MENURUT UUPA
NI KOMANG IRMA ADI SUKMANINGSIH, SH., MH.
Pengertian dan Isi masing-masing Hak
Atas Tanah
Jenis-jenis hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA, meliputi :
1. hak milik
2. hak guna usaha
3. hak guna bangunan
4. hak pakai
5. hak sewa
6. hak membuka tanah
7. hak memungut hasil hutan
Pengertian dan Isi masing-masing Hak
Atas Tanah
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA, yang
dikelompokkan menjadi tiga bidang, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak atas tanah ini akan tetap ada selama
UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Jenis-jenis
hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
Hak Membuka Tanah, Hak Sewa untuk Bangunan, dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, yaitu hak atas tanah
yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak atas
tanah ini jenisnya belum ada.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara,
dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat
pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam-
macam hak atas tanah ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil
(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian
HAK MILIK
Hak milik didasarkan pada ketentuan Pasal 20 – 27 UUPA. Berdasarkan Pasal 20
ayat (1) UUPA, Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan bahwa
semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Fungsi sosial dari hak atas
ditetapkan pada Pasal 6 UUPA.
Peralihan hak atas hak milik berdasarkan pada Pasal 26 ayat (1) dapat
didasarkan pada perbuatan hukum jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian
dengan wasiat, pemberian menurut adat.
Hak lain yang dapat dibebankan atas hak milik atas tanah : a. Hak Guna
Bangunan (Pasal 37 jo 35 UUPA); b. Hak Pakai (Pasal 41 jo 43 UUPA); c. Hak
Gadai (Pasal 53 UUPA dan Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960); d. Hak Usaha
Bagi Hasil (UU No. 2 tahun 1960 jo Pasal 53 UUPA); e. Hak Menumpang (Pasal
53 UUPA)
Sifat dasar hak milik adalah Turun Temurun, Terkuat, Terpenuh
Hapusnya hak milik atas tanah dapat disebabkan oleh beberapa hal :
a) Tanahnya jatuh kepada negara:
1. Pencabutan hak berdasarkan pasal 18
2. Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3. Diterlantarkan
4. Ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2 UUPA
b) Tanahnya musnah
Hak Guna Usaha
Pengertian Hak Guna Usaha ditetapkan pada Pasal 28 ayat (1) UUPA yaitu hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka
waktu tertentu yang digunakan untuk perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan.
Dasar hukum pengaturan hak guna usaha terdapat pada Pasal 28-34 UUPA dan
Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah pada Pasal 2 – 18.
Hak Guna Usaha dapat terjadi karena diberikan keputusan pemberian hak
oleh menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
Ketentuan pada Pasal 16 PP No. 40 tahun 1996 menetapkan bahwa peralihan
Hak Guna Usaha dapat terjadi dengan cara: a. Jual beli; b. Tukar menukar; c.
Penyertaan dalam modal; d. Hibah; e. Pewarisan.
Hak guna usaha juga dapat hapus, disebabkan oleh beberapa hal diantaranya
adalah :
1. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian
atau perpanjangannya;
2. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir
3. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
4. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
5. Ditelantarkan;
6. tanahnya musnah;
7. Apabila pemegang Hak Guna Usaha tidak lagi menjadi Warga Negara Indonesia atau
tidak lagi merupakan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia, maka apabila dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna
Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara.
Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu tertentu, sebagaimana
ditetapkan pada Pasal 35 ayat (1).
Dasar hukum yang mengatur Hak Guna Bangunan adalah ketentuan Pasal 35-40 UUPA
serta ketentuan Pasal 35 – 40 Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996.
Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian
hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak
Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan yang diberikan atas tanah Hak Milik didasarkan pada perjanjian dan
kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Guna Bangunan.
Untuk peralihan Hak Guna Bangunan bisa melalui peristiwa : a. Jual beli; b. Tukar
menukar; c. Penyertaan dalam modal; d. Hibah; e. Pewarisan. Sebagaimana ditetapkan
pada Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.
Hak Pakai
Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,
yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA.
Pengertian mengenai Hak Pakai tersebut ditetapkan pada Pasal 41 UUPA.
Hak Sewa
Hak Sewa adalah hak yang diberikan kepada seseorang atau suatu badan hukum
untuk mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Hal tersebut diatur
pada ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA.
Hak Membuka Tanah Dan Hak Memungut
Hasil Hutan
Menurut Urip Santoso, Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut hasil hutan
bukanlah hak atas tanah dikarenakan keduanya tidak memberikan wewenang
kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat
dari tanah yang dihakinya. Namun, sekadar menyesuaikan dengan sistematika
Hukum Adat, maka kedua hak tersebut dicantumkan juga ke dalam hak atas
tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya kedua hak tersebut merupakan
“pengejawantahan” dari hak ulayat masyarakat Hukum Adat
Pemberian Hak Tanggungan