Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ilmu merupakan perkataan yang memiliki makna lebih dari satu arti. Oleh
karenanya diperlukan pemahaman dalam memaknai apa yang dimaksud. Menurut
cakupannya pertama-tama ilmu adalah istilah umum untuk menyebut segenap
pengetahuan ilmiah dalam satu kesatuan. Dalam arti kedua ilmu menunjuk pada
masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pokok tertentu.
Maksud dari pengertian ini adalah bahwa ilmu berarti suatu cabang ilmu khusus.
Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan
pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti
jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang
berupa pengetahuan. Gerak pemikiran ini dalam kegiatannya mempergunakan
lambang yang merupakan abtraksi dari objek yang sedang kita pikirkan. Bahasa
adalah salah satu lambang tersebut dimana objek-objek kehidupan yang konkrit
dinyatakan dengan kata-kata dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahun
ini merupakan produk kegiatan berfikir yang merupakan obor peradaban dimana
manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.
Kemajuan peradaban adalah karena kemajuan tradisi keilmuan, maka
untuk membangun kembali suatu peradaban tertentu, yang harus dilakukan untuk
pertama kali adalah membangun kembali tradisi keilmuan tersebut. Kita bisa
menengok kembali sejarah Islam beberapa abad silam. Dalam sejarah tersebut,
tertoreh tinta emas Islam menyinari peradaban dunia dengan kemajuan tradisi
keilmuan ketika itu. Hal ini bukan untuk sekedar bernostalgia akan kejayaan
Islam, lantas kemudian menjadikan kita bangga dan lupa diri. Setidaknya dengan
mempelajari sejarah, kita bisa mengambil pelajaran berharga darinya.
Dalam dunia Islam, ilmu merupakan prasyarat utama dalam memperoleh
kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Adalah suatu kewajaran bila
dikatakan sebab kemunduran peradaban Islam saat ini adalah karena karena krisis

1
ilmu dalam tubuh Islam. maka dalam upaya menegakkan kembali peradaban
Islam, tidak berlebihan jika dikatakan adalah dengan menegakkan bangunan ilmu.
Dimana upaya tersebut adalah dengan mengerahkan kembali pemikiran atau pola
pikir manusia agar sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Islam. jadi membangun
peradaban Islam bukanlah dengan upaya pembangunan prasarana fisik yang diberi
label Islam, tapi ia adalah membangun kembali pola berfikir umat Islam.
Dalam hal ini, kita akan membahas tentang suatu konsep ilmu dalam Islam
yang menjadi bagian dari Islamic Worldview atau pandangan hidup Islam. konsep
ini mempunyai ciri khas tersendiri yang menjadikannya berbeda dengan konsep-
konsep dalam peradaban lain. Dalam dunia filsafat, konsep ini disebut dengan
epitemologi. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang menjadi dasar dari
pencarian cabang lainnya, yaitu ontology dan aksiologi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Konsep Ilmu Dalam Islam?
2. Apa saja Objek Pengetahuan?
3. Dari Manakah Sumber Ilmu Berasal dan Bagaimana Cara
Memperolehnya?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP ILMU DALAM ISLAM


Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil
dari perkataan ‘alamah, yaitu tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya
sesuatu atau seseorang dikenal. Dalam menjelaskan ilmu secara terminology, al-
Attas menggunakan dua definisi, pertama, ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari
Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu
atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang
diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya
jiwa (wushul) pada makna sesautu atau obyek ilmu. Hal ini berimplikasi ilmu itu
mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa kedatangan yang
dimaksud adalah proses yang di satu pihak memerlukan mental yang aktif dan
persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan di pihak lain keridhaan serta kasih
sayang Allah SWT sebagai zat yang memberikan ilmu. Definisi ini
mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran, yang juga disebut proses
perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses spiritual.
Selain kata ilmu, ada kata lain yang sering disamaartikan dengan ilmu,
yaitu sains. Pada kenyataannya, keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya
keduanya memang berneda. Dalam menjelaskan definisi sains, Mulyadhi
kartanegara mengutip Kamus Webster’s New World Dictionary, sebagai
“pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasii, kajian, dan percobaan
yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau dari sesuatu yang dikaji.
Definisi ini dari hari ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakins
empit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala obyek pengetahuan, baik itu fisik,
metafisik, maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian fisik empirik
saja, tanpa menghiraukan adanya entitas-entitas metafisika yang merupakan
bagian dari epistemologi. Dari pembatasan ini, akan muncul anggapan bahwa
sains adalah kajian yang langsung bisa dibuktikan dengan kongkrit dan jelas, dan

