Anda di halaman 1dari 17

KONFLIK RAS DI INDONESIA

Tasya Geviranthi Chandra

071324753004

Jurusan S2 Sosiologi Universitas Airlangga

Email: tasya.geviranthi.chan-2019@Fisip.Unair.ac.id

Abstrak

Isu menganai rasisme bukanlah hal yang pertama kali didengar. Ini sudah terjadi bahkan sejak ratusan
tahun yang lalu. Rasisme berkembang pesat seiring berkembangnya teknologi dan ilmu pengentahuan
yang menyebabkan isu rasial dalam masyarakat modern saat ini masih merupakan topic yang sarat
dengan pergunjingan. Secara umum rasisme di dunia selalu berakar pada perbedaan warna kulit. Karena
adanya orang-orang mempercayai superioritas yang mereka warisi terhadap ras yang lain. Secara teoritis,
rasisme itu berkaitan dengan persoalan biologis dan antropologis. Isu-isu mengenai ras perlu diwaspadai
karena memungkinkan provokator untuk memanfaatkan isu tersebut untuk kepentingannya. Di Indonesia,
sebagian public membandingkan Isu ini dengan Isu Papua, dan memunculkan tagar #PapuanLivesMatter
di media sosial. Beberapa saat yang lalu diskusi yang terjadi adalah terdapat standar ganda yang di
masyarakat Indonesia yang menunjukan kepudian tinggi terhadap rasisme di Amerika Serikat, namum
cenderung diam mengenai isu diskriminasi terkait masyarakat asli papua.

Keyword: konflik dan ras

Ras , Rasisme , dan Isu-Isu Ras

Isu menganai rasisme bukanlah hal yang pertama kali didengar. Ini sudah terjadi bahkan

sejak ratusan tahun yang lalu. Rasisme berkembang pesat seiring berkembangnya teknologi dan

ilmu pengentahuan yang menyebabkan isu rasial dalam masyarakat modern saat ini masih
merupakan topic yang sarat dengan pergunjingan. Dunia modern saat ini dikenal sebagai dimana

kebebasan sangat dijunjung tinggi. Setiap orang berhak mengembangkan potensi dirinya

semaksimal mungkin tanpa adanya pengelompokan kelas, ras, maupun etnis. Akan tetapi

kenyataannya berbeda, mitos-mitos mengenai ras unggul dan ras kelas bawah merupakan faktor

penyebab semakin peliknya masalah rasisme. Isu rasial ini dikonstruksikan sebagai ras unggul

seringkali melakukan tindakan rasisme terhadap golongan ras tertentu. Tindakan rasisme tersebut

sering kali terjadi dalam berbagai bidang dalam kehidupan masayrakat seperti pendidikan,

kesehatan, hiburan, keadilan social, dan lain sebagainya yang ada dalam unsur bermasyarakat.

Reliatanya babeberapa waktu belakangan isu rasisme kembali menjadi topic yang hangat

di masyarakat dunia. Kasus George Floyd adalah kasus rasisme warga kulit hitam di Amerika,

kasus in merupakan kekerasan polisi kulit putih terhadap George Floyd hingga menyebabkan

demo besar-besar di AS beberapa waktu yang lalu. Kasus George Floyd menimbulkan berbagai

rekasi public yang beragam dari aksi demo yang dilakukan bebrapa tokoh dan masyarakat

ditengah pandemic global, donasi untuk keluarga George Floyd, hingga Hastag di social media.

Kasus George Floyd merupakan salah satu kasus rasisme yang terjadi di dunia hingga saat ini.

Asal istilah ras masih menjadi bahan perdebatan teori dan termininologi, bahasa ras

setiap negera berbeda-beda bahsa latin “generatio”, “ratio”, dan “radix”, bahasa Italia rasa

adalah “razza”, bahasa Spanyol ras “raza”, dan bahasa Prancis kuno ras “haraz” dengan arti

yang beragam pula seperti generasi, akar, darah bangwasan, kain rusak, noda, dan kontaminasi

atau pembiakan kuda. Kata ras muncul beberapa abad lebih dahulu dari pada etnis (Alim, 2006).

