Oleh:
071924753004
MAGISTER SOSIOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Pekembangan global saat ini memberikan banyak pengaruh dalam dunia sosial dan
meberikan banyak pandangan baru. Salah satunya pandangan dunia terhadap perempuan
yang selama ini sering kali mendapatkan pandagan negative atau dianggap sebagai manusia
kedua yang terkadang dianggap sebagai manusia unggul dan tidak kalah dari laki-laki. Dalam
masyarakat konstruksi gender selama ini dilihat pada fungsi biologis yang disangkut pautkan
pada relasi sosial dalam bermasyarakat. Selama ini perempuan dan laki-laki dibedakan
lingkup kerjanya pada ruang domestic dan ruang public. Masih banyak masyarakat yang
belum memahami konsep gender. Seharusnya pemahaman seks itu merupakan perbedaan
organ biologis antara laki-laki dan perempuan terkhusus pada bagian reproduksi. Seks
bersifat kordat, ciptaan tuhan, tidak dapat diubah. berlaki dimana saja dan tidak dapat ditukar.
Sedangkan gender ialah pembagian peran, fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan
perempuan sebagai hasil konstruksi sosial. sebagaimana dijelaskan Anker dan Hein yang
mengatakan bahwa teori nature yaitu bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan
tercipta melalui proses belajar dari lingkungan (Salaa, 2015).
Jika kalau gender merupakan pemahaman mengenai fungsi relasi sosial perempuan dan
laki-laki. Konsep feminism merupakan gerakan anti kekerasan pada perempuan yang
menuntut kesetaraan dan keadilan hak dengan laki-laki. Menurut beberapa ahli feminism
salah satunya menurut Kamal Bhasin dan Nighat Said Khan, menurut feminism adalah sautu
kesadaran penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat kerja,
dalam keluarga yang merupakan tindakan baik perempuan maupun laki-laki untuk
menggubah keadaan tersebut. Dalam perkemangan gerakan dan studi feminisme, pe-lecehan
seksual mengalami perluasan definisi menjadi pertidaksetujuan terhadap segala sesuatu yang
berhubungan dengan sikap, kata -kata, dan tindakan pihak lain yang berlatar belakang
seksual. Ketidak setujuan (without consent) menjadi ukuran ada tidaknya suatu pelecehan.
Perkem-bangan studi dan gerakan feminisme menjadi tiga aliran kemudian ikut serta
mewarnai peluasan kriteria pelecehan seksual itu sendiri (Supramudyo, 2006).
Pelecahan dan kekerasan seksual dalam waktu akhir-akhir ini semakin meningkat.
Kejahatan kesusilaan atau moral offences dan pelecehan seksual atau sexual harassement
merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah
hukum nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah masalah global (Romli
Atmasasmita, 1995). Pelecehan seksual yang terjadi pada seseorang perempuan biasanya
dikarenakan sistem tata nilai yang menududukan perempuan sebagai makhluk yang lemah
dan lebih rendah dibandingkan denga laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi
subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan
juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.
Pelecehan seksual didefinisikan sebagai situasi yang tidak dapat diterima. Baik itu gerak
verbal, fisik atau seksual dan ekspresi alamiah menghina atau seksis, seseorang merasa
terancam, terhina, dibodohi, dilecehkan, dan lemah kondisi keamanan. Pada dasarnya pelaku
pelecehan bisa laki-laki dan perempuan. Baik pria maupun wanita menentang wanita, bahkan
antar jenis kelamin, konfrontasi antara pria dan wanita untuk wanita. Bentuknya bisa verbal
dan non verbal, dan bisa temukan di mana saja, di mana saja, siapa saja, tanpa ada yang tahu
status atau peringkat.
Ironisnya, korban pelecehan seksual bukan hanya wanita biasa, tapi sering orang-orang
cacat menerima perlakuan pelecehan. Seksualitas negatif, dalam selama berabad-abad, terus
mempengaruhi orang yang terlalu mudah tertipu, dalam bentuk penolakan yang kuat,
moralitas seksual merupakan bagian integral dari perilaku etis dan dapat diterapkan manusia
yang termasuk dalam etika seksual adalah bagian darinya berkaitan langsung dengan norma
sosial, pola perilaku dan kebiasaan pribadi naluri seksual (Muthahhari, 1993). Namun, sangat
disayangkan karena hanya segelintir korban yang berani melaporkan kajadikan ini kepada
pihak berwenang. Pelecahan seksual-pun bukan hanya dialami oleh perempuan (dewasa),
tetapi juga dialami oleh anak-anak baik laki-laki maupun perempuan, remaja, bahkan balita.
Relasi gender dan seksual yang melahirkan pelecehan tidak terlepas dari hubungan
kekuasaan di antara pihak-pihak yang berelasi. Kecendurungan kekuasaan untuk
menormalisasi relasi, dengan menganggap fenomena tertentu sebagai hal yang lumrah dan
wajar telah mengakibatkan “diterimanya” sebuah relasi asimetri oleh pihak yang dikuasai
menjadi sebuah kewajaran. Kewajaran semu ini terjadi di semua lini dan sector,seperti
ekonomi, ilmu pengetahuan dan seksual.
Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bukun institusi, bukan struktur, dan bukan pula
kekuataan yang dimiliki, tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks
dalam suatu masyarakat (Haryatmoko,2002). Ada proses pelembagaan kekuasaan
melembagakan dalam keseluruhan hukum, struktur politik dan aturan sosial pertahankan
posisi dominan dan pastikan kepatuhan reproduksi. Kekuatan tidak lagi dalam wajah
klasiknya adalah kekerasan, represi, atau manipulasi ideologis. dalam hal ini, pelecehan
seksual biasanya tidak selalu terjadi, tidak hanya itu terlihat. Perlu kepekaan, kebijaksanaan
dan kebijaksanaan untuk memberi ilmu dan asimetri gender dalam hubungan kekuasaan
terkikis, yang dalam banyak kasus mengarah ke kasus pelecehan seksual.
Menurut catatan Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2012
sampai tahun 2013, kekerasan/ pelecehan seksual perempuan mencapai 216.156 kasus.
Sedangkan untuk tahun 2020 selama 461 orang yang sudah mengalami pelecehan seksual.
Tingginya tingkat pelecehan seksual kepada perempuan tidak meihat lokasi dan kepada siapa
pelecehan dilakukan, karena pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja. Salah satunya dapat
saja terjadi pada tingkat instansi pendidikan yaitu Universitas. Universitas adalah suatu
institusi pendidikan tinggi dan penelitian, yang memberikan gelar akademik dalam berbagai
bidang. Sebuah universitas menyediakan pendidikan sarjana dan pascasarjana. Kata
universitas berasal dari bahasa Latin universitas magistrorum et scholarium, yang berarti
"komunitas guru dan akademisi".
Universitas merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menampung berbagai jenis
golongan masyarakat untuk menuntut ilmu dan mengembangkan potensi mereka mengenai
keilmuan, universitas jika dilihat dari sector agama merupakan tempat suci dimana orang
dapat menuntut ilmu. Universitas berbasis agama kebanyakan menjunjung tinggi nilai-nilai
dan norma beragama. Identic dengan kegiatan kampus yang berbau agama dan pembelajaran
agama masih sangatlah kental. Akan tetapi pada kenyataanya tempat yang seharusnya
digunakan untuk menuntut ilmu dan berkembang, banyak menyimpan berbagai tragedi yang
mencorengkan nama baik Universitas. Salah satunya kasus pelecehan seksual pada
mahasiwa.
Pelecehan seksual pada mahasiswa di Indonesia sudah sangat sering terjadi di berbagai
universitas, baik itu universitas berbasis agama atau universitas biasa. Seperti yang terjadi di
Universitas Islam Indonesia, salah satu korban akhirnya berani mengadukan kejadian
pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang alumnus universitas tersebut, pelaku dikenal
sebagai anak baik-baik di kampusnya dan di lingkungan sekitarnya. Dari kronologi kejadian,
Melia LBH Yogyakarta mengatakan “terdapat relasi kuasa yang kuat dan ketimpangan gender
dimana pelaku menggunakan kepopularan diriny, dan membuat korban tidak berfikir macam-
macam.
Pelecehan seksual yang terjadi pada mahasiswa lainnya terjadi pada tahun 2015 di
Universitas Gajah Mada, dimana seorang mahasiswi mengalami pelecehan seksual dari
seorang dosen pengajar di jurusan FISIP,kasus berlanjut hingga dosen tersebut hingga dosen
tersebut tidak diberi izin mengajar, hingga berujung keluar dari Universitas. Kasus pelecehan
terjadi di UGM pada tahun 2017 yang menimbulkan tanda Tanya untuk pihak kampus
bagaimana cara mereka menuntaskan permasalahan pelecehan seksual yang terjadi.
Kemudian pelecehan seksual yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2020 dimana
salah satu dosen melakukan pelecehan seksual yang dicurigai bahwa kasus itu tidaklah nyata.
Pelecehan seksual di IAIN Sultan Amai Gorontalo, pelecehan yang dilakukan oleh oknum
dosen kepada mahasiswa. Pelecehan seksual yang terjadi di IAIN sudah terdapat 4 orang.
Pihak BEM dan beberapa golongan mahasiwa melakan unjuk rasa kepada pihak IAIN yang
lali dalam menyelesaikan kasus pelecehan seksual. Pelecehan seksual terjadi pula di UIN
Malang, dimana terdapat 2 orang mahasiswa menjadi korban pelecehan yang dilakukan oleh
seorang dosen. Pelecehan seksual banyak terjadi dikalangan mahasiswa, dan kebanyakan para
korban enggan untuk membuka suara mengenai apa yang mereka alami. Pelecehan seksual
tidak hanya dilakukan antara para mahasiswa saja, yang lebih mengecewakan para dosen
yang seharusnya menjadi satu pihak yang seharusnya lebih bijak dan berwibawa.
