Anda di halaman 1dari 9

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGUASAAN

ATAS TANAH

Agus Winarno (20191440075)


Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Muhammadiyah Surabaya
agus.coopral@gmail.com

ABSTRAK :

Negara Indonesia diamanatkan untuk melakukan pengelolaan dan


pemanfaatan tanah yang didasari oleh semangat mensejahterakan
masyarakat. Pembaruan agraria di bidang pertanahan adalah salah
satu bentuk re-compose atau penataan ulang terhadap pengelolaan
dan pemanfaatan tanahPenguasaan negara terhadap tanah
merupakan amanat yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD Tahun 1945), yang dipertegas kembali dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Pokok
Agraria dinyatakan; Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3
Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan.

Kata Kunci : Kewenangan atas tanah, Hak atas Tanah, Harga


tanah
Latar Belakang Masalah
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan Pasal
53 UUPA, hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh Pemerintah
Daerah adalah hak pakai. Hak pakai diatur dalam Pasal 41 sampai
dengan Pasal 43 UUPA. Lebih lanjut tentang Hak pakai diatur
dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 58 Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak pakai Atas Tanah. Pengertian hak pakai disebutkan dalam
Pasal 41 ayat (1) UUPA, yaitu: hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentu-kan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-
undang ini.
Hak pakai dapat digunakan untuk kepentingan
mendirikan bangunan yaitu pada kata menggunakan dan atau
dapat digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakan dan perkebunan yaitu pada kata memungut hasil dari
tanah. Hak pakai dapat berasal dari tanah Negara, atau tanah
milik orang lain. Hak pakai yang berasal dari tanah negara terjadi
dengan keputusan pemberian hak, sedangkan hak pakai yang
berasal dari tanah hak milik terjadi dengan perjanjian dengan
pemilik tanah. Ketentuan Pasal 42 UUPA mengatur mengenai
pihak bahwa yang dapat mempunyai hak pakai, adalah Warga
Negara Indonesia; Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
Badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia; dan Badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia. Ketentuan Pasal 42 UUPA
menunjukkan bahwa tidak disebutkan secara tegas bahwa
pemerintah daerah (pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota) sebagai pihak yang dapat mempunyai hak pakai.
Ketentuan tersebut hanya disebutkan bahwa salah satu subjek
hak pakai adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Pengaturan mengenai Pemerintah Daerah sebagai subjek
hak pakai, pada Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun
1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah
Negara dan Kebijaksanaan Selanjutnya, yang mengatur Jika hak
penguasaan atas tanah yang diberikan kepada Departemen-
departemen, Direktorat-direktorat dan Daerah Swatantra
dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri
dikonversi menjadi Hak pakai. Selanjutnya dalam Pasal 1 huruf a
Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran
Hak pakai dan Hak Pengelolaan diatur bahwa selain hak milik, hak
guna usaha, dan hak guna bangunan, maka harus pula di-
daftarkan menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah
no. 10 Tahun 1961, yaitu semua hak pakai, termasuk yang
diperoleh departemen-departemen, direktorat-direktorat dan
daerah-daerah swatantra sebagai dimaksud dalam Pasal 1
Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965

Rumusan Masalah
Pemberian sesuatu hak penguasaan atas tanah kepada seseorang
atau badan hukum dilekati dengan wewenang yang ada pada hak
penguasaan atas tanah tersebut. Wewenang tersebut menjadi
dasar bagi pemegang hak penguasaan atas tanah untuk
mempergunakan tanah menurut keperluan dan peruntukannya.
Status tanah yang dapat dikuasai oleh pemerintah daerah adalah
hak pakai dan hak pengelolaan. Hak pakai dan hak pengelolaan
sebagai bagian dari hak penguasaan atas tanah di dalamnya dimuat
wewenang, kewajiban dan larangan bagi pemerintah daerah.
Pemberian hak pakai dan hak pengelolaan kepada pemerintah
daerah dilekati dengan wewenang yang ada pada kedua hak
tersebut.

