50%(6)50% menganggap dokumen ini bermanfaat (6 suara)
8K tayangan16 halaman
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 menetapkan hukum tanah nasional Indonesia yang tunggal, menghapus pluralisme hukum sebelumnya, dan mengatur hak-hak penguasaan atas tanah seperti hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan.
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 menetapkan hukum tanah nasional Indonesia yang tunggal, menghapus pluralisme hukum sebelumnya, dan mengatur hak-hak penguasaan atas tanah seperti hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan.
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 menetapkan hukum tanah nasional Indonesia yang tunggal, menghapus pluralisme hukum sebelumnya, dan mengatur hak-hak penguasaan atas tanah seperti hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan.
Pada tanggal 24 September 1960 disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia Soekarno dan diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia nomor 104 tahun 1960 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan singkatan resminya Undan-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan mulai berlakunya UUPA terjadi perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanahan. Perubahan tersebut bersifat fundamental dengan dinyatakan dalam bagian UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman. Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah ada yang bersumber pada Hukum Adat yang berkonsepsi komunalistik religius, ada yang bersumber pada Hukum Perdata Barat yang individualistik-liberal dan ada pula yang berasal dari berbagai bekas Pemerintahan Swapraja, yang umumnya bersifat feodal. Adanya dualisme dalam Hukum Perdata memerlukan tersedianya perangkat Hukum Perdata memerlukan tersedianya perangkat Hukum, yang terdiri atas peraturan-peraturan dan asas-asas yang memberi jawaban, hukum apa atau hukum yang mana berlaku dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum antargolongan di bidang agraria. Pada era ertenganan tahun 1998 dikenal istilah reformasi yang meliputi bidang ekonomi, politik dan hukum. Kegiatan reformasi ini meliputi juga Hukum Tanah Nasional kita. Dengan dibentuknya UUPA, reformasi di bidang pertanahan bersifat komprehensif dan fundamental. Dalam UUPA dimuat tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum dan garis-garis besar ketentuan-ketentuan pokok Hukum Agraria Nasional. UUPA menciptakan Hukum Agraria Nasional berstruktur tunggal, yang seperti dinyatakan dalam bagian Berpendapat serta Penjelasan Umum UUPA berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah, sebagai hukum aslinya sebagian terbesar rakyat Indonesa. Reformasi Agraria Indonesia meliputi 5 program, yaitu: 1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum; 2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah; 3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; 4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan- hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan; 5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya. Pegertian dan Lingkup Hukum Agraria Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam UUPA mengenai pengertian Agraria dipakai dalam arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48 bahkan meliputi ruang angkasa. Pengertian Hukum Agraria dalam UUPA Hukum Agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok tersebut terdiri atas: 1. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi; 2. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air; 3. Hukum Pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian; 4. Hukum Perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air 5. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-Unsur Dalam Ruang Angkasa Sejarah Kelahiran Mata Kuliah Hukum Agraria Adanya mata kuliah Hukum Agraria dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia yang mempelajari Hukum Tanah sebagai suatu bidang hukum yang mandiri, tidak dapat dilepaskan dari kelahiran UUPA dan pelaksanaan ketentuan-ketentuannya. Dampaknya pun dirasakan pula melampaui batas wilayah Republik Indonesia oleh orang-orang dan badan hukum asing yang mempunyai tanah di Indonesia,baik untuk bangunan perumahan dan usaha-usaha bisnis maupun usaha-usaha perkebunan. Juga perombakan di bidang hukum segera terasa langsung dampaknya di masyarakat. Dalam menuntaskan terwujudnya kesatuan di bidang Hukum Tanah, bukan saja hukumnya yang diunifikasikan, tetapi juga ada hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah yang ada, yang semuanya bersumber pada berbagai perangkat hukum yang lama. Diakhirinya pluralisme dan diciptakannya Hukum Tanah yang tunggal oleh UUPA merupakan perubahan yang mendasar. Perombakan tersebut bukan hanya membawa pada konsepsi, isi, dan tata susunan Hukum Tanah Indonesia, melainkan juga menghadapkan Bangsa Indonesia pada hal-hal baru dan berbagai persoalan hukum dan persoalan politik yang perlu dipelajari, dikaji, dan ditemukan pemecahannya. Hukum Tanah Sebagai Cabang Hukum Yang Mandiri Hukum Tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya. Hanya mengatur salah satu aspek yurisdisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak- hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem, yang disebut Hukum Tanah. Pengertian Tanah Pasal 4 UUPA menyatakan bahwa Atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi. Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya. Hak-Hak Penguasaan atas Tanah Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Dalam hukum tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada empunya tanah. Dalam UUPA diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, yaitu: 1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik. 2. Hak menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata- mata beraspek publik; 3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik; 4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas: a. Hak-Hak atas Tanah sebagai hak-hak indivdual yang seuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, dalam Pasal 16 dan 53; b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan dalam Pasal 49; c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut Hak Tanggungan dalam pasal 25,33,39, dan 51 Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Sebagai contoh dapat disebut Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa untuk bangunan yang disebut dalam Pasal 20 sampai dengan 45 UUPA. Hak Penguasaan atas tanah merupakan suatu hubungan hukum konkret, jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya. Sistematika Pengaturan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah 1. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum: a. Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan; b. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya; c. Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya; d. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya. 2. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkret: a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam poin 1a di atas; b. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain; c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain; d. Mengatur mengenai hapusnya; e. Mengatur mengenai pembuktiannya. Dengan menggunakan sistematika di atas, ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja dapat daiadakan, disusun dan dipelajari secar teratur, tetapi juga akan dengan mudah diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk Hukum Tanah dan apa yang bukan. Pembidangan Hukum Tanah Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah beraspek publik dan perdata. Ketentuan-ketentiuan yang beraspek publik meliputi bidang legislatif, bidang eksekutif/administratif dan bidang yudikatif, yang kegiatannya dilakukan oleh negara sebagai Badan Penguasa. Bidang legislatif meliputi kewenangan pembuatan peraturan- peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Bidang yudikatif meliputi tugas kewenangan mengadili kasus-kasus pertanahan. Kesimpulan Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, ada yang tertulis ada pula yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum konkret, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. Oleh karena itu, Hukum Tanah merupakan satu bidang hukum yang mandiri dan sebagai cabang hukum yang mandiri mempunyai tempat sendiri dalam Tata Hukum Nasional. BAB II Pembaharuan Hukum Tanah Perlunya Diadakan Pembaharuan Hukum Tanah Mengenai perlunya diadakan pembaharuan Hukum Tanah dapat kita ketahui dari apa yang dinyatakan dalam Konsiderans dan penjelasan umum UUPA. Adapun sebagai sebab utamanya : a. Karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengankepentingan rakyat dan negara di dalam melaksanakan pembangunan; b. Karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintahan jajahan, hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan hukum barat sehingga enimbulkan berbagai masalah antar golongan serta tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. c. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum Hukum Tanah Administrasi Pemerintah Hindia Belanda Politik pertaanahan kolonial dituangkan dalam Agrarishe Wet 1870. Isi Agrarichewet antara lain: 1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah 2. Ddalam larangan di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha kerajinan. 