Anda di halaman 1dari 18

RUANG LINGKUP HAK ATAS TANAH, DAN HAK MILIK ATAS TANAH

DAN HAK GUNA USAHA

Dini Nurfalah, Lili Sibri, Laksmana Prastya, Nur Azmi Ahta Regita,
Salvia Nur Aulia, Soultan Syarif, Rafli Akmal Fauzan
Kelas : HK20B

ABTSRAK
Ruang lingkup hak atas tanah, hak atas tanah, dan hak guna usaha yang semula bersifat komunal adat
telah menyebabkan dominasi pribadi duniawi, dan itu masih terjadi karena hukum umum yang
berlaku.Tujuan penelitian ini untuk Mengetahui dan menganalisis mekanisme hak tanah dan kepemilikan
tanah. metode penelitian, ini mengadopsi metode penelitian hukum normatif yang mengumpulkan
literatur seperti peraturan pertambangan dari bahan hukum utama dan literatur seperti buku-buku yang
berkaitan dengan diskusi. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana perlindungan hukum terhadap hak
atas tanah, luas dan hak pakainya dilakukan.Kasus hak atas tanah saat ini lebih memotivasi dan bisa
mengalihkan hak atas tanah . Adanya kedua kondisi tersebut juga mempengaruhi adanya konflik atau
kasus, dan model resolusi konflik,Pengelolaan hak atas tanah. Kasus hak atas tanah dalam konteks UUPA
tidak langsung mengakui bahwa hukum dapat menyebabkan perselisihan common law atau sebaliknya
adanya hak milik tanah melalui penggunaan sistem hak milik dalam kerangka UUPA. Sengketa hak atas
tanah dapat diselesaikan menggunakan non litigasi atau litigasi, tetapi lebih umum melalui litigasi.karena
dianggap tepat untuk menjamin kepastian hukum.

Kata kunci: Tanah, hak atas tanah, atau , kasus tanah

ABSTRACT
The scope of land rights, land rights , and usufructuary rights which were originally communal in
nature have led to worldly personal domination, and this is still happening because of the prevailing
general law. The aim of this research is to identify and analyze the mechanism of land rights and land
ownership. research methods, in adopting normative legal research methods that collect literature such
as mining regulations from the main legal materials and literature such as books related to the
discussion. The results of the study show how legal protection of land rights, area and usufructuary rights
is carried out. The current case of land rights is more motivating and can transfer land rights. The
existence of these two conditions also affects the existence of conflicts or cases, and conflict resolution
models, management of land rights. The case of land rights in the context of the UUPA does not directly
recognize that law can lead to the emergence of general law or vice versa the existence of land ownership
rights through the use of the property rights system within the framework of the UUPA. Disputes over
land rights can be resolved using non-litigation or litigation,

Keywords: Land, land rights, or land cases

1
PENDAHULUAN
Pasal 16 ayat (1) UUPA menentukan beberapa jenis hak atas tanah berdasarkan ruang
lingkup nya yaitu:
“hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh,yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan
mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA”HGB (Hak Guna Bangunan), “hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun.”HGU (Hak Guna Usaha), “hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna
perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.”Hak Pakai, “hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh neegara atau tanah milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA.”
Hak Membuka Tanah dan hak memungut hasil hutan merupakan hak atas tanah bersifat
tetap, akan tetapi menurut Dr. Urip Santoso, S.H., M.H. dalam bukunya yang berjudul “Hak Atas
Tanah, Hak Pengelolaan, dan hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”, bahwa kedua Hak atas
tanah tersebut bukanlah merupakan Hak atas tanah karena tidak memberikan kewenangan
kepada pemegang hak untuk memungut manfaat ataupun menggunakan tanah tersebut. Kedua
hak tersebut dapat digolongkan sebagai Hak atas tanah karena merupakan “pengejawantahan”
dari hak ulayat masyarakat adat di Indonesia. Hak Sewa Untuk Bangunan, UUPA tidak
mengatur mengenai pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan (selanjutnya disingkat HSUB).
Menurut Dr. Urip Santoso, HSUB adalah hak yang dimiliki individu ataupun badan hukum
untuk mendirikan bangunan diatas tanah berstatus hak milik orang lain dengan mengganti rugi
atau membayar sewa dengan jangka waktu yang telah disepakati.1
Hak Atas Tanah yang akan ditetapkan oleh Undang-Undang. Pasal 53 ayat (1) telah
menentukan beberapa jenis hak atas tanah yang bersifat hanya sementara, yaitu Hak Gadai, Hak
Menumpang, Hak Sewa Atas Tanah Pertanian, Hak Usaha Bagi Hasil.

Berdasarkan aspek tanahnya, hak atas tanah ada 2 jenis, yaitu :


1
Sarjita, 2005, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Konflik, Cetakan kedua, Tugujogja
Pustaka, Yogyakarta, hlm. 1.

