Anda di halaman 1dari 7

HAK ATAS TANAH DAN PERALIHAN

HAK ATAS TANAH DALAM HUKUM


TANAH NASIONAL
HAK ATAS TANAH DI INDONESIA

Penguasaan yuridis atas tanah dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki.
Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah
yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain[1].

Dalam hukum tanah nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah yang dapat
disusun dalam jenjang tata susunan atau hirarki sebagai berikut :[2]

1. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1);


2. Hak Menguasai negara (Pasal 2);
3. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih
ada (Pasal 3);
4. Hak-Hak Individual:
o Hak-hak atas tanah (Pasal 4):
1. Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang
diberikan oleh negara, dan Hak Pakai, yang diberikan oleh negara (Pasal
16);
2. Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Paki yang diberikan oleh pemilik
tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa
dan lain-lainnya (Pasal 37,41, dan 53).
o Wakaf (Pasal 49);
o Hak Jaminan Atas Tanah : Hak Tang gungan (Pasal 23, 33, 39, 51, dan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).

Hak Bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah merupakan hak yang tertinggi[3], seperti yang
tertuang dalam Pasal 1 ayat (1),(2),(3) UUPA yang berbunyi :

 “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang
bersatu sebagi Bangsa Indonesia.
 Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan di dalamnya adalah wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang
angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
 Hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termaksud
dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi”.

Berdasarkan hal tersebut, maka tanah yang ada di bumi Indonesia merupakan hak milik Bangsa
Indonesia, bukanlah milik Negara Indonesia.
Hak menguasai negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia. Hak menguasai
negara diatur dala Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3), yang berbunyi :

 “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
 Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang
untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
 Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) Pasal
ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur”.

Hak ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi :

“dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi,”

Hak ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan
hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang
disebut tanah ulayat dan merupakan lebensraum bagi warganya sepanjang masa[4]. Hak ulayat
dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan merupakan hak penguasaan atas
tanah yang tertinggi.Hak-hak perorangan atas sebagian tanah bersama tersebut secara langsung
ataupun tidak langsung bersumber padanya[5].

Pasal 4 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa atas dasar hak menguasai negara ditentukanlah
adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perseorangan atau badan-
badan hukum[6]. Macam-macam hak termaksud ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA,
yaitu:[7]

Hak Milik

                Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik merupakan hak yang paling
kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali
suatu hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (berupa Hak Guna
Bangunan, atau Hak Pakai, dengan pengecualian Hak Guna Usaha), yang hamper sama dengan
kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya[8]

Seseorang dapat menggunakan tanah dengan hak milik yang terpenuh dan terkuat, tetapi dibatasi
oleh Pasal 6 UUPA. Hal ini sesuai dengan ketentuan hak menguasai dari Negara bahwa biarpun
atas sesuatu hak atas tanah telah diletakkan sesuatu hak, namun pemerintah sebagai organisasi
kekuasaan tetap berhak untuk mengatur dan melaksanakannya (membuat aturan-aturan dan
melaksanakannya (eksekusi)[9]

Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Peralihan hak tersebut wajib
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagai bukti yang kuat mengenai
pemilikan dan hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Hak Guna Usaha

              MenurutPasal 28 ayat (1) UUPA, Hak guna usaha yaitu hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian,
perikanan, atau peternakan.Pasal 30 UUPA menyebutkan bahwa pihak-pihak yang dapat menjadi
pemegang hak guna usaha adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Hak guna usaha dapat diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.Atas permintaan pemegang
hak dan mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 25 tahun.Untuk perusahaan tertentu yang memerlukan waktu yang lebih lama
dapat diberikan hak guna usaha untuk paling lama 35 tahun.

Hak Guna Bangunan

              Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan milinya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat
(1) UUPA).Dalam hal ini, pemilik bangunan dan pemilik tanah adalah orang yang berbeda. Ini
berarti seorang pemegang hak guna bangunan bukanlah pemegang hak milik dari tanah dimana
bangunan tersebut didirikan[10]

Hak guna bangunan dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan paling lama 30 tahun.Atas
permintaan pemegang haknya dan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya,
jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal-hal tertentu setiap
pemindahan hak guna bangunan memerlukan izin dari yang berwenang.Setiap peralihan /
pemindahan hak guna bangunan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
yang bersangkutan.Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya
peralihan hak tersebut.

Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-
undang (Pasal 41 ayat (1) UUPA).

Dari rumusan yangdiberikan dalam Pasal 41 UUPA tersebut dapat diketahui bahwa sebagaimana
halnya Hak Guna Bangunan, pemberian Hak Pakai dapat bersumber pada[11]

 Tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam bentuk keputusan pemberian hak oleh
pejabat yang berwenang;
 Tanah yang telah dimiliki dengan Hak Milik oleh orang-perorangan tertentu, berdasarkan
perjanjian dengan pemilik tanah tersebut.

Hak pakai yang diberikan di atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara dapat dipindahkan
kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Hak pakai atas tanah milik hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Di
samping itu, hak pakai juga harus didaftarkan untuk pengeluaran sertipikatnya.

Hak Sewa

Hak sewa adalah hak mempergunakan tanah milik orang lain untuk sesuatu keperluan dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44 ayat (1) UUPA).

Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan

              Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara
Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 46 ayat (1) UUPA)

Hak Guna Air, Pemeliharaan Ikan, dan Penangkapan Ikan

Hak guna air adalah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di
atas tanah orang lain (Pasal 47 ayat (1) UUPA).

