Anda di halaman 1dari 5

1. A. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No.

22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi


Daya Pertanian Berkelanjutan menjelaskan bahwa Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menetapkan
kawasan budi daya Pertanian dalam rencana tata ruang. RPJMD diatur dalam
Peraturan Daerah di masing-masing daerah dengan memerhatikan Rencana
Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Jika dilihat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-
Undang No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
yang menyebutkan bahwa Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan
yang sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian, namun pada ayat
(3) dalam Pasal ini disebutkan Pengalihfungsian Lahan budi daya Pertanian
untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan dengan syarat:
a. dilakukan kajian strategis;
b. disusun rencana alih fungsi lahan;
c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan
d. disediakan Lahan pengganti terhadap Lahan budi daya Pertanian.
PT Sopononyo Group mengalihfungsikan kawasan yang telah ditetapkan
sebagai kawasan pertanian menjadi kawasan pemukiman, maka berdasarkan
Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2019 maka pengalihfungsian
penggunaan kawasan tersebut dapat dilakukan untuk kepentingan umum
berdasarkan syarat tertentu, namun berdasarkan Pasal 109 Undang-Undang
No. 22 Tahun 2019 dijelaskan bahwa Setiap Orang yang mengalihfungsikan
Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) maka pengalihfungsian penggunaan kawasan tersebut juga bisa tidak
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
B. Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa/pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan yang
menyimpang dari ketentuan larangan peraturan perundang-undangan tersebut.
Mengenai pemberian izin kepada badan hukum, Pemerintah Daerah
melimpahkan kewenangannya dalam menerbitkan izin kepada Perangkat
Daerah yang membidangi perizinan. Dalam hal prosedur izin pada suatu
daerah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan mengenai perizinan.

