Anda di halaman 1dari 13

HUKUM AGRARIA

RESUME

NAMA : FITRIA ABDULLAH

NIM : D10122821

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TADULAKO

2023
HAK MILIK.

Hak Milik" adalah istilah yang digunakan di Indonesia untuk merujuk pada bentuk
kepemilikan hak atas tanah yang terkuat. Hak ini juga dikenal sebagai "Hak Milik" dan terdaftar
sebagai hak atas tanah di Badan Pertanahan Nasional. Hanya perseorangan berkewarganegaraan
Indonesia yang berhak memiliki tanah dengan hak Milik, dan tidak dapat diperoleh oleh perseroan
terbatas atau perseorangan asing. Hak milik tersebut tidak mempunyai batas dan dapat dijual,
dihibahkan, ditukarkan, dan diwariskan, serta dapat juga digunakan dalam bentuk hipotek. Namun,
hal ini tidak memberikan hak kepada pemiliknya untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang
terdapat di atas atau di bawah tanah tersebut. Orang asing dapat memperoleh tanah dengan bentuk
kepemilikan lain yang disebut "Hak Pakai" atau "Hak Pakai".

Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA pengertian hak milik adalah sebagai berikut: hak turun-
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan
dalam Pasal 6. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa sifat-sifat hak milik membedakan dengan
hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak
terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat. Kata-kata turun–temurun berarti bahwa hak milik atas
tanah tidak hanya berlangsung selama hidup pemegang hak, akan tetapi apabila terjadi peristiwa
hukum yaitu dengan meninggalnya pemegang hak dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Kata
terkuat berarti bahwa hak milik atas tanah dapat dibebani hak atas tanah lainnya, misalnya dibebani
dengan Hak Guna Bangunan, hak pakai, dan hak lainnya. Hak milik atas tanah ini wajib
didaftarkan. Sedangkan kata terpenuh berarti bahwa hak milik atas tanah telah memberi wewenang
yang luas kepada pemegang hak dalam hal menggunakan tanahnya.

Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang menjadi subyek hak milik adalah sebagai berikut:

1) Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik


2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik.
3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga
negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini
kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu
tahun sejak diperoleh hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah
jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak itu hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lainnya
tetap berlangsung.
4) Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan
baginya berlaku ketentuan ayat (3) Pasal ini.

Terjadinya Hak Milik Berdasarkan Pasal 22 UUPA terjadinya hak milik adalah sebagai
berikut:

1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah
2) Selain menurut cara yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hak milik terjadi karena
a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Hak atas tanah terjadi karena Penetapan Pemerintah yaitu hak atas tanah yang
diproses melalui mekanisme pemberian hak atas tanah.
b. Ketentuan undang-undang.
Terjadinya hak milik menurut hukum adat dapat dilakukan dengan cara membuka tanah
baru, contohnya pembukaan tanah ulayat. Ketentuannya akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1972 memberikan
kewenangan kepada para Bupati/Walikotamadya (sekarang Kepala Kantor Pertanahan)
dan Camat/Kepala Kecamatan untuk memberi keputusan mengenai permohonan izin
membuka tanah. Akan tetapi dengan surat tertanggal 22 Mei 1984 Nomor 593/570/SJ
diinstruksikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada para Camat untuk tidak menggunakan
kewenangan tersebut (Boediharsono,2008:326). Penetapan Pemerintah dituangkan dalam
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah.

