Anda di halaman 1dari 13

Ada Apa Indonesia dengan Intoleransi?

Oleh Hadi Sieman 12S1/15

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana tingkat intoleransi yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana pandangan mengenai intoleransi dari sudut pandang agama,
PPKN, dan sejarah?
3. Bagaimana solusi yang diberikan untuk mengatasi intoleransi di Indonesia
dari sudut pandang agama, PPKN, dan sejarah?

HOPOTESIS
H1 : Apakah tingkat Intoleransi di Indonesia masih tinggi?
Ho : Indonesia masih memiliki tingkat intoleransi yang tinggi.

Sikap intoleransi merupakan sifat alami manusia dan kecenderungan mau benar
sendiri atau egois. Sehingga sangat wajar dilakukan manusia dan bisa terjadi
dimana dan kapan saja. Intoleransi sebenarnya memiliki cakupan yang sangat
luas, ia tidak terbatas pada sikap membenci perbedaan atas dasar keyakinan atau
agama. Intoleransi bisa muncul atas dasar perbedaan dalam banyak hal, bisa
melalui perbedaan agama, suku, ras, atau bahkan perbedaan gaya hidup sekalipun.
Namun sifat alami tersebut harus dihancurkan di Indonesia. Terlebih melihat
maraknya kasus Intoleransi di Indonesia belakangan ini.

Driektur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan bahwa insiden


pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dan ekspresi
intoleransi kembali marak terjadi menjelang setahun pemerintahan Jokowi-
Ma’ruf Amin.

Contoh pada 1 September, misalnya, terjadi pelarangan pembangunan fasilitas


rumah dinas pendeta di gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD)
Kecamatan Napagaluh, Kabupaten Aceh Singkil. Pada 13 September, terjadi
gangguan sekelompok orang intoleran atas ibadah terhadap jemaat Huria Kristen
Batak Protestan KSB di Kabupaten Bekasi. Pada 20 September, terjadi penolakan
ibadah dilakukan sekelompok warga Graha Prima Kecamatan Jonggol, Kabupaten
Bogor terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI). Pada 21
September, terjadi pelanggaran ibadah bagi umat Kristen di Desa Ngastemi,
Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto.

Tidak hanya di tahun ini ataupun dalam pemerintahan Jokowi- Ma’ruf Amin.
Namun, masalah intoleransi ini sudah lama menimpa Indonesia. Dalam catatan
Setara sejak 2007, salah satu persoalan terbesar intoleransi dan pelanggaran KBB
terletak pada level negara. Aparat pemerintah yang cenderung berpihak pada
kepentingan pelaku intoleransi dan pelanggaran yang mengatasnamakan
mayoritas.

Lalu, mucul pertanyaan di benak kita. Mengapa intoleransi dapat terjadi di


Indonesia? Ketuan Satgas Nusantara yang juga Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol)
Gatot Eddy Pramono menjelaskan akan tiga hal yang menjadi penyebab
menguatnya sikap intoleransi di kalangan masyarakat Indonesia beberapa tahun
terakhir.

Pertama adalah globalisasi. Khususnya perkembangan situasi global yang


mengikis nilai- nilai ketimuran, salah satunya toleransi. Tentunya hal ini sangat
berpengaruh pada perkembangan toleransi di negara kita ini. Kedua adalah
demokrasi yang didominasi oleh kalangan kelas bawah. Hal ini disebabkan oleh
iklm demokrasi Indonesia yang kurang ideal. Demokrasi itu sangat ideal dalam
kondisi sosial masyarakat yang kelas menengah dominan. Akan tetapi, sangat
disayangkan kondisi di Indonesia didominasi masyarakat kelas bahwah.
Masyarakat kelas bawah ini bisa digolongkan sebagai masyarakat kurang
beruntung dalam mendapat pendidikan, dalam ekonomi, dan lainnya. Terlebih
kondisi Indonesia amat majemuk dari sisi agama, suku bangsa, etnis, budaya, dan
sebagainya. Lama kelamaan, perbedaan ini terus dicari celahnya sehingga muncuk
nilai primordialisme. Di situlah muncul berbagai tindakan intoleransi terhadap
sesama. Ketiga adalah cepatnya perkembangan media sosial yang disebabkan
pesatnya era digital sekarang ini. Melalui perkembangan media sosial ini, paham
intoleran banyak disebarluaskan. Jika dibandingkan masa lalu dimana orang
mengajarkan paham radikal itu melalui pertemuan atau cara diskusi. Sekarang ini
hanya perlu memegang gadget di rumah masing- masing, berbagai paham tersebut
langsung secara cepat tersebar. Bagaimana orang bisa intoleran? Bagaimana
seseorang bisa menjadi teroris? Semua itu hanya cukup belajar dari media sosial.

