Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ANALISA SEMA NO 3 TAHUN 1963

RINI ASTUTI WARDHANA


198040002

TUGAS MATA KULIAH


METODE ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan

BAB II. PEMBAHASAN


A. Tinjauan Filosofis
B. Tinjauan Sosiologis
C. Tinjauan Yuridis

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 (SEMA No.3 Tahun 1963) pada
paparan awalnya telah dijelaskan latar belakang diterbitkannya SEMA No. 3 Tahun 1963,
yaitu adanya suatu gagasan yang menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai suatu
undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu
kelompokkan hukum tak tertulis. 1 Hal ini dilatarbelakangi oleh sejarah pemberlakuan
Burgerlijk Wetboek itu sendiri, yang pada waktu penjajahan hanya diperuntukan bagi
golongan Eropa (orang-orang Belanda) yang ada di Indonesia.

Gagasan baru ini diajukan oleh Menteri Kehakiman, SAHARDJO, SH. pada suatu sidang
Badan Perancang dari Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada bulan Mei 1962. Gagasan
ini sangat menarik hati, oleh karena dengan demikian para Penguasa, terutama para Hakim,
lebih leluasa untuk menyampingkan beberapa Pasal dari Burgerlijk Wetboek yang tidak
sesuai dengan zaman kemerdekaan Indonesia.

Gagasan ini oleh Ketua Mahkamah Agung dalam bulan Oktober 1962 ditawarkan kepada
khalayak ramai dalam seksi Hukum dari Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia
(M.I.P.I) dan disitu mendapat persetujuan bulat dari para peserta. Kemudian terdengar banyak
sekali suara-suara dari para Sarjana Hukum di Indonesia, yang menyetujui juga gagasan ini.
Gagasan-gagasan ini kemudian dikodifikasikan dalam bentuk SEMA No. 3 Tahun 1963

B. Rumusan Masalah

SEMA No. 3 Tahun 1963 mencabut beberapa ketentuan pasal-pasal dalam Burgerlijk
Wetboek yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman (masa kemerdekaan
Indonesia). Salah satu pasal yang dicabut adalah Pasal 1238, yakni :
“Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau
berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur
harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” 2, yang menyimpulkan, bahwa
pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka Hakim, apabila gugatan ini
didahului dengan suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung sudah pernah memutuskan,
diantara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugatan kepada tergugat dapat
dianggap sebagi penagihan, oleh karena si tergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya
gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan. 3

Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berlaku lagi dengan
keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung №3 Tahun 1963. Hal ini disebabkan karena
terdapatnya asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yang berarti hukum yang baru
mengesampingkan hukum yang lama. Jadi Pasal 1238 KUHPer menjadi tidak berlaku.

Lantas bagaimana jika kita tinjau dari Hierarki Peraturan Perundang-Undangan? Bukankah
Surat Edaran bukan merupakan peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan?4
Rumusan masalah ini akan coba diuraikan dalam bab Pembahasan.

C. Tujuan Penulisan
1
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963
2
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1238
3
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 Huruf 5.
4
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan

1
1. Untuk mengetahui sejarah pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
2. Untuk mengetahui dasar hukum pembentukan SEMA
3. Untuk mengetahui kedudukan hukum SEMA dalam hierarki peraturan perundang-
undangan

D. Manfaat Penulisan

1) Penulis mampu melakukan analisa hukum terhadap salah satu Surat Edaran Mahkamah
Agung, yakni SEMA No. 3 Tahun 1963 yang menimbulkan gejolak hukum karena
mencabut beberapa pasal dalam burgerlijk wetboek atau Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
2) Penulis mampu menjabarkan tinjauan filosofis, sosiologis dan yuridis sebagai variabel
dalam menganalisa pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963

2
Analisa Hukum Penerbitan SEMA No. 3 Tahun 1963

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Filosofis

Tinjauan filosofis diartikan sebagai tinjauan atas pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Burgelijk Wetboek atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan KUH Perdata menurut
sejarah adalah berasal dari Belanda yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas
konkordansi. Walaupun pada awalnya diberlakukan bagi orang keturunan Belanda (termasuk
di dalamnya orang Eropa dan Jepang), namun setelah Indonesia merdeka ternyata masyarakat
Indonesia tetap mempergunakannya dalam memecahkan masalah-masalah perdata.

Bila ditelaah dari sudut pandang filosofis, pembentukan SEMA No. 3 Tahun 1963 lebih
banyak berbicara mengenai sejarah atau latar belakang filosofis diterbitkannya SEMA No. 3
Tahun 1963, yang dapat menyatakan bahwa sebagian pasal-pasal dalam Burgerlijk Wetboek
tidak berlaku lahi.