2
Hak Atas Tanah primer, merupaka hak atas tanah yang didasarkan dari tanah Negara yaitu hak
milik, HGB atas tanah Negara, HGU, hak pakai atas tanah negara Hak Atas Tanah sekunder,
merupakan hak atas tanah yang diperoleh berdasarkan tanah dari pihak lain yaitu
HGB yang berada di atas Hak Milik atau HPL; Hak Pakai yang berada di atas Hak Milik atau
HPL; Hak Sewa Untuk Bangunan; Hak Gadai;Hak Usaha Bagi Hasil; Hak Menumpang; Hak
Sewa Tanah Pertanian.
Hak milik mengandung hak untuk melakukan atau memakai bidang tanah yang
bersangkutan untuk kepentingan apapun. Hubungan yang ada bukan hanya bersifat kepemilikan
saja, melainkan bersifat psikologis-emosional. Hak milik hanya diperuntukan untuk
berkewarganegaraan tunggal Indonesia. Hanya tanah berhak milik yang dapat diwakafkan. Hak
ini adalah model hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh.Hak guna usaha adalah hak untuk
mengusahakan langsung tanah yang dikuasai oleh Negara untuk usaha pertanian, perikanan, atau
peternakan.
Hak guna usaha dapat diperoleh oleh perorangan Indonesia atau perusahaan Indonesia.
Jangka waktu hak guna usaha adalah 25 tahun bagi perorangan dan 35 tahun bagi perusahaan.
Waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun.
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun. Hak guna bangunan dapat diperoleh oleh perorangan
Indonesia atau badan hukum Indonesia. Hak guna bangunan dapat diletaki di atas tanah negara
atau tanah hak milik.2
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau milik orang lain. Namun, hak tersebut muncul bukan karena
perjanjian sewa atau perjanjian pengolahan tanah. Baik warganegara Indonesia maupun
warganegara asing dapat memiliki hak pakai. Begitu pula badan hukum Indonesia dan badan
hukum asing.
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak untuk memanfaatkan
sumber daya dalam hutan yang bersangkutan tanpa hutan tersebut dimiliki oleh si penerima hak.

2
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Surabaya: Kencana, hal.9.

3
Berdasarkan dari aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah, hak atas tanah dibagi
menjadi 2 jenis yaitu :
Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian
wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi
hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda diantara hak-hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam hukum tanah Hak atas tanah yang diperlukan untuk mendirikan
bangunan seperti membangun rumah sakit, gedung, sekolah, rumah, hotel dan lain sebagainya;
Hak atas tanah yang diperlukan bukan untuk mendirikan bangunan yaitu seperti perkebunan,
perikanan, peternakan, pertanian.
Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah
yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang
memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA, yang menyatakan bahwa:
“Atas dasar hak mengusai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang Disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang,baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang
lain serta badan Hukum.” 3
Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa:
“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberikan Wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula Tubuh bumi dan air serta ruang yang
ada diatasnya sekedar diperlukan untuk Kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penatagunaan tanah itu Dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan
Hukum yang lebih tinggi.”
Jenis Hak atas tanah dibagi menjadi 3 berdasarkan masa penguasaan tanahnya yaitu :
Hak atas tanah yang tidak memiliki jangka waktu tertentu atau akan berlaku untuk
selamanya; ,Hak atas tanah yang memiliki jangka waktu tertentu yaitu jenis Hak atas tanah yang
telah ditentukan oleh UUPA selain Hak Milik; Hak atas tanah yang berlaku hingga pelaksanaan
tugas selesai yaitu hak pakai yang digunakan oleh Badan hukum kecuali Perseroan terbatas,
Yayasan, serta Badan Hukum Asing yang memiliki perwakilannya di Indonesia.

3
Munir Fuady, 2014, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal.37.

4
Subjek yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah adalah perseorangan yang merupakan
WNI dan orang asing yang berkedudukan di Indonesia, kemudian Badan Hukum yang
merupakan Lembaga Negara, Kementrian, Lembaga Pemerintahan yang tidak termasuk dalam
kementrian,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah, Badan
Otorita, Perseroan Terbatas, Yayasan, Badan Sosial dan Keagamaan, perwakilan dari Badan
Hukum asing yang berkedudukan di Indonesia. Perolehan hak atas tanah bisa terjadi melalui 2
cara yaitu:
Originair, yaitu hak atas tanah yang pertama kali langsung berasal dari tanah Negara
melalui permohonan pemberian hak atas tanah Negara;Derivatif, yaitu hak atas tanah yang
terjadi berdasarkan tanah dari pihak lain yang dilakukan melalui peralihan hak atas tanah
misalnya, jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang. Hak atas tanah memiliki ketentuan mengenai
pemindahannya yaitu:
1) Pemindahan hak atas tanah yang tidak membutuhkan persetujuan dari pihak lain yaitu Hak
Milik, HGU, HGB atas tanah Negara;
2) Pemindahan hak atas tanah yang membutuhkan persetujuan dari pihak lain yaitu Hak 4
bangunan atas tanah, HPL, Hak bangunan atas tanah Hak milik, hak sewa untuk bangunan,
Hak pakai atas tanah Negara, hak pakai atas tanah pengelolaan, hak pakai atas tanah hak
milik.
3) Hak atas tanah yang tidak dapat dilakukan pindah tangan ke pihak lain yaitu yang dikuasai
Badan Hukum kecuali Perseroan terbatas, Yayasan, serta Badan Hukum Asing yang
mempunyai perwakilan di Negara Indonesia.
Hak Milik, “hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas
tanah Hak milik mengandung hak untuk melakukan atau memakai bidang tanah yang
bersangkutan untuk kepentingan apapun. Hubungan yang ada bukan hanya bersifat kepemilikan
saja, melainkan bersifat psikologis-emosional. Hak milik hanya diperuntukan untuk
berkewarganegaraan tunggal Indonesia. Hanya tanah berhak milik yang dapat diwakafkan. Hak
ini adalah model hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh.dengan mengingat ketentuan Pasal 6
UUPA”HGU (Hak Guna Usaha), “hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara, dalam jangka waaktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian,

