Anda di halaman 1dari 6

Jawaban

Dasar hukum Catur Tertib Petanahan adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1979 tentang
Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga (REPELITA III) 1978/80-1983/84. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 7 tahun 1979 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga (REPELITA III) 1978/80-1983/84 pada Pasal 1
menyebutkan bahwa rencana pembangunan selama tahun 1978/80-1983/84 yang termuat dalam lampiran merupakan
bagian dari pola dasar pembganunan nasional yang di dalamnya tercantum Catur Tertib Pertanahan. Catur Tertib
Pertanahan yang menjadi landasan dalam melaksanakan penatataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemeliharaan tanah ini berisi kebijaksanaan salah satunya untuk Tertib penggunaan tanah.

Dimana Tertib penggunaan tanah adalah memastikan bahwa tanah harus benar-benar digunakan sesuai dengan
kemampuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam hal ini terkait peruntukannya yang tidak terlepas
dengan memperhatikan kondisi kesuburan dan potensi pengembangan kemampuan tanah. Dengan fokus penggunaan
secara optimal serasi dan seimbang, pemanfaatan di daerah perkotaan yang menciptakan suasana aman, tertib, lancar,
dan sehat. Dan tidak terdapat konflik kepentingan antar sektor terkait peruntukannya.

Alih fungsi tanah merupakam kegiatan perubahan peggunaan tanah dari suatu kegiatan yang menjadi kegiatan
lainnya. Alih fungsi tanah muncul sebagai akibat pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk.
Pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah merubah
strukur pemilikan dan penggunaan tanah secara terus menerus. Perkembangan struktur industri yang cukup
pesat berakibat terkonversinya tanah pertanian secara besar-besaran. Selain untuk memenuhi kebutuhan
industri, alih fungsi tanah pertanian juga terjadi secara cepat untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang
jumlahnya jauh lebih besar.

Dalam rangka dilakukannya alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian para pihak yang
bersangkutan harus mengajukan permohonannya melalui mekanisme perijinan. Mekanisme tersebut terbagi
dalam dua jalur yaitu dapat melalui ijin lokasi atau ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non
pertanian. Perbedaan dari dua mekanisme tersebut adalah terletak pada luasnya tanah yang dimohon, apabila
luas tanah pertanian yang dimohonkan perubahan penggunaannya ke tanah non pertanian kurang dari 10.000
m3 maka ijin yang diperlukan adalah ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, sedangkan
apabila lebih dari 10.000 m3 maka ijin yang diperlukan adalah ijin lokasi.

Tujuan diadakannya ketentuan ijin lokasi adalah adanya rencana peruntukan atau tata guna tanah di tiap-tiap
daerah, yang terdapat di dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota dan Rencana Tata Ruang Wilayah, hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi peruntukan dan penggunaan tanah yang tumpang tindih. Tanah yang dapat
ditunjuk adalah tanah menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku bagi penggunaan yang sesuai
dengan rencana penanaman modal, salah satunya adalah kegiatan pengembangan kawasan perumahan.

Sehingga pengalihfungsian tanah pertanian menjadi perumahan dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan
Rencana Tata Ruang Wilayah. Namun, apabila ditinjau dari segi Tata Guna Tanah pelaksanaan alih fungsi tanah
tersebut tidak sesuai karena tanah yang dialihfungsikan tersebut adalah tanah pertanian yang berfungsi
sebagai kawasan resapan air sehingga diperlukan suatu perlindungan terhadap tanah pertanian tersebut yaitu
dengan diundangkannya Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.

Maka dalam Kasus tersebut terjadi tumpang tindih penggunaan tanah antara Rencana Tata Ruang Wilayah
oleh pemerintah dengan ijin pembangunan perumahan yang dilakukan PT Sopononyo Group sehingga
menurut pendapat saya bahwa kawasan pemukiman yang akan dibangun oleh PT Sopononyo Group tidak
sesuai dengan tertib penggunaan tanah karena terdapat konflik kepentingan antar sektor terkait peruntukannya
dimana tanah pertanian tersebut telah masuk kedalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang diatur pemerintah.