Dalam SEMA No 3 Tahun 1963, berdasarkan tinjauan filosofis jelas disampaikan bahwa
SEMA No. 3 Tahun 1963 ini muncul akibat adanya gagasan Menteri Kehakiman pada saat
itu, yakni Bpk. Sahardjo, S.H yang menganggap bahwa KUH Perdata tidak sebagai suatu
Undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu
kelompokkan hukum tak tertulis. Hal ini dikarenakan KUH Perdata merupakan produk
hukum Belanda (penjajah) yang diberlakukan untuk golongan Eropa, penggolongan tersebut
diatur dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang sampai sekarang masih tetap berlaku
berdasarkan ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 5, sehingga tidak
sesuai bila diberlakukan untuk masyarakat Indonesia berdasarkan pandangan hidup falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.

Sahardjo memberikan gagasan bahwa KUH Perdata tidak lagi dapat mencerminkan rasa
keadilan di masyarakat. Hal ini terlihat pada pasal 284 ayat 3 BW (contohnya), yang
mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, dimana anak luar kawin akan mempunyai
kedudukan sebagai pewaris dan ahli waris dalam pewarisan jika sudah diakui oleh orang
tuanya pada saat sebelum atau pada saat terjadinya perkawinan ayah/ibu yang mengakuinya
tersebut. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan "ayah" (biologisnya) maupun
"ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. Tetapi dengan dikeluarkannya Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 3 Tahun 1963 bahwa hubungan perdata antara
anak luar kawin dengan ibunya sudah ada sejak anak luar kawin tersebut dilahirkan.

Gagasan-gagasan ini kemudian disetujui oleh para Sarjana Hukum di Indonesia dalam suatu
sidang Badan Perancang dari Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, sehingga terbitlah
SEMA No. 1963 dimana Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi beberapa pasal
dalam KUH Perdata yang tidak mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia sesuai
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.

B. Tinjauan Sosiologis
5
Pokok-pokok Hukum Perdata, Prof.Subekti, PT Intermasa, 2001, hal.34

3
Analisa hukum berdasarkan tinjauan sosiologis berarti menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk, dirumuskan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Sejak awal kemerdekaan sudah ada usaha untuk menggantikan seluruh hukum kolonial
dengan sistem hukum nasional, namun tidak kunjung berhasil karena adanya perbedaan
pandangan dalam melihat pembangunan kondifikasi hukum, yaitu mengunakan hukum
nasional dan membuang sama sekali hukum sisa peninggalan kolonial, di lain pihak masih
banyak yang menghendaki berlaku bersama-sama, selain itu ada pandangan untuk
mengunakan hukum adat sebagai hukum nasional.

Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang


Dasar 1945, menyatakan bahwa “KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku
sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru berdasarkan Undang–Undang Dasar ini.” 6
Keterdesakan akan kebutuhan hukum positif yang terkodifikasikan dengan baik, untuk dapat
memenuhi kebutuhan akan keadilan masyarakat dalam berbagai aspek membuat pemerintah
Indonesia saat itu mengeluarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945. Sehingga, sejak saat itu
Burgerlijk Wetboek merupakan induk hukum perdata Indonesia.

Beberapa puluh tahun setelah Indonesia merdeka, badan legislatif saat itu masih belum juga
berhasil menelurkan produk hukum perdata yang terkodifikasi layaknya seperti KUH Perdata
(salah satunya), namun fakta empiris menampilkan perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat Indonesia yang semakin kompleks, sehingga muncul beberapa anomali pemikiran
yang mempertanyakan keberlakuan jangka waktu Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 yang
memberlakukan (salah satunya) Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata sebagai hukum positif
di Indonesia. Padahal beberapa peraturan dalam KUH Perdata sudah tidak relevan untuk
memenuhi kebutuhan keadilan masyarakat Indonesia saat itu.

Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tanggal 24 September 1960,


Stb. tahun 1960 Nomor 104 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mencabut
semua ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak kebendaan yang bertalian dengan tanah dari
buku II BW (KUH Perdata) kecuali mengenai hipotek. 7 Artinya semua ketentuan-ketentuan
yang mengenai hak kebendaan yang bertalian dengan tanah mendapat pengaturannya di
dalam hukum Agraria dan tidak menjadi obyek hukum perdata lagi. Demikian pula dengan
Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 5 September 1963 Nomor 3 Tahun 1963, beberapa
pasal atau ketentuan dipandang tidak berlaku lagi. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tanggal 2 Januari 1974 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tanggal 1 April 1975
tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak berlaku lagi semua
peraturan-peraturan yang mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam Undang-
undang. Ini merupakan salah satu contoh diterbitkannya Undang-undang yang
‘memperbaharui’ ketentuan dalam KUH Perdata agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat.

C. Tinjauan Yuridis

6
https://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata
7
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, dalam konsideran “memutuskan…”

4
Analisa Hukum Penerbitan SEMA No. 3 Tahun 1963

Analisa hukum berdasarkan unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Bagaimana kedudukan hukum Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang telah
dicabut oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 Tahun 1963 ? Bukankah kedudukan KUH
Perdata lebih tinggi dibandingkan Surat Edaran Mahkamah Agung?

Berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan, Hierarki


Peraturan Perundang-Undangan diatur sebagai berikut.
“Pasal 7 :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).”

Jika kita lihat dari pasal diatas maka kita tidak dapat melihat SEMA didalamnya. Namun, jika
kita lanjut ke Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan, maka
kita akan menemukan titik terang.

Berikut bunyi Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan.


“(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Dari pasal diatas maka dapat disimpulkan unsur-unsur sebagai berikut.


1. Peraturan perundang-undangan yang tidak tercantum dalam pasal 7 ayat 1 UU 12/2011.
2. Mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.

5
Pada Pasal 24 A Undang-Undang Dasar RI 1945 (“UUD 1945”) mengatur MA berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
undang-undang. Dilihat dari Pasal ini, MA mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
undang-undang.

Mari kita lihat Undang-Undang (“UU”) yang mengatur Mahkamah Agung, mulai dari UU
No. 14 Tahun 1985, hingga dua kali perubahannya yakni UU No. 5 Tahun 2004, dan UU No.
3 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UUMA). Ada beberapa kewenangan dan tugas yang
diberikan Undang-Undang kepada MA, antara lain:
 MA memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan
rehabilitasi (Pasal 14 ayat 1 UUD jo Pasal 35 UUMA).
 MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta
maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain (Pasal 37 UUMA).
 MA berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka
pelaksanaan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman (Pasal 38 UUMA).
 MA berwenang memberikan petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu
kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Dalam literatur kewenangan dan tugas demikian disebut sebagai fungsi pengaturan atau
regelende functie MA. Ini juga sejalan dengan rumusan Pasal 79 UUMA, yang mengatur
“MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini”.8

Dalam konteks itulah kita seyogianya membaca produk hukum MA berikut: (i) PERMA; (ii)
SEMA; (iii) Fatwa; dan (iv) SK KMA.

Nah, dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwasanya SEMA dibentuk atas dasar
kewenangan MA (Pasal 24 A UUD 1945 Jo. Pasal 79 UUMA). Yang berarti dengan ini telah
memenuhi unsur yang ketiga. Pemenuhan ketiga unsur tersebut bermaksud bahwa atas
kewenangan MA dari UUD 1945 yang notabenenya merupakan peraturan perundang-
undangan tertinggi maka Pasal 1238 BW menjadi tidak berlaku lagi.

Berdasarkan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori dan kewenangan MA dalam UUD
1945 maka Pasal 1238 BW menjadi tidak berlaku lagi

8
Henry P. Panggabean, 2001: 143
Analisa Hukum Penerbitan SEMA No. 3 Tahun 1963

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menteri Kehakiman, SAHARDJO, SH. pada suatu sidang Badan Perancang dari Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional pada bulan Mei 1962 mengeluarkan gagasan yang menganggap
bahwa KUH Perdata tidak sebagai suatu Undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen
yang hanya menggambarkan suatu kelompokkan hukum tak tertulis. Hal ini dikarenakan
KUH Perdata merupakan produk hukum Belanda (penjajah) yang diberlakukan untuk
golongan Eropa, penggolongan tersebut diatur dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling)
yang sampai sekarang masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar 19459, sehingga tidak sesuai bila diberlakukan untuk masyarakat
Indonesia berdasarkan pandangan hidup falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan UUD 1945.

SEMA No. 3 Tahun 1963 merupakan salah satu contoh diterbitkannya Undang-undang yang
‘memperbaharui’ ketentuan dalam KUH Perdata agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat, dengan menghapuskan beberapa pasal dalam KUH Perdata.

Berdasarkan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori dan kewenangan MA dalam UUD 1945
maka Pasal 1238 BW menjadi tidak berlaku lagi

B. Saran

Meskipun telah diterbitkannya beberapa undang-undang khusus atau terbaru untuk


menyesuaikan ketentuan dalam KUH Perdata agar dapat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, namun seyogyanya negara Indonesia mempunyai kodifikasi hukum tersendiri
(salah satunya KUH Perdata) yang disusun dan dibentuk oleh lembaga legislatif Indonesia
berdasarkan pandangan hidup falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
UUD 1945, dan diberlakukan untuk seluruh masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali.

9
Pokok-pokok Hukum Perdata, Prof.Subekti, PT Intermasa, 2001, hal.34

7
DAFTAR PUSTAKA

Pokok-pokok Hukum Perdata, Prof.Subekti, PT Intermasa, 2001, hal.34

Henry P. Panggabean, 2001: 143

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1238

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, dalam konsideran “memutuskan…”

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-
perundang-undangan

https://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata

Anda mungkin juga menyukai