Anda di halaman 1dari 24

HAK-HAK PERSEORANGAN DAN KEBIJAKAN HAK ATAS TANAH

A. HAK-HAK PRIMER ATAS TANAH

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak
atas tanah dalam dua bentuk. Pertama, hak-hak atas tanah yang bersifat primer. Kedua, hak-hak atas
tanah yang bersifat skunder.

Hak-hak atas tanah primer adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara
langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan
kepada orang lain atau ahli warisnya. Dalam UUPA terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat
primer, yaitu:

a. Hak Milik

Hak milik merupakan hak primer yang paling utama, terkuat dan terpenuh dibandingkan dengan
hak-hak primer lainnya. Sesuai ketentuan pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi: “Hak
milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain”. Pemberian hak milik atas tanah, bukan saja diberikan kepada perseorangan, tetapi juga
dapat diberikan kepada badan-badan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Turun temurun artinya adalah Hak Milik atas tanah dapat berlangsung terus elama pemiliknya
masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia maka hak miliknya dilanjutnya oleh ahli
warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagau subjek Hak Milik.

Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain,
tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain dan
tidak mudah hapus.

Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi ha katas tanah yang
lain.

Subjek Hak Milik:

1. Perseorangan Warga Negara Indonesia (pasal 21 ayat 1 UUPA)

2. Badan Hukum (pasal 21 ayat 2 UUPA)

Lebih lanjut disebutkan disebutkan dalam pasal 1 PP No.38 Tahun 1963 tentang
Penunjukkan Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, yaitu:

a. Bank-Bank yang didirikan oleh negara (Bank Negara)

b. Koperasi
c. Badan Keagamaan

d. Badan Sosial

Terjadinya Hak Milik

Terjadinya HAk Milik terjadi melalui 3 cara, yaitu:

1. Menurut Hukum Adat

Yaitu terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan) dan terjadi karena
timbulnya lidah tanah (Aanslibing).

Yang dimaksud dengan pembukaan tanah adalah pembukaan hutan yang dilakukan secara
bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketua Adat melalui tiga
system penggarapan, yaitu matok sirah matok geleng, matok sirah gilir geleng, dan system
bluburan.

Lidah tanah (Aanslibing) adalah tanah yang timbul atau muncul karena berbeloknya arus
sungai atau tanah yang timbul di pinggir pantai dan terjadi dari lumpur, lumpur tersebut
makin lama makin tinggi dan mengeras sehingga akhirnya akhirnya menjadi tanah.

2. Hak Milik atas tanah yang terjadi karena Penetapan Pemerintah

Hak milik atas tanah yang terjadi disini semula berasal dari tanah negara dan terjadi karena
permohonan pemberian Hak Milik atas tanah oleh pemohon dengan memenuhi prosedur
dan persyaratan yang telah ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Apabila
semua persyaratan telah dipenuhi oleh pemohon, maka Kepala BPN atau Pejabat dari BPN
yang diberi pelimpahan kewenangan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH).
SKPH ini wajib didaftarkan oleh pemohon kepada kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota Setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak
Milik sebagai tanda bukti hak.

3. Hak Milik Atas tanah yang terjadi karena Ketentuan Undang-Undang

Hak Milik atas tanah yang terjadi karena undang-undanglah yang menciptakannya,
sebagaimana yang diatur dalam pasal I, II dan pasal VII ayat (1) ketentuan-ketentuan
Konversi UUPA.

Yang dimaksud dengan Konversi adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan
berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yangberlaku sebelum berlakunya UUPA diubah
menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA.

Penegasan Konversi yang berasal dari tanah milik adat diatur dalam Peraturan Menteri
Pertanian dan Agraria (PMPA) No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan dan Pendaftaran Bekas
Hak-Hak atas tanah.
Hapusnya Hak Milik atas tanah:

a) Tanahnya jatuh kepada Negara:

1. Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18 UUPA

2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pihak pemiliknya

3. Karena ditelantarkan

4. Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2) UUPA

b) Tanahnya musnah

b. Hak Guna Usaha (HGU)

Menurut pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan, pertanian, perikanan atau peternakan. PP No. 40
Tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan.

Subjek Hak Guna Usaha menurut pasal 30 UUPA jo Pasal 2 PP No 40 tahun 1996 adalah: 1.

WNI

2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

HGU terjadi dengan penetapan pemerintah, HGU ini terjadi melalui permohonan pemberian
HGU oleh pemohon Kepada Badan Pertanahan Nasional. Apabila semua syarat terpenuhi BPN
menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH wajib didaftarkan ke kantor
pertanahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat
sebagai tanda bukti haknya. Pendaftaran SKPH tersebut menandai lahirnya HGU (pasal 31 UUPA
jo pasal 6 dann pasal 7 PP No.40 thaun 1996).