2. A. Merujuk pada Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang. Kemudian peraturan perundang-undangan lainnya juga
telah memberikan landasan hukum untuk tanah masyarakat hukum adat, yaitu
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA),
Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Undang-Undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 jo.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Landasan hukum mengenai tanah juga tidak lepas dari
Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pada kenyataannya, Hak menguasai tanah oleh negara
ini memberikan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas
sumber daya alam yang ada di wilayah adatnya, hal ini terjadi akibat
penggunaan hak menguasai tanah secara berlebihan oleh negara. Peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan sebelumnya menjadi landasan
hukum pengakuan hak masyarakat hukum adat. Namun pengakuan yang
diberikan merupakan pengakuan bersyarat, dengan kata lain sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Pengakuan bersyarat
ini berhubungan dengan hak menguasai tanah oleh negara sehingga
berimplikasi terhadap kepastian hukum hak masyarakat hukum adat atas tanah
dan sumber daya alam lainnya belum bisa terpenuhi.
B. Merujuk pada Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa Atas dasar
ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, lalu pada
ayat (2) dijelaskan bahwa Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat
(1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Tanah Negara merupakan tanah yang dikuasai oleh Negara tapi Negara tidak
memiliki hak atas tanah tersebut. Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik
Indonesia telah menjelaskan bahwa tanah dikuasai oleh Negara, bukan dimiliki.
Negara bisa memiliki tanah apabila negara bertindak sebagai badan hukum.
3. A. Akta jual-beli di bawah tangan dapat dijadikan alat bukti di pengadilan, selama
akta/perjanjian tersebut memenuhi syarat sah perjanjian karena sah atau
tidaknya suatu akta ditentukan dari terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat
dilihat pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan
bahwa Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. sepakat mereka yang megikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
Dikarenakan akta jual-beli di bawah tangan tidak dibuat dihadapan pejabat
yang berwenang, maka sebaiknya pembuatan dan penandatanganan akta ini
turut menghadirkan saksi.
B. Perjanjian jual-beli dengan akta di bawah tangan sudah berdasarkan asas-asas
pendaftaran tanah. Dasar hukum mengenai asas-asas pendaftaran tanah diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
disebutkan bahwa asas pendaftaran tanah adalah asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir, dan terbuka. Maka, perjanjian/akta jual-beli di bawah
tangan ini termasuk dalam asas aman dan mutakhir, asas aman dimaksudkan
untuk mendapatkan kepastian hukum kepada pembeli tanah maka perlu
adanya bukti bahwa pembeli tersebut membeli tanah dari penjual yaitu adanya
perjanjian jual-beli dengan akta di bawah tangan meskipun akta tersebut tidak
dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang, namun perjanjian/akta tersebut
dapat dijadikan bukti dalam proses pendaftaran tanah. Asas mutakhir terhadap
perjanjian/akta jual-beli di bawah tangan dalam pendaftaran tanah yaitu wajib
melengkapi data dan memiliki data yang berkesinambungan dalam
mendaftarkan tanah, data yang berkesinambungan yang dimaksud adalah alur
pembeli mendapatkan tanah tersebut untuk didaftarkan agar mendapatkan
kepastian hukum.
4. A. Apabila ada masyarakat yang tidak memperoleh haknya dapat melakukan
gugatan ke Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja hal ini sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum. Maka, berdasarkan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun
2012 dijelaskan bahwa Dalam hal terdapat keberatan atau gugatan atas
pelaksanaan Pengadaan Tanah, Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat
melaksanakan kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berbunyi Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum karena keadaan
mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah
penyakit dapat langsung dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan
penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Pemerintah masih tetap dapat melaksanakan
pembangunan jalan tol meskipun masih ada konflik.
B. Pengadaan Tanah telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan
peraturan pelaksanaannya Perpres No. 71 Tahun 2012 yang telah berubah
beberapa kali, perubahan yang pertama adalah Perpres No. 40 Tahun 2014,
perubahan yang kedua adalah Perpres No. 99 Tahun 2014, perubahan yang
ketiga adalah Perpres No. 30 Tahun 2015, dan perubahan yang terakhir adalah
Perpres No. 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Adapun beberapa perubahan regulasi dalam Perpres No. 148 Tahun 2015,
yaitu:
- Pasal 8 ayat (1) menjelaskan Gubernur melaksanakan tahapan kegiatan
Persiapan Pengadaan tanah setelah menerima dokumen perancanaan
Pengadaan Tanah dari instansi yang memerlukan dan Pasal 8 ayat (2)
menjelaskan Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, gubernur membentuk
tim persiapan paling lama dua hari kerja sejak dokumen perencanaan
pengadaan tanah diterima secara resmi oleh Gubernur.
- Pasal 11 ayat (1) menjelaskan Tim persiapan sebagaimana dimaksud
melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan kepada masyarakat
pada lokasi rencana pembangunan, Pasal 11 ayat (2) menjelaskan
Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud
dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 hari kerja sejak dibentuknya Tim
Persiapan, dan Pasal 11 ayat (3) menjelaskan Pemberitahuan rencana
pembangunan yang ditandatangani ketua tim persiapan. Kemudian di
pemberitahuan itu perlu memuat informasi mengenai maksud dan tujuan
rencana pembangunan, letak tanah dan luas tanah yang dibutuhkan,
tahapan rencana pengadaan tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan
pengadaan tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan dan
informasi lainnya yang dianggap perlu.
- Pasal 14 ayat (1) menjelaskan Surat pemberitahuan rencana pembangunan
itu disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi pembangunan
melalui lurah/kepala desa dalam waktu paling lama tiga hari kerja sejak
ditandatanganinya surat pemberitahuan dan ayat (2) menjelaskan bukti
penyampaian pemberitahuan dibuat dalam bentuk tanda terima dari
perangkat kelurahan/desa.
- Pasal 39 menjelaskan Penanganan keberatan oleh gubernur dilakukan
paling lama tiga hari kerja sejak diterimanya keberatan.
- Pasal 41 ayat (1) menjelaskan Penetapan lokasi pembangunan dilakukan
oleh gubernur dalam waktu paling lama tujuh hari kerja sejak kesepakatan
atau sejak ditolaknya keberatan dari pihak yang keberatan dan ayat (2)
menjelaskan Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah habis dan
penetapan lokasi belum diterbitkan, maka penetapan lokasi dianggap telah
disetujui.
- Pasal 47 ayat (1) menjelaskan Gubernur dapat mendelegasikan
kewenangan pelaksanaan persiapan Pengadaan Tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum kepada bupati/walikota berdasarkan pertimbangan
efisiensi, efektivitas, kondisi geografis, sumber daya manusia, dan
pertimbangan lainnya, dalam waktu paling lama lima hari kerja sejak
diterimanya dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, ayat (2)
menjelaskan Dalam hal Gubernur mendelegasikan kewenangan kepada
bupati/walikota membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling lama lima
hari kerja sejak diterimanya pendelegasian.
- Pasal 49 ayat (1) dan (2) menjelaskan Pelaksanaan pengadaan tanah
diselenggarakan oleh Menteri, dan dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
- Pasal 76 ayat (1) dan (2) menjelaskan Ganti kerugian dalam bentuk uang
dalam pengadaan tanah dilakukan oleh Instansi yang memerlukan tanah
berdasarkan validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau pejabat
yang ditunjuk, pada ayat (2a) menjelaskan Validasi dari Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah atau pejabat yang ditunjuk tersebut dilaksanakan dalam
waktu paling lama tiga hari kerja sejak berita acara kesepakatan bentuk
Ganti Kerugian. Kemudian Pasal 76 ayat (4) menjelaskan Pemberian ganti
kerugian dilakukan dalam waktu paling lama tujuh hari kerja sejak
penetapan bentuk Ganti Kerugian oleh Pelaksana Pengadaan Tanah.

Anda mungkin juga menyukai