RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana tingkat intoleransi yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana pandangan mengenai intoleransi dari sudut pandang agama,
PPKN, dan sejarah?
3. Bagaimana solusi yang diberikan untuk mengatasi intoleransi di Indonesia
dari sudut pandang agama, PPKN, dan sejarah?
HOPOTESIS
H1 : Apakah tingkat Intoleransi di Indonesia masih tinggi?
Ho : Indonesia masih memiliki tingkat intoleransi yang tinggi.
Sikap intoleransi merupakan sifat alami manusia dan kecenderungan mau benar
sendiri atau egois. Sehingga sangat wajar dilakukan manusia dan bisa terjadi
dimana dan kapan saja. Intoleransi sebenarnya memiliki cakupan yang sangat
luas, ia tidak terbatas pada sikap membenci perbedaan atas dasar keyakinan atau
agama. Intoleransi bisa muncul atas dasar perbedaan dalam banyak hal, bisa
melalui perbedaan agama, suku, ras, atau bahkan perbedaan gaya hidup sekalipun.
Namun sifat alami tersebut harus dihancurkan di Indonesia. Terlebih melihat
maraknya kasus Intoleransi di Indonesia belakangan ini.
Tidak hanya di tahun ini ataupun dalam pemerintahan Jokowi- Ma’ruf Amin.
Namun, masalah intoleransi ini sudah lama menimpa Indonesia. Dalam catatan
Setara sejak 2007, salah satu persoalan terbesar intoleransi dan pelanggaran KBB
terletak pada level negara. Aparat pemerintah yang cenderung berpihak pada
kepentingan pelaku intoleransi dan pelanggaran yang mengatasnamakan
mayoritas.
LITERASI NUMERASI
Dapat dilihat dari persentase terbesar kedua, yakni penyebaran ujaran kebencian
pada angka 90,40%. Kedua urutan teratas ini telah menunjukan akan pengaruh
perkembangan media sosial yang sangat cepat. Karena melalui perkembangan
media sosial ini, paham intoleran banyak disebarluaskan secara masif. Jika
dibandingkan masa lalu dimana orang mengajarkan paham radikal itu melalui
pertemuan atau cara diskusi. Sekarang ini hanya perlu memegang gadget di rumah
masing- masing, berbagai paham tersebut langsung secara cepat tersebar.
Begitupun sama halnya dengan penyebaran berita bohong atau hoax yang
menduduki persentasi yang pertama Bagaimana orang bisa intoleran? Bagaimana
seseorang bisa menjadi teroris? Semua itu hanya cukup belajar dari media sosial.
Dapat dilihat pada kedua persentase terkecil dimana ketidak percayaan antar
kelompok suku dan agama sebesar 67,60% dan religiusitas dengan angka 67,60%
juga. Hal ini menunjukan bahwa pada intinya yang membuat kasus intoleransi
marak terjadi dikarenakan para aktor ataupun aktivis yang dengan sengaja
memprovokasi dan mempengaruhi pikiran masyarakat.
Dari sudut pandang sejarah, kita dapat lihat dalam tahapan sejarah perjuangan dan
pendirian NKRI, hampir semua menganut agama dan suku yang berbeda- beda,
turut terlibat secara langsung dalam memperjuangkan aspirasi kesatuan,
keharomonisan dan perjuangan kemerdekaan. Itu artinya bahwa yang membentuk
Indonesia saat ini, adalah mereka semua dari berbagai latar belakang, yang
memiliki satu misi kerukunan dan perdamaian untuk mewujudkan cita – cita
sesama.
Ketika para pemuda menggagas Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1927, yang
harus kita pahami adalah mereka yang melebur kebanggaan primordialisme dan
fanatisme kelompok dan kesukuan. Mereka tidak peduli lagi bahwa suku Jawa
berbeda dsengan Madura, Sumatera punya budaya berbeda dengan Bali,
Kalimantan juga berbeda dengan Sulawesi. Mereka tidak merasa lebih tinggi atau
lebih rendah satu sama lain. Mereka juga mengabaikan keyakinan yang berbeda.
Islam, Kristen, Hindu dan Budha melebur dan punya rasa nasionalisme yang
sama. Mereka punya naluri untuk menyatukan semua perbedaan itu dan
mendorong pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Beberapa belas tahun setelah Sumpah Pemuda itu, kemerdekaan bangsa Indonesia
memang didapat dengan berbagai perjuangan. Namun Belanda masih ingin
kembali menjajah kita. Setelah serangan bertubi dari sekutu itu, semua komponen
bangsa melawan dengan banyaknya korban yang berjatuhan. Pengorbanan itu
tentu tidak disertai penekanan bahwa dia dari suku dan dari keyakinan mana,
sehingga mereka rela menyerahkan nyawanya untuk cita- cita bersama itu.
Karena itu kita harusnya kembali melihat dan menerapkan ulang apa saja yang
sudah terjadi untuk mewujudkan apa yang kita capai sekarang. Kemedekaan,
kemajuan dalam hal pendidikan, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan. Kita
juga tidak kuatir lagi dalam menjalankan cita – cita pribadi maupun cita – cita
nasional. Hanya saja, hambatan bernama intoleransi ini yang selalui mengganggu
selama beberapa tahun ini.
Seperti yang telah dikatakan tadi bahawa persoalan intoleransi dan pelanggaran
KBB terletak pada level negara. Nyatanya lembaga yang bergiat di isu hak asasi
manusia, pemerintah selama ini gagal memastikan pejabatnya menjalankan asas
kebhinekaan tersebut yang tentu tidak sesuai dengan roh Sumpah Pemuda yang
didengungkan oleh pemuda pada masa lalu kita. Tentu kita tahu bahwa para
pemuda itu tidak saja beragama Kristen atau Hindu, tapi juga memeluk agama
Islam dan Budha. Mereka juga dari beragam etnis, Jong Java, Jong Sumatera,
Jong Ambon, dan lainnya. Sehingga seharusnya kita paham bahwa kita disatukan
merki kita berbeda latar belakang.