Luas Tanah Hak Guna Usaha

1. Untuk perseorangan luas minimalnya adalah 5 hektare dan luas maksimalnya adalah 25
hektare

2. Untuk badan hukum luas minimal nya adalah 5 hektare dan luas maksimalnya ditetapkan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (pasal 28 ayat 2 UUPA) Jo pasal 5 PP No 40 Tahun
1996.
Asal Tanah HGU

Asal tanah HGU adalah tanah negara. Kalau asal tanah HGU berupa tanah hak, maka tanah hak
tersebut harus dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh pemegang hak dengan
pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang HGU.

Jangka waktu HGU paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun (pasal 29 UUPA). Permohonan perpanjangan diajukan selambat-lambatnya 2
tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU.

Hapusnya HGU diatur berdasarkan dalam pasal 34 UUPA.

1. Jangka waktunya berakhir

2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi

3. Dilepaskan oleh pemegang hak nya sebelum jangka waktunya berakhir

4. Dicabut untuk kepentingan umum

5. Diterlantarkan

6. Tanahnya musnah

7. Ketentuan dalam pasal 30 ayat 2

c. Hak Guna Bangunan (HGB)

Pasal 35 UUPA memberikan pengertian HGB, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun
dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun.

Subjek HGB:

1. WNI

2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Asal Tanah HGB:

1. HGB atas tanah negara, jangka waktu berlakunya untuk pendaftaran pertama kali adalah 30
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat
diperbaharui untuk jangka waktu 30 tahun.

2. HGB atas tanah hak pengelolaan, jangka waktu berlakunya untuk pendaftaran pertama kali
adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun dan dapat diperbaharui paling
lama 30 tahun.
3. HGB atas tanah Hak MIlik, jangka waktu berlakunya adalah paling lama 30 tahun, tidak ada
perpanjangan waktu namun atas kesepakatan pemilik tanah dan pemegang HGB dapat
diperbaharui.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang HGB untuk perpanjangan waktu dan
perbaharuan hak adalah:

1. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan
pemberian HGB tersebut

2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.

3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

4. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana TataRuang dan Tata Wilayah (RTRW) yang
bersangkutan.

Hak pemegang HGB:

1. Menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu

3. mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya

4. Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain

5. Membebani dengan hak tanggungan

Hapusnya HGB diatur dalam pasal 35 PP No.40 tahun 1996. Hapusnya HGB atas tanah negara
mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara.

d. Hak pakai (HP)

Menurut pasal 41 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan HP adalah untuk menggunakan dan
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
membwri wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yan g berwenang yang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,
yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA.

Subjek Hak Pakai menurut Pasal 42 UUPA :


1. Warga Negara Indonesia
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
3. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia 4.
Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
Lebih rinci pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan yang dapat mempunyai hak pakai
adalah:
1. Warga Negara Indonesia
2. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah
4. Badan-Badan Keagamaan dan Sosial

5. Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia


6. Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional
Jangka waktu berlakunya hak pakai menurut pasal 41 ayat (2) UUPA adalah tidak menentukan
secara tegas berapa lama jangka waktu Hak Pakai. Pasal ini hanya menentukan bahwa Hak Pakai
dapat diberikan selama jangka waktu tertentu selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan
tertentu.
Dalam PP No. 40 Tahun 1996 dalam pasal 45 sampai pasal 49, jangka waktu yang diberikan
berbeda-beda, yaitu:
1. Hak Pakai atas tanah negara
Hak ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui paling lama 25 tahun.
2. Hak Pakai atas tanah pengelolaan
Hak pakai berjangka waktu untuk pertama kali selama 25 tahun dan dapat diperpanjang lgi
paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui lagi selama 25 tahun
3. Hak Pakai atas tanah Hak Milik
Hak pakai diberikan jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi.
Namun atas kesepakatan pemilik tanah dengan pemegang hak pakai dapat diperpanjang
lagi dengan pembuatan akta baru yang dibuat oleh PPAT.
Hak-hak atas tanah bersifat skunder adalah hak-hak atas tanah yang bersifat sementara.
Karena, hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, lagipula hak-hak itu dimiliki oleh orang lain.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah
yang bersifat sementara, yaitu:

a. Hak gadai

b. Hak usaha bagi hasil


c. Hak menumpang

d. Hak menyewa atas tanah pertanian

B. PENCABUTAN HAK ATAS TANAH

Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang disediakan pemerintah untuk
mengambil hak atas tanah warga Negara demi kepentingan umum, yang didalamnya terdapat
kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan Negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam
pasal 1 UU Nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan
bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan maka presiden dalam keadaan yang
memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan menteri yang
bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Memperhatikan ketentuan dalam pasal 1 UU Nomor 20 tahun 1961 di atas, maka sebelum
presiden mngeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan dicabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu
mesti dilakukan suatu proses permohonan yang diajukan oleh yang berkepentingan.

