Anda di halaman 1dari 7

Dampak UU Cipta Kerja Terhadap Kebangkitan Asas Domein Verklaring serta

Fungsi Sosial yang kian Menipis dalam Hukum Agraria

Penulis : Nicholas Patrick Soerya

A. Pendahuluan

Sejak memasuki abad ke 21, semakin terasa bahwa adanya perkembangan yang
sangat besar terjadi secara global. Terlebih, dapat dikatakan sekarang ini kita sedang hidup di
era disrupsi teknologi. Hal ini masuk secara mudah tanpa hambatan dari masyarakat
dikarenakan setiap inovasi dari kemunculannya kebanyakan mendorong aktivitas dan kegiatan
manusia ke arah efektivitas dan efisiensi. Masyarakat dimanjakan teknologi digital yang hadir di
masa ini, bahkan hampir didominasi oleh teknologi yang seharusnya dapat berjalan seimbang.
Fenomena disrupsi itu sendiri merupakan bentuk situasi pergerakan dari suatu hal yang tak lagi
linear, antara lain suatu bentuk perubahan yang masif, cepat, dengan pola yang sulit tertebak,
perubahan yang cepat menyebabkan ketidakpastian, dan menyebabkan ambiguitas.1
Berbicara mengenai disrupsi global yang berkaitan dengan perkembangan teknologi
yakni perkembangan hukum di bagian suatu perancangan perundangan-undangan dengan
hasilnya yakni Undang-Undang Cipta Kerja atau yang biasa dikenal dengan Omnibus Law.
Pemerintah semakin berupaya untuk mengaitkan teknologi dalam perancangan
undang-undang, Jika diperdalam lagi Undang-Undang Cipta Kerja mempunyai suatu peraturan
pemerintah turunan yang membahas mengenai program Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap, yakni pendaftaran aktif yang dilakukan oleh pemerintah dengan pencatatan sistematis
secara digital, hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hak dan hukum terhadap
kepemilikan tanah di Indonesia. Namun selain dari upaya tersebut, ternyata pemerintah
menginginkan hal yang lebih cepat dan efektif untuk menunjang kegiatan pendaftaran tanah di
seluruh daerah dengan melahirkan suatu upaya yang diatur didalam Peraturan Pemerintah
nomor 18 tahun 2021 serta Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2021, yang berkaitan
langsung dengan pembahasan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum serta hak atas tanah dan pendaftaran tanah. Peraturan
Pemerintah ini merupakan peraturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja, yang
akan berimbas langsung terhadap PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

1
Nugraha, Dewa Dwicky Putra. “Mengupas Fenomena Disrupsi Pembelajaran”.
https://undwi.ac.id/blog/mengupas-fenomena-disrupsi-pembelajaran.html. Universitas Dwijendra. Diakses pada
tanggal 15 November 2022.

1
Yang menjadi poin penting adalah, dimana akan ada upaya penghapusan alat bukti
lama dengan wajib mendaftarkannya paling lama lima tahun sesuai dengan target pendaftaran
tanah dan setelah dari rentang waktu tersebut, maka tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar
dalam kegiatan pendaftaran tanah, kemudian dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Sehingga hal ini seolah-olah merupakan upaya
menghidupkan kembali asas Domein Verklaring, tanah seperti dijadikan suatu barang
komoditas dimana negara seakan menjadi penguasa mutlak atas tanah dan menghapuskan
fungsi sosial dari tanah itu sendiri. Bertabrakan dengan konstitusi yang tercantum didalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar, mewajibkan negara Indonesia untuk menggunakan sumber
agraria Indonesia sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui demokrasi ekonomi,
akibatnya UU Cipta Kerja semakin menjauhkan rakyat dari cita-cita reforma agraria karena
semangatnya bukan untuk membenahi ketimpangan struktur agraria dan dirasa dengan
dirancangnya Peraturan Pemerintah bukan menjadi media penunjang dalam program
percepatan Pendaftaran Tanah, akan tetapi justru menimbulkan masalah baru. Istilah
kepemilikan tanah seperti Domein Verklaring mempunyai arti pernyataan yang menegaskan
bahwa semua tanah yang tidak dapat membuktikan kepemilikannya, maka tanah itu adalah
milik negara atau eigendom. Pada zaman pemerintahan Belanda, banyak tanah rakyat yang
dikuasai atau diambil oleh pemerintah dengan menggunakan dasar hukum. Apabila pemilik
tanah tidak dapat menunjukan surat kepemilikannya, maka tanah menjadi milik negara atau
pemerintah padahal pada saat itu kepemilikan tanah sebagian besar tidak dilengkapi dengan
tanda bukti surat kepemilikan.2