Analisa dan Pembahasan


1. Moratorium pembangunan yang mengarah pada kepentingan
bisnis
Pembangunan saat ini banyak dilakukan oleh pengembang
perumahan atau untuk pembangunan kantor. Hal ini memang
layak untuk dilakukan dengan dasar untuk kepentingan
peningkatan perekonomian. Akan tetapi hal ini perlu diimbangi
dengan adanya kemampuan atau kesetaraaan kemampuan
masyarakat untuk membeli tanah untuk dijadikan tempat tinggal.
Sebagai contoh pembangunan di berbagai daerah kota besar saat
ini lebih banyak dilakukan kepada pembangunan mall, kantor,
atau apartemen. Pembangunan ini bukan ditujukkan bagi
pemerataan kepada seluruh masyarakat, akan tetapi hanya untuk
orang-orang yang mampu membeli atau menyewa bangunan
tersebut. Pembangunan rumah susun yang disubsidi oleh
Pemerintah saat ini dibangun di daerah penyangga ibukota seperti
Tangerang, Bekasi, Bogor, dan sekitarnya. Hal ini tentu saja
membuat kesenjangan yang cukup besar di antara masyarakat.
Pembangunan harus lebih diarahkan kepada pembangunan
infrastruktur atau penyediaan rumah atau tanah untuk rakyat.
Penyediaan bangunan rumah susun atau rumah tunggal yang
disubsidi dari pemerintah merupakan langkah yang perlu
dikembangkan dalam rangka memberikan jaminan kepada
masyarakat bahwa seluruh masyarakat memiliki hak untuk
mendapatkan tempat tinggal sebagaimana amanat konstitusi. Perlu
ada sebuah perubahan paradigma, bahwa saat ini bukan hanya
untuk meningkatkan daya saing masyarakat, akan tetapi lebih
kepada menyamaratakan daya saing tersebut, sehingga tidak ada
kesenjangan yang terlalu jauh antarmasyarakat. Dengan
melakukan moratorium pembangunan yang mengarah kepada
kepentingan bisnis dan melakukan pembangunan untuk
kepentingan masyarakat, akan membuat masyarakat merasakan
adanya kepedulian pemerintah terhadap masyarakat. Masyarakat
akan semakin terjamin kehidupannya.

2. Pengendalian harga tanah di Masyarakat


Salah satu penyebab tidak meratanya kepemilikan tanah di
Indonesia adalah harga tanah yang tidak rasional. Harga tanah
yang semakin tinggi setiap tahunnya membuat masyarakat
semakin tidak mampu untuk membeli sebidang tanah dengan
harga murah. Harga tanah yang tidak wajar dapat dilihat dari
harga jual yang jauh dari nilai objek tanah yang tercantum
dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang setiap tahun
dibayar oleh masyarakat. Harga tanah yang mencapai 3 (tiga)
atau 4 (empat) kali lipat dari harga objek pajak saat ini
merupakan salah satu bukti bahwa adanya kenaikan yang
tidak wajar dari harga tanah. Kenaikan tidak wajar harga
tanah ini bukan hanya terjadi dari adanya spekulan tanah,
akan tetapi juga diakibatkan dari adanya sebuah
pembangunan yang berorientasi kepada bisnis semata. Para
pengembang membeli tanah dengan murah, lalu menjual
tanah dengan harga yang jauh lebih tinggi merupakan salah
satu penyebab harga tanah semakin tidak terkendali. Hal ini
diperburuk dengan banyak pengalihan fungsi tanah dari yang
seharusnya tanah pertanian menjadi non pertanian atau dari
tanah yang diperuntukan rumah menjadi kantor.
Permasalahan lain muncul apabila melihat kondisi dan situasi
tanah yang ada di Indonesia saat ini. Penguasaan tanah oleh
para pemegang hak atas tanah seringkali dilakukan hanya
untuk investasi saja. Banyak tanah yang sudah memiliki
bangunan tetapi tidak ditempati atau diusahakan. Para pemilik
hak atas tanah membiarkan tanah tersebut kosong atau tidak
dimanfaatkan sampai dengan harga tanah menjadi lebih
tinggi, kemudian dijual. Tampak ada kesengajaan untuk
menelantarkan tanah, yang pada gilirannya menyebabkan
terganggunya kestabilan harga tanah. Hal itu disebabkan
ketersediaan tanah semakin sedikit, sedangkan masyarakat
yang membutuhkan tanah semakin banyak. Semakin tidak
terkendalinya harga tanah dapat menimbulkan permasalahan
di bidang pertanahan. Sengketa pertanahan akan semakin
banyak dengan adanya penyerobotan tanah. Oleh karena itu,
perlu adanya peran pemerintah untuk mengendalikan harga
tanah di Indonesia. Pengendalian ini bukan dalam rangka
untuk mengekang adanya kebebasan dalam kepemilikan
tanah, akan tetapi lebih kepada sebuah upaya untuk
mencegah adanya spekulan harga tanah yang dapat
merugikan masyarakat. Dengan pengendalian harga tanah ini
dapat memberikan kepastian hukum dalam jual beli tanah.