(1) Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut, diajukan
oleh yang berkepentingankepada presiden dengan perantara Menteri agraria, melalui
Kepala inspeksi Agraria yang bersangkutan. Permintaan tersebut oleh yang berkepentingan
disertai dengan;

a. Rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus


dilakukan pencabutan hak itu.

b. Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak
dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan

c. Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga
orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan.

Dalam penjelasan UU Nomor 20 tahun 1961 ditentukan prosedur pencabutan dengan cara biasa
dilakukan dengan beberapa proses sebagai berikut:

1. Yang berkepentingan harus mengajukan permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu
kepada presiden, dengan perantara menteri Agararia melalui Kepala Inspeksi Agaria Yang
bersangkutan

2. Oleh kepala inspeksi Agraria diusahakan supaya permintaan itu dilengkapi dengan pertimbangan
kepala daerah yang bersangkutan dan taksiran ganti kerugiannya. Taksiran ini dilakukan oleh
suatu panitia penaksir, yang anggota-anggotanya mengangkat sumpah. Di dalam pertimbangan
tersebut dimuat pula penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut

3. Kemudian permintaan itu bersama dengan pertimbangan kepala Daerah dan taksiran ganti
kerugian tersebut dilanjutkan oleh Kepala Inspeksi Agraria kepada kepada Menteri Agraria,
disertai pertimbangannya pula.

4. Menteri Agraria mengajukan permintaan tadi kepada presiden untuk mendapatkan keputusan,
disertai dengan pertimbangannya dan pertimbangan Menteri Kehakiman serta Menteri yang
bersangkutan, yaitu Menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya
pencabutan hak itu. Menteri Kehakiman terutama akan memberi pertimbangan dari segi
hukumnya.

5. Penguasaan tanah/dan atau benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat
keputusan pencabutan dari presiden dan setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian yang
ditetapkan presiden serta diselenggarakannya penampungan orang-orang yang dimaksud di
atas.

TATA CARA PENETAPAN GANTI KERUGIAN

Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tidak diterima oleh
pemegang hak atas tanah akibat pencabutan sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU Nomor 20 Tahun 1961,
pengadilan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus tersebut. Hal ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1937 tentang Acara penetapan ganti Kerugian oleh Pengadilan
Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada Di Atasnya.
Pemohon banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara lisan.

Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut, maka
Pengadilan Tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa
selambatt-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya banding, perkara tersebut harus
sudah diperiksa oleh Pengadilan tinggi yang bersangkutan. Pemeriksaan dan putusan dijatuhkan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.

Berkaitan dengan pemeriksaan perkara tersebt,, untuk memperlancar jalannya pemeriksaan,


maka pengadilan Tinggi dapat memanggil para pihak untuk didengar keterangannya masing-masing
(pasal 5 ayat(1)). Selanjutnya permintaan keterangna dari para pihak dapat dilimpahkan oleh pengadilan
tinggi ke Pengadilan Negeri, di mana tanah dan benda-benda terebut terletak (ayat (2)).

Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang hak atas tanah,
yang tidak mau menerima besarnya ganti kerugiam walaupun sudah mendapat keputusan dari presiden,
dimaksudkan agar pelaksanaan pencabutan ini dilakukan secara bijak dan hati-hati. Prinsip kehati-hatian
ini membuat presiden mengeluarkan instruksi Nomor 9 tahun 1973 tentang pelaksanaan pencabutan
hak-hak Atas tanah dan Benda-Benda Ada Di Atasnya.
Dalam instruksi presiden ini telah ditentukan pembangunan yang bersifat kepentingan umum,
yaitu apabila kegiatan tersebut menyangkut:

a. Kepentingan bangsa dan Negara, dan/atau,

b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau

c. Kepentingan rakyat banyak, dan/atau

d. Kepentingan pembangunan,

Dalam instruksi presiden ini juga telah ditetapkan bidang pembangunan yang masuk dalam
kategori sifat kepentingan umum sebagai berikut:

a. Pertahanan;

b. Pekerjaan umum;

c. Perlengkapan umum;

d. Jasa umum;

e. Keagamaan

f. Ilmu pengetahuan dan segi budaya;

g. Kesehatan;

h. Olahraga;

i. Keselamatan umum terhadap bencana;

j. Kesejahteraan social;

k. Makam/kuburan

l. Pariwisata dan rekreasi;

m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.

PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH/PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Pembebasan hak atas Tanah selama ini telah mengalami telah mengalami perubahan, yaitu semula
diatur dengan keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1974 Tentang Tata Cara Pembebasan
Hak Atas tanah. Kemudian pada Tahun 1993 diubah dengan dikeluatrkannya Keputusan Presiden Nomor
55 Tahun 1933 Tentang pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dalam diktu Pertimbangan Kepres Nomor 55 Tahun 1933 ini dinaytakan bahwa:

Pembangunan Nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum,


memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu pengadaannya perlu dilakukan dengan
sebaikbaiknya. Pelaksanaanpengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran tanah
dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan
demikian, atas dasar pertimbangan tersebut pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan
dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung
dengan para pemegang hak atas tanah.

Bertitik tolak dari pertimbangan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu:

a. Pelaksanaan pengadaan atas tanah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya

b. Dilaksanakan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia

c. Prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah diusahakan dengan cara seimbang

d. Dilaksanakan dengan prinsip musawarah pada tahap pertama.

Dalam pasal 1 Peraturan Mneteri Dalam negeri Nomor 15 tahun 1975, secara tegas diatur
pengertian pembebasan tanah adalah:

Melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat pada pemegang hak (penguasa tanah) dengan
caramemberikan ganti rugi. Ganti rugi atas tanah-tanah yang dibebaskan berupa : tanah-tanah
yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan UU No.5 Tahun 1960, tanah-tanah masyarakat
hukum adat (pasal 1 ayat(5) permendagri Nomor 15 Tahun 1974)

1. Pengadaan tanah untuk kepentingan Umum

Salah satu kebijakan pemerintah yang paling mendasar di bidang pertanahan dan mendapat
perhatian yang serius dari pemerintah adalah penyelenggaraan pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan. Sebab penyelnggaraan tanah untuk kepentingan pembangunan
merupakan salah satu kebijakan pemerintah dari 9 (Sembilan) kebijakan yang dikeluarkan oleh
Presiden pada tahun 2003 dalam bentuk Kepres. (Kepres No 55 Tahun 1993).

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau
pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara:

a. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

b. Pencabutan hak atas tanah.


Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah
atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang
disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, harus
memeiliki criteria yang jelas mengenai kategori sifat “kepentingan umum” tersebut. Dalam pasal 5
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dinyatakan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum yang
dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi:

a. Jalan umum, jalan tol, kereta api, saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi.

b. Waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya.

c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat.

d. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal.

e. Peribadatan.

f. Pendidikan atau sekolah.

g. Pasar umum

h. Fasilitas pemakaman umum

i. Fasilitas keselamatan umum.

j. Pos dan telekomunikasi

k. Sarana olahraga

l. Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya.

m. Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perserikatan bangsa-bangsa


dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB.

n. Fasilitas tentara nasional Indonesia dan kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya,

o. Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan,

p. Rumah susun sederhana

q. Tempat pembuangan sampah


r. Cagar alam dan cagar budaya.

s. Pertamanan,

t. Panti social

u. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Mengenai Ganti rugi diatur dalam pasal 12 Kepres Nomor 55 tahun 1993, dinyatakan bahwa ganti
kerugian dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk (a) hak atas tanah; (b) bangunan; (c) tanaman;
(benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Pasal 13 Kepres Nomor 55 Tahun 1993 diatur pula mengenai bentu ganti kerugian sebagai berikut:

1. Uang

2. Tanah pengganti

3. Pemukiman kembali

4. Gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b,
dan c; dan

5. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Sementara itu penggantian kerugian terhadap tanah yang dikuasai dalam bentuk hak ulayat,
maka pelaksanaan ganti kerugian diberikan dalam bentuk fasilitas umum atau bentuk lain
bermanfaat bagi amsyarakat setempat (pasal 14).

Dalam pasal 15 Perpres No 366 Tahun 2005 dinyatakan bahwa dasar perhitungan ganti kerugian
didasarkan atas:

a. Nilai jual objek pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak
tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh
Panitia.

b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
pembangunan.

c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
pertanian.
PENDAFTARAN TANAH

pendaftaran ttanah merupakan persoalan yang sangat penting dalam UUPA, karena pendaftaran
tanah merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti kepemilikan hak atas tanah. UUPA
memerintahkan kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia.
Hal ini sesuai dengan pasal 19 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

1. Untuk menjamin kepastian hukum

2. Pendaftaran (ayat 1) meliputi;

a. Pengukuran, pemetaan, pembukuan

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat,


keperluan lalu lintas social ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut
pertimbangan Menteri Agraria

4. Dalam peraturan Pemerintahan diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran


tanah termaksud dalam ayat(1) di atas.

