Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


PANCASILA DALAM PERMASALAHAN SARA

DISUSUN OLEH :

1. MUHAMMAD ABDUL NASSER NIM : 17263031


2. DIAN PRANATA TAMPUBOLON NIM : 17263016
3. ITA PUTRI NUR HERMAYA NIM : 17263024

DOSEN PENGAJAR :
DWI WULAN TITIK ANDARI, A. Ptnh, M. Pd.

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV PERTANAHAN


SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Agama mengemban fungsi memupuk persaudaraan. Walaupun fungsi


tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta konkrit dari zaman ke zaman, namun
disamping fakta yang positif itu terdapat pula fakta yang negatif, yaitu fakta
perpecahan antar manusia yang kesemuaannya bersumber pada agama.
Perpecahan tidak akan terjadi jikalau tidak ada konflik (bentrokan) terlebih dulu.
Lebih lanjut secara sepintas telah disoroti pula masalah perpecahan dalam konteks
krisis kewibawaan agama. Demikian pun dijabarkan juga masalah bentrokan
(konflik) antara agama dan ilmu pengetahuan, meskipun hanya secara singkat.
SARA adalah merupakan singkatan dari Suku agama dan Ras antar Golongan
serta adat istiadat. Keempat hal tersebut adalah merupakan isu penting jika
dikaitakan dengan peristiwa pertentangan dan konflik dalam masyarakat. Dalam
suatu tatanan sosial masyarakat perbedaan antara suku ras dan agama sangatlah
majemuk dan beragam. keberangaman tersebut sesungguhnya menjadi salah satu
kekayaan tersendiri yag dimiliki oleh negara Republik Indonesia.
Disisi lain isu SARA terkadang mendatangkan dampak negatif dan bahkan
berdampak pada terjadinya pertentangan dan konflik yng berkepanjangan yang
justru merugikan dan bahkan mengahambat laju pembangunan. Secara khusus
terdapatnya perbedaan Suku di Indonesia disebabkan oleh karena indonesia
adalah merupakan negara yang terdiri dari beberapa pulau yang memiliki karakter
masyarakat, kebudayaan, kebiasaan, adat istiadat dan kepercayaan yang berbeda.
Kemajemukan tersebut yang menjadi ciri khas dari negara kesatuan Republik
Indonesia. Dalam konteks wawasan Nusantara keterpaduan dan persatuan yang
terjalin menjadi wawasan nusantara mejadi kebanggaan tersendiri. Di Indonesia
terdapat Suku-suku diantaranya Bugis, Makasar, Menado, Jawa, Sunda, Batak dan
sebagainya.
Selain kemajemukan suku tersebut dengan karakteristik yang berbeda juga
terdapat kemajemukan dan perbedaan kepercayaan yang dianut oleh maisng-
masing kelompok atau suku tertentu. Di indonesia terdapat lima macam agama
yang diakui diantaranya Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha, dan terdapat
beberapa jenis aliran kepercayaan yang dapat dijalankan oleh pemeluknya di
Negara Republik Indonesia.
Disamping memiliki dampak positif dari kemajemukan tersebut, disisi lain
sesungguhnya sangat rentan untuk terjadi konflik pertentangan antara suku, agama
dan ras. Konflik tersebut harus di eliminir seminimal mungkin agar tidak terjadi
konflik yang berkepanjangan. akan tetapi dari keberagaman tersebut sejarah telah
membuktikan bahwa telah terjadi pertentangan dan konflik yang berkepanjangan
yang dilatar belakangi oleh isu SARA.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas , maka dirumuskan
permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud SARA?
2. Apa perbedaan suku dan ras agama?
3. Apa saja tindakan-tindakan SARA?
4. Apa contoh konflik yang ada di Indonesia secara umum?
5. Bagaimana cara mengatasi konflik tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN SARA ( SUKU AGAMA RAS DAN ADAT ISTIADAT)


Sara adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas
yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Dalam
pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak
adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang
diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai
dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-
bedakan yang lain. SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Katagori :
a. Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu
maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan
yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun
golongan.
b. Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu
institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau
tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun
kebijakannya.
c. Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos tradisi dan ide-idediskriminatif
melalui struktur budaya masyarakat.

