Batas Waktu
Terkait batas waktunya, sudah diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103
Tahun 2015
2.
maksimal adalah 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang.
Meskipun tak dapat diperpanjang, pemakaian atas tanah milik
perorangan dapat diperbaharui berdasarkan kesepakatan antara
pemilik dan pemegang kepemilikan atas tanah tersebut.
Objek Hak Pakai
Adapun objeknya sendiri diatur berdasarkan Pasal 41 PP No. 40/1996, yaitu antara lain Tanah Negara,
Tanah Hak Pengelolaan dan Tanah Milik.
Pemberian hak ini tidak boleh disertai dengan aturan yang mengarah kepada unsur pemerasan.
Seharusnya diberikan berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya. Perjanjian yang dimaksud bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah.
Agar tanah tersebut dapat dimanfaatkan secara sah, maka perlu diberikan Sertifikat Hak Pakai. Setelah
mendapatkan sertifikat tersebut, maka pihak yang menerima dapat mengembangkannya, baik untuk
dibangun properti atau lainnya yang sebelumnya berstatus dimiliki oleh negara atau tanah milik orang.
Jika bangunan atau lahan tersebut milik negara, maka pemberian sertifikat akan menunggu keputusan
menteri. Sementara, untuk tanah atau bangunan milik perorangan, maka keputusan pemberian Hak Pakai
tersebut sepenuhnya menjadi wewenang dari pemilik properti.
Ciri-ciri HGB
1. Jangka waktunya terbatas, artinya pada sewaktu waktu akan berakhir. HGB diberikan pada jangka waktu
paling lama 30 tahun dan atas permintaan pemegang hak serta mengingat keperluan dan keadaan
bangunan bangunannya, HGB dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
2. HGB dapat beralih dan dialihkan ke pihak lain sepanjang jangka waktunya belum habis.
3. HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sepanjang jangka waktu
berlakunya belum habis.
4. HGB termasuk salah satu hak yang wajib di daftar.
5. HGB juga dapat dilepaskan oleh pemegangnya sehingga tanahnya menjadi tanah negara.
Kewajiban Pemegang
Hak Guna Bangunan
Pasal 30 PP Nomor 40 Tahun 1996 menjelaskan 5 kewajiban tersebut adalah sebagai berikut:
1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya;
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan di atasnya serta menjaga kelestarian
lingkungan hidup;
4. Menyerahkan kembali tanah kepada pemegang Hak Pengelolaan setelah Hak Guna
Bangunan tersebut hapus; 17
5. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Ayat(2): Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan
atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak
lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menentukan bahwa, tanah yang dapat diberikan
dengan Hak Guna Bangunan adalah :
1. Tanah Negara;
2. Tanah Hak Pengelolaan;
Pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, dapat ditemukan penjelasannya dalam Pasal 24
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang berbunyi sebagai berikut :
Ayat (1): Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan
akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Ayat(2): Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
Ayat (3): Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
Ayat (4): Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Peralihan Hak Guna Bangunan
Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria secara tegas menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan dapat
dialihkan. Ketentuan ini selanjutnya dipertegas kembali dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1996,
yang menentukan:
Ayat (1) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Ayat (2) Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena :
1. Jual-beli;
2. Tukar-menukar;
3. Penyertaan dalam modal;
4. Hibah;
5. Pewarisan.
Ayat (3) Peralihan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus didaftarkan pada Kantor
Pertanahan.
Ayat (4) Peralihan Hak Guna Bangunan karena jual-beli kecuali jual-beli melalui lelang, tukar-menukar,
penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
Ayat (5) Jual-beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang.
Ayat (6) Peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat
keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.
Ayat (7) Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dan
pemegang Hak Pengelolaan.
Ayat (8) Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dan pemegang
Hak Milik yang bersangkutan.
Peraturan Perpanjangan Hak Guna Bangunan
Penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan tanah tersebut menjadi
kewenangan Menteri ATR/Kepala BPN dan dapat diberikan prioritas kepada bekas
pemegang hak dengan memperhatikan:
1. Tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat, dan tujuan pemberian hak;
2. Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; Pemegang hak
masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
3. Tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang;
4. Tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum;
5. Sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan
6. Keadaan tanah dan masyarakat sekitar.