Pendaftaran tanah diatur dalam Peratturan Pemeriintah Nomor 24 Ttahun 1997. Dalam PP
No.24 Tahun 1997 diatur asas pendaftaran tanah yaitu berdasarkan asas, sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka. Sebelumnya pendaftaran tanah diatur dalam PP No. 10 tahun
1960

Salah satu tujuannya adaalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemiliknya.
Untuk menyediakan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentinagn termasuk pemerintah serta
untuk terselenggaranya tertib administrasi.

SEJARAH PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

C.G Van Huls membagi sejarah kadaster di Indonesia dalam 3 periode, yaitu:

1. Periode kacau Balau (De Chaotische Periode)

Tanggal 18 Agustus 1620 VOC mengeluarkan suatu plakat atau maklumat yang merupakan
peletakan dasar pertama bagi pelaksanaan kadaster dan penyelenggaraan pendaftaran hak di
hindia Belanda.

Pada tanggal 23 juli 1680, VOC mengeluarkan plakat yang mengatur mengenai susunan dan
tugas dewan Heemraden, yaitu suatu lembaga pemerintah yang memiliki daerah keuasaan di
luar kota Jakarta. Salah satu tugas yang diberikan kepada Dewan heemraden tersebut adalah
menyelenggarakan tugas kadaster sehingga dengan adanya plakat ini merupakan dasar bagi
penyelenggaraan dalam arti modern. Pasal 16 plakat tersebut menetapkan bahwa Dewan
Heemraden harus dengan segera membuat suatu peta umum dari tanah-tanah yang terletak
dalam wilayah kerjanya yang pada setiap petanya dicatat luas dari tiap-tiap tanah serta nama
pemiliknya.

2. Periode ahli Ukur Pemerintah (De Periode Van den Gouvernements landmeter)

Pada periode ini Gubernur Jendral dalam keputusannya tanggal 18 Januari 1837 Nomor 3
menginstruksikan kepada para ahli ukr di Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk
menyelenggarakan kadaster secara terperinci sesuai dengan pokok-pokok penyelenggaraan
suatu kadaster dalam arti yang modern. Ahlu ukur tanah pemerintah bertugas untuk:

a. Menyimpan dan memelihara peta-peta tanah yang telah ada atau peta-peta tanah yang
dibuat oleh para ahli ukr tanah sebelum berlakunya instruksi tersebut dan membuat
petapeta tanah dari bidang-bidang tanah yang belum diukur dan dipeta.

b. Menyelenggarakan daftar-daftar yang terdiri dari:

1) Daftar tanah, yaitu daftar dimana tiap-tiap bidang tanah didaftar menurut nomor atau
huruf yang diberkan pada bidang-bidang tanah yang diperlukan.

2) Daftar dari semua peta seperti peta kasar dan peta-peta lain,

3) Daftar dari hasil pengukuran dan penaksiran-penaksiran,

c. Memberikan landmeterskennis.

3. Periode Pendaftaran Tanah (De Periode Van Den kadastralen Dienst).

Pada periode ini pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1871 membentuk suatu komisi yang
bertugas mempelajari perlu atau tidaknya penataan kembali kadaster.

Dalam staatsblaan 1875 Nomor 183 diatur secara rinci mengenai penyelenggaraan pengukuran
dan pemetaan. Pada pasal 20 staatsblaad 1875 Nomor 183 tersebut dinyatakan bahwa
bidangbidang tanah yang harus diukur dan dipeta adalah:

a. Bidang tanah yang dipunyai oleh orang atau badan-badan hukum dengan sesuatu hak,

b. Bagian-bagian dari bidang tanah hak jika bagian-bagian dari bidang tanah itu terpisah oleh
batas alam atau jika bagian-bagian tanah itu mempunyai tanaman yang berbeda-beda. c.
Memelihara kadaster
d. Mengeluarkan surat-surat keterangan pendaftaran (landmeterskennis) dan surat-surat ukur,
memberikan kutipan dari peta-peta dan memperbolehkan orang-orang melihat peta-peta
kadaster dari daftar-daftar serta member keterangan lisan isi dari peta-peta dan daftardaftar
itu.

Penyelenggaraan kadaster baru sebgai kadaster hak dalam praktek mengalami kegagalan yang
menjadi penyebab utamanya adalah rumusan bidang-bidang tanah yang ditetapkan dalam pasal
20 staatsblaad 1875 Nomor 183, adapun kesulitan-kesulitan yang timbul adalah sebagai berikut:

a. adanya penggolongan bidang-bidang tanah menurut penggunaannya dan bidang-bidang


tanah kadaster yang harus diukr dan dipeta maka peta-peta itu dengan sendirinya
merupakan peta-peta dari bidang tanah menurut penggunaannya yang batas-batas bidang
tanah pada peta-peta kadaster tersebut terdiri darri batas-batas hak dan batas-batas
penggunaannya.

b. Bidang-bidang tanah yang dipergunakan untuk beberapa hal akan diukur dan dipeta pada
peta kadaster dalam beberapa bidang tanah kadaster, maka bidang tanah hak itu akan
memperoleh beberapa surat hak atas tanah dan nomor kadaster.