3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan- ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan hutan demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain yang merupakan kepunyaan desa. 4. Menurut ketentuan yang ditetapan dengan ordonansi, diberikan tanah dengan hak erfpacht selama waktu tidak lebih dari tujuh puluh lima tahun. 5. Gubernur Jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat pribumi. 6. Gubernur Jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan yang digunakan untuk keperluan sendiri, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan Pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan- peraturan yang bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak. 7. Tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai oribadi yang turun-temurun atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya hak eigendom, dengan pembatasan- pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya yaitu yang mengenai kewajibannya terhadap Negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai kewenangannya untuk menjualnya kepada non-pribumi. 8. Persewaan tanah oleh orang-orang ribumi kepada non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur ordonansi. Tuhuan Agrarische Wet Tujuan utama AW adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda. Tujuan AW adalah memberikan dasar bagi berkembangnya perusahaan-perusahaan kebun besar swasta. Dikhawatirkan bahwa dalam usaha dan kegiatan mengembangkan perusahaan-perusahaan kebun besar tersebut, yang akan memerlukan tanah yang luas, hak-hak rakyat akan dilanggar. Kekhawatiran tersebut tercermin dalam pembahasan serta dalam pemberian perintah kepada Gubernur Jendral Sloet van de Beele untuk membuat suatu pernyataan pada tahun 1866. Terhadap rakyat pribumi pendekatannya pasif, bukan aktif seperti halnya terhadap pihak penguasa. Agrarisch Besluit
A. Asas Domein Verklaring
Pelaksanaan AW diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan. Diantaranya Agrarisch Besluit. Dalam pasal 1 dimuat suatu pernyataan bahwa, dengan tidak mengurangi berlakuknya ketentuan pasal 2 dan pasal 3 AW tetap dipertahankan asas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya adalah domain milik negara (Hak Milik). Dikenal sebagai pernyataan domain yang umum (Algemene Domein Verklaring). Sedangkan pernyataan domain yang khusus (Speciale Domein Verklaring) tercantum dalam peraturan hak efpracht dimana disebutkan: semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung adalah domain negara, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan, mengenai tanah-tanah negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya. Dengan demikian berdasarkan ketentuan di atas bahwa satu- satunya penguasa yang berwenang memberikan tanah-tanah yang dimaksudkan itu kepada pihak lain adalah Pemerintah. B. Domein Verklaring Fungsi: a. Sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUHPer, seperti hak erfpacht, hak opstal dan lain-lainnya. Dalam rangka Domein Verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik negara kepada penerima tanah. b. Di bidang pembuktian pemilikan. C. Domein Verklaring Memperkosa Hak-Hak Rakyat Dalam bukunya yang berjudul De Indonesier en zijn grond, yang disebut dalam uraian nomor 20 D di atas, van Vollenhoven mengemukakan kecaman keras terhadap praktik pelaksanaan peraturan-peraturan pertanahan yang sangat merugikan rakyat. Ia pun mengecam Domein Verklaring. Menurutnya, masih ada 3 tafsiran lain mengenai tanah-tanah yang tercakup delam Domein Verklaring. Pertama: tanah domein negara adalah yang bukan tanah hak eigendom yang diatur dalam KUHPer Kedua: tanah domein negara adalah yang bukan tanah hak eigendom, hak agrarisch eigendom dan bukan pula tanah milik rakyat yang telah bebas dari kungkungan Hak Ulayat. Ketiga: tanah domein negara adalah yang bukan tanah hak eigendom, hak agrarisch eigendom dan bukan pula tanah milik rakyat, baik yang sudah maupun yang belum bebas dari kungkungan rakyat. Hak milik adat sebagai hak yang paling kuat dalam Hukum Tanah Adat tidak disamakan dengan hak milik dalam KUHPer yang disebut hak eigendom. Oleh karenanya tidak diakui sebagai hak milik atas tanah. Semula hanya dianggap sebagai hak memakai tanah domein Negara dan dalam perundang-undangan disebut erfelijk individueel gebruiksrecht (hak memakai individual yang turun temurun). Kemudian, pemilik dianggap mempunyai kedudukan menguasai tanah domein negara dan dalam perundang- undangan disebut Inlands bezitrecht. Tetapi bagaimanapun adanya hubungan hukum dengan tanah yang bersangkutan diakui . Anggapan tanah ulayat adalah vrij lands domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat. Dinyatakn oleh penjelasan umum bagian II butir 2 UUPA asas domein adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas daripada Negara yang merdeka dan Modern. Karena dalam konsepsi asas domein semua tanah adalah milik raja dan siapapun