Asal mula istilah ras diketahui sekita tahun 1600. Saat itu Francois Bernier sebagau seorang

antropolog berkembangsaan Perancis, pertama kali mengemukan gagasan tentang pembedaan

manusia berdasarkan katagori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah (Liliweri, 2005).
Menurut Gill dan Gilbert (1988) ras merupakan pengertian biologis yang menjelaskan

sekumpulan orang yang dapat dibedakan menurut karakteristik fisik yang dihasilkan melalui

proses produksi. Kerap kali ras juga termasuk status social yang didefininisikan oleh istilah

kebudayaan daripada rasa dan istilah biologis. Kerap kali perbedaan antara kelompok etnik itu

meliputi lebuh dari satu kebudayaan. Klasifikasi ras dan rasial meliputi tampilan fisik yang juga

menjadi dasar untuk membedakan kelompok etnis tertentu (Liliweri.2005).

Ras dijabarkan sebagai suatu golongan manusia yang menunjukan berbagai ciri tubuh

tertentu dengan suatu frekuensi yang besar. Kergaman dan perbedaan warna kulit itu harusnya

dipahami sebagai kemajemukan ras, buka menunjukan suatu superioritas (Koentjaraningrat,

1990). Ras menurut Soerjono Soekanto (1993) adalah suatu kelas populasi yang didasarkan pada

kriteria genetic, kedua genotip-genotip, dan ketiga, setiap populasi yang secara genetis berbeda

dengan populasi lainnya. Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa secara mendasar pengertian

ras dipahami sebagai bentuk perbedaan yang melakat pada setiap individu, kelompok, dan

masyarakat tertentu, dimana terdapat sisi perbedaan dalam setiap bentuk yang dimilikinya,

seperti warna kulit, rambut, prinsip hidup.

Dari beberapa definisi ras diatas salah satu yang paling jelas adalah warna kulit, akhirnya

perbedaan berdasarkan warna kulit tersebut memicu munculnya gerakan-gerakan yang

mengunggulkan ras-nya masing-masing. Teori Darwin dijadikan sebagai dasar tindakan untuk

membenarkan penguasaan ras satu atas ras lainnya, maka timbullah superioritas ras, dimana rasa

yang lebih unggul menindas ras yang dianggap lebih rendah (Sochmawardiah,2013).

Rasisme sudah menyebar keseluruh dunia, masyarakat yang rasial bahkan secara

terangan melakukan diskriminasi, intimidasi terhadap kelompok tertentu yang mereka anggap
tidak lebih unggul dari mereka (Samovar, 2010). Rasisme sendiri memiliki definisi yang sama

dengan ras, menurut George M Fredickson (2005) istilah “rasisme” sering digunakan secara

longgar dan tanpa banyak pertimbangan untuk melukiskan permusuhan dan persaan negative

suatu kelompok etnis atau “masyarakat” terhadap kelompk lain, serta sebagai tindakan yang

dihasilkan dari sikap-sikap itu.

Rasisme terjadi ketika orang-orang mempercayai superioritas yang mereka warisi

terhadap ras yang lain (Samovar, 2010). Rasisme adalah suatu gagasan atau teori yang

mengatakan bahwa kaitan kausal antara ciri-ciri jasmanilah yang diturunkan dan ciri-ciri tertentu

dalam hal kepribadian, intelek, budaya, atau gabungan dari semua, menimbulkan superoritas dari

ras tertentu terhadap yang lain (Daldjoeni, 1991).

Pemikiran secara rasisme, mempengaruhi dasar-dasar secara alami tentang pemikiran dan

tindakan untuk memberikan perlakukan yang berbeda pada setiap anggota sebuah ras yang

berbeda dengan ras yang lain. Sebuah suku bangsa di klasifikasikan sesuai dengan keanggotaan

mereka pada suatu grup atau suku, yang menciptakan ke tidak seimbangan antara satu suku

dengan suku yang lainnya (Marger, 1994). Berbeda dengan ras, rasisme merupakan prilaku oleh

sekelompok ras tertentu yang menganggap kelompok mereka lebih superior dari ras yang lain.