Pelecehan seksual terjadi kebanyakan dari kasus-kasus diatas karena adanya bias gender
dimana para pelaku merasa terdapat relasi kuasa didalamnya, mereka menganggap pria
adalah superior dan mampu mengendalikan perempuan. Perempuan kerap kali hanya
dianggap sebagai subordinasi, karena subordinasi tadi menyebabkan pelecehan seksual sering
kali terjadi di kalangan perempuan. Adanya relasi kuasa tadi bersangkutan dengan teori
Micheal Foucault mengenai Kekuasan dan seksualitas. Selain itu pemahaman masyarakat
mengenai patriarki di Indonesia, pemahaman patriarki di Indonesia sangatlah dominan.
Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa pria merupakan makhluk superior. Pelecehan
seksual yang terjadi di Universitas sering kali terjadi karena adanya relasi kekuasaan.
Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bukan suatu institusi, bukan struktur, dan bukan pula
kekuatan yang dimiliki, tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks
dalam suatu masyarakat (Haryatmoko, 2002). Di dalamnya terjadi proses institusionalisasi
kekuasaan yang melembaga dalam keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan -
aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan.
Kekuasaan tidak lagi dalam wajah klasiknya sebagai sebuah kekerasan, represi, atau
manipulasi ideologi.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah untuk melihat fenomena pelecehan
seksual yang berbasis gender pada mahasiswa yang berkuliah di universitas berbasis
gender. Hal ini dianggap menarik karena fenomena ini terjadi di Univesitas yang
menjujung tinggi nilai dan norma dalam beragama. Penelitian pelecehan seksual, akan
lebih menarik dikaji dengan melihat fenomena masing-masing individu yang pernah
mengalami pelecehan seksual. Penelitian fenomenologi merupakan penelitian untuk
membuat penafsiran berdasarkan pengalaman dengan cara mendengarkan cerita yang
beragam.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk membongkar
fenomena pelecehan seksual pada mahasiswa di Universitas berbasis agama dan untuk
mencegah terjadinya pelecehan seksual berbasis gender di kalangan mahasiswa.
1.4 Manfaat penelitian
Secara teori, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap hasil
pemikiran baru berupa penelitian kekuasaan yang berkaitan dengan teori sosial,
khususnya teori sosiologis dalam sosiologi. Secara metodologis, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan referensi baru bagi peneliti selanjutnya. Pada saat yang sama, para
peneliti sebenarnya sangat berharap bahwa penelitian yang di lakukan dapat memberikan
pengetahuan baru dan wawasan baru kepada masyarakat luas tentang relasi kuasa bisa
saja terjadi pada tingkat universitas sekalipun.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Sandy Welsh, Gender And Sexual Harassement. Annual Review of Sociology, Palo
Alto Vol. 25.1999. Penelitian ini mengenai pelecehan seksual masih dalam masa
pertumbuhan selama 20 tahun terakhir, mengenai penyebab dan konsekuensi pelecehan
seksual. Dua puluh tahun yang lalu, studi tentang pelecehan seksual difokuskan pada
apakah pelecehan seksual adalah masalah sosial yang layak dipelajari dan analisis
deskriptif tentang prevalensinya.
Ida Ayu Adnyaswari Dewi. 2019. Catcalling: Candaan, Pujian atau pelecehan Seksual.
Jurnal Hukum Kenotariatan. e-ISSN: 2502-7573 | p-ISSN: 2502-8960. penelitian ini
menjelaskan bahwa pelecehan seksual di Indonesia khususnya pelecehan seksual secara
verbal. Menduduki peringkat kelima pada tahun 2014. Masih banyaknya masyarakat yang
menggap bahwa catcalling hanya sebuah bahan candaan saja. Atau pelaku yang
melakukan catcalling biasanya melakukan hal ini karena ingin mendapatkan perhatian dan
bereharap akan merespon. Beberapa negara telah menanggapi masalah ini sebagai masalah
yang serius, karena berdampak besar pada kehidupan sosial manusia. Pelecehan seksual
pada umumnya dikelompokan menjadi 3 komponen utama, yaitu:pemaksaan seksual,
pelecehan gender, dan perhatian yang tidak diharapkan.
Angeline Hidayat, Yugih Setyanto. 2019. Fenomena Catcalling sebagai Bentuk
Pelecehan Seksual secara Verba terhadap Perempuan di Jakarta. EISSN 2598-0785 Vol.3,
No. 2. Hal 485-492. fenomena catcalling ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama dan
menjadi sebuah permasalah pada masayarakat terutama di perkotaan besar. Fenomena ini
kurang diperhatikan karena minimnya edukasi yang tepat. Masyarakat masih menganggap
makna catcalling sebagai ambigu antara candaan atau pujian dan bentuk dari pelecehan
seksual teruta terhadap perempuan.