HAK GUNA USAHA


Sesuai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Hak Guna Usaha
atau HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka
waktu tertentu. Seseorang atau badan usaha yang memiliki Sertifikat Hak Guna Usaha
(SHGU) dari pemerintah berarti diberikan izin untuk mengelola sebidang tanah dengan
tujuan tertentu seperti peternakan, perikanan, dan lainnya. Biasanya, tanah yang bisa
dijadikan HGU harus memiliki luas tanah minimal 5 hektar dan maksimal 25 hektar.
Dari pengertian tersebut, jenis tanah negara yang bisa diberikan HGU adalah tanah yang
termasuk dalam kategori hutan produksi. Selanjutnya, status tanah tersebut dialihkan jadi
lahan untuk perkebunan, peternakan, atau perikanan. Jadi, hutan lindung dan konservasi
tidak termasuk dalam HGU.
Dalam pertanahan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Hak Guna Usaha adalah hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu
tertentu untuk digunakan sebagai usaha pertanian, perikanan, atau peternakan.
Regulasi tentang HGU juga diatur dalam sejumlah aturan lain seperti Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Atas
Pakai Tanah. Tetapi, aturan itu telah direvisi dengan terbitnya PP Nomor 18 Tahun 2021
tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Pada pasal 19 PP terbaru tersebut, mereka yang berhak atas HGU adalah Warga Negara
Indonesia (WNI) dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Jika pemegang HGU tidak lagi memenuhi kedua syarat
tersebut, maka ia wajib melepaskan haknya pada orang lain dalam jangka waktu 1 tahun.
Sesuai dengan namanya yakni izin hak guna usaha, maka masa berlaku
sertifikatnya hanya sementara. Dari peraturan terbaru HGU tahun 2021 pasal 22, maka Hak
Guna Usaha diberikan dalam jangka waktu paling lama 35 tahun. Namun, Anda bisa
memperpanjang masa pakainya paling lama sampai 25 tahun dan diperbaharui untuk
jangka waktu paling lama 35 tahun. Perlu diingat, perpanjangan adalah hak penambahan
jangka waktu berlakunya suatu hak tanpa mengubah syarat dalam pemberian hak. Di sisi
lain, pembaharuan hak adalah pemberian hak yang sama pada pemegang hak sebelumnya
dengan menambah jangka waktu berlakunya hak setelah jangka waktu berakhir atau
sebelum jatuh tempo perpanjangannya berakhir. Jika jangka waktu HGU telah habis, maka
tanah akan otomatis kembali jadi lahan yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah Hak
Pengelolaan. HGU juga tidak bisa diubah menjadi SHM karena status kepemilikan tanah
adalah milik pemerintah bukan perorangan. Karena itu, segala bentuk penataan kembali,
penggunaan, pemanfaatan, dan kepemilikan tanah tersebut akan jadi kewenangan Menteri
ATR/Kepala BPN. Namun perlu diingat, pemerintah bisa memberikan prioritas pada bekas
pemegang HGU dengan memperhatikan beberapa aspek.
Karena bukan milik pribadi, maka dalam penggunaannya pemegang HGU memiliki
beberapa kewajiban yang harus ditaati sesuai dengan Pasal 27 PP Nomor 18 Tahun 2021,
antara lain :
 Mengusahakan tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha
berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis
 Melaksanakan usaha pertanian, perikanan, dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan
persyaratan yang telah ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya paling lama 2 tahun
sejak hak diberikan
 Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup
 Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas yang ada dalam
lingkungan areal Hak Guna Usaha
 Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang
tanah yang terkurung
 Mengelola, memelihara, dan mengawasi serta mempertahankan fungsi kawasan konservasi
bernilai tinggi dalam hal areal konservasi berada pada areal Hak Guna Usaha.

HAK GUNA BANGUNAN

Hak Guna Bangunan ialah suatu hak atas tanah yang dimiliki oleh subyek hukum dan diatur
dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Hak Guna Bangunan, diberikan dengan tujuan agar subyek
hukum tersebut dapat membangun suatu permukiman berupa rumah ataupun kantor. Adapun bunyi
Pasal 35 UUPA adalah sebagai berikut:

 Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
 Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-
bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu
paling lama 20 tahun.

 Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan dalam (UUPA) adalah hak
atas tanah yang diberikan kepada seseorang untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas
tanah tersebut dengan jangka waktu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun.
Peraturan Pelaksana terkait Hak Guna Bangunan baru muncul semenjak adanya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran
Tanah (PP 18/2021), sehingga pengaturan hak guna bangunan secara spesifik diatur dalam
ketentuan tersebut.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait tanah-tanah yang dapat diberikan HGB
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 PP 18/2021 yang menyatakan bahwa:

1. Hak guna bangunan di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
tahun.

2. Hak guna bangunan di atas Tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) tahun dan dapat diperbarui dengan akta pemberian hak guna bangunan di atas
hak milik.