Isu mengenai ras dan rasisme adalah isu yang cukup sensitive bagi beberapa kelompok tertentu

maka penulisan artikel ini sebisa mungkin tidak akan menyudutkan dan menyalahkan tanpa

adanya bukti yang jelas.

Ras atau lebih dikenal dengan sebut rasisme sering disama artikan dengan rasialisme.

Istilah rasialisme digunkan untuk menyebut gagasan yang meyakini adanya kaitan kausal antara

ciri-ciri jasmaniah seseorang dengan keturunan, kepribadian, intelektualitas, kebudayaan, atau


gabungan dari semuanya. Gagasan ini kemudian menimbulkan perasaan superioritas pada ras

tertentu terhadap ras lain. Rasialisme sering kali bertalian dengan kelompok non biologis dan

non rasial, seperti sekte keagamaan, kebangsaan, kebahasaan, etnik, atau kultural atau hanya

sekedar prasangka yang sering kali dilihat dari stereotip dan kecemburuan sosia. Dapat

disimpulkan bahwa ilmu mengai ras dan rasialisme berbeda, ras ditentukan bukan secara social

melainkan berdasarkan ciri-ciri fisik (Rachman et al,1999).

Istilah diskriminasi rasial tersebut kadang disamakan dengan istilah segresi rasila atau

ketidakadilan, dan kemudian dipertentangkan dengan istilah keadilan rasial. Dalam prisnsip

keadilan rasial, ketidak adilan adalah masalah pengucilan arbitret dari institusi masyarakat yang

dominasi dan persamaan adalah persoalan non diskriminasi serta kesempatan yang sama untuk

berperan serta. Dari prinsip ini, peraturan perundang-undangan yang memberikan institusi

terpisah bagi minoritas bangsa tak berbeda dari segresi rasial, sehingga perluasan alaminya

adalah melepaskan status terpisah kebudayaan minoritas, dan mendorong partisipasi yang sama

dalam masyarakat yang dominan (Sochmawardiah.2013).

Isu ras sudah ada dan mendarah dagi bagi beberapa kelompok tertentu, hampir di

berbagai belahan dunia mana pun ras kerap kali menjadi permasalahan. Diskriminasi ini hampir

selalu dirasakan masyarakat yang dianggap minoritas dan selalu terulang tiap tahunnya tanpa ada

penyelesaian yang jelas. Berikut beberapa negara demgan isu rasisnya, Amerika isu ras di

negara yang dikenal dengan negeri paman sam ini sudah terjadi sejak awal system perbudakan

pada abad 18-19. Sistem yang menjadi awal terbentuknya rasisme yang meyakini bahwa ras,

kelompok, suku, atau warga kulit hitam memiliki atau berbeda di tingkat social yang lebih

rendah dibandingkan dengan ras, kelompok, suku atau warga kulit putih di Amerika (Marger,

1994). Lalu India, isu ras ini sudah lama mengakar, dan beragam dari diskriminasi warna kulit
hingga isu konflik suku Bodo dengan kaum minoritas muslim. Isu ras Myanmar adanya

perlakuan diskriminatif kaum Rohingya yang merupakan kaum minoritas muslim. Kemudian isu

ras lainnya berasal dari Jepang, adalah negara yang pertama memiliki undang-undang khusus

yang membahas soal rasisme dikarenakan tingginya rasisme di Jepang. Meskipun sudah diatur

oleh undang-undang pada kenyataan praktik diskriminasi ras masih terjadi dan sulit dihapuskan.

Negara yang mengalami rasis selanjutnya adalah Arab Saudi, sejak zaman dahulu sebagian

masyarakat Arab kerap kali melakukan diskriminasi. Berikutnya adalah Israel, masyarakat Israel

tidak hanya melakukan diskriminasi terhadap orang berkulit hitam (minews.id).