4
Samun Ismaya, 2011, Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta, Graha Ilmu, hal. 61

5
perikanan atau peternakan.”Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan langsung tanah
yang dikuasai oleh Negara untuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan.Hak guna usaha
dapat diperoleh oleh perorangan Indonesia atau perusahaan Indonesia. Jangka waktu hak guna
usaha adalah 25 tahun bagi perorangan dan 35 tahun bagi perusahaan. Waktu tersebut dapat
diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun Untuk hak ini merupakan hak yang baru diciptakan
dalam Undang-Undang Pokok Agraria, jadi tidak seperti hak milik yang telah dikenal sudah
sejak jaman dahulu kala sebab hak guna usaha dan hak guna bangunan semula .
Masalah dalam kasus ini disoroti oleh kasus kebijakan hak tanah dan hak guns usaha oleh
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau.Yang dimaksud dengan hak guna
usaha tercantum dalam pasal 28 ayat (1)Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi : “ Hak
Guna Usaha adalah Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka
waktu Sebagaimana tersebut dalam pasal 29, dan dipergunakan oleh perusahaan Pertanian,
perikanan atau peternakan.5

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana definisi hak guna usaha kasus BPN Riau?
2. Bagaimana hak milik atas tanah?

3. Bagaimana sengketa Penguasaan Tanah di Kapuk Poglar RT 07 / RW 04 Jakarta Barat


Ditinjau Dari Sudut ?

4. Bagaimana faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Sengketa Antara Polda Metro Jaya dengan
Warga Kapuk ?

METODE PENELITIAN
Metode studi kasus hak guna usaha provinsi Riau dan hak milik atas tanah dari warga Kapuk
Poglar ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yang menggambarkan atau menjelaskan
sesuatu.berdasarkan Status kejadian, data, dan kondisi mengenai fakta yang ada.

Teknik pengumpulan data di Penelitian hak guna usaha provinsi Riau dan hak milik atas
tanah dari warga Kapuk poglar ini merupakan observasi, wawancara Dan dokumentasi. Menurut
5
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, Hal 118.

6
data penelitian Mengumpulkan dan menganalisis Secara deskriptif Penjelasan data dan fakta
Layak Untuk dianalisis lebih lanjut menggunakan Metode kualitatif dimulai dengan
pengumpulan data,Representasi data, reduksi dan penarikan data Kesimpulan. Jenis penelitian ini
adalah Penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Informan dalam penelitian ini adalah
orang orang yang berperan dalam Pemberian Hak Guna Usaha pada Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Riau.
Informan dari kasus kapuk poglar adalah warga Kapuk poglar.Teknik pengumpulan data
adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian ini Menunjukkan bahwa
implementasi kebijakan pemberian hak guna usaha pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasioanal Provinsi Riau belum berjalan dengan maksimal, artinya implemenTasi yang terjadi
dilapangan masih belum berjalan efektif. Masih terdapatnya perusahaan-perusahaan yang belum
memiliki hak guna usaha sementara mereka telah beroperasi.
Hasil penelitian Dari kasus warga Kapuk poglar adalah warga Kapuk Poglar dan menghasilkan
suatu kesepakatan dan Polda Metro Jaya sudah tidak melakukan tekanan-tekanan 6terhadap
warga kapuk Poglar.
Namun, pada akhir tahun 2017, pihak Polda Metro jaya kembali mendatangi lahan
tersebut dengan memberikan somasi kepada warga untuk mengosongkan lahan yang mereka
tempati dan akan melakukan eksekusi penggusuran pada tanggal 8 Februari 2018. Namun, warga
menolak eksekusi dikarenakan warga Telah menempati tanah tersebut selama berpuluh-puluh
tahun.

