1. Dalam perselisihan masalah agraria atau pertanahan, istilah Hak Guna Usaha atau HGU seringkali terdengar. HGU adalah salah satu jenis hak kepemilikan atas tanah yang di atur oleh negara. Dikutip dari Undang- undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, Hak Guna Usaha artinya hak untuk menguasakan tanah yang dikuasai angsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu, yang digunakan untuk usaha pertanian, perikanan atau peternakan. Selain diatur UUPA, regulasi terkait HGU juga diatur dalam berbagai aturan turunan seperti peratuiran pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dam Hak Pakai atas Tanah. Tidak semua orang atau perusahaan dapat memiliki HGU yang diberikan negara. Ada beberapa aturan yang menyertainya. Namun, secara umum, pihak-pihak yang dapat memiliki HGU adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum indonesia dan berkedudukan di indonesia. Penyerahan tanah negara untuk diberikan dalam bentuk HGU didasarkan pada keputusan pemberian hak, dalam hal ini Menteri Agraria dan Tata Ruang atau pejabat lain yang ditunjuk dalam urusan pertanahan yang diberikan wewenang untuk memberikan keputusan terhadap hak atas tanah tersebut. Dalam Pasal 5 PP Nomor 40 Tahun 1996, juga diatur bahwa luas minimal HGU adalah lima hektare. Sementara luas maksimal lahan yang diberikan HGU untuk perorangan adalah 25 hektare. Negara juga mengizinkan kepemilikan HGU diatas 25 hektare namun dengan syarat seperti penggunaan tanahnya harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Pemegang HGU memiliki masa pakai paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak atas Tanah HGU bisa diambil kembali oleh negara jika memenuhi salah satu kriteria antara lain berakhirnya masa pemberian dan perpanjangan HGU, tidak terpenuhinya kewajiban pemegang HGU, dilepaskan secara sukarela, tanahnya di terlantarkan, atau dihapus secara hukum dalam keputusan pengadilan. Bagi pemegang tanah HGU memiliki beberapa kewajiban yakni membayar uang pemakaian HGU ke negara. Selain itu, pemegang HGU wajib melaksanakan salah satu usaha pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pemegang hak guna usaha juga wajib membangun dan memelihara prasarana lingkunan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal, memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pertauran. Pemegang HGU juga wajib menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan hak, menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak kepada negara sesudah hak tersebut dihapus, dan menyerahkan sertifikat tanah tersebut. Larangan pemegang HGU antara lain menjaminkan tanah HGU sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan, dimana hak HGU bisa beralih ke pihak lain. Tanah HGU juga terlarang untuk diserahkan penguasanya kepada pihak lain, kecuali penyerahan yang dibolehkan dalam Undang-undang seperti pembangunan kepentingan publik. Permasalahan seputar Hak Guna Usaha perkebunan hingga kini masih kerap terjadi. Sejumlah pakar sepakat, faktor utama timbulnya masalah adalah karena belum terbentuknya pendataan HGU atas lahan-lahan di indonesia yang selama ini dilakukan kementrian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN). Pada 2017 Mahkamah Agung (MA) sebenarnya sudah mengeluarkan putusan yang mengharuskan pemerintah membuka data terkait HGU. Keputusan itu keluar dalam perkara yang diajukan Forest Watch Indonesia (FWI). Masalah lainnya yang sering muncul dalam pemberian HGU juga kerap terjadi pada perkebunan yang bersinggungan dengan hutan atau kawasan hutan. Jika HGU perkebunan diberikan, naka akan mengubah tata ruang wilayah tersebut secara signifikan. Oleh karenanya, Rangcangan Undang- undang (RUU) Pertanahan diyakini dapat menjadi solusi tumpang tindih regulasi dan peraturan terkait lain yang menjadi penyebab timbulnya konflik lahan di perkebunan. Tak hanya itu, pemicu masalah dari HGU perkebunan kerap melibatkan tanah masyarakat. Utamanya lantaran ada tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat maupun petani. Namun umumnya masyarakat sering kalah. Prioritas memberikan hak ke perusahaan mengesampingkan kenyataan bahwa lahan tersebut sebagian besar sudah digarap masyarakat. Padahal perushaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semestinya fokus pada pengolahan hasil perkebunan, pertanian, perikanan, atau peternakan. Sementara penggarapan lahan produksi idealnya diserahkan kepada masyarakat. Apalagi selama ini banyak perusahaan yang memonopoli proses produksi hingga pengolahan hasil perkebunan, pertanian, perikanan ataupun peternakan di atas lahan HGU. Oleh karena itu ketimpangan akhirnya muncul. 2. Dalam kasus PTPN XIV ini, jika tanah yang terdaptar dalam HGU di terlantarkan maka bisa saja HGU ini dihapuskan dan kembali menjadi hak pemerintah karena syarat dari HGU adalah yang pertama, membayar uang pemasukan kepada negara, karena tanah HGU ini di terlantarkan maka bagaimana PTPN membayar uang pemasukan kepada negara ?. Yang kedua, melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, PTPN ini tidak menjalankan usaha apapun terhadap tanah HGU tersebut melainkan warga yang menduduki lahan tersebut yang melakukan kegiatan pertanian. Dan yang ketiga membangun dan memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak ada kegiatan apapun yang dilakukan PTPN XIV terhadap lahan HGU tersebut maka tidak ada pula upaya untuk memelihara, menjaga dan mencegah kerusakan pda lahan tersebut. Menurut Boedi Harsono penelantaran tanah lebih mengarah kepada terjadinya peristiwa hukum karena perbuatan sehingga hak atas tanah menjadi dihapus. Boedi Harsono memberikan contoh untuk perusahaan diberikan HGU untuk perkebunan oleh pemerintah, namun hak atas tanah tersebut tidak dipergunakan dengan baik, maka hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hak yang bersangkutan oleh pejabat yang berwenang. Akibat hukum dari tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah adanya pemutusan hubungan hukum antara subjek pemegang hak atas tanah, kemudian tanah trsebut dikuasi oleh Negara. Demikian sebagaimana dinyatakan dalam pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 berbunyi: “Dalam ha tanah yamg akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara.” Pasal 9 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 berbunyi : “Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, penetapan tanah terlantar sebagimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga pemutusan serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.” Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 diterbitkan berdasarkan pertimbangan utama. Pertama bahwa kondisi penelantaran tanah semakin menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan. Kedua, instrumen regulasi berupa peraturan perundang-undangan yang telah ada yaitu PP Nomor 36 Tahun 1998 beserta peraturan pelaksanaanya tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian penerbitan dan pendayagunaan tanah terlantar. PTPN XIV ini tidak memenuhi syarat kepemilikan HGU oleh karena itu, hak tanah tersebut harus dikembalikan kepada Negara atau dihapus. Karena warga sekitar masih menduduki lahan tersebut jika tidak ingin berpindah ataupun di adakannya penggusuran oleh pemerintah maka lebih baik warga tersebut membayar sewa tanah kepada Negara sebagai penyelesaian dengan berdasarkan musyawarah untuk mufakat, negosiasi dengan cara damai, dan hindari cara-cara kekerasan yang dapat memicu konflik berdarah.