2. Instansi yang berhak mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Ijin lokasi adalah Bupati / Walikota,
sedangkan Kepala Kantor Pertanahan hanya mempersiapkan rapat koordinasinya. Jangka waktu ijin lokasi
dapat dibagi menjadi : 1. Ijin lokasi seluas sampai dengan 25 ha : 1 tahun 2. Ijin lokasi seluas 25 sampai dengan
50 ha : 2 tahun 3. Ijin lokasi seluas lebih dari 50 ha : 3 tahun sedangkan Setiap pemilik tanah yang berkeinginan
merubah penggunaan tanah pertanian menjadi tanah non pertanian menurut keperluannya, baik untuk
keperluan rumah tempat tinggal dan pekarangan ataupun untuk keperluan pembangunan tempat usaha atau
perusahaan harus mendapatkan ijin pengeringan terlebih dahulu. Permohonan ijin pengeringan diajukan
kepada Kepala Kantor Pertanahan. Setelah diadakan pemeriksaan mengenai kelengkapan segala persyaratan
yang diperlukan dalam rangka permohonan ijin pengeringan maka diberikanlah ijin pengeringan yang
merupakan hasil kerja dari Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian.

Sumber Materi :
- BMP Hukum Agraria
- https://christiangamas.net/catur-tertib-pertanahan/#:~:text=Tertib%20penggunaan%20tanah%20adalah
%20memastikan,dan%20potensi%20pengembangan%20kemampuan%20tanah.
- https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/5504
- https://core.ac.uk/download/pdf/11718382.pdf

Landasan kebijakan di bidang pertanahan tidak terlepas dari Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”. Menguasai di sini bukan dalam artian
memiliki, Ketentuan ini merujuk pada tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan kekayaan alam Indonesia, termasuk tanah. Pasal 33 ayat 3 ini
dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 2 UUPA.
Berbagai macam pengakuan masyarakat hukum adat oleh pemerintah di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan baik di dalam konstitusi UUD 1945 maupun peraturan-peraturan sektoral lainnya,
namun pengakuan yang di berikan merupakan pengakuan bersyarat yaitu sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Pengakuan bersyarat ini juga berkorelasi dengan hak menguasai tanah oleh negara sehingga
berimplikasi terhadap kepastian hukum hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam
belum bisa terpenuhi.
Bila di cermati dengan adanya pengakuan bersyarat tersebut hak-hak masyarakat hukum adat bisa di
hilangkan dengan alasan berbenturan dengan kepentingan pembangunan nasional, pengakuan bersyarat itu
bersifat diskriminatif dan tidak mencerminkan keadilan dan cenderung menghapuskan hukum adat/lokal dan
mencoba mengarahkannya ke hukum positif/nasional. Didalam berbagai peraturan perundang-undangan itu
juga belum di atur penguatan masyarakat hukum adat sebagai subjek yang harus dipenuhi hak-haknya tetapi
mengindikasikan sebagai objek yang terekploitasi, di sisi lain pengakuan bersyarat itu menempatkan
masyarakat hukum adat di tentukan keberadaannya oleh pengakuan negara melalui keputusan ada tidaknya
masyarakat hukum adat. Penyebaran pengakuan masyarakat hukum adat di berbagai peraturan perundang-
undangan belum memberikan pemahaman secara komprehensif bagi pemerintah terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat. Justru sektoralisasi tersebut menyebabkan sulitnya masyarakat hukum adat
memperjuangkan hak-haknya, jika dilihat dalam diri Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 maka ada pertentangan di
dalam norma tersebut di sisi yang satu meberikan pengakuan dan di sisi yang lain juga memberikan
persyaratan. Jadi sudah menjadi suatu teori hukum jika di dalam norma hukum terjadi pertentangan norma
maupun asas hukum maka suatu norma hukum tidak bisa memberikan kepastian hukum

Dari perspektif legal di butuhkan peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk Undang-undang maupun
Perda di tingkat daerah yang secara khusus mengakui keberadan masyarakat hukum adat jika tidak ada maka
masyarakat hukum adat dianggap tidak ada meskipun secara nyata ada. Peraturan perundang-undangan di
Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada negara untuk menguasai
semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Oleh karena itu perlu pembatasan terhadap hak menguasai oleh
negara. Pembatasan itu bisa dilakukan dengan me-review berbagi undang-undang yang berhubungan dengan
“kekuasaan negara atas tanah” yang terlampau besar, yang di dalamnya termasuk UUPA.