PEMBAHASAN
A. Hak Guna Usaha
Prosedur pemberian izin lepas kawasan, izin lokasi, izin usaha perkebunan dan
permohonan hak guna usaha. Dalam pemberian izin pelepasan kawasan diharapkan dapat
meningkatkan nilai tambah suatu kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan perkebunan.
Akibat permintaan pelepasan kawasan hutan yang meningkat tersebut, maka laju pembukaan
hutan untuk perkebunan besar dalam beberapa tahun terakhir ini sangat tinggi dan tekanan pada
kelestarian hutan akan semakin meningkat. Hal ini berdampak pada kerusakan lingkungan
karena luas tutupan hutan yang berkurang, pohon yang berkurang serta keanekaragaman hayati
6
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Fakultas
Hukum UMS, hal 1

7
serta ekosistem di hutan pun ikut hilang.Dampak implementasi kebijakan izin pelepasan kawasan
hutan yang meningkat, sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan, disebabkan kurangnya
komunikasi antara pengambil kebijakan dengan sasaran kebijakan yaitu baik masyarakat maupun
pengusaha. Kenyatan dilapangan ada sebagian perusahaan perkebunan tetap melakukan
penanaman, sedangkan surat keputusan izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan belum
terbit. Begitu pula dalam prosedur perizinan lokasi.
Berdasarkan Pertauran menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan nasional Nomor 2
Tahun 1999, tentang izin lokasi harus terlebih dahulu mendapat pelepasan kawasan hutan dari
Menteri Kehutanan. Tetapi banyak perusahaan tanpa izin pelepasan kawasan hutan, langsung
sudah beroperasi. Tindakan perusahaan seperti ini sudah jelas melanggar peraturan yang
berlaku.dalam kasus ini pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan harus
transparan dalam mempublikasikan ketentuan-ketentuan dalam proses pemberian hak guna usaha
kepada masyarakat, khususnya masyarakat adat yang ada dikawasan perkebunan, sehingga
masyarakat paham dan ikut serta7 mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah. Selain itu perlu
juga di informasikan kepada masyarakat fungsi lembaga AMDAL yang menentukan kelayakan
lingkungan apakah suatu perusahaan itu layak beroperasi atau tidak.AMDAL sebagai alat dalam
perencanaan harus mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan tentang proyek yang
sedang direncanakan, artinya AMDAL tidak banyak artinya apabila dilakukan setelah diambil
keputusan untuk melaksanakan proyek tersebut.menurut hukum dengan logika penalarannya
yang positif, perusahaan-perusahaan yang demikian terbilang tidak memiliki keabsahan hukum
untuk melakukan tindakan-tindakan hukum seperti mengoperasionalkan perkebunan sawit
sebelum dipenuhinya syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh aturan perundang-
undangan. Setiap SK HGU ada klausul yang menyatakan bahwa apabila kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepada pemegang HGU tidak dipenuhi, maka SKHGU batal dengan
sendirinya. Jika SK HGU tersebut secara hukum batal, maka seluruh kegiatan usaha harus
dihentikan demi hukum, karena sudah tidak adalagi alas hak yang menjadi dasar hukum
pengoperasian perusahaan.Namun pada kenyataannya dilapangan, perusahaan-perusahaan yang
tidak memenuhi kewajibannya tetap menjalankan operasional perkebunan. Keabsahan
perusahaan tergantung seberapa penuh dia mematuhi kewajiban yang dipersyaratkan dan
ditentukan oleh peraturan perundangan yang berlaku.

7
Ibid, Hal.89.

8
Secara normatif, satu saja syarat dan ketentuan tidak dipenuhi, maka tidak absah menurut
hukum seluruh tindakan perusahaan tersebut. Walaupun kebutuhan lahan untuk pengembangan
perkebunan dibenarkan, tetapi proses konversi hutan yang dilakukan tidak didasarkan akan
kaidah ekologi, ekonomi dan sosial. Untuk itu perlu dipikirkan, apakah saat ini masih perlu
konversi hutan, ataukah lebih baik merencanakan penggunaan sumber daya hutan yang lebih
mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Jika memang diperlukan konversi hutan, maka
berapa luas, bagaimana proses konversinya, untuk apa dan bagaimana pola tata guna lahan. Jika
konversi hutan tidak mensejahterakan rakyat, maka tidak perlu lebih banyak lagi hutan yang
dikorbankan.

B. Hak Milik Atas Tanah


Adapun contoh dari sengketa penguasaan tanah yang terjadi di Indonesia ialah sengketa 8

penguasaan tanah antara warga Kapuk Poglar RT 07 / RW 04, Jakarta Barat dengan Polda Metro
Jaya. Sengketa ini bermula pada tahun 1995 dimana pihak Polda Metro Jaya mengakui tanah
seluas 15.900 meter yang kini ditempati oleh warga tersebut milik pihak Polda Metro Jaya dan
meminta warga agar keluar dari tempat tersebut tanpa syarat. Akan tetapi, diketahui bahwa tanah
tersebut merupakan milik seorang ahli waris yang berdasarkan Girik7 C 460 atas nama Ema
Sarijah dan juga diketahui bahwa ada beberapa warga yang mempunyai bukti atas kepemilikan
tanah tersebut. Tentunya, warga tidak dapat menerima hal tersebut dan melaporkan kepada
Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang dibentuk oleh
Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1988.8 polda Metro Jaya turun
ke tanah tersebut dan melakukan diskusi bersama ahli waris dan warga Kapuk Poglar dan
menghasilkan suatu kesepakatan dan Polda Metro Jaya sudah tidak melakukan tekanan-tekanan
terhadap warga kapuk Poglar. Namun, pada akhir tahun 2017, pihak Polda Metro jaya kembali
mendatangi lahan tersebut dengan memberikan somasi kepada warga untuk mengosongkan lahan
yang mereka tempati dan akan melakukan eksekusi penggusuran pada tanggal 8 Februari 2018.
Namun, warga menolak eksekusi dikarenakan warga telah menempati tanah tersebut selama
berpuluh-puluh tahun.Berdasarkan fakta yang tertera,