yang menguasai dan menggunakan hak milik Rajanya sebagai tenant hal ini disebut doktrin tenure. Keduduan raja sebagai pemilik tanah diganti oleh negara D. Teori Domein Raffles Untuk memberikan landasan hukum dan mempertanggungjawabkan pungutan yang diadakan waktu itu tahun 1811-1816 Thomas Stanford Raffles mengemukakan suatu teori yang dikenal sebagai teori Domain Raffles. Dinyatakan oleh Raffles bahwa tanah-tanah di daerah kekuasaanya semula adalah miik para raja di Jawa. Karena kekuasaannya telah berpindah kepada pemerintahan Inggris, maka sebagai akibat hukumnya hak pemilikan tanah-tanah tersebut, dengan sendirinya beralih pula kepada raja Inggris, dengan demikian tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik raja Inggris. Oleh karena itu mereka wajib memberikan sesuatu kepada raja Inggris sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri yang dikenal sebagai Land Rent Raffles. Hukum Tanah Perdata Hindia Belanda Hukum Tanah yang Dualistik Dualisme dalam hukum tanah bukan karena pemegang hak atas tanah berbeda hukum perdatanya, melainkan karena perbedaan hukum yang berlaku terhadap tanahnya. Karena dalam hukum Indonesia mempunyai status atau kedudukan hukum sendiri terlepas dari status hukum yang dipunyainya. Ada tanah-tanah dengan hak-hak barat, seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal, yang disebut tanah-tanah hak barat atau tanah-tanah Eropa. Ada tanah tanah dengan hak-hak Indonesia, seperti dengan tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah- tanah hak adat. Ada tanah-tanah dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Hindia Belanda, seperti hak agrarisch eigendom, landerijen bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan hak-hak ciptaan Pemerintah Hindia Belanda dan Swapraja tersebut bisa kita sebut tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupan pengertiannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat. Perbuatan-perbuatan hukum yang dapat dilakukan mengenai tanah-tanah ini pada dasarnya terbatas pada yang dimungkinkan oleh hukum Tanah Barat. Misalnya tanah hak eigendom atau erfpacht tidak dapat digadaikan, seperti halnya tanah milik adat. Tanah-tanah tersebut dapat dijadikan jaminan kredit dengan menggunakan lembaga hypoteek. Hak-Hak Jaminan Atas Tanah yang juga Dualistik Hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditor, yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika debitor cidera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan piutangnya tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditor- kreditor yang lain. Selain berkedudukan mendahulu, kreditor pemegang hak jaminan atas tanah tetap berhak menjual lelang tanah yag dijadikan jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kedua keistimewaan ini mengatasi kelemahan perlindungan yang diberikan secara umum kepada setiap kreditor oleh Pasal 1131 KUHPer. Menurut pasal tersebut, seluruh harta kekayaan debitor merupakan jaminan bagi pelunasan utang kepada semua kreditornya. Untuk dapat dijadikan jaminan hutang tanah yang bersangkutan, harus mempunyai nilai yang dapat dihitung dengan uang, karena alam merupakan jaminan bagi pelunasan suatu piutang yang berupa uang. Juga harus dapat dipindahtangankan. Untuk bisa dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, selain dipenuhi kedua syarat tersebut, tanah yang bersangkutan haknya harus didaftar dan ditunjuk oleh Undang- Undang sebagai obyek lembaga hak jaminan yang bersangkutan. Hukum Tanah Barat yang Individualistik Hukum tanah barat bersumber pada KUHperdata. Konsepsi individualistik berpangkal dan berpusat pada hak individu atas tanah yang bersifat pribadi semata-mata. Dalam KUHPer disebut hak eigendom. Hak Eigendom adalah hak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan suatu benda, dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang berangkutan dengan kekuasaan yang sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak pihak lain; semuanya itu terkecuali pencabutan hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak Ada Jaminan Kepastian Hukum Bagi Rakyat Belum Tersedia Hukum Tanah Tertulis yang Lengkap dan Jelas Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan: 1. Tersedianya perangkat hukum tertulis, yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten; 2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang berkepentingan akan dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan-ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyainya. Tetapi bagi sebagian terbesar tanah yang dipunyai dengan hak-hak adat, hukumnya tidak tertulis, hingga tidak mudah diketahui isinya, khusus bagi orang-orang luar masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ketentuan-ketentuan hukum tanah administratif hampir