B. Pembahasan
Dengan adanya disrupsi global khususnya dibidang rancangan perundang-undangan
yang mendukung terciptanya UU Cipta Kerja, maka peraturan yang berkaitan dengan
pendaftaran tanah ini menjadi suatu bentuk alat hukum baru perampas tanah rakyat karena
telah melanggar konstitusi khususnya di Pasal 33 Ayat (3) dan (4) UUD 1945, mengenai
kewajiban Negara atas sumber agraria Indonesia agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat melalui demokrasi ekonomi. Dalam hal mendasar masyarakat adat juga
membutuhkan kepastian hukum untuk kedepannya, agar mendapatkan hak yang pantas
diperolehnya mengenai tanah ini. Terlebih lagi di wilayah pedesaan, banyaknya masyarakat
adat yang tidak memiliki sertifikat tanah, melainkan alat bukti hak lama yang masih merupakan

2
Zainuddin, Zaki Ulya. “Domein Verklaring Dalam Pendayagunaan Tanah Di Aceh”. Jurnal Hukum Samudra
Keadilan. Vol, 13 No, 1. (2018). 148.

2
bentuk Letter C, girik, pethuk dan kikitir, yang dimana alat bukti hak lama tersebut sebenarnya
bukan merupakan suatu bentuk bukti hak atas tanah yang cukup kuat, melainkan hanya
merupakan bukti pembayaran pajak terhadap tanah di masa lampau. Sehingga terciptanya UU
Cipta Kerja pada klaster pertanahan ini akan menjadi suatu permasalahan kedepannya bagi
masyarakat adat.
Secara implisit, dalam UU Cipta Kerja asas domein verklaring ini akan diberlakukan
kembali, walaupun pada awalnya hal ini merupakan upaya pemerintah yang secara tidak
langsung memaksa masyarakat untuk melakukan konversi hak atas tanah dalam bukti hak lama
untuk menjadi suatu bentuk sertifikat hak atas tanah, sehingga menjadi jelas dan membantu
memenuhi capaian dari tujuan terdaftar dan tercatatnya setiap pertanahan di negara Indonesia.
Akan tetapi, walaupun ketentuan mengenai upaya penghapusan alat bukti lama ini diatur
didalam Peraturan Pemerintah yang seharusnya secara langsung dapat diketahui oleh khalayak
ramai, hal ini tetap tidak menutup kemungkinan dari ketidaktahuan masyarakat adat dalam
mengetahui informasi dari upaya penghapusan alat bukti hak lama, hal mengenai
ketidakjelasan kepemilikan tanah adat akan menyebabkan tanah adat dapat jatuh menjadi
tanah Negara. Sementara itu, pengaturan dalam UU Cipta Kerja tidak menyebutkan bahwa
akan adanya suatu bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak yang
berhak dalam mekanisme kerja Bank Tanah. Sehingga adanya kekosongan hukum seperti
demikian dikhawatirkan menjadi celah bagi negara untuk merugikan masyarakat. Masyarakat
dirugikan karena tanahnya dapat diambil alih oleh pemerintah dengan dalih kepentingan umum,
tanpa ada kejelasan mengenai ada atau tidaknya ganti kerugian.3 Apabila upaya pemerintah
dalam membentuk suatu bank tanah dengan mengambil alih dari setiap tanah yang tidak
memiliki kejelasan dan tidak dapat dibuktikan adanya suatu bentuk hak atas tanah, maka dalam
pembentukan bank tanah ini akan sangat menguntungkan kepada para pengusaha swasta
untuk mendapatkan tanah secara murah bahkan gratis dengan menggadang-gadangkan untuk
peningkatan investasi di Indonesia, hal ini secara jelas termuat pada pasal 127 UU Cipta Kerja
dijelaskan bahwa “badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
transparan, akuntabel, dan nonprofit. Sehingga, apabila dikaitkan dengan fungsi sosial maka
dalam UU Cipta Kerja seakan-akan hal itu dihilangkan dan sangatlah mungkin jika kedepannya
UU Cipta Kerja ini hanya menghasilkan fungsi ekonomi saja.