LITERASI NUMERASI

Pada gambar diagram di atas adalah persentase kondisi intoleransi di Indonesia


yang menunjukan bahwa penyebaran berita bohong memiliki persentase
terbesar yakni 92,40%. Data ini memperkuat artikel saya dimana menegaskan
bahwa cepatnya perkembangan media sosial yang menjadi salah satu penyebab
menguatnya sikap intoleransi di kalangan masyarakat Indonesia beberapa tahun
terakhir.

Dapat dilihat dari persentase terbesar kedua, yakni penyebaran ujaran kebencian
pada angka 90,40%. Kedua urutan teratas ini telah menunjukan akan pengaruh
perkembangan media sosial yang sangat cepat. Karena melalui perkembangan
media sosial ini, paham intoleran banyak disebarluaskan secara masif. Jika
dibandingkan masa lalu dimana orang mengajarkan paham radikal itu melalui
pertemuan atau cara diskusi. Sekarang ini hanya perlu memegang gadget di rumah
masing- masing, berbagai paham tersebut langsung secara cepat tersebar.
Begitupun sama halnya dengan penyebaran berita bohong atau hoax yang
menduduki persentasi yang pertama Bagaimana orang bisa intoleran? Bagaimana
seseorang bisa menjadi teroris? Semua itu hanya cukup belajar dari media sosial.

Dapat dilihat pada kedua persentase terkecil dimana ketidak percayaan antar
kelompok suku dan agama sebesar 67,60% dan religiusitas dengan angka 67,60%
juga. Hal ini menunjukan bahwa pada intinya yang membuat kasus intoleransi
marak terjadi dikarenakan para aktor ataupun aktivis yang dengan sengaja
memprovokasi dan mempengaruhi pikiran masyarakat.

FAKTA DAN INTERPRETASI


Intoleransi bukanlah masalah yang hanya timbul begitu saja. Melainkan banyak
faktor kompleks lainnya yang melahirkan intoleransi ini.

Dari sudut pandang sejarah, kita dapat lihat dalam tahapan sejarah perjuangan dan
pendirian NKRI, hampir semua menganut agama dan suku yang berbeda- beda,
turut terlibat secara langsung dalam memperjuangkan aspirasi kesatuan,
keharomonisan dan perjuangan kemerdekaan. Itu artinya bahwa yang membentuk
Indonesia saat ini, adalah mereka semua dari berbagai latar belakang, yang
memiliki satu misi kerukunan dan perdamaian untuk mewujudkan cita – cita
sesama.
Ketika para pemuda menggagas Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1927, yang
harus kita pahami adalah mereka yang melebur kebanggaan primordialisme dan
fanatisme kelompok dan kesukuan. Mereka tidak peduli lagi bahwa suku Jawa
berbeda dsengan Madura, Sumatera punya budaya berbeda dengan Bali,
Kalimantan juga berbeda dengan Sulawesi. Mereka tidak merasa lebih tinggi atau
lebih rendah satu sama lain. Mereka juga mengabaikan keyakinan yang berbeda.
Islam, Kristen, Hindu dan Budha melebur dan punya rasa nasionalisme yang
sama. Mereka punya naluri untuk menyatukan semua perbedaan itu dan
mendorong pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Beberapa belas tahun setelah Sumpah Pemuda itu, kemerdekaan bangsa Indonesia
memang didapat dengan berbagai perjuangan. Namun Belanda masih ingin
kembali menjajah kita. Setelah serangan bertubi dari sekutu itu, semua komponen
bangsa melawan dengan banyaknya korban yang berjatuhan. Pengorbanan itu
tentu tidak disertai penekanan bahwa dia dari suku dan dari keyakinan mana,
sehingga mereka rela menyerahkan nyawanya untuk cita- cita bersama itu.