3. Sctelah jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) berakhir, Tanah hak guna bangunan kembali menjadi Tanah yang Dikuasai
Langsung oleh Negara atau Tanah Hak Pengelolaan.

4. Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri
dan dapat diberikan prioritas kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan:
 tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat,
dan tujuan pemberian hak;

 syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;

 pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;

 tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang;

 tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum;

 sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan

 keadaan Tanah dan masyarakat sekitar.

HGB di atas Tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri yang
bersangkutan. Sementara HGB di atas Tanah Hak pengelolaan diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh Menteri yang bersangkutan berdasarkan persetujuan pemegang Hak
Pengelolaan. HGB di atas Tanah hak milik terjadi melalui pemberian hak oleh pemegang hak milik
dengan akta yang dihuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. HGB yang di atas tanah-tanah tersebut
harus didaftarkan oleh Kantor Pertanahan.

HAK PAKAI

Berdasarkan Pasal 41 UU Pokok Agraria, hak pakai adalah hak menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Hak
pakai diberikan berdasarkan keputusan pejabat berwenang atau berdasarkan perjanjian dengan
pemilik tanahnya. Terdapat subjek di dalam hak pakai, yang terdiri dari:

1. Warga Negara Indonesia


2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
4. Badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia
5. Departemen, lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah, pemerintah daerah
6. Badan keagamaan dan sosial
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Hak pakai dapat dialihkan kepada pihak lain jika hal tersebut dimungkinkan dalam perjanjian yang
bersangkutan. Mengenai sertifikat hak pakai, pemilik sertifikat hak pakai memiliki hak untuk
mengembangkan tanah yang dimiliki, seperti membangun atau mengelola tanah untuk
mendapatkan hasil produksi.

Objek dari sertifikat hak pakai dapat berupa tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak
milik. Properti dengan sertifikat hak pakai ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas maupun
lembaga yang membutuhkannya selama sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.

Kemudian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja (Perpu Cipta Kerja) menambahkan bahwa sebagaimana diatur pada Pasal 129 Perpu Cipta Kerja,
tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan, dimana hak atas tanah di atas hak
pengelolaan yang dimaksud dapat diberikan hak Pakai. Badan bank tanah merupakan badan khusus yang
dibentuk oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola tanah (Pasal 125 Perpu Cipta Kerja). Tak hanya itu, Hak
Pakai juga dapat diberikan kepada, antara lain:

1. Di atas tanah Hak Pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik
sebagian atau seluruhnya (Pasal 138 Angka 2 Perpu Cipta Kerja),

2. Rumah Susun (Pasal 145 Perpu Cipta Kerja),

3. Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah tanah dan digunakan
untuk kegiatan tertentu (Pasal 146 Angka 1 Perpu Cipta Kerja), dan

4. Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah tanah oleh pemegang
hak yang berbeda (Pasal 146 Angka 4 Perpu Cipta Kerja).

HAK PAKAI

Hak Sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah milik orang
lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Ketentuan
umum mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf e UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA. Menurut Pasal
50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan diatur
dengan peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang diperintahkan disini sampai
sekarang belum terbentuk.

Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan, menurut Pasal 44 ayat (1) UUPA, seseorang
atau suatu badan hukum mempunyai Hak Sewa Atas Tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
Dalam Hak Sewa Untuk Bangunan, pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam
keadaan kosong kepada penyewa dengan maksud agar penyewa dapat mendirikan
bangunan di atas tanah tersebut. Bangunan ini menurut hukum menjadi milik
penyewa, kecuali ada perjanjian lain. Hal ini berbeda dengan Hak Sewa Atas Bangunan
(HSAB), yaitu penyewa menyewa bangunan di atas tanah Hak orang lain dengan
membayar sejumlah uang sewa dan dalam jangka waktu yang tertentu yang disepakati oleh
pemilik bangunan dengan penyewa bangunan. Jadi objek perbuatan hukumnya adalah
bangunan bukan tanah. Berkenaan dengan Pasal 44 ayat (1) UUPA tentang Hak Sewa
Untuk bangunan, Sudargo Gautama mengemukakan sebagai berikut:
1. Dalam pasal ini diberikan perumusan tentang apa yang diartikan dengan
istilah “Hak Sewa Untuk Bangunan”. Dari perumusan ini ternyata bahwa
Hak Sewa ini hanya merupakan semacam Hak Pakai yang bersifat khusus.
Karena adanya sifat khusus dari Hak Sewa ini maka disebutkan secara
tersendir.
2. Hak Sewa yang disebut disini hanya boleh diadakan untuk mendirikan
bangunan. Tanah untuk pertanian pada dasarnya tidak boleh disewakan,
karena hal ini akan merupakan pertentangan dengan Pasal 10 ayat (1), prinsip
landreform yang mewajibkan seorang pemilik tanah pertanian untuk
mengerjakan sendiri.
3. Penyimpangan hanya diperbolehkan untuk sementara waktu mengingat
keadaan dewasa ini. Satu dan lain ditentukan dalam pasal 16 jo. Pasal 53.
4. Penyewa membayar uang sewa kepada pemilik tanah. Sewa menyewa ini
tidak dapat secara cuma-cuma.
5. Tanah yang dikuasai oleh Negara tidak dapat disewakan untuk maksud ini.
Dalam memori penjelasan diterangkan sebagai alasan tidak
memungkinkannya hal ini ialah karena negara bukan pemilik tanah. Boedi
Harsono menyatakan bahwa karena hanya pemilik tanah yang dapat
menyewakan tanah, maka negara tidak dapat mempergunakan lembaga ini.
pembayaran uang sewa dapat dilakukan:
a) satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b) sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
Perjanjian sewa tanah ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur
unsur pemerasan.
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa adalah
a) warga negara Indonesia;
b) orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
d) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Hak Individual atas Tanah yang Bersifat Sekunder


H. M. Arba dalam buku yang sama menerangkan bahwa hak sekunder adalah hak yang
mengandung sifat yang bertentangan dengan undang-undang karena mengandung unsur
pemerasan dan penindasan, sehingga diusahakan hapusnya dalam waktu singkat.
Contoh hak seperti ini adalah hak gadai tanah, hak usaha bagi hasil, hak sewa tanah
pertanian, dan hak menumpang.

HAK MEMBUKA TANAH


Hak membuka tanah adalah hak yang dimiliki oleh warga negara indonesia untuk
membuka lahan tanah yang diatur berdasarkan peraturan pemerintah. Menurut Boedi
Harsono hak memnbuka tanah dan hak memungut hasil hutan sebenarnya bukan hak atas
tanah dalam arti yang sesungguhnya. Dikatakan demikian karena kedua hak tersebut tidak
memberi wewenang untuk menggunakan tanah. Tujuan dari dimasukkannya kedua hak ini
ke dalam UUPA adalah semata – mata untuk menselaraskan UUPA dengan hukum adat.3
Dasar hukumnya yaitu pasal 46 UUPA menjelaskan bahwa, hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia yang telah diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi dengan mempergunakan hak memungut hasil
hutan secara sah, tidak secara otomatis dengan sendirinya hak milik atas tanah tersebut
diperoleh.

HAK MEMUNGUT HASIL


Hak memungut hasil hutan adalah hak yang dimiliki oleh warga atau anggota dalam
masyarakat hukum tertentu untuk memungut hasil hutan yang termasuk wilayah masyarakat
hukum tersebut. Orang yang akan memungut hasil hutan harus mendapat izin terlebih
dahulu dari kepala persekutuan hukum yang bersangkutan atau kepala adat dan luas tanah
tidak lebih dari 2 Ha. Jika luas tanahnya mencapai 5 Ha, harus ada izin dari Bupati setempat.
Izin ini penting kerena pengaturan mengenai larangannya sudah jelas di dalam Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dalam pasal 50 ayat (3) huruf e yang
melarang setiap orang yang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan
dalam hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang. Jadi
setiap warga negara Indonesia memiliki hak atas pemungutan hasil hutan. Tapi perlu di
ingat, pemungutan hasil hutan ini ada mekanismenya atau prosedurnya. Yang tujuannya
agar masyarakat memiliki rasa tanggungjawab dalam rangka memilihara dan menjaga
kelestarian hutan.
Bagian VI. Hak pakai, Pasal 41. (1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik
orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-
undang ini.
HAK-HAK LAIN YANG TIDAK TERMASUK DALAM HAK DI ATAS
YANG DITETAPKAN DALAM PASAL 53 UUPA, YANG BESIFAT SEMATARA

Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan macam-macamnya dalam


Pasal 53 UUPA, yaitu:

1) Hak gadai
2) Hak usaha bagi hasil
3) Hak menumpang
4) Hak sewa untuk usaha pertanian.

Dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan
merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan Hak memungut hasil hutan karena
hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah
tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam Pasal 16 UUPA sebagai Hak
Atas Tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat.
Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari Hak Ulayat.
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutan. Pasal
53 ayat (1) UUPA, memberikan makna bahwa hak gadai merupakan salah satu hak atas
tanah, selain hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16, namun hak gadai yang
dimaksud hanya bersifat sementara.
Hak usaha bagi hasil merupakan salah satu hak atas tanah yang sifatnya sementara.
Pada mulanya hak usaha bagi hasil diatur dalam hukum adat. Bahwa salah satu kelemahan
perjanjian bagi hasil yang menggunakan hukum adat adalah perjanjian tersebut tidak
dilakukan secara tertulis melainkan berdasarkan kesepakatan para pihak sehingga tidak
memberikan kepastian mengenai besarnya bagian serta hak dan kewajiban para pihak.
Keberadaan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil lebih
dahulu daripada UUPA. Maksud diadakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960.
Hak menumpang merupakan suatu hak untuk memiliki bangunan atau tanaman yang
ada pada tanah milik orang lain, biasanya dengan membayar sejumlah uang sebagai
pengganti kerugian bagi pemilik tanah.

Hak sewa tanah pertanian sebagai salah satu hak yang bersifat sementara dalam
kenyataannya di masyarakat masih sering terjadi. Dimana dalam masyarakat ada yang
dikenal dengan sewa untuk tanah sawah dan sewa untuk kebun. Yang membedakan antara
kedua sewa tanah pertanian tersebut biasa dari segi pembayaran uang sewa tanahnya yaitu
sewa untuk sawah dibayar depan sedangkan sewa untuk kebun dibayar belakang atau 3
pembayaran dilakukan setelah panen, mirip dengan perjanjian bagi hasil dan dalam hukum
adat dikenal dengan sewa tanah hasil pertanian. Masalah pertanahan merupakan masalah
yang kompleks. Sifat sementara yang diberikan oleh UUPA pada hak sewa tanah pertanian
dikaitkan pada prinsip tanah untuk penggarap (petani), sebab penyewaan tanah pertanian
ini mengandung unsur pemerasan. Oleh karena itu pada saatnya hak sewa tanah pertanian
akan dihapuskan melalui suatu undangundang, akan tetapi undang-undang yang dimaksud
hingga 42 tahun usia UUPA belum juga ada, sehingga meskipun bersifat sementara hak
sewa tanah pertanian ini tetap diakui eksistensinya.
UUPA memuat ketentuan pokok mengenai hak sewa yang tercantum dalam Pasal 44
dan 45 UUPA namun pasal tersebut hanya mengatur hak sewa tanah untuk bangunan
sedang hak sewa untuk tanah pertanian diatur dalam Pasal 53 UUPA sebagai suatu hak yang
bersifat sementara yang akan dihapus dalam waktu yang singkat, karena dianggap
bertentangan dengan asas yang termuat dalam Pasal 10 UUPA (tanah harus dikerjakan atau
diusahakan sendiri secara aktif oleh yang mempunyai) serta dianggap mengandung unsur
pemerasan, ini bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) UUPA yang mengatur bahwa pada
asasnya dalam bidang pertanian tidak boleh ada pemerasan.

Anda mungkin juga menyukai