Anda di halaman 1dari 4

Nama : Pera Rubika

NIM : 3300200097
Kelas : H
Matkul : Hukum Agraria

ANALISIS KASUS SENGKETA PERTANAHAN


1. Dalam perselisihan masalah agraria atau pertanahan, istilah Hak Guna Usaha
atau HGU seringkali terdengar. HGU adalah salah satu jenis hak
kepemilikan atas tanah yang di atur oleh negara. Dikutip dari Undang-
undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, Hak Guna Usaha
artinya hak untuk menguasakan tanah yang dikuasai angsung oleh negara,
dalam jangka waktu tertentu, yang digunakan untuk usaha pertanian,
perikanan atau peternakan.
Selain diatur UUPA, regulasi terkait HGU juga diatur dalam berbagai aturan
turunan seperti peratuiran pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dam Hak Pakai atas Tanah.
Tidak semua orang atau perusahaan dapat memiliki HGU yang diberikan
negara. Ada beberapa aturan yang menyertainya.
Namun, secara umum, pihak-pihak yang dapat memiliki HGU adalah Warga
Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum
indonesia dan berkedudukan di indonesia.
Penyerahan tanah negara untuk diberikan dalam bentuk HGU didasarkan
pada keputusan pemberian hak, dalam hal ini Menteri Agraria dan Tata
Ruang atau pejabat lain yang ditunjuk dalam urusan pertanahan yang
diberikan wewenang untuk memberikan keputusan terhadap hak atas tanah
tersebut.
Dalam Pasal 5 PP Nomor 40 Tahun 1996, juga diatur bahwa luas minimal
HGU adalah lima hektare. Sementara luas maksimal lahan yang diberikan
HGU untuk perorangan adalah 25 hektare.
Negara juga mengizinkan kepemilikan HGU diatas 25 hektare namun
dengan syarat seperti penggunaan tanahnya harus menggunakan investasi
modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan
perkembangan zaman.
Pemegang HGU memiliki masa pakai paling lama 35 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
Hak atas Tanah HGU bisa diambil kembali oleh negara jika memenuhi salah
satu kriteria antara lain berakhirnya masa pemberian dan perpanjangan
HGU, tidak terpenuhinya kewajiban pemegang HGU, dilepaskan secara
sukarela, tanahnya di terlantarkan, atau dihapus secara hukum dalam
keputusan pengadilan.
Bagi pemegang tanah HGU memiliki beberapa kewajiban yakni membayar
uang pemakaian HGU ke negara.
Selain itu, pemegang HGU wajib melaksanakan salah satu usaha pertanian,
perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Pemegang hak guna usaha juga wajib membangun dan memelihara
prasarana lingkunan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal,
memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan
menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pertauran.
Pemegang HGU juga wajib menyampaikan laporan tertulis setiap akhir
tahun mengenai penggunaan hak, menyerahkan kembali tanah yang
diberikan dengan hak kepada negara sesudah hak tersebut dihapus, dan
menyerahkan sertifikat tanah tersebut.
Larangan pemegang HGU antara lain menjaminkan tanah HGU sebagai
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan, dimana hak HGU bisa
beralih ke pihak lain.
Tanah HGU juga terlarang untuk diserahkan penguasanya kepada pihak lain,
kecuali penyerahan yang dibolehkan dalam Undang-undang seperti
pembangunan kepentingan publik.
Permasalahan seputar Hak Guna Usaha perkebunan hingga kini masih kerap
terjadi. Sejumlah pakar sepakat, faktor utama timbulnya masalah adalah
karena belum terbentuknya pendataan HGU atas lahan-lahan di indonesia
yang selama ini dilakukan kementrian Agraria dan Tata Ruang / Badan
Pertanahan Negara (ATR/BPN). Pada 2017 Mahkamah Agung (MA)
sebenarnya sudah mengeluarkan putusan yang mengharuskan pemerintah
membuka data terkait HGU. Keputusan itu keluar dalam perkara yang
diajukan Forest Watch Indonesia (FWI).
Masalah lainnya yang sering muncul dalam pemberian HGU juga kerap
terjadi pada perkebunan yang bersinggungan dengan hutan atau kawasan
hutan. Jika HGU perkebunan diberikan, naka akan mengubah tata ruang
wilayah tersebut secara signifikan. Oleh karenanya, Rangcangan Undang-
undang (RUU) Pertanahan diyakini dapat menjadi solusi tumpang tindih
regulasi dan peraturan terkait lain yang menjadi penyebab timbulnya konflik
lahan di perkebunan.
Tak hanya itu, pemicu masalah dari HGU perkebunan kerap melibatkan