Kesimpulan
Penguasaan tanah , pengelolaan tanah , maupun
pemanfaatan tanah merupakan amanat UUD 1945 dalam Pasal
33 ayat (3). Penguasaan terhadap tanah ini dimaksudkan
adalah untuk mengelola dan memanfaatkan tanah untuk
kesejahteraan rakyat Indoensia. Prinsip – prinsip penguasaan
negara terhadap tanah telah dipersepsikan oleh MK
(Mahkamah Konstitusi), yaitu untuk melakukan pengaturan,
pengelolaan, kebijakan, pengurusan, dan pengawasan.
Pengaturan dengan membentuk peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur tentang pertanahan.
Pengelolaan dilakukan dengan prinsip bahwa tanah itu
mempunyai fungsi sosial dan bagaimana arah kebijakan politik
hukum pertanahan. Kebijakan yang diambil adalah dalam
rangka memberikan kemudahan dan kemanfaatan tanah yang
dimiliki oleh seseorang. Pengurusan merupakan langkah yang
diambil dalam rangka memberikan atau mencabut ijin
penggunaan tanah. Pengawasan dilakukan untuk mengawasi
pengelolaan tanah baik itu di tingkat pusat maupun di daerah.
Penguasaan tanah oleh pemerintah daerah dapat dilakukan
dengan melakukan redistribusi tanah untuk rakyat.
Mengembalikan tanah untuk rakyat bukan lagi dengan
melakukan jual beli tanah tanpa ada kendali dari pemerintah.
Redistribusi tanah untuk rakyat dilakukan dengan melakukan
menyediakan tanah sebagai obyek reforma agraria (TORA)
kepada yang berhak untuk memilikinya. Selain itu, dalam
rangka mendukung program redistribusi tanah, pemerintah
dapat melakukan moratorium penggunaan tanah untuk
pembangunan yang berorientasi pada bisnis, membatasi
kepemilikan dan penguasaan tanah, pengendalian harga
tanah, dan mencabut hak atas tanah yang tidak dimanfaatkan.
Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengembalikan
hak masyarakat atas tanah yaitu mengatur dan menata
kembali kepemilikan tanah di Indonesia dengan cara membuat
regulasi yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan
pengelolaan tanah. RUU Pertanahan akan menjadi landasan
dalam mengatur pengelolaan tanah, salah satunya redistribusi
tanah. Oleh karena itu, diharapkan pembahasan RUU
Pertanahan dapat dipercepat dan dilakukan dengan semangat
untuk kesejahteraan masyarakat.
Daftar Pustaka

Eman. “Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk


Kepentingan Umum”. Jurnal Yuridika, Vol. 23 No. 1. Januari 2008.
Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Santoso, Urip. “Pengaturan Hak Pengelolaan”. Jurnal Media Hukum.


Vol. 15 No. 1. Juni 2008. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah

Sumardji. “Dasar dan Ruang Lingkup Wewenang Dalam Hak


Pengelolaan”. Majalah Yuridika. Vol. 21 No. 3. Mei 2006. Surabaya:
Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Sumardjono, Maria SW. “Hak Pengelolaan: Perkembangan,


Regulasi, dan Implementasinya”. Jurnal Mimbar Hukum. Edisi
Khusus September 2007. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada

Madalina, M. “Implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012


tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum di Tinjau dari Teori Hukum Pembangunan”. Jurnal Pasca
Sarjana Hukum UNS. Edisi 5. Januari – Juni 2015. Surakarta: UNS.

Anda mungkin juga menyukai