Secara umum rasisme di dunia selalu berakar pada perbedaan warna kulit. Karena adanya

orang-orang mempercayai superioritas yang mereka warisi terhadap ras yang lain. Secara

teoritis, rasisme itu berkaitan dengan persoalan biologis dan antropologis. Isu-isu mengenai ras

perlu diwaspadai karena memungkinkan provokator untuk memanfaatkan isu tersebut untuk

kepentingannya. Beberapa saat yang lalu dunia dihebohkan dengan isu rasisme di Amerika yang

menyebabkan kematian George Floyed pada 25 Mei 2020 yang menambah deretan kasus

diskriminasi ras hingga mengalami kekerasan, dan kembali menyulut emosi public yang ada di

dunia dan muncul lah gerakan protes #BlackLivesMatter (BLM). Bebrapa warga negara di

berbagai dunia melakukan demonstrasi besar-besaran. Ditengah pandemic Covid-19 beberapa

masyarakat yang mendukung tindakan anti rasisme mulai dari, Afrika Selatan, Australia, Jerman,

dan beberapa negara lainnya. Hal ini menyebabkan tersebut juga menimbulkan isu rasisme di

Indonesia kembali menjadi pembicaraan. Namun isu rasisme George Floyd berbeda dengan

kasus rasisme di Indonesia.


Isu dan Konflik Rasisme di Indonesia

Indonesia adalah suatu negara yang berbentuk multi budaya, multi etnis, agama, ras dan

multi golongan1. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya

bangsa dalam naungan Negara Kesatauan Republik Indonesia. Wilayah negara yang terbentang

luas dari Sabang sampai Marauke, memiliki sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya

budaya yang beraneka ragam bentuknya (Koentjaraningrat, 1980). Indonesia juga merupakan

negara dengan jumlah kependudukan terbanyak, berdasarkan hasil survei penduduk antar sensus

(SUPAS) 2015 julmlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 269,6 juta jiwa. Dimana

jumlah penduduk laki-laki 135,34 juta jiwa, lebih banyak sedikit dibandingkan dengan jumlah

penduduk perempuasn yang berjumlah 134,27 juta jiwa (Databoks.katadata.co.id).

Dengan kepadatan perdaerah yang memiliki ciri khas budaya yang berbeda pula antar

satu wilayah dengan wilayah lainya. Akan tetapi dari sisi lain, multi budaya juga berpotensi

dapat menimbulkan konflik yang mengancam integrase bangsa. Karena konflik antar bidaya

dapat menimbulkan pertikaian antar etnis, anatar penganut agama, anatar ras, ataupun antar

golongan tertentu yang bersifat sensitive dan rapuh terhadap suatu keadaan yang menjurus

kearah disintegrasi bangsa.

Dari perspektif Sosiologi, konflik memiliki banyak pandangan menurut berbagai ahli,

menurut Ranupandoyo dan Hasnan (1990) konflik adalah ketidak setujuan antara dua atau lebih

anggota organisasi atau kelompok-kelompo dalam organisasi yang timbul karena mereka harus

menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama, atau menjalankan kegiatan

bersama-sama, atau mempunyai status, tujuan, nilai dan persepsi yang berbeda. Pandangan

konflik menurut Robbin (1996: 431) bahwa disisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja
1
Lihat alinea kedua Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentan penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis.
kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk

meminimalisasikan konflik. Karena konflik adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam

kehidupan bersama. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah bagaimana konflik itu

dikendalikan dan diselesaikan secara damai dan bijaksana, agar tidak menimbulkan disintegrasi

sosial dalam kehidupan masyarakat (Paul,1967).

Konflik berasal dari kata kerja, yaitu configure yaitu yang berarti saling memukul. Secara

sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga

kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyinkirkan pihak lain dengan menghancurkan

atau membuatnya tidak berdaya (Chotim,2017). Menurut Soerjono Soekanto (2006), konflik

sosial dimana individu atau kelompokberusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan

menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan”. Teori konflik

menganggao bahwa unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis

atau sering kali mengalami perubahan (Chotim,2017). Adanya perbedaan peran dan status di

dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasai. Distribusi

kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi factor terjadinya konflik sosial secara

sistematis (Ritzer,2012). Jenis konflik menurut Soerjono Soekanto (Abadi,2009), membagi

konflik menjadi lima bentuk khusus berdasaekan tingkatannya, yaitu sebagai berikut;

a) Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu

atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

b) Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan ras.

c) Konflik atau pertentangan anatar kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang

disebabkannya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.


d) Konflik atau pertentngan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya

kepentingan adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok,

e) Konflik yang bersifat internasional yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan

kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.