3
itu hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik saja. Di sinilah letak
kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi keilmuan Barat.
Selanjutnya, dalam pemilahan (bukan pemisahan) ilmu ini kita bisa
menemukan beberapa konsep yang diberikan oleh para ilmuwan Islam. Di
antaranya adalah Ibnu Khaldun. Beliau memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu
naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-
ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil
rasional). Termasuk yang pertama adalah ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu
kalam, tawsawuf, dan ta’bir al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat
(metafisika), matematika, dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.
Selain Ibnu Khaldun, sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua
jebis, ‘ilm syar’iyyah dan ‘ilm ghair syar’iyyah. Yang pertama digolongkan
sebagai ilmu fardhu ‘ai untuk menuntutnya, sedangkan yang kedua sebagai ilmu
fardhu kifayah. Sekalipun al-Ghazali membedakan antara keduanya dalam hal
penuntutannya, beliau menggunakan konsep integral dalam memandang ilmu
secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat dari penggolongan kedua ilmu
tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.
Dalam Risalah-nya, al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat
yang inheren dalam keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh
untuk memperoleh dan menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan
dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai obyek dan manusia sebagai
subyek. Dalam klasifikasinya tersebut, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian,
yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah) dan ilmu sains, dalam bahasa Melayu yang
pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu
pengetahuan. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan
sebagai ilmu fardhu ‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam.
Sedangkan ilmu pengetahuan dalam kategori kedua berkaitan dengan fisik dan
obyek-obyek yang berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui
penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ia bersifat fardhu kifayah dalam
perolehannya. Hubungan antara kedua kategori ilmu pengetahuan ini sangat jelas.
Yang pertama menyingkap rahasia Being dan eksistensi, menerangkan dengan

4
sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, serta menjelaskan
maksiud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya.
Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus menjadi
pembimbing kategori ilmu yang kedua.
Dari pembagian ini, bisa kita simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak
hanya meliputi ilmu-ilmu ‘aqidah dan syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut,
kita masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa
dengan ilmu syar’iyyah kita akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah,
yang bisa disebut dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair syra’iyyah, kita
akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini, yang
disebut dengan tafakkur. Dalam hal ini, kita bisa telaah bahwa dua aktifitas ini
merupakan implementasi dari ayat al-Quran surat Ali ‘Imran ayat 190-191,
dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para pelakunya.
Muhammad Iqbal pernah menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan
kreativitas Allah. Karena bagi siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap
alam, sebenarnya mereka telah melakukan penelitian terhadap cara Allah bekerja.
Dengan demikian sebuah penelitian ilmiah, sangat mungkin untuk menambah
iman para pelakunya, bukan malah sebaliknya –seperti sering terjadi di Barat-
yang malah menyingkirkan Tuhan dari arena penelitian mereka. Maka di sinilah
letak integralisasi ilmu –antara iilmu fisik empiric dengan metafiska- ilmu dalam
Islam.

B. OBYEK ILMU
Dalam menjelaskan obyek ilmu pengetahuan ini, para filosof Muslim
memberikan penjelasan mengenai obyek-obyek ilmu pengatahuan sesuai dengan
status ontologisnya. Selama ini para filosof Barat hanya mengakui keberadaan
obyek yang memiliki status ontologis yang jelas dan materil, yakni obyek-obyek
fisik. Berbeda dengan para filosof Muslim yang mempunyai pandangan bahwa
entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas
non-fisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika.

