Anda di halaman 1dari 17

PERBANDINGAN

PELEPASAN HAK ATAS TANAH


DENGAN JUAL BELI ATAS TANAH

OLEH:
KELOMPOK 1
1. Agryan Prayudi 1903120184
2. Tegar 2003120101
3. Habib Pandapotan 2003120153

MATA KULIAH : SISTEM KONTRAK


DOSEN : YUN FAHMI NASUTION, M.Kn

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TAPANULI SELATAN


FAKULTAS HUKUM
PRODI HUKUM
2023

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah Indonesia merdeka tidak ada peraturan yang mengatur baik


pembebasan tanah atau Pelepasan hak atas tanah. Atas dasar Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 makaperaturan yang ada dan berlaku pada saat itu tetap
dapat diberlakukan sepanjang belum dibuat yang baru dan tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam UUD 1945. Dengan adanya ketentuan tersebut maka
ketentuan pembebasan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang diatur
dalam Gouvernements Besluit 1927 sebagaimana telah di rubah dengan
Gouvernements Besluit 1932 dan peraturan Pelepasan tanah sebagaimana diatur
dalam Stb. 1920 nomor 574 dinyatakan tetap berlaku.

Pada tahun 1960 dengan lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas
mengenai pembebasan tanah. Sedangkan Pelepasan tanah secara tegas diatur
dalam UUPA.DalamPasal 18 UUPA disebutkan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberiganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Dari ketentuanPasal 18 UUPA
tersebut maka dapat dikatakan bahwa Pelepasan Hak atas Tanahtersebut dapat
dilakukan sepanjang tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum.

Kewenangan Negara dalam pengambil alihan hak atas tanah untuk


kepentingan umum di Indonesia di derivasikan dari Hak Menguasai Negara Hak
menguasai negara memberikan kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi
Negara Dan dalam perkecualian untuk kepentinga numum baru dapat mengambil
alih hak atas tanah rakyat. Negara tidak memilikise mua tanah maka Negara harus
membayar kompensasi jika Negara memerlukan tanah milik rakyat untuk
penyelenggaraan kepentingan umum tersebut.

Berbeda dengan Hak Menguasai Negara yang dalam UUPA menempatkan


Negara sebagai personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan

1
peruntukkan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat dan tanah, tetapi hanya
bersifat hukum publik

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Pelepasan Hak atas Tanah?
2. Apa yang menjadi landasan hukum dari Pelepasan Hak atas Tanah?
3. Apa Pengertian dari Jual Beli atas Tanah?
4. Apa yang menjadi landasan hukum dari Jual Beli atas Tanah?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian dari Pelepasan Hak atas Tanah?
2. Dapat Menjelaskan Landasan Hukum dari Pelepasan Hak atas Tanah?
3. Mengetahui Pengertian dari Jual Beli atas Tanah?
4. Dapat Menjelaskan Landasan Hukum dari Jual Beli atas Tanah?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pelepasan Hak atas Tanah serta Landasan Hukumnya

Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya masalah


bahwa tanah adalah sumber konflik, yaitu jika pemerintah membutuhkan tanah
yang dimiliki penduduk untuk keperluan pembangunan. Konflik itu bisa timbul
karena pemerintah di satu pihak memerlukan tanah itu dan di pihak lainya
penduduk juga ingin mempertahankan tanah miliknya sebagi sumber mata
pencaharian (lahan pertanian misalnya) dan tempat pemukiman.

Menurut ketentuan hukum yang berlaku di indonesia pemerintah memang


di berikan wewenang untuk mengambil allih tanah penduduk guna keperluan
pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di lakukan dengan sewenang–
wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah. Jadi kedua
pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan ambil
alih atas tanah-tanah masyarakat untuk keperluan pembangunan.

Dan juga menurut hukum yang berlaku di indonesia ada dua cara yang di
tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh
warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah (prijsgeving)
dan cara Pelepasan Hak atas Tanah (onteigening)

Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum


antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi
yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan
Pelepasan Hak atas Tanahadalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas
tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus,
tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi
kewajiban hukumnya.

Pelepasan Hak atas Tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan


oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan
umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan

3
bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1UU nomor 20
tahun 1961 dinyatakan bahwa:

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta


kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri
agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”

Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961


di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang
akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu permohonan
yang di ajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di dalam
pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961.

Dan dasar pokok dari UU No 20 tahun 1961 tentang Pelepasan Hak atas
Tanahitu adalah ketentuan pasal 18 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang
menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat melakukan Pelepasan hak
atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut:

“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat


hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”

Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening


tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:

1. Pelepasan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum


benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus tegas
menjadi dasar dalam Pelepasan hak ini.
2. Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 Pelepasan hak atas
tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.
3. Pelepasan hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang layak.

4
Pelepasan hak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan
persyaratan tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum atau
menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah.

Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tidak
diterimah oleh pemegang hak atas tanah akibat Pelepasan sesuai ketentuan dalam
pasal 8 UU No 20 tahun 1961, pengadilan berkewajiban untuk melakukan
pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini diatur dalam peraturan pemerintah dalam
Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian oleh pengadilan
tinggi sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di
atasnya. Dalam pasal 1 PP Nomor 39 tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding tersebut pada pasal 1 peraturan pemerintah ini diajukan
kepada pengadilan tinggi yang daerah kekuasanya meliputi tanah dan benda-
benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (bulan) terhitung
sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud dalam pasal 5 dan 6 UU Nomor
20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang bersangkutan”

Dalam kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di atas, maka pemohon


banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara lisan. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973 dinyatakan sebagai
berikut: “permintaan banding disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada
panitera pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1 peraturan pemerintah yang
diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan permintaan
banding diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya perkara yang di tetapkan
oleh ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding tidak mampu, maka atas
pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat dibebaskan dari pembayaran biaya
perkara tersebaut pada pasal (2) ayat ini.

Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan


banding tersebut, maka pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya
pemeriksaan. Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu
satu (1) bulan setelah diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di
periksa oleh pengadilan tinggi yang berwsangkutan. Pemeriksaan dan putusan di
jatuhkan dalam waktu yang sesingkat-singakatnya.

5
Berkaitan dengan perkara tersebut, untuk memperlancar jalannya
pemeriksaan, maka pengadilan tinggi dapat memanggil para pihak untuak di
dengar keterangannya masing masaing (pasal 5 ayat (1)). Selanjutnya permintaan
keterangan dari para pihak dapat di limpahkan oleh pengadilan tinggi ke
pengadilan negeri, di mana tanah dan benda-benda tersebut terletak (ayat (2)).

Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang


hak atas tanah, tidak mau menerima besarnya ganti kerugian walaupun sudah
mendapat keputusan dari presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan Pelepasan ini
dilakukan secara bijak dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya Pelepasan , maka
para pemegang hak atas tanah semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip
kehati-hatian ini membuat Presiden mengeluarkan intruksi nomor 9 tahun 1973
pelaksanaan Pelepasan hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya. Dalam
intruksi tersebut di tujukan kepada kepada semua mentri dan gubernur di seluruh
indonesia, bahwa:

“Pelepasan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya


supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan
dilakukan dengan hati-hati serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara
yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan perundang-perundangan yang berlaku.”

Dalam instrusi presiden ini telah di tentukan bawa pembangunan yang


bersifat kepentingan umum, yaitu apabila kegiatan tersebut menyangkut:

1. Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau


2. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
3. Kepentingan rakyat banyak, dan/atau
4. Kepentingan pembangunan.

Berkaitan dengan poin di atas, menyangkut kegiatan yang dapat


dikategorikan sebagi kepentingan umum, maka dalam intruksi presiden tersebut
telah di tetapkan biidang bangunan yang masuk dalam kategori sifat kepentingan
umum sebagai berikut:

6
1. Pertahanan;
2. Pekerjaan umum;
3. Jasa umum;
4. Keagamaan;
5. Ilmu pengetahaun dan seni budaya;
6. Kesehatan;
7. Olahraga;
8. Perlengkapan umum;
9. Keselamatan umum terhadap bencana;
10. Kesejahteraan sosial;
11. Makam/kuburan
12. Pariwisata dan rekriasi;
13. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum

Suatu hal yang dapat disalut dari adanaya instruksi presiden ini
menyangkut mengenai penghargaan terhadap pemegang hak atas tanah yang akan
dicabut dengan alasan demi kepentingan umum, karena alasan sangat mendesak.
Hal ini di atur dalam pasal 4 intruksi Presiden ini sebagai berikut:

Dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang hak atas tanah yang


bersangkutan, naka penguasaan atas tanah dalam keadaan yang sangat mendesak
sebagai di maksud dalam pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1961 (lembaran negara
tahun 1961 nomor 288) hanya dapat dilakukan apabila kepentingan umum
menghendaki keadaan sangat mendesak, di mana penundaan pelaksanaanya dapat
menimbulkan bencana alam yang dapat menimbulkan bencana alam yang
mengancam keselamatan umum; (b) penyediaan tanah tersebut sangat di perlukan
dalam suatu suatu kegiatan pembangunan yang oleh pemerintah dan atau
pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya di anggap tidak dapat
di tunda-tunda lagi.

Menelaah ketentuan dalam intruksi Presiden di atas, maka Pelepasan Hak


atas Tanahdengan alasan dalam keadaan yang sangat mendesak merupakan
persyaratan yang sangat berat. Sebab dengan adanya persyaratan mengenai dapat
dilakukan dengan alasan menimbulkan bencana alam akan mengancam

7
keselamatan umum merupakan persyaratan kedua yang mensyaratkan agar
Pelepasan dapat dilakukan dengan dalih suatu pembangunan yang sangat sulit
untuk di buktikan. Oleh kerena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan yang
sangat sulit di buktikan. Oleh karena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan
Pelepasan Hak atas Tanahmeruoakan instrumen hukum yang sangat melindungi
kepentingan pemegang hak atas tanah.

B. Jual Beli atas Tanah serta Landasan Hukumnya

Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-


undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara
khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum
Dagang.

Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual
beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan
sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat
diri berjanji untuk membayar harga.

Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus
membebankan dua kewajiban yaitu :1[1]

1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada


pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada
penjual.

Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu


Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli. 2[2]Di dalam
perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli
kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk

1[1]M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni,1986, hlm. 181
2[2]Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar
Grafika, 2003, hlm. 49

8
membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. 3[3] Unsur yang terkandung
dalam defenisi tersebut adalah :

1. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli


2. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan
harga
3. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan
pembeli

Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana
antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang
menjadi objek jual beli.Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua
belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian
jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap
sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata
sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar ”.4[4]

Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal
lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual
beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para
pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para
pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku
dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang
ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.5[5]

Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan,


namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses
penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :6[6]

3[3]Ibid.
4[4] Prof.R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 2.
5[5]Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2007, hlm. 127.
6[6]Op.Cit. Salim H.S.hlm. 49.

9
1. Benda Bergerak

Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan


kunci atas benda tersebut.

2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh

Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya
dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.

3. Benda tidak bergerak

Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan


pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan
Hipotek.

Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak
pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Sedangkan
Kewajiban Penjual adalah sebagai berikut :

1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda
yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka
penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-
masing barang tersebut yaitu :7[17]

a. Penyerahan Benda Bergerak

Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam pasal 612


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penyerahan
kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan
penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam
mana kebendaan itu berada.

7[17]Op. Cit. Dr. Ahmadi Miru, hlm. 128

10
b. Penyerahan Benda Tidak Bergerak

Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal


616-620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan
bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik
nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang lain
dilakukan dengan akta notaris.

c. Penyerahan Benda Tidak Bertubuh

Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan


penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris
atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur
secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang
karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan
tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan
surat disertai dengan endosemen.

Mengenai risiko dalam jual beli terhadap barang tertentu diatur dalam
pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Hal pertama yang harus
dipahami adalah pengertian dari barang tertentu tersebut.Yang
dimaksudkan dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu
perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli. 8[26] Mengenai
barang seperti itu pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menetapkan bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh si
pembeli meskipun barangnya belum diserahkan.

Dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut adalah tidak adil dimana


pembeli belumlah resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan tetapi ia
sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang tersebut. Si
pembeli dapat resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan
terhadap si pembeli.Oleh sebab itu, dia harus menanggung segala risiko
yang dapat terjadi karena barang tersebut telah diserahkan
kepadanya.Ketentuan pasal 1460 ini dinyatakan tidak berlaku lagi dengan

8[26]Op. Cit. R. Subekti, hlm. 25.

11
dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 tahun 1963.
Menurut Prof. R. Subekti, Surat edaran Mahkamah Agung tersebut
merupakan suatu anjuran kepada semua hakim dan pengadilan untuk
membuat yurisprudensi yang menyatakan pasal 1460 tersebut sebagai
pasal yang mati dan karena itu tidak boleh dipakai lagi.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelepasan Hak atas Tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan


oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan
umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan
bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1UU nomor 20
tahun 1961 dinyatakan bahwa:

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta


kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri
agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”

Pengertian dari jual beli dapat berarti suatu perjanjian yang bertimbal balik
dan suatu perjanjian yang konsensuil. Maksudnya disini adalah perbuatan jual beli
ini menimbulkan suatu kewajban bagi kedua belah pihak yang saling berkaitan
antara pihak penjual dan pembeli dan ditandai dengan adanya suatu penerimaan
yang dilakukan oleh pembeli dan penyerahan yuang dilakukan oleh penjual.

13
DAFTAR PUSTAKA

UU No. 20 tahun 1961 tentang Pelepasan Hak-Hak Tanah Dan Benda Yang Ada
di Atasnya

Peraturan menteri dalam negeri No. 15 tahun 1975, tentang Ketentuan Ketentuan
Tentang Pembebasan Tanah.

UUPA No 5 tahun 1960

PMDN No. 15 tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara


Pembebasan Tanah

14
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat
dan hidayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
"Perbandingan Pelepasan Hak atas Tanah dengan Jual Beli atas Tanah."

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak / yang telah
membantu penulis dalam mengerjakan karya ilmiah ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dalam
pembuatan karya ilmiah ini.

Karya ilmiah ini memberikan panduan dalam pembelajaran hukum. Bagi


Mahasiswa/Mahasiswi untuk memahami dan menggunakan hukum yang baik dan
benar.

Penulis menyadari ada kekurangan pada karya ilmiah ini. Oleh sebab itu,
saran dan kritik senantiasa diharapkan demi perbaikan karya penulis. Penulis juga
berharap semoga karya ilmiah ini mampu memberikan pengetahuan tentang
pentingnya penggunaan hukum dalam pembelajaran.

Padangsidimpuan, 02 Mei 2023

Penulis

15
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................2
C. Tujuan Penulisan................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................3

A. Pelepasan Hak atas Tanah serta Landasan Hukumnya......................3


B. Jual Beli atas Tanah serta Landasan Hukumnya................................8

BAB III PENUTUP......................................................................................13

A. Kesimpulan.........................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................14

16
ii

Anda mungkin juga menyukai