Dari penjelasan jenis konflik diatas maka isu yang diangkat mengnai rasisme termasuk

jenis konflik pertentangan rasional. Konflik ras di Indonesia sudah lama terjadi bahkan setelah

Indonesia merdeka konflik ras sudah pernah terjadi. Beberapa konflik ras yang terjadi tidak dapat

diselesaikan dengan baik atau masih menyisakan unsur-unsur dendam dari salah satu pihak.

Beberapa waktu terakhir ini, kasus konflik ras di Indonesia kembali menjadi topik yang hangat

dan sangat memperhatikan karena harus memakan korban. Mulai pertengahan Agustus 2019

hingga 2019 rentetan kerusuhan pecah di tanah Papua. Kerusuhan pecah pertama kali di

Monokwari, Papua Barat pada 19 Agustus 2019. Kerusuhan berikutnya pecah di kota-kota lain

seperti Sorong, Fakfak, Timika, Deiyai dan Jayapura. Kemudian pada September, kerusuhan

kembali terjadi di Jayapura dan Wamena. Pemicu kerusuhan ini berulang Karena ada kasus rasial

dan hoaks yang memicu protes luas disana.

Kerusuhan berawal di bulan Agustus. Kerusuhan yang pecah di Manokwari dan sejumlah

daerah lain di Papua, bukan tanpa sebab. Berawal dari aksi protes terhadap dugaan persekusi dan

rasisme yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) dan oknum apparat terhadap,

mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, dan Semarang. Ormas disebut mendatangi asrama

mahasiswa Papua dipicu insiden dugaan perusujan bendera Merah Putih di asrama tersebut, di

Surabaya, Jawa Timur, 16 Agustus 2019. Juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Surabaya,

Dorlinc Iyowau telah membantah pengehuni Asrama Mahasiswa di Jalan Kalasan, Surabaya,

melakukan hal tersebut. Ormas mengepung Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya hingga
malam hari. Polisi meminta agar massa membubarkan diri, dan membuat laporan jika memang

ada penistaan terhadap simbol Negara.

Tidak adanya dialog yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan menyebabkan sebanyak

43 mahasiswa Papua kemudian diamankan ke mapolrestabes Surabaya. Mahasiswa dipulangkan

Minggu 18 Agustus, seharu sebelum kerusuhan di Manokwari pecah. Kemudian kasus yang

terjadi di Malang sedikit berbeda dengan kasus yang terjadi di Surabaya. Mahasiswa asal Papua

yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMO) Kota Malang terlibat bentrok dengan

warga di perempatan Rajabali, Kayutangan, Kota Malang pada kamis 15 Agustus 2019. Hal ini

bermula saat AMP hendak mengadakan demo di depan Balai Kota Malang. Namun, aksi demo

yang disebut untuk memperingati 57 tahun perjanjian New York tidak memiliki izin. Pihak polis

menyebutkan saat memberikan surat pemberitahuan, perwakilan mahasiwa Papua tidak

menyamaikan secara terus terang agenda demostrasi tersebut. Sesuai dengan Undang-Undang,

pihak kepolisian boleh tidak memberikan izin jika aksi demonstrasi tersebut bertolak belakang

dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selanjutnya adalah berita hoaks mahasiswa Papua tewas. Sebuah unggahan yang

menyebutkan seorang mahasiwa Papua meninggal dunia di Surabaya beredar di media sosial

Teittwe pada senin 19 Agustus 2019. Dalam unggahan tersebut disebutkan bahwa mahasiswa

tersebut diduga meninggal akibat pemukulan oleh apparat TNI/ Polri. Menanggapu hal tersebut,

Polri menegaskan bahwa informasi tersebut hoaks. Faktanya, pria yang ada dalam foto yang

beredar merupakan foto korban kecelakaan lalu lintas yang meniggal di TKO atau kecelakaan

lalu lintas. Kejadian laka lantas terjadi di Jalan Trikora tepatnya di depan TK paud DOK V Atas

Distrik Jayapura Utara, Papua pada selasa 19 Febuary 2019 (regional.kompas.com).