5
Darinya tersusun hirarki wujud yang dimulai entitas metafisik, matematik,
dan entitas fisik. Dalam hal ini, al-farabi mengemukakan hirarki wujud menurut
persepsinya: [1] Tuhan yang merupakan sebab utama keberadaan wujud lainnya.
Tuhan yang berada pada puncak hirarki wujud lainnya di alam semesta ini. [2]
Malaikat yang merupakan wujud imateril. Malaikat sering disebut sebagai akal
aktif (al-‘aql al-fa’l) sebagaimana yang sering dikatakan oleh Ibn Sina. Namun
bagi Suhrawardi, ia disebut sebagai cahaya (nur al-aqrab). [3] Benda-benda
angkasa. Benda-benda ini diyakini memiliki akal dan jiwanya masing-masing.
Menurut Ibn Sina, benda-benda angkasa ini memberi pengaruh terhadap benda-
benda fisik. [4] Benda-benda bumi. Lebih jelas lagi al-farabi mengemukakan lima
macam benda bumi dari tingaktan yang paling rendah; unsure-unsur, mineral,
tumbuh-tumbuhan, hewan irrasional, hewan rasional (manusia).
Di tempat lain, al-Attas menyusun tingaktan-tingkatan eksistensi sesuai
dengan keragaman tingkat operasional indera-indera eksternal dan internal,
sebagaimana berikut: [1] Eksistensi nyata (haqiqi) yang ada pada tataran obyektif,
seperti dunia inderawi dan eksternal. [2] Eksistensi inderawi (hissi) yang
mencakup mimpi, visi, ilusi, dan lain-lain. [3] Eksistensi imajinasi (khayali), yaitu
objek dari fenomena alam yang hadir dalam imajinasi ketika obyek tersebut tidak
terlihat. [4] Eksistensi intelektual (‘aql) yang terdiri dari konsep-konsep abstrak
dalam pikiran manusia. [5] Eksistensi analogi (syibhi), yaitu eksistensi yang tidak
termasuk di antara kategori eksistensi yang disebutkan di atas, tetapi menyerupai
sesautu dalam aspek-aspek tertentu. Eksistensi ini berhubungan dengan daya
kognitif jiwa. [6] Eksistensi suprarasional atau transenden, yang di dalamnya
segala sesuatu bisa “dilihat” sebagaimana adanya, dialami oleh para nabi, wali,
dan mereka yang tercerahkan dan betul-betul mendalam ilmunya. Pada level ini,
kebersatuan antara mengetahui dan cara mengetahui berarti bersatunya pemikiran
dan being atau eksistensi.
Dengan hirarki tersebut, epistemologi Islam tidak hanya mengakui
keberadaan dunia di luar dunia yang dapat diindera saja. Dunia inderawi hanya
merupakan satu bagian kecil dan bukan segala-galanya sebagai obyek
pengakajian.

6
B. SUMBER ILMU DAN CARA MEMPEROLEHNYA
Sudah disinggung di awal, bahwa obyek ilmu dalam Islam tidak hanya
terbatas pada kajian fisik empirik saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan
epistemologi Barat Modern. Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari
ilmu dalam Islam yang mempunyai perbedaan signifikan dengan epistemologi
Barat, kalau Barat hanya mengakui indera dan rasio, spekulasi filosofis dalam
epistemologinya, maka dalam pandangan filosof Muslim, ilmu yang datang dari
Tuhan dapat diperoleh melalui: [1] Indera sehat (hawass salimah), di sini terdiri
dari dua bagian, yaitu panca indera eksternal dan internal. Panca indera eksternal
terdiri dari peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing),
dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indera internal adalah akal sehat
(common sense/al-hiss al-musytarak), indera representative (al-khayaliyyah),
indera estimatif (al-wahmiyyah), indera retentif rekolektif (al-hafizhah al-shadiq),
dan indera imajinatif (al-mutakhayyilah). [2] Laporan yang benar (khabr shadiq)
berdasarkan otoritas yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu otoritas
ketuhanan, yaitu al-Quran, dan otoritas kenabian. Dan otoritas nisbi, yaitu
kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang yang terpercaya secara
umum. [3] Intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound
reason/ratio), dan ilham (intuition).
Sebagai penjelasan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera,
yang dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu
pengetahuan mengenai realitas empiris. Dalam hal metode yang berasangkutan
dengan indera disebut dengan tajribi (eksperimen atau observasi) bagi obyek-
obyek fisik (mahsusat). Metofr observasi ini biasanya menggunakan sumber
pengetahuan panca indera. Namun terkadang ia membutuhkan pada alat-alat
Bantu bagi indera yang tanpanya pengamatan indera tidak akurat dalam
memperoleh pengetahuan.
Demikian pula pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan
saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu
yang jeals, yaitu perkara-perkara yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan

7
mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan indera. Akal bukan hanya rasio, ia
adalah fakultas mental logika. Dalam kaitannya dengan metode, ia berkaitan
dengan metode burhani, (logis/demonstrasi).
Sedangkan metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut dengan ‘irfani
atau dzauqi. Ciri khas dari metode ini adalah sifatnya yang langsung –tidak
melalui perantara sehingga sering disebut dengan mukasyafah (penyingkapan)
langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasaia-rahasia dari realitas
yang ada. Metode ini bukan melalui pencerapan indera ataupun penalaran akal,
akan tetapi melalui iluminasi yang diarahkan Tuhan pada hati manusia. Caranya
bukan dengan mempertajam pengamatan indera, bukan pula dengan alat canggih,
akan tetapi dengan cara membersihkannya dari segala debu egoisme dan kotoran
dosa-dosa. Dalam hal ini, para filosof dan sufi menyebut modus dari pengetahuan
ini dengan ilmu hudhuri. Di sini obyek yang diteliti dikatakan hadir dalam diri
atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subyek dan obyek.
Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal
menganggap bahwa intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada
persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Menurut al-
Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa dikomunikasikan, tetapi
pemahaman mengenai kendungannya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya
bisa ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah
adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan
mereka dan yang tertinggi dialami oleh para nabi. Menurut Iabal, dari intuisi
mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya, akhrinya bisa mengalami intuisi
mengenai Allah, sebuah pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena
kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia
mengetahui Tuhannya.” Metode yang terakhir disebut dengan metode ‘irfani.
Hubungan Sains, Filsafat, dan Agama
Banyak sumber yang bisa dibaca untuk menelusuri hubungan antara sains,
filsfat, dan agama. Bahkan, saat ini sedang marak diperbincangkan masalah
keterkaitan dan hubungan antara ketiga hal di atas, baik itu oleh ilmuwan Islam,
maupun Barat. Hal ini dikarenakan adanya berbagai krisis multidimensional yang

8
diakibatkan hegemoni sains modern Barat yang menjadikan sains hanya meliputi
dunia fisik dan alam raya ini. Dengan keangkuhannya, sains modern telah
mempelakukan alam dengan semena-mena. Maka ada kecenderungan masa kini
untuk menemukan solusi bagi krisis tersebut dengan kembali mempertanyakan
hubungan antara sains, filsfat, dan agama.
Jika ditelusuri, pada awalnya antara ketiga hal tersebut di atas bersatu
dalam suatu kesatuan, yaitu ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun
mengemukakan bahwa ilmu yang tersdiri dari dua bagian (aqliyah dan naqliyah)
merupakan kesatuan yang bersumber pada yang satu. Keduanya menyingkap
berbagai ayat atau tanda keberadaan-Nya. Para ilmuwan Muslim terdahulu, seperti
Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Nashiruddin al-Thusi, dan
lainnya juga tidak pernah mempersalahkan ketiganya pada level pertentangan.
Bahkan tidak jarang ketiga hal tersebut bersatu pada satu sosok ilmuwan Muslim.
Pertentangan antar ketiganya mulai muncul berawal pada abad pertengahan, yaitu
seiring dengan munculnya gerakan modernisasi yang terjadi di dunia Barat pada
abad 16. Era modern ini ditandai dengan pandangan hidup yang saintifik dengan
warna sekularisme, rasionalisme, empirisme, cara berfikir dikotomis,
desakralisasi, pragmatisme, dan penafian kebenaran metafisis (agama). Selain itu
modernisme yang terkadang disebut juga dengan westernisme membawa serta
paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme, liberalisme, sekularisme dan
sejenisnya.
Pada masa ini, paradigma ini mulai dihancurkan oleh posmodernisme yang
“mengaku” mengevaluasi paradigma modernisme. Pstmodernisme menggariskan
gerakan kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, dan
persamaan gender dan umumnya anti worldview. Namun, pada kenyataannya,
postmodernisme hanya merupakan kelanjutan dari paradigma modernisme itu
sendiri, karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme, dan
pluralisme.
Dampak dari paham, aliran, dan pemikiran yang dibawa modernisme dan
postmodenisme terhadap paham ilmu pengetahuan sangatlah besar. Nilai-nilai
yang berhubungan dengan metafisika dilepaskan dan hanya mengakui realitas