Feryna Nur Rosyidah, M. Fadhil Nurudin. Prilaku Menyimpang Media sosial Sebagai
Ruang Baru Dalam Tindak Pelecehan Seksual. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi,
Vol.2, No.2., Juni 2018. Penggunaan media sosial di kalang remaja bisa saja positif
ataupun negative, apabila penggunan yang tidak disertai pengawasan dan perhatian dari
lingkungan sekita akan memicu terjadinya prilak-prilaku menyimpang. Pelecehan seksual
salah satu prilaku menyimpang yang kerap kali terjadi, kurangnya pengawasan,
pengetahuan serta rendahnya tingkat kesadaran remaja dalam penggunaan media sosial
secara bijak. Tindak pelecehan secara verbal di dunia mata terhadap perempuan, baik
seksual maupun non-seksual yang terjadi merupakan bentuk kebiasaan yang direproduksi.
Bentuknya sama saja seperti dahalu akan tetapi pelecehan seksual sekarang berubah
bentuk menjadi tulisan.
Auliyah Arista, Kekerasan verbal Berbasis Gender Dalam Novel Nyala Karya Djenar
Maesa Ayu. Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan pengajaran, Oktober 2017 Vol. 3 No. 2
PISSN 2442-7632 EISSN 2442-9287. Berdasarkan hasil penelitian ini adalah bahwa
perempuan dapat menampilkan diri dan diposisikan sebagai tokoh sentral. Bentuk
kekerasan verbal berbasis gender berdasarkan posisi subjek-objek meliputi (a) ungkapan
verbal perempuan yang bersifat merendahkan laki-laki dalam bentuk makian dan
ancaman. Bentuk kekerasan verbal memiliki kencenderungan makna kontekstual,
konotatif, dan leksikal. Dari penjelasan diatas dapat menggambarkan bahwa perempuan
lebih berkuasa dan memiliki posisi yang lebih dominan terhadap laki-laki. Pada penelitian
ini ditemukan bahwa posisi subjek-objek pada kekerasan dapat disimpulkan bahwa
perempuan dalam beberapa aspek berada pada posisi sentral sebagai subjek. Perempuan
dapat melawawn laki-laki dan menyetarakan diri dengan laki-laki. Akan tetapi, masih
terbatas secara emosional dan cenderung pada kekerasan. Disarankan penyetaraan antara
laki-laki dan perempuan dapat dilakukan dalam pekerjaan, pengetahuan, dan lain-lain,
sehingga perempuan lebih dihargai dan tidak dilakukan dengan cara memberontak.
Iqbal Raadhani. Kasus Pelecehan Seksual Dalam Transportasi Umum Menurut
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jurnal Sosial & Budaya Syar-I FSH UIN Syraif
Hidayatullah Jakarta Vol. 4 No.1 (2017), pp.95-120, DOI: 10.15408/sjsbs.v4i1.7871.
Menurut penelitian ini menurut hukum positif kejahatan seksual adalah perilaku seksual
menyimpang, merupakan salah satu bentuk dari berbagai bentuk penyimpangan yang ada
dalam masyarakat, sehingga setiap bentuk penyimpangan seksual amat berdampak
terhadap kehidupan dan keteraturan sosial dalam masyarakat. Dampak yang ditimbulkan
oleh perilaku menyimpang tersebut merupakan suatu ancaman terhadap sistem norma
yang ada dalam masyarakat. Belum adanya kejelasn hukum mengenai kasus pelecehan
seksual di Indonesia.
Sali Susiana. Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan di Ruang Publik. ISSN: 2088-
2351 Vol. IV, NO. 04/II/ P3DI/ Febuari/2012. Dari perspektif feminisme, kasus-kasus
pemerkosaan terhadap perempuan dalam angkutan umum merupakan salah satu bentuk
kekerasan berbasis gender. Pembenahan keamanan sistem transportasi umum memang
perlu dilakukan, namun yang lebih mendasar adalah perubahan cara pandang terhadap
perempuan yang masih sarat dengan nilai-nilai budaya patriarki. Cara pandang patriarki
membentuk streotype yang merendahkan perempuan dan menganggap perempuan sebagai
objek seksual. DPR RI perlu segera menyelesaikan pembahasan RUU tentang Kesetaraan
Gender, mendorong revisi KUHP, dan meningkatkan fungsi pengawasan terhadap
lembaga-lembaga terkait.
Anugrah Indah Asmarany. Bias Gender Sebagai Predikator Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Jurnal, Psikologi Vol. 35 No.1 ISSN: 0215-8884. Bila bias gender selalu terjadi di
dalam masyarakat, maka dapat diprediksikan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Sebaliknya, bila bias gender tidak terjadi dalam masyarakat, maka dapat diprediksikan
akan mempengaruhi berkurangnya atau tidak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Fiana Dwiyanti. Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja (Studi Kasus
Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta). Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 10 No. 1 Mei
2014. Penelitian ini membahas pelecehan seksual ditempat kerja pada di polisi kota
Jakarta. Penelitian menjelaskan bentuk kekerasan yang terjadi di kantor Satpol PP DKI
Jakarta, faktor-faktor yang menyebabkan pelecehan seksual di Kantor Satpol PP DKI
Jakarta, dan perlawanan dari para korban pelecehan seksual dikantor.
