Anda di halaman 1dari 4

Asas Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Di Indonesia mengenai Permasalahan tanah ulayat, dapat dikatakan sangat rumit serta
seringkali tumpang tindih, baik dalam kepemilikan maupun status. Misalnya tidak ada batas
yang jelas antara tanah ulayat dengan tanah negara, yang secara awam ada yang menyebutnya
bahwa pada hakekatnya tanah ulayat tergolong tanah negara. Yang sebenarnya dalam
paradigma Hukum Adat, tanah ulayat yang didalamnya terdapat hak dari masyarakat hukum
adat, yang kerap dikenal sebagai hak ulayatHak Ulayat merupakan serangkaian hubungan
hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya 1.
Kewajiban utama penguasa adat adalah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-
anggota masyarakat, jangan sampai timbul perselisihan mengenai pemakaian tanah.

Regulasi hak ulayat masyarakat hukum adat dapat ditemukan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang
Pokok Agraria- selanjutnya disingkat UUPA) serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Namun dalam kebijakan yang dilakukan oleh semua
pihak, khususnya pemerintah, dalam implementasinya dibutuhkan pemahamann yang utuh
terhadap hak ulayat, yakni tentang struktur kemasyarakatan (pola kekuasaannya) yang
mempunyai kewenanngan terhadap tanah wilayahnya. Sehingga benar-benar adanya
pengakuan dan penghormatan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Hak Ulayat dalam Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diakui dalam
pasal 3 Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berisi:

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Disertai 2 syarat yaitu:

1. Eksistensinya, diakui sepanjang menurut kenyataanya masih ada.

1
Prof. Dr. Maria S.W Sumardjono SH .MCL. MPA; Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta 2008,
hlm 170.
2. Pelaksanaanya, pengakuan hak ulayat dalam pelaksanaanya dibatasi oleh kepentingan
nasional dan negara, Undang-Undang dan peraturan yang lebih tinggi.

Pengakuan hak ulayat dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Permenag/KA BPN No 5


Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum
adat.Tanah ulayat bukan tanah yang harus didaftarkan 2. Tanah ulayat tidak termasuk ke
dalam obyek pendaftaran tanah. UUPA tidak memerintahkan pendaftarannya, dan dalam PP
No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hak ulayat tidak dimasukkan dalam obyek
pendaftaran tanah. Secara teknis tidak mungkin, karena batas-batas tanahnya tidak mungkin
dipastikan tanpa menimbulkan sengketa antar masyarakat hukum yang berbatasan.

UUPA mengakui adanya keberadaan hak ulayat. Hal ini menjadi dasar dikeluarkannya
Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri Agraria tersebut mengatur mengenai
kriteria ada atau tidaknya keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Keberadaan hak
ulayat yang masih ada dinyatakan dalam dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan
suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta
mencatatnya dalam daftar tanah . Dalam hal ini, tanah ulayat tersebut tidak diterbitkan
sertipikat.