Tentunya faktor sudut pandang sejarah tersebut didukung dengan faktor lainnya.
Sudut pandang PPKN, khususnya pada peranan pendidikan kewarganegaraan
dalam membina sikap toleransi yang dianggap kurang berhasil. Generasi muda
bangsa sudah seharusnya mampu mengembangkan sikap hormat menghormati
dan bekerja sama antar pemeluk agama dan antar suku, dan latar belakang
lainnya. Agar upaya ini dapat berhasil dengan baik maka sarana yang paling tepat
adalah melalui jalur pendidikan secara umum terutama pendidikan
kewarganegaraan. Dengan adanya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
tersebut siswa senantiasa mempunyai kesadaran dan kemauan bertingkah laku
dalam kedupannya sehari – sehari sesuai cita – cita moral Pancasila.
Jika kita lihat problem dari pembelajaran Pancasila ini lebih dalam, sebenarnya
banyak faktor lain di dalamnya. Mulai dari sumber daya manusia hingga
infrastruktur yang masih kurang dan kurikulum mapupun metode (kurikulum
antara K13 dengan KTSP) dimana dianggap muatan Pancasila dalam kurikulum
akhirnya hanya kecil dan kurang menyentuh substansi Pancasila itu sendiri. Salah
satunya adalah masalah pengelolaan kelas, kemudian perbandingan materi dengan
alokasi waktu pembelajaran hingga keberadaan Pancasila dan PKN yang tidak
termasuk sebagai mata pelajaran yang menentukan kelulusan sang siswa.
Setelah pandangan dari sisi sejarah dan PPKN, kita masuk ke faktor ketiga yang
cukup krusial, yakni agama khususnya pemahaman keagamaan. Pemahaman
terkait agama atau kitab yang dibaca oleh penganutnya sangat berpotensi
menimbulkan masalah intoleran ini. Agama yang seyogyanya diturunkan untuk
menjadi pedoman hidup dan mencapai kebahagiaan justru dapat berakibat
sebaliknya.
Jika kita pahami lebih dalam, letak permasalahan sebenarnya bukanlah pada
agama itu sendiri, melainkan bagaimana cara pemeluk agama tersebut memaknai
ajaran suci di dalamnya. Guru Besar Studi Agama Universitas Wake Forest AS,
Charles Kimball mengatakan, bahwa memahami agama secara sempit dengan
mengabaikan pendapat lain merupakan sumber dari permasalahan. Eksklusifitas
keagamaan pada akhirnya akan membawa seseorang pada klaim kebenaran yang
mutlak dan satu – satunya. Menurut beliau, pemahaman ini adalah salah satu awal
dari tanda- tanda kerusakan agama. Ia melihat bahwa hal tersebut merupakan
pendistorsian dan pemiskinan terhadap Tuhan dengan segala sifatnya yang agung.
Celakanya justru dengan cara inilah sebagian orang menggunakannya untuk
meniadakan kebenaran yang lain.
KESIMPULAN
Sehingga, apakah Indonesia telah merdeka? Sudah dari para penjajah di 75 tahun
yang lalu. Namun, sayangnya belum merdeka dari sikap intoleransi dan
radikalisme.
Bisa dilihat dari maraknya kasus intoleran yang disebabkan oleh 3 hal. Pertama
adalah globalisasi, dimana masuknya budaya barat ke Indonesia yang membuat
terkikisnya nilai – nilai ketimuran, termasuk toleransi. Kedua adalah ekonomi,
dimana demokrasi yang didominasi oleh kalangan kelas bawah. Karena demokrasi
itu sangat ideal dalam kondisi sosial masyarakat yang kelas menengah dominan.
Ketiga adalah perkembangan media sosial yang bergerak cepat. Membuat paham
radikal ini mudah disebarluaskan yang dapat mempengaruhi pola pikir
masyarakat. Tidak hanya dari ketiga hal ini saja, namun juga beberapa faktor
lainnya yang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Sejarah yang melihat
kurangnya pegangan masyarakat akan Sumpah Pemuda yang memperjuangkan
kesetaraan di antara masing- masing individu. PPKN yang melihat kurangnya
kualitas pendidikan di Indonesia khususnya Pendidikan Kewarganegaraan yang
diharapkan dapat menimbulkan kesadaran dan kemauan bertingkah laku dalam
kedupannya sehari – sehari sesuai cita – cita moral Pancasila pada generasi muda
bangsa. Dan juga melihat akan kurangnya proses hukum yang tegas yang
dilakukan kepada mereka yang terbukti melakukan pelanggaran. Terakhir agama
yang melihat kurangnya pemahaman masyarakat terkait ajaran agama yang
dianutnya. Karena letak permasalahan sebenarnya bukanlah pada agama itu
sendiri, melainkan bagaimana cara pemeluk agama tersebut memaknai ajaran suci
di dalamnya.
Pada akhirnya, persoalan penyebab intoleran dan radikalisme harus menjadi
perhatian kita semua. Sinergi antara pemerintah, agamawan dan masyarakat
mutlak diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang harmonis antar sesama.
Dalam beberapa waktu yang lalu, memang ada upaya kecil dari perorangan atau
mungkin segelintir kelompok tertentu yang berusaha merusak tatanan
keharmonisan dengan bertindak tidak adil pada kalangan pemegang agama
tertentu. Namun, fenomena tersebut boleh jadi merupakan tindakan intoleransi,
tetapi bukan berarti kita kehilangan rasa toleransi antar umat sesama.
DAFTAR PUSTAKA