RESUME
NIM : D10122821
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2023
HAK MILIK.
Hak Milik" adalah istilah yang digunakan di Indonesia untuk merujuk pada bentuk
kepemilikan hak atas tanah yang terkuat. Hak ini juga dikenal sebagai "Hak Milik" dan terdaftar
sebagai hak atas tanah di Badan Pertanahan Nasional. Hanya perseorangan berkewarganegaraan
Indonesia yang berhak memiliki tanah dengan hak Milik, dan tidak dapat diperoleh oleh perseroan
terbatas atau perseorangan asing. Hak milik tersebut tidak mempunyai batas dan dapat dijual,
dihibahkan, ditukarkan, dan diwariskan, serta dapat juga digunakan dalam bentuk hipotek. Namun,
hal ini tidak memberikan hak kepada pemiliknya untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang
terdapat di atas atau di bawah tanah tersebut. Orang asing dapat memperoleh tanah dengan bentuk
kepemilikan lain yang disebut "Hak Pakai" atau "Hak Pakai".
Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA pengertian hak milik adalah sebagai berikut: hak turun-
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan
dalam Pasal 6. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa sifat-sifat hak milik membedakan dengan
hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak
terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat. Kata-kata turun–temurun berarti bahwa hak milik atas
tanah tidak hanya berlangsung selama hidup pemegang hak, akan tetapi apabila terjadi peristiwa
hukum yaitu dengan meninggalnya pemegang hak dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Kata
terkuat berarti bahwa hak milik atas tanah dapat dibebani hak atas tanah lainnya, misalnya dibebani
dengan Hak Guna Bangunan, hak pakai, dan hak lainnya. Hak milik atas tanah ini wajib
didaftarkan. Sedangkan kata terpenuh berarti bahwa hak milik atas tanah telah memberi wewenang
yang luas kepada pemegang hak dalam hal menggunakan tanahnya.
Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang menjadi subyek hak milik adalah sebagai berikut:
Terjadinya Hak Milik Berdasarkan Pasal 22 UUPA terjadinya hak milik adalah sebagai
berikut:
1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah
2) Selain menurut cara yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hak milik terjadi karena
a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Hak atas tanah terjadi karena Penetapan Pemerintah yaitu hak atas tanah yang
diproses melalui mekanisme pemberian hak atas tanah.
b. Ketentuan undang-undang.
Terjadinya hak milik menurut hukum adat dapat dilakukan dengan cara membuka tanah
baru, contohnya pembukaan tanah ulayat. Ketentuannya akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1972 memberikan
kewenangan kepada para Bupati/Walikotamadya (sekarang Kepala Kantor Pertanahan)
dan Camat/Kepala Kecamatan untuk memberi keputusan mengenai permohonan izin
membuka tanah. Akan tetapi dengan surat tertanggal 22 Mei 1984 Nomor 593/570/SJ
diinstruksikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada para Camat untuk tidak menggunakan
kewenangan tersebut (Boediharsono,2008:326). Penetapan Pemerintah dituangkan dalam
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah.
Hak Guna Bangunan ialah suatu hak atas tanah yang dimiliki oleh subyek hukum dan diatur
dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Hak Guna Bangunan, diberikan dengan tujuan agar subyek
hukum tersebut dapat membangun suatu permukiman berupa rumah ataupun kantor. Adapun bunyi
Pasal 35 UUPA adalah sebagai berikut:
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-
bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu
paling lama 20 tahun.
Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan dalam (UUPA) adalah hak
atas tanah yang diberikan kepada seseorang untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas
tanah tersebut dengan jangka waktu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun.
Peraturan Pelaksana terkait Hak Guna Bangunan baru muncul semenjak adanya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran
Tanah (PP 18/2021), sehingga pengaturan hak guna bangunan secara spesifik diatur dalam
ketentuan tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait tanah-tanah yang dapat diberikan HGB
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 PP 18/2021 yang menyatakan bahwa:
1. Hak guna bangunan di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
tahun.
2. Hak guna bangunan di atas Tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) tahun dan dapat diperbarui dengan akta pemberian hak guna bangunan di atas
hak milik.
4. Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri
dan dapat diberikan prioritas kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan:
tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat,
dan tujuan pemberian hak;
HGB di atas Tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri yang
bersangkutan. Sementara HGB di atas Tanah Hak pengelolaan diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh Menteri yang bersangkutan berdasarkan persetujuan pemegang Hak
Pengelolaan. HGB di atas Tanah hak milik terjadi melalui pemberian hak oleh pemegang hak milik
dengan akta yang dihuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. HGB yang di atas tanah-tanah tersebut
harus didaftarkan oleh Kantor Pertanahan.
HAK PAKAI
Berdasarkan Pasal 41 UU Pokok Agraria, hak pakai adalah hak menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Hak
pakai diberikan berdasarkan keputusan pejabat berwenang atau berdasarkan perjanjian dengan
pemilik tanahnya. Terdapat subjek di dalam hak pakai, yang terdiri dari:
Objek dari sertifikat hak pakai dapat berupa tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak
milik. Properti dengan sertifikat hak pakai ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas maupun
lembaga yang membutuhkannya selama sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
Kemudian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja (Perpu Cipta Kerja) menambahkan bahwa sebagaimana diatur pada Pasal 129 Perpu Cipta Kerja,
tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan, dimana hak atas tanah di atas hak
pengelolaan yang dimaksud dapat diberikan hak Pakai. Badan bank tanah merupakan badan khusus yang
dibentuk oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola tanah (Pasal 125 Perpu Cipta Kerja). Tak hanya itu, Hak
Pakai juga dapat diberikan kepada, antara lain:
1. Di atas tanah Hak Pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik
sebagian atau seluruhnya (Pasal 138 Angka 2 Perpu Cipta Kerja),
3. Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah tanah dan digunakan
untuk kegiatan tertentu (Pasal 146 Angka 1 Perpu Cipta Kerja), dan
4. Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah tanah oleh pemegang
hak yang berbeda (Pasal 146 Angka 4 Perpu Cipta Kerja).
HAK PAKAI
Hak Sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah milik orang
lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Ketentuan
umum mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf e UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA. Menurut Pasal
50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan diatur
dengan peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang diperintahkan disini sampai
sekarang belum terbentuk.
Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan, menurut Pasal 44 ayat (1) UUPA, seseorang
atau suatu badan hukum mempunyai Hak Sewa Atas Tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
Dalam Hak Sewa Untuk Bangunan, pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam
keadaan kosong kepada penyewa dengan maksud agar penyewa dapat mendirikan
bangunan di atas tanah tersebut. Bangunan ini menurut hukum menjadi milik
penyewa, kecuali ada perjanjian lain. Hal ini berbeda dengan Hak Sewa Atas Bangunan
(HSAB), yaitu penyewa menyewa bangunan di atas tanah Hak orang lain dengan
membayar sejumlah uang sewa dan dalam jangka waktu yang tertentu yang disepakati oleh
pemilik bangunan dengan penyewa bangunan. Jadi objek perbuatan hukumnya adalah
bangunan bukan tanah. Berkenaan dengan Pasal 44 ayat (1) UUPA tentang Hak Sewa
Untuk bangunan, Sudargo Gautama mengemukakan sebagai berikut:
1. Dalam pasal ini diberikan perumusan tentang apa yang diartikan dengan
istilah “Hak Sewa Untuk Bangunan”. Dari perumusan ini ternyata bahwa
Hak Sewa ini hanya merupakan semacam Hak Pakai yang bersifat khusus.
Karena adanya sifat khusus dari Hak Sewa ini maka disebutkan secara
tersendir.
2. Hak Sewa yang disebut disini hanya boleh diadakan untuk mendirikan
bangunan. Tanah untuk pertanian pada dasarnya tidak boleh disewakan,
karena hal ini akan merupakan pertentangan dengan Pasal 10 ayat (1), prinsip
landreform yang mewajibkan seorang pemilik tanah pertanian untuk
mengerjakan sendiri.
3. Penyimpangan hanya diperbolehkan untuk sementara waktu mengingat
keadaan dewasa ini. Satu dan lain ditentukan dalam pasal 16 jo. Pasal 53.