2.2.1 Fenomena
Menurut Kamus lengkap Bahasa Indonesia, fenomena diartikan sebagai hal-hal yang
dinikmati oleh panca indra dan dapat ditinjau secara ilmiah (Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia: 1997). Secara etimologis, istilah fenomena berasal dari kata Yunani:
phaenesthai, artinya adalah memunculkan, meninggikan, menunjukkan dirinya sendiri.
Menurut Heidegger (Moustakas, 1994:26), istilah fenomena, yang juga dibentuk dari
istilah Phaino yang artinya membawa pada cahaya, menunjukkan dirinya sendiri di
dalam dirinya, totalitas dari apa yang tampak di balik kita dalam cahaya. Objek yang
muncul dalam kesadaran berbaur dengan objek yang ada secara alamiah, sehingga makna
diciptakan dan pengetahuan dikembangkan. Suatu hubungan berada antara yang ada
dalam kesadaran yang disadari dan apa yang berada dalam dunia. Apa yang muncul
dalam kesadaran adalah realitas absolut sedangkan apa yang muncul di dunia adalah
suatu produk belajar (Moustakas, 1994:27).
Fenomena adalah suatu tampilan objek, peristiwa, dalam persepsi. Sesuatu yang tampil
dalam kesadaran. Bisa berupa hasil rekaan atau kenyataan. Menurut Moustakas (19
94:26), fenomena adalah apa saja yang muncul dalam kesadaran. Fenomena, dalam
konsepsi Huesserl, adalah realitas yang tampak, tanpa selubung atau tirai antara manusia
dengan realitas itu. Fenomena adalah realitas yang menampakkan dirinya sendiri kepada
manusia. Sementara itu, dalam mengahadapi fenomena itu manusia melibatkan
kesadarannya, dan kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu (realitas)
(Bertens,1981:201). Dalam penelitian ini mengkaji fenomena pelecehan seksual
dikalangan mahasiswa universitas berbasis agama.
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang bernonotasi seksual
yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya, bentuknya dapat
berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas
yang berkontasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur
sebagai berikut, adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian
ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korbanm dan mengakibatkan
penderitaan bagi korban (Winarsunu, 2008).
Dari definisi pelecehan seksual diatas dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual
adalah perilaku atau tindakan yang menaggy, menjengkelkan, dan tidak diundang yang
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dalam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya.
1. Pelecehan fisik;
Sentuhan yang tidak diinginkan mengarah keperbuatan seksual seperti mencium,
menepuk, memeluk, mencubit, mengelusm memijat tengkuk, menempelkan tubuh
atau sentuhan fisik lainnya.
2. Pelecehan lisan;
Ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau
bagian tubuh atau penampilan sesorang, termasuk lelucon dan komentar
bermuatan seksual.
3. Pelecehan non-verbal/isyarat;
Bahasa tubuh dan atau gerekan tubuh bertanda seksual, kerlingan yang dilakukan
berulang-ulang, menatap tubuh penuh nafsu, isyarat dengan jari tangan, menjilat
bibir, atau lainnya.
4. Pelecehan visual;
Memperlihatkan materi pornografi berupa foto, poster, gambar kartun, screensaver
atau lainnya, atau pelecehan melalui e-mail, SMS dan media lainnya.
5. Pelecehan psikologis/emosional;
Permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak
diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celana yang
bersifat seksual.
Pelecehan seksual yang dihadapi laki-laki maupun perempuan dalam berbagai
bentuknya, mulai dari komentar yang berkonotasi seksual dan kontak fisik secara
tersembunyi (memegang, sentuhan ke bagian tubuh tertentu) hingga ajakan yang
dilakukan secara terang-terangan dan serangan seksual (Santrock,2007).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk pelecehan
seksual adalah pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan non-verbal/isyarat,
pelecehan visual, dan pelecehan psikologis/emosional.
Michel Foucault lahir pada tanggal 15 oktober 1926 di Poiters, Prancis dengan nama
Paul Michel Foucault. Ibunya bernama Anne Malapert, anak dari seorang dokter bedah.
Ayahnya juga seorang ahli bedah sekaligus guru besar dalam bidang anotomi di sekolah
kedokteran Poiters. Pemikiran Foucault diasosiaikan dalam aliran pemikiran
Poststrukturalis. Pemikiran Foucault berangkat dari bagaimana pengetahuan itu disusun
dan bagaimana pengetahuan itu dilembagakan yang kemudian menjadi sebuah kekuasaan
(Wiradnyana, 2018).
Kekuasaan dan pengetahuan menurut Foucault saling berkaitan satu dengan lainnya,
secara sederhana dijelaskan bahwa pengetahuan lahir melalui suatu proses dan melewati
berbagai prosedur yang mengandung kuas di dalamnya. Pengetahuan menjadi produk dan
alat bagi kekuasaan dalam menguatkan eksistensinya karena setiap rezim kekuasaan
memiliki kemampuan untuk menentukan suatu kebenarn melalui pengetahuan yang
dibangun.