Uraian diatas disebut melatarbelakangi keurusuhan yang pecah di Papua dan Papua Barat.

Kerusuhan di bulan September terjadi lagi di Papua tidak berlangsung lama. Pada 23 September

2019, kerusuhan pecah lagi. Kerusuhan pecah di Wamena dan Jayapura. Kasus yang terjadi yakni

karena munculnya hoaks guru yang berkata rasis di sekolah. Dan pihak polisi sudah mengklaim

dan mengkonfirmasi mengenai kebenaran isu tersebut dan ternyata tidaklah benar. Dampak dari

isu dan kejadian yang ada menimbulkan kerusuhan yang terjadi di enam wilayah Papua dan

Papua Barat, yang tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tapi juga kerugian materi yang tak

sedikit. Konflik dan kerusuhan ini sangat berdampak di Jayapura (regional.kompos.com).

Di Indonesia, sebagian public membandingkan Isu ini dengan Isu Papua, dan

memunculkan tagar #PapuanLivesMatter di media sosial. Beberapa saat yang lalu diskusi yang

terjadi adalah terdapat standar ganda yang di masyarakat Indonesia yang menunjukan kepudian

tinggi terhadap rasisme di Amerika Serikat, namum cenderung diam mengenai isu diskriminasi

terkait masyarakat asli papua. Pada dasarya, kedua isu tersebut tamoaj sangat sesuai untuk

dibandingkan karena keduanya memperjaungkan anti-rasisme. Namun, penting untuk memahami

sesungguhnya apa yang melatar belakangi kedua gerakan ini, dana pa yang menjadi tujuan dari

masing-masing perjuangan tersebut.

Terdapat perbedaan mengenai kedua isu tersebut. Sejarah AS tidak dapat dipisahkan dari

perbudakan keturunan kaum Afrika (bisa disebut disana sebagai African American). Meskipun

perbudakan keturuan Afrika di AS dihapuskan pada abad ke-19, dan hak sipil serta hak untuk

berpartisipasi dalam pemilihan umum disahkan pada 1960-an, diskriminasi masih terus dialami

oleh masyarakat African American. Hal yang berbeda dengan kasus yang terjadi di Papua, adalah

isu yang paling utama adalah adanya tuntutan kemerdekaan bagi Papua. Berbeda dengan African

American, masyarakat asli Papua telah menempati wilayah tersebut bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka. Dari sejarah yang berbeda ini juga menjadikan tujuan kedua gerakan berbeda

(theconversation.com).

Analisis konflik ras Papua.

Analisis konflik dari uraian diatas adalah pertama-tama adalah melakukan pemetaan

konflik. Menurut Wehr dan Bartos (2003), dengan pemetaan sebagai berikut;

1) Specify the context; langkah pertama adalah menelusuri informasi mengenai sejarah

konflik, dan konflik yang terjadi bahwa konflik yang terjadi karena diskriminasi ras yang

dirasakan masyarakat Papua

2) Indentify the parties; langkah selanjutnya menemukan siapakah yang menjadi pihak-

pihak berkonflik.

3) Separate causes from Consequences; disisni peneliti perlu memisahkan sebab akar

konflik dan akibat-akibat sampingan dari konflik.

4) Separate goals from Interest; goal adalah sasaran selama proses konflik, lebih spesifik.

5) Understand the Dynamics; Dinamika adalah perkembangan situasi –situasi yang

dibentuk oleh berbagai model tindakan para phak berkonflik.

6) Search for Positive Functions; Adalah menemukan bentuk-bentuk perilaku yang

memungkinkan konflik bisa mengarah pada penyelesaian.

7) Understand the Regulation Potential: bagaimana aturan legal, seperti undang-undang,

bisa mengintervensi atau menggawangi proses konflik.