ASAS DAN TUJUAN PENDAFTARAN TANAH

Dalam pasal 2 PP nomor 24 tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan
asas :

- Sederhana, dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan


mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama hak atas tanah

- Aman, dimaksuudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan


secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai
dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

- Terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan khususnya dengan


memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang
diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak
yang memerlukan.

- Asas Mutakhir, dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan


keseimbangan dalam pemeliharaan datanya. Dan data yang tersedia harus menunjukkan
keadaan yang mutakhir.

Tujuan yang ingin dicapai dari adanya pendaftaran tanah tersebut diatur lebih lanjut pada pasal 3 PP
Nomor 24 tahun 1997, tujuan pendaftaran tanah adalah:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah


agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan,

OBJEK PENDAFTARAN TANAH

Menurut pasal 9 PP No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah obyek pendaftaran tanah adalah:

1. Hak MIlik

2. Hak Guna Usaha

3. Hak Guna Bangunan

4. Hak Pakai

5. Hak Pengelolaan

6. Tanah Wakaf

7. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

8. Hak tanggungan

9. Tanah Negara

SISTEM PENDAFTARAN TANAH

System yang lazim diikuti adalah system Torrens yang berlaku di Australia, Torrens ketika menjadi
anggota First Collonial Ministry dari provinsi South Australia, mengambil inisiatif untuk mengintroduksi
pendaftaran tanah yang di Australia dikenal sebagai Real Property Act Nomor 15 tahun 1857-1858.

Keuntungan dari torrens system adalah:

a. Menetapkan biaya-biaya yang tak dapat diduga sebelumnya

b. Meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang

c. Meniadakan kebanyakan rekaman

d. Secara tegas menyatakan dasar haknya


e. Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tersebut dalam sertifikat

f. Meniadakan (hampir tak mungkin) pemalsuan

g. Tetap memelihara system tersebut tanpa menambahkan kepada taksasi yang menjengkelkan,
oleh karena yang memperoleh kemanfaatan dari system tersebut yang membayar biaya, h.
Meniadakan alas hak pajak

i. Dia memberikan suatu alas hak yang abadi, oleh karena negara menjamin nya tanpa batas,

j. dan lain-lain.

System lain yang dikenal adalah “pendaftaran tanah dengan stelsel negative”. Menurut A.P
Parlindungan mengatakan bahwa sejarah pemilikan tanah secara individual jika hanya mengandalkan
kepada ingatan atau keterangan saksi pasti tidak teliti, karena ingatan bisa saja kabur dan saksi-saksi
hidup satu masa akan meninggal dunia,

KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH

1. Kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Registration)

Yang dimaksud dengan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum terdaftar
berdasarkan PP No.24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui
pendaftaran tanah sistematik dan pendaftaran tanah sporadic.

a. Pendaftaran tanah sistematik

Adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang
meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/kelurahan (pasal 1 angka 10 PP No.24 Tahun 1997). Dalam
melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah ini Kepala Kantor pertanahan Kabupaten/Kota
dibantu oleh Panitia Ajudiksi yang dibentuk oleh Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan
Pertanahan Nasional.

b. Pendaftaran tanah sporadic

Adalah kegiatan pendaftaran tanah untu pertama kali mengenai satu atau beberapa objek
pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/keluarahan secara
individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadic dilaksanakan atas permintaan
pihak yang berkepentingtan.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:


a. Penumpulan dan pengolahan data fisik, kegiatan ini meliputi:
1) Pembuatan peta dasar pendaftaran
2) Penetapan batas-batas bidang tanah
3) Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran
4) Pembuatan daftar tanah, yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas
bidang tanah dengan suatu penomoran.
5) Pembuatan surat ukur, adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah
dalam bentuk peta dan uraian.
b. Pembuktian hak dan pembukuannya, meliputi
1) Pembuktian hak baru
2) Pembuktian hak lama
3) Pembukuan hak
4) Penerbitan sertifikat
5) Penyajian data fisik dan data yuridis
6) Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
2. Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (Bijhouding atau Maintenance)