Foucault mengartikan kekuasaan secara berbeda antara satu dengan lainnya, menurut
Waber kekuasaan dalam hubungan sosial adalah kemampuan untuk menjalankan
keinginan sendiri, menurut Marx kekuasaan berhubungan dengan pengusaan kelompok
dominan terhadap alat-alat produksi atau berkaitan dengan penguasaan eknomi. Foucault
sendiri melihat kekuasaan secara lebih kompleks di dalam masyarakat, menurutnya
kekuasaan bukan saja mengenai apa yang terlihat tetapi baginya konstruksi atau hal yang
tak tampak pun tak kalah pentingnya dalam membicarakan tetang kekuasaan. Kekuasaan
baginya adalah keadaan yang strategis bagi siapapun yang terlibat di dalam suatu relasi
atau hubungan sosial (Ritzer, 2014). Foucault juga menjelaskan bahwa kekuasaan
bukanlah hal yang melembaga, bukan di dalam tubuh sebuah institusi, struktur, atau
kekuatan dalam masyarakat yang penampakannya negatif dan represif, akan tetapi justru
kekuasaan berada pada tataran positif dan produktf, sebab baginya kekuasaan selalu
menciptakan pengetahuan yang pada gilirannya akan memunculkan kebenarannya sendiri
(Wiradnyana, 2018).
Bagi Foucault kekuasan justru berasal dari elemen yang paling bawah dan sifatnya
mikrostruktur. Setiap relasi sosial pasti mengaandung kekuasaan di dalamnya, kekuasaan
bukanlah hal yang tempak dan melekat pada subjek akan tetapi kekuasaan yang
dimaksudkan Foucault merupakan kontestasi antar wacana yang bertujuan untuk
menundukkan cara pandang sseorang terhadap sesuatu berdasarkan suatu rezim penguasa.
Dalam hal ini jelas terlihat hubungan antara kekuasaan dengan pengetahuan.
Pengetahuan bagi Foucault tidak beroperasi diluar kekuasaan. Justru, keberadaan sebuah
kebenaran ditentukan oleh rezin yang sedang berkuasa, sehingga dapat dikatakan bahwa
kebenaran atau pengetahuan menjadi bagian dari kekuasaan yang mewujud sebagai
seperangkat aturan yang dianggap pasti. Kebenaran dalam hal itu dapat dipahami sebagai
sistem prosedur untuk memproduksi, mengatur, menyebarkan, dan pengoperasian
pernyataan yang dapat menopang kekuasaan (Ritzer, 2014).
Lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul The History of Sexuality, Foucault
menjelaskan Seksualitas dimaknai sebagai konstruksi sosial tentang pengetahuan, norma,
dan perilaku serta subjektivitas yang berkaitan dengan seks dan terkait erat dengan sistem
kekuasaan pengetahuan. Pembahasan Foucault mengenai seks dan kekuasaan diawali
dengan sejarah seksualitas yang melalui periode pasca Victorian dan masa Victorian.
Sebelum masa Victorian, sekitar abad ke-17 seks bebas dilakukan oleh orang-orang, seks
bebas dibahas dan seks bebas dibicarakan secara terbuka. Namun sejak zaman Victorian
seks dibatasi, ditutupi, bahkan diatur. Seks seolah-olah hanya dilegalkan sebagai fungsi
reproduksi bagi kehidupan suami istri, seks dirumahtanggakan, pembahasannya terbatas,
hanya pasangan suami istri 29 tentang seks dan itupun dengan cara diam-diam mengikuti
norma yang berlaku (Foucault, 1997). Seksualitas mencakup nilai atau norma, aturan-
aturan, yang memberikan status dan peran, yang membatasi dan mengatur perilaku atau
tindakan yang berkaitan dengan seks (Rohmaniyah, 2017). Makna dari seksualitas yaitu
tentang bagaimana suatu masyarakat mengartikan pengalaman seksual secara nyata ada di
masyarakat. Pemaknaan subjektif tidak dapat terlepas dari sistem kekuasaan yang
memperkuat atau bahkan melegitimasi konstruksi pengetahuan, norma, dan perilaku
seksualitas. Kebudayaan juga memiliki peran dalam penentuan makna seksualitas, yaitu
kapan seseorang dapat memulai aktivitas seksual dan kapan menghentikannya, termasuk
bagaimana mengekspresikannya (Martono, 2014).
Seksualitas memiliki makna lebih luas dan mencakup tidak hanya seks, tapi juga
gender dan persoalan relasi kuasa. Perbedaan paling penting antara seksualitas dengan
seks dan gender terletak pada objek materialnya. Jika seks berkaitan dengan aspek fisik
anatomik biologis, gender berhubungan dengan konstruksi sosial, dan seksualitas adalah
kompleksitas dari keduanya. Seks mendefinisikan jenis kelamin fisik hanya pada jenis
laki-laki dan perempuan dengan pendekatan anatomis, sedangkan seksualitas merupakan
konstruksi sosial terhadap entitas seks yang mengatur bodily functions (Dzuhayatin, 2002).