Karena itu kita harusnya kembali melihat dan menerapkan ulang apa saja yang
sudah terjadi untuk mewujudkan apa yang kita capai sekarang. Kemedekaan,
kemajuan dalam hal pendidikan, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan. Kita
juga tidak kuatir lagi dalam menjalankan cita – cita pribadi maupun cita – cita
nasional. Hanya saja, hambatan bernama intoleransi ini yang selalui mengganggu
selama beberapa tahun ini.

Seperti yang telah dikatakan tadi bahawa persoalan intoleransi dan pelanggaran
KBB terletak pada level negara. Nyatanya lembaga yang bergiat di isu hak asasi
manusia, pemerintah selama ini gagal memastikan pejabatnya menjalankan asas
kebhinekaan tersebut yang tentu tidak sesuai dengan roh Sumpah Pemuda yang
didengungkan oleh pemuda pada masa lalu kita. Tentu kita tahu bahwa para
pemuda itu tidak saja beragama Kristen atau Hindu, tapi juga memeluk agama
Islam dan Budha. Mereka juga dari beragam etnis, Jong Java, Jong Sumatera,
Jong Ambon, dan lainnya. Sehingga seharusnya kita paham bahwa kita disatukan
merki kita berbeda latar belakang.

Tentunya faktor sudut pandang sejarah tersebut didukung dengan faktor lainnya.
Sudut pandang PPKN, khususnya pada peranan pendidikan kewarganegaraan
dalam membina sikap toleransi yang dianggap kurang berhasil. Generasi muda
bangsa sudah seharusnya mampu mengembangkan sikap hormat menghormati
dan bekerja sama antar pemeluk agama dan antar suku, dan latar belakang
lainnya. Agar upaya ini dapat berhasil dengan baik maka sarana yang paling tepat
adalah melalui jalur pendidikan secara umum terutama pendidikan
kewarganegaraan. Dengan adanya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
tersebut siswa senantiasa mempunyai kesadaran dan kemauan bertingkah laku
dalam kedupannya sehari – sehari sesuai cita – cita moral Pancasila.

Namun sangat disayangkan, menurut riset yang dilakukan Direktur Eksekutif


Ma’arif Insitute Muhammad Abdullah Darraz menyatakan bahwa penetrasi
kelompok radikal masih sangat masif di berbagai lini kehidupan. Hal tersebut
terjadi lantaran adanya kekosongan ideologi kebangsaan di dalam lingkungan
sekolah dan tidak efektifnya pendidikan kewarganegaraan. Riset yang dialukan
Ma’arif Institute terkait institusi sekolah menemukan belum adanya kebijakan
internal yang secara spesifik menguatkan kebhinekaan. Dimana kurikulum
pendidikan kebangsaan, terutama Pendidikan Kewarganegraan (PKN) di sekolah
selama ini memang belum optimal. Padahal, menurut peneliti Pusat Studi
Pancasila UGM, Hendro Muhaimin, pelajaran Pancasila dan PKN sangat penting
sebagai fondasi awal moral berbangsa dan benegara, bersama dengan pelajaran
lainnya.

Jika kita lihat problem dari pembelajaran Pancasila ini lebih dalam, sebenarnya
banyak faktor lain di dalamnya. Mulai dari sumber daya manusia hingga
infrastruktur yang masih kurang dan kurikulum mapupun metode (kurikulum
antara K13 dengan KTSP) dimana dianggap muatan Pancasila dalam kurikulum
akhirnya hanya kecil dan kurang menyentuh substansi Pancasila itu sendiri. Salah
satunya adalah masalah pengelolaan kelas, kemudian perbandingan materi dengan
alokasi waktu pembelajaran hingga keberadaan Pancasila dan PKN yang tidak
termasuk sebagai mata pelajaran yang menentukan kelulusan sang siswa.

Selain dari implementasi Pendidikan Kewarganegaraan yakni Pancasila yang


masih lemah. Intoleran ini masih marak terjadi juga dikarenakan penegakan
hukum terhadap aksi tersebut yang masih lemah di Indonesia. Dimana pemerintah
masih belum memiliki komitmen yang kuat untuk menegakkan hukum dalam
kasus intoleransi tersebut.