Konflik yang terjadi di Papua merupakan jenis konflik rasial menurut Soerjono Soekanto

dalam Furkan Abdi (2009). Konflik yang terjadi pun konflik non material karena konflik yang

terjadi bukanlah konflik mengenai perebutan suatu sumber daya. Melainkan konflik non material
yang dimana konflik ini dilihat dari akarnya. Jika konflik ini dianalisis melalui pemikiran Lewis

A Coser teori konfliknya bahwa suatu fakta konflik diperbaiki dengan cara menekankan pada sisi

konflik yang positif yakni bagaimana konflik itu dapat memberi sumbangan pada tatanan dan

adaptasi dari kelompok, interaksi dan sistem sosial atau ia sebut dengan istilah konflik

fungsional.

Coser menyatakan bahwa konflik itu bersifat fungsional (baik) dan bersifat disfungsional

(perpecahan) bagi hubungan dan struktur-struktur yang tidak terangkum dalam sistem sosial

sebagai suatu keseluruhan (Wallence dan Wolf, 1995). Bahkan, menurut Coser suatu konflik

yang terjadi dipandang fungsional positif sejauh konflik tersebut memperkuat kelompok dan

sebaliknya memiliki fungsional negatif sejauh konflik tersebut bergerak melawan struktur.

Sebab, konflik secara positif dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok

yang memantapkan keutuhan dan keseimbangan, dia menjelaskan dari hasil pengamatan

terhadap masyarakat dimana ternyata terdapat adanya hubungan antara peningkatan konflik

dalam kelompok dengan peningkatan interaksi dengan dan ke dalam masyarakat secara

keseluruhan.

Karena itu, Coser memahami konflik sebagai suatu yang inheren dalam sistem

masyarakat; dan ini tak lepas dari fakta hubungan kekuasaan dalam sistem sosial dan sifat

kekuasaan yang mendominasi dan diperebutkan. Fakta ini menciptakan steering problem.

Baginya, konflik merupakan kondisi dominasi struktural, kelompok yang berada di dalam

struktur dengan berbagai perangkat kewenangan mampu mengarahkan berbagai bentuk kebijkan

dan aturan main di luar struktur wewenang tersebut. adi, Coser dengan teori fungsi sosial konflik

menjelaskan beberapa hal, di antaranya, sebagai berikut:


1) Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,

penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial.

2) Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih

kelompok.

3) Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok

dan melindungi agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

4) Katup penyelamat (savety-valve) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat

dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.

Dari penjelasan diatas bahwa konflik yang terjadi di Papua atau terjadi bagi masyarakat

dengan ras yang berbeda. Dimana konflik ini terjadi dapat memiliki nilai positive bagi

masyarakat Papua dimana solidaritas mereka semakin kuat. Langkah selanjutnya setelah

pemetaan konflik adalah menganalisis dinamika konflik. Kunci memahami dinamika konflik

pertama adalah dengan melihat pada sumber konflik. Adapun tahapan dinamika Konflik menurut

Fisher (2001) sebagai berikut;

1) Prakonflik adalah priode di mana terdapat suatu ketidak sesuaian sasaran di antara

dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Dimana konflik yang terjadi

belakangan hanya karena isu hoaks mengenai hal tertentu yang menyingung ras

tertentu.

2) Konfortasi memperlihatkan satu tahap di mana konflik mulai terbuka. Melihat dimana

konflik sudah mulai terlihat dianatar salah satu pihak.

3) Krisis adalah puncak konflik dimana tahap konflik pecah bentuk aksi-aksi kekerasan

yang dilakukan secara intens dan masal.


4) Pascakonflik adalah situasi diselesaikan dengan cara megakhir berbagai konfrontasi

kekerasan, ketegangan berkurangan dan hubungan mengarah kelebih normal

dianatara kedua belah pihak.