4. Penyewa membayar uang sewa kepada pemilik tanah. Sewa menyewa ini
tidak dapat secara cuma-cuma.
5. Tanah yang dikuasai oleh Negara tidak dapat disewakan untuk maksud ini.
Dalam memori penjelasan diterangkan sebagai alasan tidak
memungkinkannya hal ini ialah karena negara bukan pemilik tanah. Boedi
Harsono menyatakan bahwa karena hanya pemilik tanah yang dapat
menyewakan tanah, maka negara tidak dapat mempergunakan lembaga ini.
pembayaran uang sewa dapat dilakukan:
a) satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b) sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
Perjanjian sewa tanah ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur
unsur pemerasan.
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa adalah
a) warga negara Indonesia;
b) orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
d) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
1) Hak gadai
2) Hak usaha bagi hasil
3) Hak menumpang
4) Hak sewa untuk usaha pertanian.
Dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan
merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan Hak memungut hasil hutan karena
hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah
tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam Pasal 16 UUPA sebagai Hak
Atas Tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat.
Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari Hak Ulayat.
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutan. Pasal
53 ayat (1) UUPA, memberikan makna bahwa hak gadai merupakan salah satu hak atas
tanah, selain hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16, namun hak gadai yang
dimaksud hanya bersifat sementara.
Hak usaha bagi hasil merupakan salah satu hak atas tanah yang sifatnya sementara.
Pada mulanya hak usaha bagi hasil diatur dalam hukum adat. Bahwa salah satu kelemahan
perjanjian bagi hasil yang menggunakan hukum adat adalah perjanjian tersebut tidak
dilakukan secara tertulis melainkan berdasarkan kesepakatan para pihak sehingga tidak
memberikan kepastian mengenai besarnya bagian serta hak dan kewajiban para pihak.
Keberadaan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil lebih
dahulu daripada UUPA. Maksud diadakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960.
Hak menumpang merupakan suatu hak untuk memiliki bangunan atau tanaman yang
ada pada tanah milik orang lain, biasanya dengan membayar sejumlah uang sebagai
pengganti kerugian bagi pemilik tanah.
Hak sewa tanah pertanian sebagai salah satu hak yang bersifat sementara dalam
kenyataannya di masyarakat masih sering terjadi. Dimana dalam masyarakat ada yang
dikenal dengan sewa untuk tanah sawah dan sewa untuk kebun. Yang membedakan antara
kedua sewa tanah pertanian tersebut biasa dari segi pembayaran uang sewa tanahnya yaitu
sewa untuk sawah dibayar depan sedangkan sewa untuk kebun dibayar belakang atau 3
pembayaran dilakukan setelah panen, mirip dengan perjanjian bagi hasil dan dalam hukum
adat dikenal dengan sewa tanah hasil pertanian. Masalah pertanahan merupakan masalah
yang kompleks. Sifat sementara yang diberikan oleh UUPA pada hak sewa tanah pertanian
dikaitkan pada prinsip tanah untuk penggarap (petani), sebab penyewaan tanah pertanian
ini mengandung unsur pemerasan. Oleh karena itu pada saatnya hak sewa tanah pertanian
akan dihapuskan melalui suatu undangundang, akan tetapi undang-undang yang dimaksud
hingga 42 tahun usia UUPA belum juga ada, sehingga meskipun bersifat sementara hak
sewa tanah pertanian ini tetap diakui eksistensinya.
UUPA memuat ketentuan pokok mengenai hak sewa yang tercantum dalam Pasal 44
dan 45 UUPA namun pasal tersebut hanya mengatur hak sewa tanah untuk bangunan
sedang hak sewa untuk tanah pertanian diatur dalam Pasal 53 UUPA sebagai suatu hak yang
bersifat sementara yang akan dihapus dalam waktu yang singkat, karena dianggap
bertentangan dengan asas yang termuat dalam Pasal 10 UUPA (tanah harus dikerjakan atau
diusahakan sendiri secara aktif oleh yang mempunyai) serta dianggap mengandung unsur
pemerasan, ini bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) UUPA yang mengatur bahwa pada
asasnya dalam bidang pertanian tidak boleh ada pemerasan.