Namun dilain sisi Kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tanah adat sebelum berlaku UUPA telah diatur juga dalam UUPA mengenai ketentuan konversi serta dalam
PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kepastian hukum itu berupa tanah adat yang belum
didaftarkan maka harus dikonversi dulu sesuai dengan amanat PP Nomor 24 Tahun 1997. Terhadap hak
atas tanah adat yang memiliki bukti-bukti tertulis atau tidak tertulis dimana pelaksanaan konversi dilakukan
oleh Panitia Pendaftaran Ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya
dilakukan dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas tanah adat yang tidak mempunyai bukti
dilakukan dengan proses pengakuan hak.

Sehingga Menurut pendapat saya bahwa tanah masyarakat hukum adat belum memberikan kepastian
hukum dibandingkan dengan hak-hak lainnya karena berbagai macam pengakuan tanah masyarakat hukum
adat oleh pemerintah di dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik di dalam konstitusi UUD 1945
maupun peraturan-peraturan sektoral lainnya, namun pengakuan yang di berikan merupakan pengakuan
bersyarat yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak Milik dalam pasal 20 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, atau yang seringkali disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan Hak Milik adalah, “Hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6″.

Dikatakan sebagai hak terkuat dan terpenuh, karena hak milik merupakan satu-satunya hak yang memiliki
kekuatan mengikat paling kuat dan paling penuh, jika dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan atas tanah
oleh orang dan hak-hak atas tanah lainnya, seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dll.

Sehingga Hak Milik tidak diperuntukkan bagi negara, karena negara bukan merupakan subjek dari Hak Milik
atas tanah. Dalam hal ini, negara hanya memiliki Hak Menguasai.

Menurut terminologi Hak Menguasai pada dasarnya termaktub dalam Bab XIV Undang-Undang Dasar 1945
tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, khususnya pada Pasal 33 ayat (3), yang
menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Hal inilah yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam UU Nomor 5 Tahun 1960, pada pasal 2 ayat (1),
yang menyatakan bahwa, “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.”

Poin penting dari dua pasal di atas sebenarnya adalah, bahwa seluruh kekayaan sumber daya alam yang
ada di Indonesia diamanatkan pengaturan dan pengelolaannya kepada pemerintah sebagai pemegang
otoritas tertinggi dalam suatu negara. Negara diharuskan untuk dapat mengatur dan memanfaatkan seluruh
kekayaan sumber daya alam tadi, demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Maka, timbullah yang disebut dengan Hak Menguasai Negara (HMN). Akibat dari adanya Hak Bangsa, yang
merupakan pengejawantahan dari hak setiap warga negara Indonesia untuk dapat menikmati segala
kekayaan sumber daya alam yang ada sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Demi mempertahankan
kelangsungan hidup dan untuk memenuhi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokoknya, yang meliputi
sandang, pangan dan papan, maka setiap warga negara memiliki hak tersebut.

Perkataan ‘dikuasai’ dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar bukanlah berarti ‘dimiliki’, akan tetapi
dalam pengertian, yang memberi wewenang pada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
Indonesia, pada tingkatan yang tertinggi untuk:1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya;2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai
atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu;3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanah hak milik negara tidak dapat disamakan dengan hak menguasai
dari negara Karena apabila hak milik negara bersifat kuat dan penuh, pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara bebas untuk memberikan, merampas, dan/atau mengalihfungsikan
suatu lahan pertanahan dengan sesuka hatinya. Maka dalam hal ini Negara hanya mengusai.