8
Soetandyo Soetandyo Wignjosoebroto, (2002), Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika
Maslahanya, Jakarta: Elsam dan Huma, hlm. 179

9
C. Sengketa Penguasaan Tanah di Kapuk Poglar RT 07 / RW 04 Jakarta Barat Ditinjau
Dari Sudut Pandang Hak Asasi Manusia
Manusia Warga Setempat hak Asasi Manusia ialah hak yang bersifat kodrati dan
fundamental sebagai anugerah dari Allah yang harus dihormati dan dilindungi yang melekat pada
diri setiap manusia. Adapun upaya untuk menghormati dan melindungi HAM merupakan
kewajiban serta tanggung jawab bersama antara masyarakat, pemerintah dan negara. Di
Indonesia, persoalan mengenai hak asasi manusia masih sering dijumpai di berbagai
sektor.berdasarkan data pada bulan November tahun 2018, tercatat sebanyak 493 berkas
pengaduan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak
hanya terjadi dalam persoalan hak pribadi saja, tetapi seringkali dijumpai dalam sektor agraria
(pertanahan). Diketahui bahwa banyaknya sengketa mengenai konflik agraria yang disebabkan
karena adanya perbedaan dasar hukum yang digunakan untuk mengakui hak kepemilikan atas 9

suatu tanah.
Adapun konflik agraria yang terjadi dikarenakan adanya kriminalisasi terhadap golongan-
golongan atau kelompok masyarakat tertentu yang ingin memperoleh kembali hak kepemilikan
atas tanah mereka. Dalam menyelesaikan suatu sengketa,tentunya akan dilakukan mekanisme
dan prosedur hukum berupa penyelesaian administratif melalui lembaga-lembaga kementerian
yang berwenang untuk menerbitkan hak atas tanah, peradilan perdata, dan peradilan tata usaha
negara. Namun seringkali mekanisme dan prosedur hukum yang dilakukan tidak berjalan dengan
baik. Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi :
“Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Maksud dari pasal 27 ayat (2) UUD 1945 ialah bahwa setiap warga negara Indonesia
mempunyai hak untuk merasakan kesejahteraan dalam kehidupannya yang dijamin oleh negara.
Namun, dalam prakteknya masih sering dijumpai beberapa warga negara yang belum
memperoleh kesejahteraan sesuai dengan pasal tersebut. Hal tersebut dikarenakan para pejabat
negara lebih mengutamakan hak daripada kewajiban, dimana seyogyanya harus adanya
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Apabila dikaitkan dengan kasus sengketa penguasaan
tanah yang terjadi di Kapuk Poglar RT 07 / RW 04 Jakarta Barat, dapat dikatakan bahwa dengan
akan dilakukannya upaya eksekusi terhadap tanah di wilayah tersebut oleh pihak Polda Metro
jaya telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) warga setempat dikarenakan upaya eksekusi
9
E Utrecht, (1961), Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT Penerbitan dan Balai Buku
Ichtiar, hlm 162.

10
tersebut dilakukan tanpa adanya penggantian kerugian atas tempat tinggal warga yang hendak
digusur maupun upaya untuk memindahkan warga ke tempat tinggal yang disediakan oleh
negara, seperti yang sebagaimana dimaksud dalam Komentar Umum Nomor 4 tahun 1991 yang
menjelaskan bahwa setiap orang memiliki kepastian kedudukan guna menjamin perlindungan
hukum dari tindakan pengusiran paksa, kekerasan maupun ancaman lainnya.Sedangkan dalam
perkara ini, dapat dikatakan bahwa adanya tindakan pengusiran paksa yang dilakukan oleh pihak
aparat serta adanya tindakan dari aparat yang membuat warga Kapuk Poglar merasa
terintimidasi, maka dapat dikatakan bahwa adanya pelanggaran terhadap HAM warga Kapuk
Poglar.
Adapun kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum serta menjamin
keamanan warga negara yang dalam kasus sengketa penguasaan tanah ini justru menimbulkan
keresahan bagi warga setempat. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum ialah upaya
untuk 10memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia yang dirugikan oleh orang lain
dimana perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat untuk dapat menikmati hak-hak yang
tertuang dalam hukum.F.D Roosevelt mengemukakan dalam pidatonya pada tahun 1941 bahwa
adanya empat kebebasan atau yang dikenal dengan istilah “four freedom” yaitu, kebebasan
berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan
kebebasan dari rasa takut.empat kebebasan tersebut menjadi salah satu dokumen dalam upaya
pembentukan PBB serta memberikan perlindungan dan pemajuan dalam Hak Asasi Manusia.
Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk menjamin warga negara agar terbebas dari rasa
takut, namun bila ditinjau dari kasus yang terjadi di Kapuk Poglar diketahui berdasarkan
keterangan dari warga Kapuk Poglar RT 07 / RW 04 bahwa pihak Polda Metro Jaya
mendatangkan beberapa personil kepolisian dengan berseragam lengkap beserta dengan senjata
yang membuat warga sekitar daerah tersebut merasa takut dan terintimidasi.sesuai dengan
ketentuan Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
jika dikaitkan dengan sila kelima pancasila bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat
yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, dalam penerapannya masih belum tercapainya kemakmuran
rakyat dimana jika dilihat dari kasus yang terjadi di wilayah Kapuk Poglar RT 07 / RW 04

10
Fabian januaris Kuwado, (2015), Tanda tanya di Balik Putusan Hakim Sarpin
http://nasional.kompas.com [Diakses pada 17 Februari 2015].