Menurut catatan Komnas HAM, ada peningkatan kasus intoleransi terkait


pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dari tahun 2015 (87
laporan) ke tahun 2016 (97 lapora) dan lainnya. Pelaku utama aksi intoleransi
tersebut adalah kolompok keagamaan yang memiliki paham radikal. Adapun
laporan yang masuk antara lain mengenai penyegelan rumah ibadah,
pengerusakan rumah ibdah, pelarangan ibadah bagi kelompok tertentu dan
lainnya. Aksi intoleran ini meningkat ketika hajatan politik tengah berlangsung,
misalnya pemilu atau pilkada.

Pasalnya, pada momen tersebut keberadaan kelompok radikal biasanya


dimanfaatkan oleh partai politik atau penguasa. Untuk itu, selain pemerintah, elite
politik juga punya peran untuk meredan aksi toleran ini. Elite politik juga harus
dikeraskan agar tidak memanfaatkan kelompok intoleran demi kepentingan
mereka sendiri.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukuym Indonesia Asfinawati


mengatakan akan penyebab aksi intoleran merebak lantaran penegakan hukum
dalam menganai kasus tersebut masih lemah. Selain itu, tidak ada perencanaan
dari negara untuk menahan penyebaran aksi intoleransi itu sendiri. Karena aksi ini
telah didiamkan lama dan sudah berakumulasi, maka rakyat harus diberi pesan
bahwa pelanggaran hukum itu harus ditindak.

Setelah pandangan dari sisi sejarah dan PPKN, kita masuk ke faktor ketiga yang
cukup krusial, yakni agama khususnya pemahaman keagamaan. Pemahaman
terkait agama atau kitab yang dibaca oleh penganutnya sangat berpotensi
menimbulkan masalah intoleran ini. Agama yang seyogyanya diturunkan untuk
menjadi pedoman hidup dan mencapai kebahagiaan justru dapat berakibat
sebaliknya.

Jika kita pahami lebih dalam, letak permasalahan sebenarnya bukanlah pada
agama itu sendiri, melainkan bagaimana cara pemeluk agama tersebut memaknai
ajaran suci di dalamnya. Guru Besar Studi Agama Universitas Wake Forest AS,
Charles Kimball mengatakan, bahwa memahami agama secara sempit dengan
mengabaikan pendapat lain merupakan sumber dari permasalahan. Eksklusifitas
keagamaan pada akhirnya akan membawa seseorang pada klaim kebenaran yang
mutlak dan satu – satunya. Menurut beliau, pemahaman ini adalah salah satu awal
dari tanda- tanda kerusakan agama. Ia melihat bahwa hal tersebut merupakan
pendistorsian dan pemiskinan terhadap Tuhan dengan segala sifatnya yang agung.
Celakanya justru dengan cara inilah sebagian orang menggunakannya untuk
meniadakan kebenaran yang lain.

