Anda di halaman 1dari 6

Friksi Nasional Sebagai Penyebab Lunturnya Identitas Nasional dan

Keterkaitannya dengan Moderasi Beragama

Penulis : Nicholas Patrick Soerya

A. Pendahuluan

Agama merupakan suatu aspek penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
bermasyarakat khususnya di negara Indonesia, seperti pada sila kesatu dari Pancasila yang
berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”, sila pertama merupakan suatu aspek utama
mengapa hal ini menjadi aspek fundamental1. Apabila konsep ini dapat melebur dengan
baik di tengah suatu lingkungan masyarakat yang didukung oleh pendidikan dan kesadaran
terhadap keberagaman maka akan melahirkan suatu potensi kolaborasi masyarakat yang
toleran. Maka hal ini membuat moderasi beragama menjadi sebuah hal yang penting dalam
praktek realitas, yang dimana negara Indonesia merupakan negara yang majemuk akan
tetapi masih membutuhkan strategi untuk mempertahankan tatanan kehidupan harmonis
dalam aspek umat beragama. Seperti pandangan dari Menteri Agama periode 09-14,
“Moderasi beragama pada hakekatnya merupakan suatu ikhtiar proses, yang tidak
berkesudahan, upaya untuk bagaimana membangun cara pandang, sikap, dan praktek
beragama dalam kehidupan bersama “ (Lukman Hakim, 2022).2
Hal ini juga berkaitan dengan Identitas Nasional dari sebuah negara Indonesia yang
dimana pada kenyataannya banyak sekali ideologi-ideologi dan upaya dari masyarakat yang
secara tidak langsung sebenarnya berusaha untuk memaksakan suatu bentuk identitas
sekunder untuk bisa berada di posisi yang paten dan menjadi murni dari upaya bentukan
maupun kesepakatan bersama, sehingga lahirnya suatu friksi nasional yang banyak tidak
disadari masyarakat nasional dan memicu terjadinya suatu bentuk radikalisme, rasisme
serta intoleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, adanya suatu bentuk
upaya nyata yang dilakukan oleh organisasi Vox Point Jawa Barat yang melakukan kegiatan
Focus Group Discussion dengan mengundang beberapa narasumber, yakni aparat yang

1
Marta, Bob. “Konflik Agama dan Krisis Intoleransi: Tantangan atau Mimpi Buruk Keberagaman
Indonesia?”.
http://www.pskp.or.id/2020/08/06/konflik-agama-dan-krisis-intoleransi-tantangan-atau-mimpi-buruk-kebera
gaman-indonesia/. (diakses pada tanggal 15 Oktober 2022).
2
LHS: Moderasi Beragama Ikhtiar Beragama di Tengah Kemajemukan. (31 Mei 2022).
https://www.uinjkt.ac.id/lhs-moderasi-beragama-ikhtiar-beragama-di-tengah-kemajemukan/#:~:text=%E2
%80%9CModerasi%20beragama%20hakekatnya%20adalah%20ikhitar,dalam%20kehidupan%20bersam
a%2C%E2%80%9D%20ujarnya. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2022, dari https://www.uinjkt.ac.id/
Tanpa Penulis.

1
bekerja di bidang lapangan, pemuka dari berbagai agama, perwakilan adat sunda,
kemudian perwakilan dosen dari berbagai institusi dan juga penghayat budaya, dalam suatu
acara bahasan terbuka dengan tema “Moderasi Beragama dalam Memetakan Persoalan
Radikalisme di Jawa Barat”. Upaya ini dilakukan untuk mengetahui pemetaan dan cara
pandang dan sikap beragama yang adil dan berimbang agar kerukunan antar agama dapat
terwujud.