3
Brian Dave, “Konsep Bank Tanah dalam Undang-Undang Cipta
Kerja”.https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/konsep-bank-tanah-dalam-undang-undang-cipta-kerja/. Lembaga Bantuan
Hukum Pengayoman Universitas Katolik Parahyangan. Diakses pada tanggal 16 November 2022.

3
Sehingga, pasca berlakunya UU Cipta Kerja ini akan menimbulkan dampak negatif bagi
masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat. Kerugian juga akan sangat berdampak bagi
rakyat dengan pekerjaan sebagai petani, atas dasar mengurangi regulasi birokrasi yang begitu
panjang, tetapi hanya menguntungkan para pemodal yang melakukan investasi saja karena
membahayakan sendi ekonomi kerakyatan, khususnya para petani yang akhirnya hanya
bergantung sebagai petani penggarap saja. Adapun yang Kedua UU Cipta Kerja tidak berpihak
pada masyarakat yang lemah posisi ekonominya, antara lain rakyat kecil dan masyarakat
hukum adat, reformasi agraria dianggap tidak penting khususnya terhadap redistribusi lahan
bagi petani dan penguasaan tanah ulayat oleh pengusaha perkebunan, redistribusi adalah
distribusi kembali pendapatan masyarakat berpenghasilan lebih tinggi ke masyarakat
berpenghasilan lebih rendah. Bahkan cita-cita reforma agraria dalam menciptakan suatu bank
tanah hanya akan lebih menguntungkan pihak swasta yang dapat membeli tanah dengan harga
murah, hal ini dimungkinkan karena setelah berlakunya UU Cipta Kerja ini, pemerintah
mempunyai kemampuan untuk mengambil alih setiap tanah yang masih menggunakan alat
bukti hak lama dan belum melakukan sertifikasi terhadapnya dalam jangka waktu lima tahun
setelah disahkannya UU Cipta Kerja. Cita-cita reformasi agraria selain merupakan manifestasi
dari tujuan politik, kebebasan, dan kemerdekaan suatu bangsa, merupakan sebuah alat
perubahan sosial dalam perkembangan ekonomi.4 Akan tetapi pada saat ini, dengan adanya
UU Cipta Kerja menimbulkan keraguan kepada masyarakat terhadap proses redistribusi ini
karena tujuannya bukan untuk memerdekakan rakyat melainkan lebih berpihak kepada
pemodal atau investor.

4
Denico Doly, “Kewenangan Negara Dalam Penguasaan Tanah: Redistribusi Tanah Untuk Rakyat (The Authority
Of The State In Land Tenure: Redistribution Of Land To The People),” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk
Keadilan Dan Kesejahteraan 8, no. 2 (2017): 195–214. hal. 205.

4
C. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perkembangan dalam perancangan
perundang-undangan khususnya terhadap Peraturan Pemerintah turunan UU Cipta Kerja yang
mengatur mengenai pendaftaran tanah serta bank tanah menjadi salah satu dampak juga dari
disrupsi secara global, dengan dihapusnya alat bukti lama dalam pendaftaran tanah, maka
masyarakat adat maupun petani dan setiap orang yang masih mempunyai bentuk hak milik
terhadap tanahnya selain sertifikat akan terancam untuk kehilangan kepastian haknya
terhadap tanah yang dimilikinya. Setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan hak miliknya melalui
sertifikat maka akan menjadi milik negara melalui produknya yakni bank tanah, Bank Tanah
berpotensi menjadi lahan subur praktik korupsi dan kolusi. Hal ini bisa terjadi karena Bank
Tanah punya kewenangan dan fungsi yang luas. Bank Tanah bisa melegalkan kesalahan
dalam penggunaan kewenangan dengan alasan penanganan masalah pertanahan, yang pada
awalnya mempunyai tujuan untuk pemerataan tanah akan tetapi hal ini justru dapat
menimbulkan ketidakadilan yang baru dengan memberi kemudahan terhadap pengusaha atau
pihak swasta yang dapat membeli tanah dengan harga murah, seolah-olah tanah menjadi
produk milik negara yang menjadi barang komoditas. Sehingga, tujuan dari pemerataan tanah
ini menjadi bias dan menghilangkan fungsi sosialnya, menimbulkan keraguan kepada
masyarakat terhadap proses redistribusi ini karena tujuannya bukan untuk memerdekakan
rakyat melainkan lebih berpihak kepada pemodal atau investor.

5
6
7

Anda mungkin juga menyukai