2. PERBEDAAN SUKU DAN RAS PEMELUK AGAMA


Bahwa perbedaan suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi
penghalang untuk menciptakan hidup persaudaraan yang rukun hal itu sudah
terbukti oleh kenyataan yang menggembirakan dan hal itu tidak perlu dibicarakan
lagi. Yang menjadi masalah disini ialah, apakah perbedaan suku dan ras ditambah
dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan
perpecahan antar umat manusia. Khususnya apakah dalam satu Negara yang
terdiri dari berbagai suku bangsa dan yang menerima adanya agama yang
berbeda-beda bukannya membina dan memperkuat unsur penyebab yang lebih
kuat untuk menimbulkan perpecahan bangsa dan Negara itu.
Bahwa faktor ras itu sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan
bertambahnya permusuhan dan pencarian jalan keluarnya, dan kesemuannya itu
menjadi bahan menarik dalam diskusi ilmiah maupun dalam kalngan kaum
politisi, adalah merupakan masalah yang tetap actual yang tidak dijadikan sasaran
dari pembicaraan kita sekarang ini. Masalah itu telah menjadi bahan pembicaraan
ilmiah dari ilmu biologi dan politik namun demi lebih jernihnya masalah yang
kita bicarakan ada satu hal sangat menarik dari kalangan sarjana biologi, perlu kita
tampilkan disini. Asumsi yang terkenal itu dan telah mengundang banyak
sanggahan yang gigi ialah dari Arthur de Gobineau, dalam karangannya yang
menjadi klasik Essai sur Inegalite des races humaines, tahun 1853-1855. Asumsi
itu pada intinya menyatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi bangsa
manusia, dan bahwa ras itu dipanggil untuk membawakan obor kemajuan di dunia
ini dan bahwa ras yang bukan kulit putih ditakdirkan untuk tidak dapat
menhasilkan sesuatu yang yang berarti dalam bidang kemajuan.
Kesombongan rasial itu bertumbuh mencapai klimaksnya dalam pendirian
bangsa Jerman bahwa bangsa itu merupakan manusia super, yang mendapat
tugas di dunia ini dari kekuasaan ilahi, untuk menghancurkan jenis ras yang lebih
rendah. Patut disayangkan bahwa ilusi congkak itu telah diwujudkan oleh regim
Hitler dalam pembunuhan kejam terhadap jutaan manusia dari suku bangsa
Yahudi. Namun dalam keseluruhan perbuatan anti rasial yang tak mengenal
perikemanusiaan itu tidak ditemkan unsurperbedaan agama sebagai dasar
pertimbangannya. Kebenaran asumsi akan lebih penuh bagi sekelompok bangsa
yang berpendirian bahwa setiap bangsa mempunyai agamanya sendiri.Misalnya;
agama Islam untuk bangsa arab, agama hindu dan budha untuk India, agama jawa
untuk bangsa jawa.
Contoh lain yang memperkuat pendirian mengenai situasi konfliktual atas
dasar perbedaan agama dan ras bersama-sama, dapat dilihat dalam wilayah
Negara Indonesia tersendiri. Suku bangsa aceh yang beragama islam dan suku
bangsa batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam
ketegangan, bahkan dalam konfik fisik (sering terjadi) yang merugikan
ketentraman dan keamanan. Demikian pula suku Flores yang beragam katolik dan
suku bali yang memeluk agama hindu-bali hidup dalam jarak sosial yang kurang
lancer. Masalah suku dan agama yang merupakan bagian dari apa yang disebut
SARA itu belum ditangani oleh penelitian sosiologis. Yang perlu dicari jawaban
ilmiahnya ialah soal sejauh mana perbedaan suku dan agama merupakan
penghambat kesatuan nasional yang kuat.

3. TINDAKAN - TINDAKAN SARA


Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan
pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini
melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. Ketika
seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antar golongan,kelamin, ras,
agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan
dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau
kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan
sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak
langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di
lapangan.