semuanya merupakan hukum yang tertulis, tetapi jumlahnya amat banyak, dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan tersebar tidak terkodifikasi. Ada yang berlaku untuk seluruh wilayah Hindia Belanda, ada yang untuk wilayah-wilayah tertentu saja. Belum Diselenggarakan Pendaftaran Tanah yang Efektif Untuk mencegah timbulnya sengketa di kemudian hari, dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah tersebut: 1. Mereka yang mempunyai tanah dengan mudah akan dapat membuktikan haknya atas tanah yang dikuasai dan dipunyainya. Kepada mereka masing-masing diberikan surat tanda bukti hak oleh pemerintah; 2. Mereka yang memerlukan keterangan yang dimaksudkan di atas, yaitu calon pembeli dan calon kreditor yang akan menerima tanah sebagai jaminan, akan dengan mudah memperolehnya, karena keterangan-keterangan tersebut yang disimpan di Kantor Penyelenggara Pendaftaran Tanah, terbuka bagi umum. Dalam arti umum boleh mengetahui, dengan melihat sendiri daftar dan dokumen yang bersangkutan atau meminta keterangan tertulis mengenai data yang diperlukannya dari Kantor tersebut. Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh negara secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan termasuk penerbitan tanda-buktinya dan pemeliharaannya. Data yang dihimpun pada dasarnya meliputi 2 bidang, yaitu: 1. Data fisik mengenai tanahnya: lokasi, batas-batasnya, luasnya bangunan dan tanaman yang ada di atasnya; 2. Data yuridis mengenai haknya: haknya apa, siapa pemegangnya, ada atau tidak adanya hak pihak lain. Urutan kegiatan pendaftaran tanah adalah pengumpulan datanya, pengolahan, penyimpanan dan kemudian penyajiannya. Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan kegiatan pemeliharaan data yang tersedia. Pendaftaran untuk pertama kali adalah kegiatan mendaftar untuk pertama kalinya sebidang tanah yang semula belum didaftar menurut ketentuan peraturan pendaftaran tanah yang bersangkutan. Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran untuk pertama kali yang meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis tersebut mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah yang dilakukan untuk keperluan pendaftarannya, disebut ajudikasi. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan dua cara, yaitu secara sistematik dan secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual atau massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah yang bersangkutan. Ada dua macam sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem pendaftaran akta dan sistem pendaftaran hak. Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan: apa yang didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya. Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, akta merupakan sumber data yuridis. Pemeliharaan Data Data yang disipan, baik data fisik maupun data yuridis, perlu disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, agar selalu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Inilah yang disebut kegiatan pemeliharaan data. Perubahan pada data fisik terjadi jika luas tanahnya berubah, yaitu jika terjadi pemisahan atau pemecahan bidang tanah yang bersangkutan menjadi satu-satuan baru. Perubahan data yuridis bisa mengenai haknya, yaitu berajhir jangka waktu berlakunya, dibatalkan, dicabut, atau dibebani hak lain. Sistem Publikasi Dalam sistem publikasi positif, orang yang dengan itikad baik dan dengan pembayaran memperoleh hak dari orang yang namanya terdaftar sebagai pemegang hak dalam register, memperoleh hak yang tidak dapat diganggu gugat dengan didaftarnya namanya sebagai pemegang hak dalam register. Dalam sistem publikasi negatif, bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Sistem yang digunakan UUPA daan PP 24/1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif. Sistemnya bukan negatif murni, karena dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, bahwa pendaftaran menghasilkan surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dalam sistem publikasi negatif yang murni tidak akan ada pernyataan demikian. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha, agar sejauh mungkin dapat disajikan data yang benar dalam buku tanah dan peta pendaftaran. Hingga selama tidak dapat dibuktikan yang sebaliknya, data yang disajikan dalam buku tanah dan peta pendaftaran harus diterima sebagai data yang benar. Demikian juga data yang dimuat dalam sertifikat hak, sepanjang data tersebut sesuai dengan yang ada dlam buku tanah dan peta pendaftaran. Biarpun demikian, sistemnya juga bukan positi. Dalam sistem positif, data yang disajikan dijamin kebenarannya. Bukan hanya berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Di atas telah dikemukakan bahwa data yang dimuat dalam register mempunyai daya pembuktian yang mutlak.