Yaitu kegiatan pendaftaran untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta
pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan
perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.
Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi:
a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, meliputi:
1) Pemindahan hak
2) Pemindahan hak dengan lelang
3) Peralihan hak karena kewarisan
4) Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan atau korporasi
5) Pembebanan hak
6) Penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak
b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, meliputi
1) Perpanjangan jangka waktu ha katas tanah
2) Pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah
3) Pembagian hak bersama
4) Hapusnya ha katas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
5) Peralihan dan hapusnya hak tanggungan
6) Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. 7)
Perubahan nama
PEMBUKTIAN HAK DALAM PENDAFTARAN TANAH

Dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA dinayatakan bahwa akhir kegiatan pendaftaran tanah yang
diadakan oleh pemerintah adalah pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

Untuk kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat tanda bukti hak yaitu
berupa sertifikat. Sertifikat menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk ha katas
tanah, Hak Pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang
masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Sertifkat sebagai surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak apabila memenuhi unsur-unsur secara
kumulatif, yaitu:

a. Sertifikat diberikan secara sah atas nama orang atau badan hukum

b. Tanah diperoleh dengan itikad baik

c. Tanah dikuasai secara nyata

d. Dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak ada yang mengajukan keberatan
secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
Setempat.

LANDREFORM DI INDONESIA

Landreform berasal dari bahasa Inggris,

Land = tanah

Reform = perubahan, perombakan.

Budi Harsono menyebutkan bahwa landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.

Parlindungan memberikan pengertian yang luas dengan mengemukakan bahwa pengertian reformasi
pertanahan meliputi pengertian dari segi politik dan ekonomi. Dari segi politik berarti :
1. Penghapusan bentuk-bentuk feodal atas tanah ;
2. Membebaskan para petani dan membuat mereka men-jadi warga yang aktif dengan mengakhiri
penguasaan dan ketergantungan mereka dari kaum penghisap;
3. Menciptakan demokrasi;
4. Sebagai tindakan pragmatis untuk menyelesaikan krisis atau mengelakkan suatu revolusi.
Dari segi ekonomi berarti :
1. Meningkatkan dengan cepat pembangunan ekonomi:
2. Mendorong pertanian yang lebih intensif;
3. Meningkatkan skala operasi dari pertanian;
4. Mengkoordinasikan produksi pertanian dengan bagian lain dari ekonomi dan kaitannya derngan
pembangunan ekonomi dan industry.

Oleh Boedi Harsono (1997:2) dikatakan bahwa UUPA juga memuat program landreform dan
agrarianreform, yang tertuang dalam Panca Program Agraria Reform Indonesia yaitu:

1. Pembaruan hukum agraria, memalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian
jaminan kepastian hukum;

2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi klonial atas tanah;

3. Mengakhiri penghispan feodal secara berangsur-angsur;

4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan
dengan pengusahaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;

5. perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, aid dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya

Seringkali istilah landreform disamakan dengan istilah Agrarian Reform. World Bank dalam sebuah
publikasinya menegnai landreform juga memberikan pengertian mengenai berbagai pola penguasaan
dan pemilikan tanah di berbagai masyarakat. Menurutnya pola ini ada karena pengaruh berbagai factor
yaitu (1) system dan situasi politik; (2) struktur ekonomi; (3) system social; (4) system hukum; (5) situasi
demografi; (6) system pertanian; dan (7) basis sumber daya nasional masing-masing.

Tujuan diadakannya landreform adalah:

1. Untuk menyempurnakan adanya pemerataan tanah; ada dua dimensi untuk tujuan ini; pertama
adanya usaha untuk menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini
dapat dilakukan melalui usaha yang insentif, yaitu dengan redistribusi tanah; kedua untuk
mengurangi perbedaan pendapatan antara petanibesar dan kecil yang dapat merupkan usaha
untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.
2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah.

PROGRAM LANDREFORM

Di Indonesia landreform meliputi:

a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah

b. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai

c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena
larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara

d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan

e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian

f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

LARANGAN MENGUASAI TANAH MELAMPAUI BATAS

Larangan menguasai tanah melampaui batas diatur dalam pasal 7. Ketentuan pasal 7 UUPA tersebut
berbunyi:

“untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak diperkenankan”

Pemilikan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum karena terhubung dengan
terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya. Hal
ini menyebabkan menjadi sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan hilang smaa sekali kemungkinan
bagi banyak petani untuk memilih tanah sendiri.

Menurut pasall 7 UUPA tersebut yang dilarang bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas
tetapi juga penguasaannya. Hak pengausaan yang melampaui batas terjadi akibat pembukaan lahan
untuk keperluan perkebunan, pertambangan dan lapangan golf. Selain di HPH penguasaan tanah
yang melampaui batas juga terjadi pada kawasan industry.

PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

Penetapan luas tanah pertanian diatur dalam pasal 17 UUPA, yaitu sebagai berikut;

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud pada
pasal ayat (3) diatur luas maksimum dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan
suatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh suatu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan
perundangan dalam waktu yang singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat () pasal ini
diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyatyang
emmbutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan peraturan
perundangan, dilaksankan secra berangsur.