4. CONTOH MASALAH SARA SECARA UMUM DI INDONESIA SARA


akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu sebabterjadinya
berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara suku Madura dan sukuDayak di
Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makasar dan penduduk asli Timoryang kemudian
berkembang menjadi pergesekan antaragama Katolik dan Islam,merupakan contoh peristiwa
SARA (suku, agama, ras, antargolongan) di negara kita.Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan
suku bangsa, maka masalah SARA merupakan hal biasa. Dalam masalah SARA ada beberapa
hal yang perlu dicermati adalah :
a. Pertama, hubungan antara suku pribumi dan nonpribumi sampai saat ini belum dapat
dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu potensial timbulnya konflik sosial.
b. Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor pendorong timbulnya "nasionalisme
daerah" berupa upaya memisahkan suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia,
meskipun masalah ini secara historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini
memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928.
c. Ketiga, ada gejala bergesernya sebab pemicu: timbulnya gejolak sosial dari masalah
SARAke masalah yang bersifat struktural.
d. Keempat, seimbang antara suku dalam akses mereka pada sumber alam.
e. Kelima, pada tingkat makro lain seperti belum terciptanya birokrasi yang secara
politisnetral. Perspektif seperti ini akan melihat masalah sebenarnya yang kini dihadapi
bangsa ini, karena SARA hanya merupakan limbah masalah dasar itu serta wahana
mobilisasi masyarakat guna menarik perhatian pemerintah untuk menyelesaikan
masalah dasartersebut. Indonesia memang perlu perubahan apabila ingin memasuki
abad ke-21 dengan utuh sebagai suatu bangsa. SARA tak akan mampu memicu
terjadinya suatu ketegangan apabila tak terkait dengan faktor struktural yang ada dalam
masyarakat. Singapura dan Malaysia adalah negara multietnik dan multibudaya, namun
hubungan antaretnik relatif harmonis. Hipotesis saya, karena Pemerintah Malaysia dan
Singapura -bersertaaparaturnya- termasuk pemerintahan yang bersih, baik dari segi
ekonomi maupun politik. Karena aparatur kedua pemerintahan itu bersih, maka
keadilan pun terjamin. Masih sulit untuk mengatakan bahwa kita telah memiliki suatu
pemerintahan yang bersih.Akibatnya, keadilan sulit dicapai.Sekelompok etnik tertentu,
yang bekerja sama denganaparatur negara yang tak bersih, mampu lebih cepat
memanfaatkan kesempatan yangdiciptakan pemerintah. Hal ini kemudian
menimbulkan masalah SARA atau sikap antiterhadap suku tertentu. Tapi kita perlu
memahami bahwa masalah tersebut muncul karenakelompok etnik itu mengalami
political insecurity dalam masyarakat, sehingga merekaperlu mencari security melalui
aliansi dengan aparatur pemerintah yang mengalami economic insecurity. Gejala
menarik yang terjadi di negara kita, adanya satu birokrasi yang merupakan bagian suatu
organisasi sosial politik (orsospol). Ketidaknetralan birokrasi itu dapat memancing
ketegangan sosial yang manifestasinya adalah pada tindakan SARA.Contohnya,
beberapa gejolak sosial pada Pemilu 1997, seperti terjadi di Pekalongan.Dalam hal ini,
kita dapat mendeteksi adanya political insecurity di kalangan aparatur, yakni takut
kehilangan jabatan apabila orsospol tertentu kalah. Political insecurity itu
seringdimanifestasikan dalam tingkah laku yang bersifat overakting, yang dapat
menimbulkanreaksi keras dari orsospol lain, yang pada akhirnya menimbulkan
tindakan SARA.Bagaimanapun, SARA adalah bagian dari bangsa dan negara
Indonesia. Kita tak dapat menghindar dari masalah ini.
5. PENANAGANAN KONFLIK/KASUS SARA DI INDONESIA
Indonesia adalah negara hukum, dimana semua hal di Indonesia diatur dengan
hukum. Hal tersebut berlaku pula dalam konflik/kasus SARA. Berikut adalah
Undang-undang yang mengatur tentang kasus SARA yang terjadi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis
Pasal 4
1. Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:
Memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan
berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau
pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik,
ekonomi, sosial, dan budaya; atau
2. Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan
ras dan etnis yang berupa perbuatan:
3. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau
disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat
atau dibaca oleh orang lain;
4. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat
umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
5. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di
tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
6. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan,
perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan
kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Pasal 16
Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci
kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000
(lima ratus juta rupiah).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik
Pasal 28
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Pasal 45
(2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Pasal 156 KUHP barang siapa di depan umum menyatakan perasaan


permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap satu atau lebih suku bangsa
indonesia di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat tahun)
dengan hukuman denda setinggi-tingginya 450.000,00 (empat ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 157 Ayat 1 barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung
pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan di antara atau
terhadap golongan rakyat indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh
umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan .
UUD No 32 Tahun 2004 Pasal 78 Huruf B dalam kampanye dilarang menghina
seseorang, agama, ras, suku, golongan, dan calon kepala daerah atau wakil kepala
daerah atau partai politik. .
Pasal 116 Ayat 2 bagi tiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 Huruf B.
Maka akan diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga bulan) atau palin
lama 18 (delapan belas bulan) dan atau denda paling sedikit 600.000,00 (enam
ratus ribu rupiah) dan paling banyak 6.000.000,00 (enam juta rupiah)

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Konflik sebagai kategori sosiologis bertolak belakang dengan pengertian
perdamaian dan kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses
assosiatif, sedangkan yang pertama dari proses dissosiatif Proses assosiatif adalah
proses yang mempersatukan; dan proses dissosiatif sifatnya menceraikan atau
memecahkan. Fokus kita tertuju kepada masalah konflik atau bentrokan yang
berkisar pada agama. Dalam konteks ini konflik sebagai fakta sosial melibatkan
minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama, bukannya sebagai konstruksi
khayal (konsepsional) melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi
di zaman sekarang. Misalnya: bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba dengan
umat Yuhudi, benturan umat Kristen dengan penganut agama Romawi (agama
kekaisaran) dalam abad pertama sampai dengan ketiga. Dalam penyorotan
sekarang ini kita hanya ingin mengkhususkan pada suatu sumber bentrokan saja,
yaitu : perbedaan iman. Dan berkaitan dengan iman juga perbedaan mental setiap
umat beragama. Bahwa perbedaan iman (dan doktrin) de facto menimbulkan
bentrokan tidak perlu kita persoalkan, tetapi kita menerimanya sebagai fakta dan
mencoba untuk memahami, dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat
beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing terutama dari
benturan itu.
Faktor-faktor penyebab konflik diantaranya perbedaan doktrin dan sikap
mental, perbedaan suku dan ras beragama dan perbedaan tingkat kebudayaan.
Perbedaan iman menimbulkan bentrokan yang tidak perlu kita persoalkan, tetapi
kita menerimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami dan mengambil
hikmahnya.

Anda mungkin juga menyukai