B. Pembahasan

Dalam menilik suatu kejadian dari permasalahan yang berkaitan dengan identitas
nasional, maka dapat secara langsung kita lihat dari apa yang sedang menjadi tren. Karena
pada dasarnya berdasarkan kutipan dari Staf Khusus Kementerian Agama yakni Zaman
Nurzaman, “Semua umat beragama sebenarnya memiliki potensi yang sama dalam
melakukan kekerasan baik seperti tindakan restriktif terhadap kebebasan maupun moderasi
beragama, hal ini bukan hanya untuk umat beragama mayoritas tetapi juga umat beragama
di daerah-daerah yang menolak NKRI.” Menjadi seorang yang radikal bukan lagi hanya
suatu hal yang harus mengakar terhadap suatu ideologi dan berpegang teguh untuk
memaksa suatu perubahan, tetapi adanya pergeseran semantik terkait hal tersebut. Hal ini
dipicu oleh ketidakmampuan untuk merajut kebersamaan di berbagai perbedaan,
munculnya intoleransi, fanatisme, eksklusivitas, atau pandangan revolusioner yang salah.
Masyarakat mudah terperdaya oleh propaganda elit politik yang memberikan kesan
seolah-olah menjadi satu-satunya sumber informasi dan kebenaran, hal ini memicu
terjadinya pengkhianatan budaya, ajaran, amanat dan para leluhur juga pendiri bangsa. Hal
ini merupakan suatu hal yang seharusnya menjadi kekhawatiran bersama, dan secepatnya
harus ada evaluasi persoalan budaya dan sosial yang berkaitan dengan situasi dan kondisi
radikalisme. Dalam hal ini tentu kita harus berbicara sebagai satu bangsa, bukan lagi
dengan membawa identitas sekunder yakni keagamaan, politik dan lain-lain, karena untuk
persoalan integrasi nasional dapat dirasakan bahwa negara Indonesia mulai kehilangan
perasaan senasib sebagai satu bangsa serta lunturnya identitas kebangsaan dan budaya.
Walaupun berdasarkan data Densus 88 Satuan Tugas Jawa Barat, Komisaris Besar
H. Joni Juhana mengatakan bahwa grafik penanganan terorisme di Jawa Barat mengalami
tren penurunan dari tahun 2018 hingga tahun 2022, akan tetapi adanya beberapa alasan
mengapa radikalisme tumbuh subur di Jawa Barat terutama di Kota Bandung karena

2
adanya bentuk “pemeliharaan” oleh para elit politik dengan adanya identitas politik menjadi
hal yang paling murah untuk bisa dijual dalam ajang perpolitikan salah satunya dengan
intoleransi, jadi perlu juga untuk menilik persoalan radikalisme dari para elit politik. Maka
dari itu dalam hal menanggulangi persoalan-persoalan tersebut, para aparat bidang
lapangan memberikan penjelasan mengenai langkah-langkah untuk mengatasi tindakan
radikal, terorisme maupun intoleransi dengan cara penerapan Preventive Justice, hal ini
dilakukan dengan upaya konkret melalui strategi kontra ideologi, kontra radikal, serta kontra
narasi yang memberikan peringatan dengan mengintervensi masyarakat melalui pemberian
kesadaran dari tujuan awal suatu bangsa ini, dengan menyanyikan lagu-lagu nasional agar
dapat menumbuhkan rasa kecintaan dari perjuangan bangsa Indonesia, ataupun melakukan
sanggahan terhadap suatu berita atau narasi yang mengarah pada ujaran kebencian
agama. Kemudian untuk di bidang yuridis adalah, pentingnya RKUHP untuk dapat
merumuskan bahwa pentingnya moderasi beragama, karena tidak dapat dipungkiri bahwa
ideologi ekstrim kanan tidak dapat dibiarkan untuk berkembang, dan ini pun harus menjadi
suatu hal yang diwaspadai demi pertahanan dan keamanan negara Indonesia, berkaca dari
sejarah dan peristiwa di beberapa negara timur tengah yang melakukan tindakan kudeta,
karena persoalan bangsanya yang membiarkan radikalisme dan terorisme untuk
berkembang.
Merujuk pada pidato Bung Karno terkait persoalan "Perjuanganku lebih mudah
karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan
bangsa sendiri".3 Hal ini merupakan suatu bentuk peringatan bahwa ancaman yang
dihadapi bangsa Indonesia setelah merdeka. Ketika di bawah penjajahan, musuh terbesar
bangsa adalah penjajah, Penjajah menjadi musuh bersama. Namun setelah penjajah pergi,
bangsa Indonesia akan dihadapkan pada berbagai masalah, utamanya soal persatuan.
Berbagai cobaan dan masalah mulai dari masalah sosial, masalah ekonomi, dan berbagai
masalah lainnya, akan menguji persatuan bangsa. Perbedaan-perbedaan yang ada bisa
membuat rakyat terpecah belah dan saling berperang. Alih-alih bersatu untuk maju, kita
malah disibukkan melawan satu sama lain. Seperti saat ini, kita sibuk melawan sesama
karena perbedaan pilihan politik. Belum lagi konflik yang ditimbulkan perbedaan suku,
agama, ras, dan antargolongan. Ketika perbedaan-perbedaan itu tak lagi jadi masalah, dan
kita mempunyai cita-cita yang sama, barulah kita bisa bergerak maju.