9
empiris. Lebih jauh lagi pandangan postmodernisme yang menganggap
metrafisika secara peyoratif sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan
manusia yang fundamental. Ini adalah preposisi logis dari paham nihilisme.
Serangan doktrinnihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas
serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah, semua pandangan ini merupakan
hasil dari sebuah pandangan hidup (worldview) sains. Sederhanya ini adalah
sebuah tafsiran atas sains atau sering disebut saintisme. Dalam mengahdapi
tantangan ini beberapa ilmuwan Muslim mencoba merumuskan teori-teori sebagai
solusi dari permasalahan ini. Dari padanya terciptalah sebuah konsep tentang
”Islamisasi Sains Modern” yang digalakkan oleh para ilmuwan Muslim, seperti
Syed Mohammad Naquib al-Attas, Sayyed Hossein Nasr, Ismail Raji al-Faruqi,
Osman Bakar, dan Ziauddin Sardar. Islamisasi sains modern merupakan proses
integrasi antara sains dan agama, dalam hal ini adalah Islam.
Dalam definisinya, Syed Mohd. Naquib al-Attas menjelaskan bahwa
Islamisasi adalah pembebasan manusia dari tradisi magis muitologis, animistis,
kultur nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham
sekularisme terhadap pemikiran dan bahasa. Ia juga merupakan pembebasan dari
control dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat
diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap
hakika dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya dan
berbuat tidak adil terhadapnya.
Proses ini kemudian berjalan dalam dua proses, yaitu pembebasan sains
dari makna, tafsiran, ideologi, dan prinsip-prinsip materialisme sekuler (ateis),
yang dibarengi dengan penanaman nilai-nilai dan prinsip ketuhanan yang sesuai
dengan ajaran Islam.
Pada definisi yang lain, Sayyed Hossein Nasr dan Osman Bakar
memahami islamisasi sains sebagai upaya menterjemahkan pengetahuan modern
ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat Muslim di pelbagai tempat
tinggal mereka. Bagi mereka berdua, Islamisasi lebih merupakan upaya untuk

10
mempertemukan cara berfikir dan bertindak (epistemologi dan aksiologi)
masyarakat Barat dengan Muslim.
Sementara Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa islamisasi sains
adalah upaya mengislamkan disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam.
dengan kata lain, al-Faruqi ingin agar para cendekiawan Islam melakkan upaya
integrasi pengetahuan-pengetahuan modern ke dalam keutuhan warisan Islam
dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian
terhadap komponen-komponennya sebagai worlview Islam serta menetapkan
nilai-nilainya. Pada tataran praktisnya, upaya Islamisasi sains ini mesti dibuktikan
dengan menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dan sekolah-
sekolah dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam.
Kendati berbeda-beda dalam pendefinisiannya, kesemua ilmuwan tersebut
mencoba untuk menghadirkan solusi yang tepat terhadap permasalahan yang
terjadi dalam dunia sains, filsafat yang telah mengalami perubahan akibat
persentuhannya dengan nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan nilai Islam.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

C. SARAN

11
DAFTAR PUSTAKA

Wan Mohd. Nor Wan Daud, 1997. Konsep Pengetahuan Dalam Islam. Bandung :
Pustaka Bandung.
http://myworldimajination.blogspot.co.id/2013/12/konsep-ilmu-dalam-islam.html

12

Anda mungkin juga menyukai