11
tersebut, warga setempat tidak dapat memperoleh air bersih sebagaimana dimaksud bahwa warga
mempunyai hak atas air.
Dalam hal ini, tentunya telah terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dalam
bentuk hak atas air. Berdasarkan pandangan Komite Hak Ekosob tentang hak atas air yang
disampaikan melalui sidang ke-29 pada tanggal 28 November 200221, sebagaimana diterangkan
dalam Komentar Umum (General Comment) nomor 15 yang pada intinya menjelaskan bahwa
setiap orang berhak atas air yang memadai, aman, dapat diterima dan diakses secara fisik, serta
mudah didapatkan untuk penggunaan personal dan 11.
Sesuai dengan Pasal 11 Paragraf 1 Kovenan menjelaskan bahwa hak atas air termasuk
dalam kategori jaminan mutlak untuk memenuhi standar hidup yang layak dikarenakan hak atas
air merupakan salah satu kondisi paling fundamental untuk bertahan hidup. Maka dari itu, dalam
perkara ini dapat dikatakan telah dilanggarnya HAM warga Kapuk Poglar untuk memperoleh air
yang memadai, aman, serta dapat diakses secara fisik dikarenakan air merupakan hal yang paling
penting untuk bertahan hidup.

D. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Sengketa Antara Polda Metro Jaya dengan Warga
Kapuk atas Kasus Poglar
Poglar RT 07 / RW 04 Jakarta Barat Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Penanganan Sengketa Pertanahan menjelaskan bahwa, sengketa pertanahan ialah perbedaan
pendapat antara pihak-pihak yang saling memiliki kepentingan maupun antara pihak-pihak yang
berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional mengenai keabsahan
suatu hak, pemberian hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihnnya dan
penerbitan tanda bukti haknya.
Adapun pengertian sengketa pertanahan menurut para ahli, salah satunya menurut Irawan
Soerodjo yang menjelaskan bahwa sengketa tanah ialah permasalahan antara dua pihak atau
lebih dimana pihak-pihak tersebut saling mempunyai kepentingan yang sama atas suatu objek
hak tanah yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi para pihak.Berdasarkan keterangan Bagir
Manan selaku ketua Mahkamah Agung, sebanyak lebih dari lima puluh persen perkara di
pengadilan berkaitan mengenai tanah. Bagir Manan menilai masalah administrasi sebagai salah

11
Soebekti dan Tjitrosoedibjo, (1969), Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 10

12
satu penyebab terjadinya perkara tanah, menurutnya setelah hampir setengah abad munculnya
UUPA, masih adanya permasalahan mengenai girik dan sertifikat tanah.Penyebab terjadinya
konflik pertanahan yang marak saat ini dikarenakan adanya kepemilikan/penguasaan tanah yang
tidak merata dan tidak seimbang, ketidakselarasan penggunaan tanah pertanian dan non
pertanian, kurangnya keberpihakan kepada kelompok masyarakat dengan perekonomian yang
rendah, kurang diakuinya hak-hak masyarakat atas hak ulayat, lemahnya posisi masyarakat
dalam pemegang hak atas tanah dalam pembebasan kepemilikan tanah, serta permasalahan
pertanahan dalam penerbitan sertifikat dimana salah satunya ialah overlapping sertifikat tanah
(tumpang tindih). Dengan terjadinya tumpang tindih sertifikat menimbulkan ketidakpastian
hukum para pemegang hak atas tanah dalam pendaftaran tanah di Indonesia. Salah satu contoh
permasalahan12 mengenai tanah terjadi di wilayah Kapuk Poglar RT 07 / RW 04 Jakarta Barat.
Berdasarkan keterangan dari ketua RT 07 / RW 04, diketahui bahwa pada tahun 1995 pihak
Polda Metro Jaya mengakui adanya hak pakai atas tanah seluas 15.900 meter yang terletak di
Kapuk Poglar RT 07/ RW 04 Jakarta Barat, dengan dasar berupa sertifikat hak pakai nomor 595
yang terbit pada tahun 1994.
Sedangkan menurut keterangan dari ketua RT 07 / RW 04 tanah tersebut merupakan
milik Ema Sarijah selaku Ahli Waris dengan alas hak berupa Girik C 460. Hak pakai merupakan
salah satu dari empat hak atas tanah primer yang dapat diartikan sebagai hak atas tanah dimana
diberinya kewenangan untuk memakai tanah tertentu guna memenuhi kebutuhan hidup tertentu.
Adapun dua tujuan pemakaian atas tanah yaitu, pemakaian tanah untuk menjalankan
suatu usaha dan pemakaian tanah untuk melakukan pembangunan.
Pemakaian tanah untuk menjalankan suatu usaha seperti usaha pertanian, perkebunan, tambak,
maupun peternakan. Sedangkan pemakaian tanah untuk pembangunan seperti pembangunan
lapangan, pelabuhan, bandar udara, dan lain sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa hak pakai
ialah hak untuk menggunakan atau memakai tanah. sebelum diberlakukannya UUPA, girik
diakui sebagai bukti hak atas tanah jika ditinjau Secara yuridis formal.
Namun setelah diberlakukannya UUPA, girik bukan lagi sebagai bukti hak atas tanah
melainkan berupa surat keterangan objek atas tanah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang kemudian dipertegas dengan
Putusan Mahkamah Agung RI No. 34/K/Sip/1960 menyatakan bahwa surat girik bukan