3
Nailufar, Nibras Nada. “Maksud Ucapan Soekarno: "Perjuanganku Lebih Mudah...".
https://www.kompas.com/skola/read/2020/08/10/083500369/maksud-ucapan-soekarno--perjuanganku-leb
ih-mudah--?page=all. (diakses pada 15 Oktober 2022).

3
C. Kesimpulan

Besar kemungkinan radikalisme marak hadir di tengah masyarakat berawal dari


vakumnya pendidikan Pancasila selama sembilan tahun secara yuridis formal di perguruan
tinggi. Kemudian, faktor lain adalah silent majority kurang selektifnya dasar keilmuan para
pengajar Pancasila karena tidak semua pengajar memiliki komitmen kebangsaan yang
tinggi. Pendidikan bukan hanya persoalan menalar saja karena manusia harus bertahan
hidup, manusia mengontrol nafsu, mengejawantahkan budaya persoalan radikalisme dan
merawat kebangsaan merupakan tanggungjawab kita bersama sebagai seluruh bangsa
dengan penguatan civil society. Pancasila harus menjadi ukuran kebangsaan dan
kehidupan beragama dan berbangsa melalui pendidikan moral, pendidikan politik, hukum,
dan ideologi. Kepercayaan terhadap pemerintah yang harus lebih transparan, akuntabel,
dan partisipatif dan perlunya penguatan edukasi moderasi beragama dari keluarga yakni
bentuk internalisasi nilai-nilai keberagaman. Sinergi nilai-nilai kebangsaan dengan nilai-nilai
kebudayaan yang perlu ditanamkan, dan yang harus dimoderasi adalah cara pandang
beragamanya.

4
DAFTAR PUSTAKA

Marta, Bob. 2020. “Konflik Agama dan Krisis Intoleransi: Tantangan atau Mimpi Buruk
Keberagaman Indonesia?”.
http://www.pskp.or.id/2020/08/06/konflik-agama-dan-krisis-intoleransi-tantangan-atau-mimpi-bu
ruk-keberagaman-indonesia/. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2022.

Nailufar, Nibras Nada. 2020. “Maksud Ucapan Soekarno: "Perjuanganku Lebih


Mudah...".
https://www.kompas.com/skola/read/2020/08/10/083500369/maksud-ucapan-soekarno--perjuang
anku-lebih-mudah--?page=all. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2022.

LHS: Moderasi Beragama Ikhtiar Beragama di Tengah Kemajemukan. (31 Mei 2022).
https://www.uinjkt.ac.id/lhs-moderasi-beragama-ikhtiar-beragama-di-tengah-kemajemukan/#:~:t
ext=%E2%80%9CModerasi%20beragama%20hakekatnya%20adalah%20ikhitar,dalam%20kehi
dupan%20bersama%2C%E2%80%9D%20ujarnya. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2022, dari
https://www.uinjkt.ac.id/ Tanpa Penulis.

5
6

Anda mungkin juga menyukai