Pemahaman tertutup seperti ini disebabkan karena pemeluk agama yang


bersangkutan meyakini bahwa kitab suci mereka memang mengajarkan demikian.
Memang harus diakui, sering dijumpai teks- teks kitab suci yang berisi klaim dan
kebenaran mutlak meruapakan satu – satunya jalan keselamatan bagi agama yang
bersangkutan. Namun sesungguhnya untuk memahami hal tersebut, diperlukan
kajian yang komprehensif. Firman Tuhan tidak cukup dibaca secara lahiriah dan
mentahan. Diperlukan diskursus secara mendalam tentang hakekat makna
sebenarnya yang diinginkan oleh sang pencipta.
SOLUSI
Melihat permasalahan intoleran yang sangat kompleks. Perlu adanya beberapa
solusi yang komprehensif untuk mengatasi masalah ini. Pertama, terkait sejarah
bangsa Indonesia yang telah memperjuangkan kemerdekaan. Patutnya kita sebagai
generasi muda bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan ini. Dengan pegangan
Sumpah Pemuda yang telah diperjuangkan oleh para pejuang kita pada masa itu.
Melihat kesetaraan di antara kita dengan tujuan yang satu, untuk Indonesia yang
lebih maju. Latar belakang kita yang berbeda janganlah dijadikan suatu hambatan
bagi kita untuk maju. Melainkan sebagai bekal kita untuk menunjukkan pada
dunia bahwa perbedaan itu indah. Kedua adalah dengan memperkuat
implementasi Pancasila di masyarakat yang baik untuk menentukan arah bangsa.
Tentunya upaya ini dapat dilakukan mulai melalui lembaga pendidikan,
khususnya Pendidikan Kewarganegaraan. Diharapkan dengan upaya ini, para
generasi bangsa mampu memiliki kesadaran dan kemauan bertingkah laku dalam
kedupannya sehari – sehari sesuai cita – cita moral Pancasila. Tentunya solusi ini
harus didukung dari pihak pemerintah serta menyediakan fasilitas pendidikan
yang merata ke seluruh Indonesia guna mendukung upaya mutu pendidikan,
khususnya pendidikan moral yang lebih baik. Karena itu, Ke depannya, PKN
sebagai salah mata pelajaran di sekolah yang memperknalkan nilai – nilai
kebangsaan, kebhinekaan, gotong royong, persatuan dan kesatuan harus mendapat
perhatian lebih. Termasuk pembenahan kurikulum dan kompetensi guru. Selain
itu, perlu adanya proses hukum yang tegas akan dilakukan kepada mereka yang
terbukti melakukan pelanggaran. Jika pemerintah terus membiarkan aksi intoleran
ini berkembang, maka dampak yang akan ditimbulkan ke depannya akan lebih
parah. Orang tidak bisa menerima perbedaan, kelompok – kelompok yang lebih
kecil atau kurang memiliki kekuasaan akan ditindas, dan lainnya. Ketiga terkait
permasalahan sudut pandang agama ini, yang selayaknya memerlukan perhatian
lebih oleh para pengelola negara dan para dai agama. Pada tataran pemahaman,
perlu adanya perumusan atau reunderstanding bersama dan mendalam tentang
doktrin – doktrin agama tertentu seperti jihad, iman, takwa bahkan suga dan
neraka sehingga memunculkan kerangka yang lebih utuh kepada masyarakat.
Agamawan harus mendortong terciptanya sikap dan perilaku toleran antar sesama
juga. Kesediaan menerima perbedaan pemahaman, menghargai dan menghormati
merupakan wujud dari sikap tooleran. Menumbuhkan kesadaran pada masyarakat
bahwa realitas kehidupan adalah heterogen dan multikultural. Dengan sikap ini
maka akan lahir model kehidupan yang rukun dalam kemajemukan, tidak saling
menghujat dan membenci serta mengkafirkan.

KESIMPULAN
Sehingga, apakah Indonesia telah merdeka? Sudah dari para penjajah di 75 tahun
yang lalu. Namun, sayangnya belum merdeka dari sikap intoleransi dan
radikalisme.
Bisa dilihat dari maraknya kasus intoleran yang disebabkan oleh 3 hal. Pertama
adalah globalisasi, dimana masuknya budaya barat ke Indonesia yang membuat
terkikisnya nilai – nilai ketimuran, termasuk toleransi. Kedua adalah ekonomi,
dimana demokrasi yang didominasi oleh kalangan kelas bawah. Karena demokrasi
itu sangat ideal dalam kondisi sosial masyarakat yang kelas menengah dominan.
Ketiga adalah perkembangan media sosial yang bergerak cepat. Membuat paham
radikal ini mudah disebarluaskan yang dapat mempengaruhi pola pikir
masyarakat. Tidak hanya dari ketiga hal ini saja, namun juga beberapa faktor
lainnya yang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Sejarah yang melihat
kurangnya pegangan masyarakat akan Sumpah Pemuda yang memperjuangkan
kesetaraan di antara masing- masing individu. PPKN yang melihat kurangnya
kualitas pendidikan di Indonesia khususnya Pendidikan Kewarganegaraan yang
diharapkan dapat menimbulkan kesadaran dan kemauan bertingkah laku dalam
kedupannya sehari – sehari sesuai cita – cita moral Pancasila pada generasi muda
bangsa. Dan juga melihat akan kurangnya proses hukum yang tegas yang
dilakukan kepada mereka yang terbukti melakukan pelanggaran. Terakhir agama
yang melihat kurangnya pemahaman masyarakat terkait ajaran agama yang
dianutnya. Karena letak permasalahan sebenarnya bukanlah pada agama itu
sendiri, melainkan bagaimana cara pemeluk agama tersebut memaknai ajaran suci
di dalamnya.
Pada akhirnya, persoalan penyebab intoleran dan radikalisme harus menjadi
perhatian kita semua. Sinergi antara pemerintah, agamawan dan masyarakat
mutlak diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang harmonis antar sesama.