12
Abarar Saleng, (2007), Hukum Pertambangan, Yogyakarta: UII Press, hlm.80.

13
merupakan bukti hak atas tanah. Terkait dengan kasus sengketa penguasaan tanah ini, warga
yang bersangkutan menyampaikan permasalahan ini kepada Komisi III Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dimana warga masyarakat Kapuk Poglar menyampaikan
beberapa hal yaitu sebagai berikut:
a. Tertanggal 17 September 2016, pihak Polda Metro Jaya memberikan surat undangan kepada
warga setempat untuk menghadiri sosialisasi mengenai aset kepemilikan negara yang
berlokasi di Kapuk Poglar RT 07 / RW 04 Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta
Barat.13
b. Warga setempat mendapatkan surat somasi I yang diberikan oleh pihak Polda Metro Jaya pada
tanggal 11 Oktober 2016, kemudian diberikan kembali surat somasi ke II dimana warga
diminta untuk mengosongkan tanah tersebut dalam kurun waktu 7 hari pada tanggal 28
Oktober 2016 dan pihak Polda Metro Jaya kembali melayangkan surat somasi ke III yang
berisikanbahwa warga diminta untuk mengosongkan tanah tersebut dalam kurun waktu 15
hari setelah diterimanya surat somasi, tertanggal 23 Desember 2017. Sepatutnya sebelum
memberikan surat somasi, Polda Metro Jaya melakukan mediasi terlebih dahulu dengan
warga Kapuk Poglar agar dapat menemukan jalan tengah terhadap kasus ini.
c. Tertanggal 6 Januari 2018, pihak Polda Metro Jaya memasangkan spanduk untuk
menghimbau, bagi warga yang bertempat tinggal di atas tanah tersebut agar segera
meninggalkan dan mengosongkan sebelum dilaksanakannya eksekusi pada tanggal 8 Februari
2018.
d. Pada tanggal 9 Januari 2018, warga dipaksa untuk menerima surat panggilan menghadiri
Polda Metro Jaya untuk dimintakan kesaksian namun warga setempat melakukan penolakan.
e. Adapun warga setempat meminta untuk dilakukannya peninjauan kembali mengenai
kebenaran dan keabsahan sertifikat yang dimiliki oleh pihak Polda Metro Jaya, dikarenakan
sertifikat tersebut tumpang tindih serta warga tidak yakin akan keabsahan sertifikat.
f. Harapan warga agar pihak Polda Metro Jaya menghentikan segala bentuk intimidasi, ancaman,
kekerasan, serta kriminalisasi terhadap warga setempat, sekaligus agar warga dapat menikmati
kembali fasilitas air bersih. Langkah lain yang diambil oleh warga setempat yaitu dengan
meminta bantuan atas permasalahan tanah ini kepada ahli waris selaku pemilik tanah dan alas