 Hak Guna Ruang Angkasa

Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi,
air, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan
dengan itu (Pasal 48 ayat (1) UUPA).

Selain hak-hak tersebut di atas, UUPA mengenal pula hak-hak yang bersifat sementara yang
disebut dalam Pasal 53, yaitu :[12]

1. hak gadai;
2. hak usaha bagi hasil;
3. hak menumpang;
4. hak sewa tanah pertanian (Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 53 UUPA).

PERALIHAN HAK ATAS TANAH

Peralihan atau pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak
dari suatu pihak ke pihak lain. Maka dengan dialihkannya suatu hak menunjukkan adanya suatu
perbuatan hukum yang disengaja dilakukan oleh satu pihak dengan maksud memindahkan hak
miliknya kepada orang lain, dengandemikianpemindahannya hak milik tersebut diketahui atau
diinginkan oleh pihak yang melakukan perjanjian peralihan hak atas tanah[13].

Secara umum terjadinya peralihan hak atas tanah itu dapat disebabkan oleh berbagai perbuatan
hukum antara lain:[14]

1. Jual beli
2. Tukar menukar
3. Hibah
4. Waris
5. Pemasukan dalam perusahaan
6. Lelang
7. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik
8. Pemberian hak tanggungan
9. Pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan

Sebelum melakukan peralihan hak atas tanah, antara kedua pihak terlebih dahulu melakukan
perjanjian atau kesepakatan mengenai bidang tanah yangakan dialihkan haknya tersebut.Jual-beli
yang dilakukan menurut Hukum Adat bukanlah suatu “perjanjian” sebagaimana yang dimaksud
dalam rumusan KUHPerdata, melainkan suatu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk
menyerahkan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli, dan bersamaan dengan itu
penjual menyerahkan harganya kepada pembeli.Antara pembayaran harga dan penyerahan
haknya dilakukan secara bersamaan, dan sejak saat itu pula hak atas tanah yang bersangkutan
telah berpindah[15].

Setiap peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah
harus dibuat di hadapan PPAT.Jual-beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum
adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Terang dimaksudkan bahwa
perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan
dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut.Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa
dengan selesainya perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum
yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya.Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat
dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hak
milik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas
bidang tanah tersebut[16].
Berbeda halnya dengan sistem Hukum Adat, UUPA mengatur bahwa hak milik atas tanah tidak
dapat langsung berpindah kepada pembeli selama penyerahan yuridisnya belum dilakukan,
karena antara perjanjian jual beli dengan penyerahan yuridis (balik nama) dipisahkan secara
tegas, misalnya suatu penyetoran sejumlah uang di bank untuk penjual belum berarti tanah yang
dijual itu otomatis menjadi milik pembeli, tetapi pembeli masih harus melakukan suatu
perbuatan hukum lagi yaitu melakukan pemeliharaan pendaftaran tanah untuk dikukuhkan
sebagai pemilik tanah yang baru[17].

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam jual beli tanah, yaitu mengenai subjek dan
objek jual beli tanah.Mengenai subjek jual beli tanah adalah para pihak yang bertindak sebagai
penjual dan pembeli, dalam hal ini, calon penjual harus berhak menjual yaitu pemegang sah dari
hak atas tanah tersebut, baik itu milik perorangan atau keluarga. Sedangkan mengenai objek jual
beli tanah adalah hak atas tanah yang akan dijual. Tujuan membeli hak atas tanah adalah agar
secara sah dapat menguasai dan mempergunakan tanah, tetapi secara hukum yang dibeli atau
dijual bukanlah tanahnya, melainkan hak atas tanah[18].

Agar peralihan hak atas tanah, khususnya hak milik atas tanah tersebut dapat terselenggara
secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat peralihan hak atas tanah harus
memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah tersebut, dan mengenai kecakapan dan
kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas
tanah tersebut[19].

[1]Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, 2003 Hlm.23

[2]Ibid, Hlm 267

[3]Ibid, Hlm.269

[4]Ibid, hlm.283

[5]Ibid. hlm.284

[6]J.B.Daliyo (et.al), Hukum Agraria I, Prenhallindo, Jakarta, 2001, Hlm.67-68

[7]Ibid, Hlm.68

[8] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjadja, Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2004,
hlm.30

[9] A.P. PArlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bndung,
1998, hlm.140

[10]Kartini Muljadi dan Gunawan Widjadja, Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2004
hlm.190
[11]Ibid, hlm.246

[12] J.B. Daliyo (et.al), Hukum Agraria I, Prenhallindo, Jakarta, 2001. hlm. 68

[13]M.Sofa, “Peralihan Hak Milik Atas Tanah”, http://massofa.wordpress.com/ ,diunduh pada


tanggal 7 Juni 2012 jam 09.34

[14]Ibid.

[15]Ibid.

[16]N. Aniek, “Beberapa Hal Tentang Peralihan Hak Atas Tanah”,


http://notarisaniek.wordpress.com, diunduh pada tanggal 7 Juni 2012 jam 09.34

[17]Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta,
2006. Hlm. 76

[18] M. Sofa, “Peralihan Hak Milik Atas Tanah”, http://massofa.wordpress.com/ ,diunduh pada
tanggal 7 Juni 2012

[19]N. Aniek, “Beberapa Hal Tentang Peralihan Hak Atas Tanah”,


http://notarisaniek.wordpress.com, diunduh pada tanggal 7 Juni 2012

Anda mungkin juga menyukai