Dengan menganalisis dinamika konflik, seorang analis konflik bisa menemukan langkah

multidisipliner yang bisa digunkan untuk mengintervensi konflik. Menurut Moore dalam

Bukunya Mediation Process (2003). Intervensi berarti maasuk ke dalam sistem hubungan yang

sedang berlangsung, melakukan kontak di antara dua pihak atau beberapa pihak, untuk

membantu mereka. Pada saat intervensi berlangsung sistem hubungan tersebut berjalan secara

independen dari intervenor. Berikut tingkatan Intervensi konflik.

1) Peace Making menciptakan perdamaian yang bisa muncul dalam bentuk intervensi

militer.

2) Peace keeping menjaga perdamian yang juga muncul dalam bentuk intervensi militer

agar pihak yang sudah tidak bertikai tidak kembali melakukan aksi kekerasan.

3) Conflict Management pengelolahan konflik yang mulai menciptakan berbagai usaha

pemecahan masalah dengan melibatkan berbagai pihak untuk memecahkan masalah,

beberapa tindakan pengelolahan konflik ini bisa dalam bentuk negosiasi, mediasi,

penyelesaian jalur hukum, arbitrasi, dan workshop.

4) Peace building Pembangunan Perdamaian yang merupakan proses peningkatan

kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak yang bertikai.

Semua proses diatas merupakan bagian dari taransformasi konflik, yaitu suatu proses

menganggulangi berbagai masalah dalam konflik, sumber-sumber dan konsekuensi negative

konflik.
Daftar Pustaka

Agus Alim. 2006. Strarifikasi Etnik. Tiara Wacana. Semarang

Alo Liliweri. 2005. Perangka dan konflik, komunikasi lintas budaya multi kultur. LKIS.
Yogyakarta.

Coser, Lewis. The Funcions of Social Conflict. NewYork: Free Press, 1956.

Fisher, Simon, dkk. 2001.Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi Untuk Bertindak. The
British Council. Jakarta.

Hesti Arniwulan Sochmawardani. 2013. Diskriminasi rasial dalam hukum HAM, studi Tentang
diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa. Genta Publishing. Yogyakarta.

Koentjaraningrat, 1985.Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia,

Dardji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat
hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996.

Marger, Martin N. (1994) Race and ethic relations: 3rd ed Belmount, California: Wadswouth
Publishing Company

Novri Susan. 2019. Sosiologi Konflik, teori-teori dan Anlisis konflik.

Otomar, Bartos J. and Paul Wehr. Using Conflict Theory. Cambridge University Press, 2002.

Paul, Collier. 2003. Breaking the Conflict Trap: Civil War and Development Policy. Washinton,
DC.: The World Bank,.

Rachman., Munawar, B., Hidayat., Dedy N., dkk. (1999). Dari Keseragaman Menuju
Keberagaman : Wacana Multikultural Dalam Media. Jakarta : Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP).

Soerjono Soekanto (2006). SosiologiSuatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Wallance and Wolf. Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to Post
Modernity. New Jersey: Prentice Hall, 1995.

https://suarapapua.com/2020/06/05/indonesia-dan-rasisme-terhadap-rakyat-west-papua/

https://theconversation.com/membandingkan-gerakan-black-lives-matter-di-amerika-dan-
papuan-lives-matter-di-indonesia-apa-yang-sama-apa-yang-beda-140069
https://suarapapua.com/2020/01/03/diskriminasi-rasial-terhadap-orang-papua-tidak-akan-pernah-
berhenti/

https://theconversation.com/telah-lama-dunia-menghadapi-pandemi-rasisme-bagaimana-cara-
menghentikannya-140845

https://tirto.id/rusuh-di-papua-barat-karena-rasisme-bukan-yang-lain-egAf

https://www.medcom.id/nasional/politik/nN9011RK-polemik-papua-tak-bisa-dibandingkan-
dengan-kasus-george-floyd?
utm_source=nasional&utm_medium=terkait&utm_campaign=detail_desktop

https://regional.kompas.com/read/2019/12/30/07000031/kaleidoskop-2019--kerusuhan-di-papua-
buntut-kasus-rasial-dan-hoaks?page=all

http://www.pinterpolitik.com/bara-sosial-di-rasisme-papua/

Anda mungkin juga menyukai