Berkaitan dengan pasal 17 tersebut Budi Harsono mengatakan “Dengan demikian maka pemilikan
tanah yang merupakan factor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan
dengan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan
merupakan pula pendorong kea rah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah
kegairahan bekerja para petani penggarap tanah yang bersangkutan, yang telah menjadi
pemiliknya”.

Mengacu pada ketentuan pasal 17 UUPA, pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksnanya berupa
UU Nomor 56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas tanah Pertanian dan UU ini merupakan induk
pelaksanaan landreform di Indonesia.

Dalam UU Nomor 56 Prp Tahun 1960, menurut Budi Harsono terdapat 3 soal yang diaturnya:

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan
perbuatanperbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi
bagian-bagian yang terlampau kecil.

3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.

Penetapan Luas tanah Pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur dalam pasal 1 ayat (1) Prp
56 Tahun 1960 dinyatakan sebagai berikut:

1. Seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga


bersamasama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau
kepunyaan orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah
luasnya tidak boleh melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini.

2. Jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah kering, maka untuk
menghitung luas maksimum tersebut, luas sawah dijumlah dengan luas tanah kering dengan
menilai tanah kering sama dengan sawah ditambah 30 % di daerah-daerah yang tidak padat dan
20 % di daerah yang padat dengan ketentuan, bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya
tidak boleh melampaui dari 20 hektare.
REDISTRIBUSI TANAH

Salah satu program yang memegang peranan penting dalam menyukseskan program landreform adalah
pelaksanaan “redistribusi tanah”. Redistribusi tanah adalah pengambilalihan tanah-tanah pertanian
yang yang melebihi batas maksimum oleh pemerintah, kemudian dibagikan kepada para petani yang
tidak memiliki tanah. Landasan pengambilan tanah-tanah kelebihan tersebut diatur oleh PP No.224
Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (LN 1961 No.28,
penjelasan di dalam TLN No.2322). dalam pasal 1 PP No. 224 Tahun 1961 dinyatakan bahwa:
Tanahtanah yang dalam rangka pelaksanaan landreform akan dibagikan menurut ketentuan-ketentuan
dalam peraturan ini adalah:

a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai dimaksudkan dalam UU No. 56 Prp Tahun
1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan UU
tersebut.

b. Tanah-tanah yang diambil alih oleh pemerintah, akrena pemiliknya bertempat tinggal di luar
daerah sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 3 ayat (5).

c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara ,sebagai yang
dimaksudkan dalam dictum keempat huruf A UUPA.

d. Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh
Mentri Agraria.

GADAI TANAH PERTANIAN

Pengaturan mengenai gadai tanah secara khusus diatur dalam UU Prp 56 Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam pasal 7 dinyatakan:

“barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya
peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengendalikan tanah itu kepada pemiliknya
waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran”.

Ketentuan pasal 7 ini secara yuridis formal telah membatalkan system gadai tanah yang telah berjalan di
daerah-daerah yang memakai hukum adat, namun pada kenyataannya, pelaksanaan gadai menurut
system hukum adat tetap saja berlaku.

Lalu bagaimana sebelum lahirnya UU Prp Nomor 56 ahun 1960 terdapat gadai yang telah berlangsung
belum sampai 7 tahun, kemudian penggadai akan menebusnya. Hal ini diatur dalam pasal 7 ayat (2)
dinyatakan bahwa mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7
tahun, maka pemilikan tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang
ada selesai di panen, dengan membayar uang tebusn.
Jadi, ketentuan dalam pasal 7 UU Prp 56 tahun 1960 ini merupakan peraturan yang refresif. Dalaam
artian tidak ada alasan bagi pemegang gadai untuk tidak mengembalikan tanah kepada pemiliknya,
dengan suatu alasan yang dibuat-buat, apalagi kalau gadainya telah berlangsung lebih dari 7 tahun. Hal
ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung tanggal 6 Maret 1971 No.180/K/Sip/1970.

Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No.20 Tahun 1963 tentang
Penyelesaian Masalah gadai. Dalam pasal 2 Kepmen Pertanian dan Agraria dinyatakan bahwa:

“jika sebelum gadai berakhir, uang gadainya ditambah, baik dalam bentuk uang ataupun lainnya dan
penambahan itu dilakukan secara tertulis dengan melalui cara yang lazim seperti pada waktu gadai
tersebut diadakan, maka sejak dilakukannya penambahan itu timbulah gadai baru, dengan jumlah uang
gadai yang baru pula (ayat (1)).”

Anda mungkin juga menyukai