual sesegera mungkin. Prevensi adalah pencegahan agar suatu
peritiwa atau suatu perilaku tidak terjadi atau usaha-usaha antisipasi agara suatu
peristiwa atau suatu perilaku tidak terjadi. Ini berarti prevensi psikologi sosial
terhadap perilaku kekerasan seksual adalah usaha-usaha psikologi sosial (bidang
psikologi yang menjelaskan perilaku individu dalam konteks sosial) yang dapat
dilakukan untuk melakukan pencegahan agar perilaku kekerasan seksual tidak terjadi
dalam suatu komunitas. Prevensi psikologi sosial terhadap perilaku kekerasan seksual
di lingkungan komunitas dilakukan untuk mencapai tujuan komunitas yang sejahtera
psikologis bagi para anggota suatu komunitas. Dalton dkk. (2007) mengemukakan
bahwa komunitas adalah entitas jaringan saling-bantu dari suatu perhubungan tempat
individu dapat bergantung. Dalton dkk. (2007) mendeskripsikan bahwa komunitas
dapat diidentifikasi dalam beberapa level yang berbeda, yaitu:

1. Level sistem mikro (contoh: komunitas kelas).


2. Level sistem organisasi (contoh: komunitas tempat kerja).
3. Level lokal (contoh: komunitas rukun tetangga atau komunitas kota).
4. Level sistem makro (contoh: komunitas bisnis internasional).
Dalam hal ini suatu komunitas memiliki tanggung jawab untuk membantu
pemecahan masalah terkait dengan kekerasan seksual sebagai salah satu isu
komunitas. Dalam hal ini, komunitas memiliki kewajiban untuk mengembangan
strategi prevensi yang efektif untuk mencegah kemungkinan terjadinya perilaku
kekerasan seksual sehingga tujuan komunitas untuk membantu para anggota
komunitas menjadi sejahtera secara fisik, psikologis, dan spiritual akan tercapai.
Keterlibatan komunitas memiliki makna yang sangat penting bagi pengembangan
kesejahteraan individu maupun kohesi sosial dalam suatu komunitas.
Salah satu langkah pencegahan yang paling sederhana yang bisa dilakukan
adalah komunikasi persuatif, komunikasi persuasif secara umum merupakan tindakan
komunikasi yang bertujuan untuk menciptakan khalayak mengadopsi pandangan
komunikator mengenai sesuatu hal atau melakukan suatu tindakan tertentu. Contoh
komunikasi persuatif dalam pencegahan kekerasan seksual yang dilakukan oleh
komunitas Lentera Sintas Indonesia, dimana mereka memberikan presentasi untuk di
universitas, perusahaan, dan komunitas berupa psikoedukasi, dan memberikan
tontonan film The Haunting Ground, yang merupakan film dokumenter yang
menceritakan mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi di universitas terkenal di
Amerika Serikat, namun dalam kejadian ini, pelaku kekerasan seksual hanya
menerima hukuman yang ringan demi karir pelaku tidak rusak. Selain itu, dari adanya
pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan, terbentuklah dialog atau percakapan, antara
komunitas Lentera Sintas Indonesia dengan sasaran kampanye. Dalam universitas,
perusahaan, dan komunitas, dialog akan dilaksanakan sesi dialog dan diskusi setelah
mereka menonton film yang berdurasi 1 jam 43 menit tersebut. Dalam proses dialog,
komunitas Lentera Sintas Indonesia akan menanyakan pendapat mahasiswa,
karyawan, dan masyarakat mengenai film tersebut.
Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan bystander
approach, dimana pendekatan ini melibatkan pengajaran kepada para pengamat
(bystander) bagaimana mengintervensi situasi yang melibatkan kekerasan seksual.
Meskipun masih melibatkan program yang melatih kelompok individu, model ini
mengambil langkah selanjutnya menuju pendekatan komunitas yang lebih luas untuk
pencegahan. Model bystander memberikan peran khusus kepada semua anggota
masyarakat, yang dapat mereka identifikasi dan adopsi dalam mencegah masalah
komunitas kekerasan seksual. Peran ini termasuk mengganggu situasi yang dapat
menyebabkan penyerangan sebelum terjadi atau selama insiden, berbicara menentang
norma-norma sosial yang mendukung kekerasan seksual, dan memiliki keterampilan
untuk menjadi sekutu yang efektif dan mendukung bagi para penyintas. Hal ini
didasarkan pada studi yang menunjukkan peran norma masyarakat sebagai penyebab
signifikan kekerasan seksual, terutama di komunitas seperti kampus.

Referensi

Banyard, V. L., Moynihan, M. M., & Plante, E. G. (2007). Sexual violence prevention


through bystander education: An experimental evaluation. Journal of Community
Psychology, 35(4), 463–481. doi: https://doi.org/10.1002/jcop.20159

Hanurawan, F. (2014). Prevensi psikologi sosial terhadap perilaku kekerasan seksual dalam
komunitas. In Seminar Nasional Pendekatan Integratif Pendidikan Seksual Dalam
Menyiapkan Generasi Emas Indonesia.
Maliki, D. N., & Susanti, S. (2019). Komunikasi Persuasif Dalam Kampanye Anti-Kekerasan
Seksual Oleh Komunitas Lentera Sintas Indonesia. Jurnal Komunikasi dan
Bisnis, 7(1).
https://regional.kompas.com/read/2021/09/27/162751878/curhat-viral-di-medsos-mahasiswi-
unsri-mengaku-alami-pelecehan-seksual-oleh?page=all

Anda mungkin juga menyukai