Mengenai kekuatan mengikatnya alat bukti surat di bawah tangan diatur dalam pasal 1875 KUHPerdata, kekuatan
surat di bawah tangan akan memiliki kekuatan hukum apabila pihak-pihak yang bersangkutan membenarkan
bahwa para pihak bertandatangan di surat tersebut. Kekuatan pembuktian surat di bawah tangan akan memiliki
kekuatan hukum jika digunakan oleh pihak yang bersangkutan dan diwajibkan untuk mengakui kebenarannya atas
tanda tangannya. Dalam hal tanda tangan sudah diakui, selanjutnya hakim akan memerintahkan agar kebenaran
surat tersebut di periksa, dan apabila tanda tangan diakui oleh yang bersangkutan maka surat tersebut akan
memiliki kekuatan dan menjadi bukti sempurna.

Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dalam perkara perdata, sepanjang akta di bawah tangan tidak
disangkal atau dipungkiri oleh para pihak maka akta di bawah tangan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan
akta otentik, sedangkan apabila kebenaran tanda tangan dalam akta di bawah tangan di sangkal akan
kebenarannya maka akta tersebut harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan alat bukti yang lain
seperti saksi, persangkaan dan pengakuan. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tanpa bantuan pejabat
umum, melainkan dibuat dan ditandatangani oleh para pihak saja. Setiap akta di bawahtangan diwajibkan
dibubuhi dengan surat pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk
oleh Undang-Undang. Fungsi akta di bawah tangan yang dilegalisasi notaris adalah mengenai kepastian tanda
tangan sebagaimana bahwa memang pihak dalam menandatanganinya pasti bukan orang lain. Apabila terjadi
sengketa dikemudian hari pembuktiannya mempunyai kekuatan bukti yang sempurna dan sah menurut hukum.
Sehingga hakim sudah tidak meminta penambahan bukti lain. Dan setidaknya menggurangi penggunaan akta di
bawah tangan dalam melakukan perjanjian jual beli, karena kekuatan pembuktian akta di bawah tangan menjadi
lemah ketika para pihak memungkiri isi dan tanda tangan yang ada pada akta tersebut.

Perjanjian jual beli tanah pada dasarnya merupakan perjanjian jual beli seperti pada umumnya, oleh karena itu,
selama perjanjian jual beli tersebut memenuhi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH. Perdata
dan terpenuhinya syarat-syarat materiil yaitu adanya para pihak, tanah sebagai objek jual beli dan harga yang
telah disepakati, serta memenuhi unsur-unsur teori kesepakatan antara penjual dan pembeli, maka jual beli
tersebut adalah sah meskipun tidak dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Jual beli tanah
secara di bawah tangan berdampak pada pihak pembeli karena akan menimbulkan kesulitan pada saat
mendaftarkannya untuk proses balik nama sertifikat, karena menurut PP Nomor 24 Tahun 1997 peralihan hak atas
tanah hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Kantor
pertanahan akan menolak pendaftaran peralihan tersebut apabila dokumen-dokumen tidak disertai dengan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seperti yang disebutkan dalam Pasal 45 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997. Namun dalam keadaan tertentu jual beli secara di bawah tangan atau jual beli tanpa menggunakan
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat didaftarkan ke kantor pertanahan, hal ini disebutkan dalam Pasal
37 Ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997.

Pembebasan dan pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah
untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan
bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan.

"Bagi warga yang lahannya terdampak oleh adanya pembangunan jalan tol dan belum mendapatkan pembayaran
ganti rugi lahan, silakan, ajukan BPN atau pihak pemerintah ke pengadilan," kata Staf Khusus/Juru Bicara
Kementerian (ATR/BPN) (dikutip dari https://www.kompas.com/properti/read/2022/03/26/053000421/warga-
tak-dapat-ganti-rugi-lahan-tol-bpn-persilakan-lapor-ke-pengadilan?page=all)