Dalam beberapa waktu yang lalu, memang ada upaya kecil dari perorangan atau
mungkin segelintir kelompok tertentu yang berusaha merusak tatanan
keharmonisan dengan bertindak tidak adil pada kalangan pemegang agama
tertentu. Namun, fenomena tersebut boleh jadi merupakan tindakan intoleransi,
tetapi bukan berarti kita kehilangan rasa toleransi antar umat sesama.
DAFTAR PUSTAKA

Arianto. 2020. Kapan Indonesia Merdeka dari Intoleransi.


dddhttps://indopos.co.id/read/2020/08/12/246446/kapan-indonesia-merdeka-dari-
ddddintoleransi/ (diakses tanggal 14 Oktober 2020)
Aivanni, Nur. 2017. Penegakan Hukum Terhadap Aksi Intoleran Masih Lemah.
dddhttps://mediaindonesia.com/read/detail/104813-penegakan-hukum-terhadap-
dddaksi-intoleran-masih-lemah (diakses tanggal 14 Oktober 2020)
Aziz, Abdul. 2017. Bisakah Intoleransi Dikikis Lewat Pendidikan Pancasila?.
dddhttps://tirto.id/bisakah-intoleransi-dikikis-lewat-pendidikan-pancasila-cpGJ
ddd(diakses 15 Oktober 2020)
Bbc.com. 2019. Diusir dari Desa karena Agama, Bagaimana Mencegah
dddIntoleransi di Tingkat Warga . https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
ddd47801818 (diakses tanggal 14 Oktober 2020)
Erika Nugraheny, Dian. 2019. Ini Tiga Sebab Menguatnya Sikap Intoleransi di
dddIndonesia Versi Polri.
dddhttps://nasional.kompas.com/read/2019/11/16/07364551/ini-tiga-sebab-
dddmenguatnya-sikap-intoleransi-di-indonesia-versi-polri?page=all (diakses 14
dddOktober 2020)
Hilmi, Mustofa, M.Sos. 2020. Intoleransi Agama dan Solusinya.
dddhttp://blokbojonegoro.com/2020/02/22/intoleransi-agama-dan-solusinya/
ddd(diakses tanggal 14 Oktober 2020)
Putri, Anita. 2019. Intoleransi Tak Sesuai dengan Roh Sumpah Pemuda.
dddhttps://www.kompasiana.com/anita.putri/5dbb28a0d541df3ca344f924/intolera
dddnsi-tak-sesuai-dengan-roh-sumpah-pemuda (diakses tanggal 14 Oktober 2020)
Quodir, Zuly. 2016. Kaum Muda, Intoleransi, dan Radikalisme Agama. Studi
dddPemuda, 5(1), 429 – 445.
Riana, Friski, dan Ninis Chairunnisa. 2020. Setara Sebut Ada Peningkatan
dddTindakan Intoleransi di Pemerintahan Kedua Jokowi.
dddhttps://nasional.tempo.co/read/1391240/setara-sebut-ada-peningkatan-
dddtindakan-intoleransi-di-pemerintahan-kedua-jokowi/full&view=ok (diakses 15
dddOktober 2020)
Very. 2020. Intoleransi Terjadi Karena Pemahaman Agama Tidak Tuntas.
dddhttps://indonews.id/artikel/312429/Intoleransi-Terjadi-Karena-Pemahaman-
dddAgama-Tidak-Tuntas/ (diakses tanggal 14 Oktober 2020)

Anda mungkin juga menyukai