13
SH GOO, (2002), Source Book on Land law,London: Cavendish Publishing Limited, hlm. 29.

14
bukti, serta mendatangi LBH (Lembaga Badan Hukum) untuk meminta perlindungan, dan
juga warga mendatangi Komnas HAM agar perkara ini terekspos.
Dalam rencananya, pihak Polda Metro Jaya akan melakukan penggusuran atas dasar
sertifikat hak pakai yang diterbitkan pada wilayah permukiman tersebut. Namun, menurut
Charlie Meidino Albajili selaku pengacara publik dari LBH Jakarta, pihak Polda Metro Jaya
tidak dapat melakukan eksekusi secara sepihak karena hanya pengadilan dan gubernur yang
dapat melakukan eksekusi atas dasar yurisprudensi dan peraturan. Dengan demikian berdasarkan
keterangan dari ketua RT 07 / RW 04, faktor utama penyebab terjadinya sengketa tanah antara
warga Kapuk Poglar RT 07 / RW 04 Jakarta Barat dengan Polda Metro Jaya ialah dikarenakan
adanya tumpang tindih sertifikat (overlapping) dimana kedua belah pihak masing-masing
memiliki alas hak yaitu, warga beralaskan hak berupa surat girik C 460 atas nama Ema Sarijah
selaku ahli14
Berdasarkan dengan yang telah dipaparkan oleh penulis diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa apabila sengketa penguasaan tanah di wilayah Kapuk Poglar RT 07 / RW 04 dikaitkan
dengan Hak Asasi Manusia (HAM) warga setempat, dapat dikatakan bahwa pihak Polda Metro
Jaya melanggar hak yang dimiliki warga Kapuk Poglar yaitu hak atas bebas dari rasa takut,
kekerasan, maupun ancaman, serta hak atas air. Dimana seharusnya masyarakat mempunyai hak
untuk memperoleh kesejahteraan yang dijamin oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (2) UUD tahun 1945. Namun berbeda dengan yang dirasakan oleh warga Kapuk Poglar
yaitu warga tidak dapat memperoleh kesejahteraan serta merasa terancam atau terintimidasi
dengan akan dilakukannya upaya eksekusi berupa penggusuran di wilayah Kapuk Poglar
tersebut.
Adapun hak lain yang dilanggar yaitu hak atas air karena warga setempat sempat tidak
dapat akses untuk memperoleh air secara fisik, dimana air merupakan hal paling penting untuk
bertahan hidup.Berdasar atas keterangan dari ketua RT 07 / RW 04, Faktor utama penyebab
terjadinya sengketa penguasaan tanah di wilayah Kapuk Poglar RT 07 / RW 04, Jakarta Barat
ialah dikarenakan adanya tumpang tindih sertifikat kepemilikan (overlapping) atas lahan
tersebut, dimana kedua belah pihak sama-sama mempunyai alas hak atas tanah tersebut yaitu
warga beralaskan hak berupa surat girik C 460 atas nama Ema Sarijah selaku ahli waris tanah

14
Bruggink, Op.cit, hlm. 63.

15
tersebut sedangkan pihak Polda Metro Jaya beralaskan hak berupa sertifikat hak pakai (SHP)
nomor 595 yang terbit pada tahun 1994.

KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil penelitian, diperleh hasil bahwa implementasi Kebijakan permohonan Hak
Guna Usaha Pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasioanal provinsi Riau belum berjalan
dengan maksimal, artinya implementasi yang terjadi dilapangan masih belum berjalan efektif
atau belum baik dalam proses implementasi. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian yang
dilakukan dan hasil pengolahan data yang diperoleh masih dijumpai beberapa permasalahan.
Masih terdapatnya perusahaan-perusahaan yang belum memiliki Hak Guna usaha sementara
mereka telah beroperasi, sehingga tanpa Hak Guna Usaha mereka tidak membayar PBB yang
merupakan sumber PAD. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi Kebijakan permohonan Hak Guna Usaha yakni
faktor komunikasi, sumberdaya, yaitu masih kurangnya sumber daya pelaksana kebijakan dari
segi15 kualitas dan kuantitas, disposisi yaitu sikap pelaksana dalam hal menerima atau
menolak kebijakan, serta struktur birokrasi yaitu belum tersedia nya sistem dan prosedur yang
baku dan jelas dalam hal mengimplementasikan kebijakan permohonan Hak guna Usaha.
2. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa apabila sengketa penguasaan
tanah di wilayah Kapuk Poglar RT 07 / RW 04 dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
warga setempat, dapat dikatakan bahwa pihak Polda Metro Jaya melanggar hak yang dimiliki
warga Kapuk Poglar yaitu hak atas bebas dari rasa takut, kekerasan, maupun ancaman, serta
hak atas air. Dimana seharusnya masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh
kesejahteraan yang dijamin oleh Negara.

15
Martin Dixon, (2002), Principle of Land Law, London: Cavendish Publishing limited, hlm.4.

16
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku & Jurnal
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Dr. Suyono Sanjaya, S.H., Sp.N., M.H., Dr. Mulyono, S.H., S.I.P., M.H., Dr. Yuniar Rahmatiar.,
S.H., M.H., 2002, Hak-Hak Atas Tanah, Depok: PT Raja Grafindo Persada.

E Utrecht, (1961), Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT Penerbitan dan Balai Buku
Ichtiar.
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Fakultas
Hukum UMS.
Martin Dixon, (2002), Principle of Land Law, London: Cavendish Publishing limited,

Munir Fuady, 2014, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Samun Ismaya, 2011, Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta, Graha Ilmu.

Sarjita, 2005, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Konflik, Cetakan kedua, Tugujogja
Pustaka, Yogyakarta.
SH GOO, (2002), Source Book on Land law,London: Cavendish Publishing Limited.

Soebekti dan Tjitrosoedibjo, (1969), Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita.

Soetandyo Soetandyo Wignjosoebroto, (2002), Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika


Maslahanya, Jakarta: Elsam dan Huma,.
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Surabaya: Kencana.

B. Internet

Fabian januaris Kuwado, (2015), Tanda tanya di Balik Putusan Hakim Sarpin
http://nasional.kompas.com
https://fahum.umsu.ac.id/hak-hak-atas-tanah-menurut-hukum-agraria/
http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/2012/09/asas-asas-hukum-agraria-dalam-uupa/

17
C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA).

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan

18

Anda mungkin juga menyukai