Pemerintah selalu membayarkan ganti rugi lahan warga terdampak jalan tol bahkan sebelum konstruksi proyek
tersebut dimulai. Hal ini karena aturan ganti rugi lahan warga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dan dalam penjelasan pasal 40 pada undang-undang tentang Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum,
pemberian ganti rugi harus diserahkan langsung kepada pihak yang berhak atas ganti rugi. Undang-undang
Pengadaan Tanah ini pada akhirnya akan memberikan kepastian dan keadilan bagi semua pihak. Jika ada rencana
proyek, pemerintah akan mengumumkan kepada masyarakat, pemilik lahan akan diajak bicara. Warga bisa
menyatakan tidak setuju, lalu dibicarakan. Harganya ditentukan melalui appraisal yang independent. Undang-
undang ini dapat memperjelas implementasi pembangunan infrastruktur umum, sehingga tidak ada lagi alasan
tidak mampu untuk membebaskan tanah. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pihak yang
melepaskan hak atas tanahnya karena digunakan untuk kegiatan pembangunan, hanya dibatasi pada orang atau
badan hukum yang mempunyai hubungan hukum yang konkrit dengan tanah haknya.

Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang hak atas tanah, tidak mau menerima
besarnya ganti kerugian walaupun sudah mendapat keputusan dari presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan
pencabutan ini dilakukan secara bijak dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya pencabutan, maka para pemegang
hak atas tanah semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip kehati-hatian ini membuat Presiden
mengeluarkan intruksi nomor 9 tahun 1973 pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda
diatasnya. Dalam intruksi tersebut di tujukan kepada kepada semua mentri dan gubernur di seluruh indonesia,
bahwa: “Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya supaya hanya dilaksanakan benar-
benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara
yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-perundangan yang
berlaku.”

Dalam instrusi presiden ini telah di tentukan bawa pembangunan yang bersifat kepentingan umum, yaitu apabila
kegiatan tersebut menyangkut: a) Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau b) Kepentingan masyarakat luas,
dan/atau c) Kepentingan rakyat banyak, dan/atau d) Kepentingan pembangunan

Suatu hal yang dapat di salut dari adanaya instruksi presiden ini menyangkut mengenai penghargaan terhadap
pemegang hak atas tanah yang akan dicabut dengan alasan demi kepentingan umum, karena alasan sangat
mendesak. Hal ini di atur dalam pasal 4 intruksi Presiden ini sebagai berikut: “Dengan tetap memperhatikan
kepentingan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, naka penguasaan atas tanah dalam keadaan yang
sangat mendesak sebagai di maksud dalam pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1961 (lembaran negara tahun 1961 nomor
288) hanya dapat dilakukan apabila kepentingan umum menghendaki keadaan sangat mendesak, di mana
penundaan pelaksanaanya dapat menimbulkan bencana alam yang dapat menimbulkan bencana alam yang
mengancam keselamatan umum; (b) penyediaan tanah tersebut sangat di perlukan dalam suatu suatu kegiatan
pembangunan yang oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya di
anggap tidak dapat di tunda-tunda lagi”.
Maka jika tidak ditemui kata sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah, maka untuk menguasai tanah
tersebut dapat ditempuh prosedur “pencabuatan” sesuai dengan undang-undang Nomor 20 tahun 1961 dengan
konsukwensi bahwa prosenya akan berjalan lebih lama.

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang dulunya diatur dengan
Peraturan Presiden kini diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah yaitu PP 19 tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini
mencabut Peraturan Presiden Nomor 7l Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20l2 Nomor 156)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 7l Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 366).

Pembaruan aturan tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
menjadi PP 19 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum disebabkan karena adanya omnibus law UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah UU 2 tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Hal ini bertujuan untuk melakukan
penyederhanaan aturan, penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan masyarakat, peningkatan ekosistem investasi,
dan percepatan Proyek Strategis Nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.

Perubahan-perubahan yang menjadikan terbitnya PP 19 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah karena dibutuhkannya pengaturan dalam bentuk peraturan
pemerintah yang lebih sederhana dan efektif dalam hal:
1. penambahan jenis pembangunan untuk Kepentingan Umum;
2. upaya percepatan Pengadaan Tanah seperti penyelesaian status kawasan hutan;
3. percepatan Pengadaan Tanah terkait dengan tanah kas desa, tanah wakaf, tanah aset;
4. pelibatan lembaga pertanahan membantu dalam penyusunan dokumen perencanaan pengadaan Tanah;
5. penambahan jangka waktu Penetapan Lokasi; dan
6. penitipan Ganti Kerugian.

Anda mungkin juga menyukai