Pendaftaran Tanah Ulayat Pada Perda No. 6 tahun 2008

Perda No. 6 tahun 2008 mengklasifikasikan tanah ulayat di Sumatera Barat atas 4 (empat)
jenis tanah ulayat, yakni tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, tanah ulayat kaum dan tanah
ulayat rajo . Tanah-tanah ulayat tersebut dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Bila didaftarkan, tanah ulayat nagari diberi status Hak Guna Usaha (HGU),
hak pakai atau hak pengelolaan (HPL). Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum diberi status
hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo diberi status hak pakai dan hak kelola.
Dari ketentuan tersebut di atas, dipahami bahwa jika tanah ulayat didaftarkan pada Kantor
Pertanahan, maka statusnya diubah menjadi HGU, hak pakai, HPL.
HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna
perusahaan pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan . Bila tanah ulayat nagari
di daftarkan pada Kantor Pertanahan dan pada pemegang haknya diberikan HGU, maka
2
Prof. Dr. Maria S.W Sumardjono SH .MCL. MPA; Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Kompas, Jakarta
2001, hlm 69.
status hukum tanah ulayat nagari tersebut dapat dipastikan telah berubah menjadi tanah
negara. Dalam hal ini, pemegang HGU tidak begitu leluasa memanfaatkan tanah yang
dikuasainya. Peruntukannya dibatasi pada bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau
peternakan. Pemanfaatannya pun juga dibatasi untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima)
tahun . Selain itu, pemegang HGU diwajibkan membayar uang pemasukan pada negara
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah negara, tanah
hak milik atau tanah HPL . Artinya, hak pakai hanya dapat diberikan di atas tanah negara,
tanah hak milik atau tanah HPL. Bila tanah ulayat didaftarkan, tentu status hukumnya
berubah menjadi salah satu di antara 3 (tiga) jenis tanah tersebut. Kemungkinan terbesarnya,
tanah ulayat itu berubah menjadi tanah negara. Hak pakai diberikan untuk jangka waktu
paling lama 25 (dua puluh lima) tahun atau dapat diberikan jangka waktu yang tidak
ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu .
HPL adalah hak menguasai negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan
pada pemegangnya. Pemegang HPL dapat memberikan hak atas tanah pada pihak lain.
Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan,
yang dapat menjadi pemegang HPL adalah: (1) Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah
Daerah; (2) BUMN; (3) BUMD; (4) PT. Persero; (5) Badan Otorita; (6) Badan-badan hukum
Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah. Dalam praktiknya, terdapat berbagi jenis HPL,
yakni: (a) HPL Pelabuhan, (b) HPL Otorita, (c) HPL Perumnas, (d) HPL Pemerintah Daerah,
(e) HPL Transmigrasi, (f) HPL Instansi Pemerintah, dan (g) HPL
Industri/pertanian/pariwisata/Perkeretaapian. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah . Terkuat dan terpenuh maksudnya disini
adalah pemegang hak milik itu dapat berbuat apa saja terhadap miliknya itu, misalnya
memakai/menguasainya sendiri maupun menjual, menyewakan, meminjamkan hak miliknya
itu kepada pihak lain. Secara teoritis, hak milik dengan hak menguasai berbeda. Pemegang
hak milik atas suatu benda pastilah pemilik dari benda tersebut sedangkan pemegang hak
menguasai belum tentu pemilik dari benda itu . Bila dikaitkan dengan hak ulayat, maka hak
ulayat termasuk ke dalam kategori hak menguasai. Karena hak ulayat merupakan kepunyaan
bersama masyarakat hukum adat di mana penguasaannya dipimpin oleh Penguasa Adat.

Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Kepentingan Investasi dan Pembangunan


Lahirnya Perda No.6 tahun 2008 tidak hanya semata ditujukan untuk melindungi eksistensi
tanah ulayat. Secara eksplisit, Perda No.6 tahun 2008 menyatakan bahwa pemanfaatan tanah
ulayat untuk kepentingan Badan Hukum dan perorangan dapat dilakukan berdasarkan surat
perjanjian pengusahaan dan pengelolaan tanah ulayat dalam jangka waktu tertentu dalam
bentuk penyertaan modal, bagi hasil dan/atau bentuk lain yang disepakati . Kemudian, Perda
No. 6 tahun 2008 juga memungkinkan investor memanfaatkan tanah ulayat dengan mengikut
sertakan penguasa dan pemilik tanah ulayat sebagai pemegang saham, bagi hasil dan dengan
cara lain dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian . Apabila perjanjian
penyerahan hak penguasan dan/atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan tanah
yang diperjanjikan berakhir, maka status pengusahaan dan/atau kepemilikan tanah kembali ke
bentuk semula.

Pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak lain tersebut, dimungkinkan tidak hanya berdasarkan
perjanjian saja. Perda No. 6 tahun 2008 juga memberi peluang untuk didaftarkannya tanah
ulayat tersebut dengan hak-hak tertentu . Jikalau tanah ulayat didaftarkan, niscaya
mekanismenya harus sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Perda No.6 tahun 2008. Bila
dilaksanakan, status hukum tanah ulayat akan berubah, sebab dalam hukum tanah Indonesia
tidak ada pemberian HGU, HGB, dan hak pakai di atas tanah ulayat.
Selanjutnya, Pasal 14 ayat (1) Perda No.6 tahun 2008 mengatur bahwa bila perjanjian tanah
ulayat yang terdaftar tersebut berakhir, maka pengaturan pemanfaatan tanah selanjutnya
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk diserahkan kepada penguasa dan/atau
pemilik tanah ulayat semula. Bila perjanjian berakhir, tanah ulayat tersebut tidak langsung
diserahkan pada masyarakat hukum adat dan harus melalui perantaraan Pemerintah
Kabupaten/ Kota3.

3
http://hengkiandora.blog.com/2011/02/04/pendaftaran-tanah-ulayat-tinjauan-yuridis-atas-berlakunya-
peraturan-daerah-provinsi-sumatera-barat-no-6-tahun-2008-tentang-tanah-ulayat-dan-pemanfaatannya.

Anda mungkin juga menyukai