Foucault dalam bukunya yang bertajuk Dicipline and Punish menjelaskan bahwa
kekuasaan dan ilmu pengetahuan secara langsung berdampak pada yang lain, tidak ada
hubungan kekuasaan tanpa melibatkan pembentukkan bidang ilmu pengetahuan. Dalam
konteks ini ia memberikan contoh yaitu pada saat memberikan hukuman, ketika
menempatkan seseorang di bawah pengawasan menurutnya lebih efisien dan
menguntungkan daripada membuat mereka patuh pada hukum tertentu. Itu dianggap
efektif untuk membuat orang lain berpikir ulang apabila akan melakukan kejahatan yang
sama. Disini ia menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan merupakan sumber kuasa
yang menentukan disiplin dan memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan (Wiradyana,
2018).
Menurut Foucault kekuasaan atas kehidupan (termasuk seks) mengambil dua bentuk,
yakni: anatomi politik tubuh manusia yang memiliki tujuan pendisiplinan tubuh manusia
(dan seksualitasnya), kemudian ada biopolitik kependudukan yang bertujuan
mengendalikan angka pertumbuhan penduduk, kesehatan, harapan hidup dan sebagainya.
Pada kedua kasus tersebut masyarakat melihat kehidupan (dan seks) sebagai objek politik.
Selanjutnya Foucault memberikan konsep bahwa modernitas (urbanisasi dan kapitalisme
industri sebabakibat pertumbuhan pesat penduduk) sebagai sumber pembatasan seks,
tetapi sebagai penyebarannya, terseretnya seks ke dalam diskursus (Rohmaniyah, 2017).
Bagi Foucault kekuasaan dan seksualitas saling berkaitan satu dengan lainnya, karena
dalam praktiknya di masyarakat seksualitas terjadi karena adanya relasi kuasa gender yang
dimana pihak perempuan selalu mendapatkan posisi penomorduaan. Teori kekuasaan dan
seksualitas dirasa cocok untuk menganalisis fenomena sosial yang terjadi di suatu instansi
pendidikan yaitu menganai pelecehan seksual yang terjadi dikalangan mahasiswa. Teori ini
dirasa cocok untuk dijadikan pisau analisis.
BAB III
METODE PENELITIAN
Paradigma ini menyatakan bahwa (1) dasar untuk menjelaskan kehidupan, peristiwa
sosial dan manusia bukan ilmu dalam keranhka positivistic, tetapi justru dalam arti
common sense. Menurut mereka, pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau
makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari-hari, dan
hal tersebutlah yang menjadi awal penelitian ilmu sosial; (2) pendektan yang digunakan
adalah induktif , berjalan dari yang spesifik menuju yang umum, dari yang kongkrit
menuju yang abstrak; (3) ilmu bersifat idiografis bukan bukan nomotetis, karena ilmu
mengungukapkan bahwa realitas tertampilkan dalam simbol-simbol melalui bentuk-bentuk
deskriptif; (4) pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui indra karena pemahaman
mengenai makna dan interpretasi adalah jauh lebih penting; dan (5) ilmu tidak bebas nilai.
Kondisi bebas nilai tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting dan tidak pula mungkim
dicapai (Sarantakos,1993).
Metode kualitatif juga dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu
dibalik fenomena yang masih minim atau bahkan belum diketahui sama sekali (Strauss
dan Corbin, 2009). Penelitian ini melihat bahwa realitas memiliki dinamikanya tersendiri
yang selalu berubah dalam persepsi masing-masing individu. Penelitian ini menggunakan
pendekatan fenomenologi, menurut Creswell (dalam Rahmat, 2009) adalah menunda
semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini
biasa disebut epoche (jangka waktu). Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau
mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari atau kesadaran yang
terjadi pada beberapa individu. Tujuan utama dari studi fenomenologi adalah mereduksi
pengalaman individual untuk mendapatkan hal yang esensial (mendasar) terkait fenomena
(Giorgi & Giorgi, 2003).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengalaman seseorang yang pernah mengalami
pelecehan seksual. Maka dari itu penelitian ini menggunakan pendekatan Fenomenologi.
Untuk mengunkap pengalaman setiap individu untuk mendapatkan hal yang esensial
terkait dengan fenomena yang terjadi. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan
fenomenologi maka peneliti harus mempelajari lebih mendalam mengenai pelecehan
seksual dan berbagai bentuknya.
Salah satu aktivitas dalam proses pengumpulan data adalah menentukan subjek
penelitian. hal tersebut penting agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan informan,
sebab dari informan diharapkan informasi dapat terkumpul sebagai upaya untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Penentuan subjek penelitian yang tepat,
memungkinkan diperolehnya data dan informasi yang valid serta akurat karena subjek
penelitian merupakan salah satu sumber data dalam penelitian kualitatif.