tanah masyarakat. Utamanya lantaran ada tumpang tindih dengan klaim
masyarakat adat maupun petani. Namun umumnya masyarakat sering kalah.
Prioritas memberikan hak ke perusahaan mengesampingkan kenyataan
bahwa lahan tersebut sebagian besar sudah digarap masyarakat.
Padahal perushaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
semestinya fokus pada pengolahan hasil perkebunan, pertanian, perikanan,
atau peternakan. Sementara penggarapan lahan produksi idealnya diserahkan
kepada masyarakat. Apalagi selama ini banyak perusahaan yang
memonopoli proses produksi hingga pengolahan hasil perkebunan,
pertanian, perikanan ataupun peternakan di atas lahan HGU. Oleh karena itu
ketimpangan akhirnya muncul.
2. Dalam kasus PTPN XIV ini, jika tanah yang terdaptar dalam HGU di
terlantarkan maka bisa saja HGU ini dihapuskan dan kembali menjadi hak
pemerintah karena syarat dari HGU adalah yang pertama, membayar uang
pemasukan kepada negara, karena tanah HGU ini di terlantarkan maka
bagaimana PTPN membayar uang pemasukan kepada negara ?. Yang kedua,
melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan
sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
pemberian haknya, PTPN ini tidak menjalankan usaha apapun terhadap
tanah HGU tersebut melainkan warga yang menduduki lahan tersebut yang
melakukan kegiatan pertanian. Dan yang ketiga membangun dan memelihara
kesuburan tanah, mencegah kerusakan dan menjaga kelestarian kemampuan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, tidak ada kegiatan apapun yang dilakukan PTPN XIV terhadap
lahan HGU tersebut maka tidak ada pula upaya untuk memelihara, menjaga
dan mencegah kerusakan pda lahan tersebut.
Menurut Boedi Harsono penelantaran tanah lebih mengarah kepada
terjadinya peristiwa hukum karena perbuatan sehingga hak atas tanah
menjadi dihapus. Boedi Harsono memberikan contoh untuk perusahaan
diberikan HGU untuk perkebunan oleh pemerintah, namun hak atas tanah
tersebut tidak dipergunakan dengan baik, maka hal tersebut dapat dijadikan
alasan untuk membatalkan hak yang bersangkutan oleh pejabat yang
berwenang.
Akibat hukum dari tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah
adanya pemutusan hubungan hukum antara subjek pemegang hak atas tanah,
kemudian tanah trsebut dikuasi oleh Negara. Demikian sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 11
Tahun 2010 tentang Penertiban dan pendayagunaan Tanah Terlantar.
Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 berbunyi:
“Dalam ha tanah yamg akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan
tanah hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a, penetapan
tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga penetapan
hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta
ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara.”
Pasal 9 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 berbunyi :
“Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah
yang telah diberikan dasar penguasaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
ayat (1) huruf b, penetapan tanah terlantar sebagimana dimaksud pada ayat
(1) memuat juga pemutusan serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara.”
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 diterbitkan berdasarkan
pertimbangan utama. Pertama bahwa kondisi penelantaran tanah semakin
menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan rakyat serta
menurunkan kualitas lingkungan. Kedua, instrumen regulasi berupa
peraturan perundang-undangan yang telah ada yaitu PP Nomor 36 Tahun
1998 beserta peraturan pelaksanaanya tidak dapat lagi dijadikan acuan
penyelesaian penerbitan dan pendayagunaan tanah terlantar.
PTPN XIV ini tidak memenuhi syarat kepemilikan HGU oleh karena itu,
hak tanah tersebut harus dikembalikan kepada Negara atau dihapus. Karena
warga sekitar masih menduduki lahan tersebut jika tidak ingin berpindah
ataupun di adakannya penggusuran oleh pemerintah maka lebih baik warga
tersebut membayar sewa tanah kepada Negara sebagai penyelesaian dengan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat, negosiasi dengan cara damai, dan
hindari cara-cara kekerasan yang dapat memicu konflik berdarah.

Anda mungkin juga menyukai