Pemilihan subjek haruslah dipilih berdasarkan kebutuhan penelitian. Pemilihan
subjek penelitian ini haruslah mahasiswa/mahasiswi aktif, pernah mengalami pelecehan
seksual atau pernah melihat pelecehan seksual. Sudah pernah melakukan pengajuan
keluhan mengenai pelecehan seksual dan pelaporan kepada pihak terkait
Data merupakan keterangan-keterangan tentang siatu hal, dapat berupa sesuatu hal
yang diketahui atau yang dianggap anggapan. Atau suatu fakta yang digambarkan lewat
angka, simbol, kode, dan lain sebagainya ( Hasan, 2002). Sumber data adalah subjek dari
mana data itu diperoleh (Arikunto. 2006). Sumber data terdiri dari dua jenis, sumber data
primer; merupakan data yang diambil dari sumber petama yang ada di lapangan (Bungin,
2005). Atau pemahaman lain mengenai data primer adalah data yang diperoleh dari
sumber pertama melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang dapat berupa
interview, observasi, maupun penggunaan instrumen pengukuran yang khusus dirancang
sesuai dengan tujuannya. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari
sumber tidak langsung yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi
(Azwar, 2005).
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik
pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar
data yang ditetapkan (Sugiyono,2010:401). Dalam teknik pengumpulan data ini nantinya
peneliti dapat terbantu dalam pengambilan data serta mendapatkan data yang memenuhi
standart data yang telah ditetapkan. Maka dari itu peneliti harus menggunakan teknik
pengumpulan data yang tepat agar nantinya dapat berguna bagi peneliti.
Metode pengumpulan data pada penlitian ini adalah sebagai sebagai berikut;
1. Observasi
Observasi merupakan kegiatan pengamantan dan pencatatan dengan sistematis
fenomena-fenomena yang sedang diteliti, menerut Mardalis, observasi adalah
hasil perbuatan jiwa sevara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya
sesuatu yang diharpakan peneliti, atau suatu studi yang disengaja dan
sistematis tentang keadaan atau fenomena sosial dan gejala gejala psikis
dengan jalan mengamati dan mencatat (Mardalis. 1995). Observasi adalah
teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan, dengan disertai
pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku obyek sasaran (Ridwan.
2004). Dalam peneltian ini mengunakan pengamatan langsung berkaitan
dengan lingkungan kampus dan fenomena-fenomena yang dianggap
bersangkutan dengan penelitian ini kedepannya.
2. Wawancara
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan cara bertanya
langsung (berkomunikasi langsung) dengan responden. Dalam berwawancara
terdapat proses interaksi antara pewawancara dengan subjek penelitian
(Ridwan, 2004). Wawancara secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni
wawancara tak terstruktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tak
terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif,
wawancara kualitatif, dan wawancara terbuka (open ended interview),
wawancara etnografis. Sedangkan wawancara terstruktur sering juga disebut
wawancara baku (standardized interview) yang susunan pertanyaannya sudah
ditetapkan sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan jawaban
yang juga sudah disediakan (Mulyana, 2006). Wawancara ini ditujukan untuk
mendengerkan pengalaman para mahasiwa yang pernah mengalami pelecehan
seksual. Melalui wawancara diharpakan peneliti mengetahi hal-hal yang lebih
mendalam mengenai fenomena yang terjadi dimana hal ini tidak bisa
ditemukan melalui observasi. 2 Interview merupakan alat pengumpul
informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk
dijawab untuk secara lisan untuk dijawab secara lisan pula (Sugiyono, 2005).
Daftar Pustaka
Auliya Arista. 2017. Kekerasan Verbal Berbasis Gender Dalam Novel Nayla Karya Djenar
Maesa Ayu. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajaraannya. Vol
Power. American Sociological Review; Washington; Vol 69, 1; ProQuest pg. 64. Feb
2004
Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitafi dan kualitatif. Jakarta: Rajawali
Press.
Eka Darma Satria, Suryaningsih, Marisha Elsera. Tinjuan Sosiologis penyebab terjadinya
Pelecehan Seksual Terhadap Anak DiBawah Umur Oleh Remaja. Naskah Publikasi
Hamilton, Kelly M; Snoeyink, Megan J; Martinez, Larry R. Blurred lines: How to approach
sexual harassment training when sexual harassment isn’t always about sex.
Industrial and Organizational Psychology; Bowling Green Vol. 12, Iss. 3, (Sep
2019): 345-349. Idurs, M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta: PT.
Inayah Rohmaniyah, Konstruksi Seksualitas dan Relasi Kuasa dalam Praktik Diskursif
Pernikahan Dini, Jurnal Musãwa, Vol. 16, No. 1, Januari 2017 UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, hlm.
Miles, B Mathew dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (buku sumber
Michel Foucault, The Subject and Power, Chicago Journals, Critical Inquiry, Vol. 8, No. 4
(Summer, 1982), The University of Chicago Press is collaborating with JSTOR to digitize,
Lemit Yogyakarta.
Sandy Welsh, Gender And Sexual Harassement. Annual Review of Sociology, Palo Alto Vol.
25.1999.
Sev’er,Aysan. Sexual Harassment: Where We Were, Where We Are And Prospects for the
Squicciarini, Paola Sanchez. 2020. Child Abuse and Neglect. Article Psychology.
Elvsevier.