Anda di halaman 1dari 35

PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM

INDONESIA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Sejarah Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Disusun Oleh :

Rini Astuti Wardhana (198040002)


Dita Citra Utami (198040007)
Rina Soleha (198040009)
Ina Sayang Tanjung (198040010)

Dosen :

Dr. Dedy Hermawan, S.H., M.H

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik
dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu,kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bandung, 23 November 2020


Rini - Dita - Rina -Ina

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI .........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1-2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3-9
1. Zaman Penjajahan Belanda (1596 - 1816)
a) Masa Kompeni (VOC Tahun 1596 – 1808)
b) Masa pemerintahan Daendels (Tahun 1808 – 1811)
c) Masa Pemerintahan Raffles (Tahun 1811 – 1816)
2. Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)
3. Zaman Indonesia Merdeka (1945-1950)
4. Zaman Negara Republik Indonesia Serikat - RIS (1950-1959)
5. Zaman NKRI - Orde Lama (1959-1966)
6. Zaman Orde Baru (1966 - 1998)
7. Zaman Reformasi (1998-2020)
8. Zaman Sekarang (2020)

BAB III PENUTUP...............................................................................................26-30

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................31-32

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah hukum sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari asal-usul


terbentuknya dan berkembangnya suatu sistem hukum dalam suatu masyarakat
tertentu. Oleh karena itu, untuk benar-benar mengetahui pembentukan dan
perkembangan sistem hukum di Indonesia, maka perlu untuk mempelajari
bagaimana sejarah hukum di Indonesia.
Dalam paradigma umum, sejarah dimaknai sebagai penghubung keadaan
masa lampau dengan keadaan saat ini atau yang akan datang atau keadaan
sekarang yang berasal dari masa lampau. Apabila sejarah dalam artian seperti ini
dihubungkan dengan hukum, maka dapat diterima bahwa hukum saat ini
merupakan lanjutan/perkembangan dari hukum masa lampau, sedangkan hukum
yang akan datang terbentuk dari hukum sekarang. Bahkan saat ini sudah
berkembang keilmuan tentang sejarah masa depan (History of Future) dalam
kerangka pemahaman sejarah berulang/berputar (Circle History). Apabila metode
History of Future ini dipakai dalam memahami perkembangan hukum di
Indonesia, maka masa depan hukum di Indonesia lebih mudah untuk dibentuk
atau diprediksi.
Menurut Soerjono Soekanto1, bahwa sejarah hukum mempunyai beberapa
kegunaan, antara lain sebagai berikut :
1. Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum.
hukum tidak akan mungkin berdiri sendiri, karena senantiasa dipengaruhi
oleh aspek-aspek kehidupan yang terus berkembang.
2. Sejarah hukum dapat mengungkap pengembangan, penggantian, penyesuaian,
perombakan dan alasan-alasan kaidah-kaidah hukum yang diberlakukan.
3. Sejarah hukum juga berguna dalam praktik hukum untuk melakukan
penafsiran historis terhadap hukum.2
4. Sejarah hukum dapat mengungkap fungsi dan efektivitas lembaga-lembaga
hukum tertentu.
Perhatian terhadap hukum adat itu tidak hanya terwujud dalam dilahirkannya
suatu Ilmu Hukum Adat, tetapi juga terjelma dalam dijalankannya suatu Politik
Hukum Adat, yaitu kebijaksanaan, sikap terhadap pemerintah dan terutama adalah
perundang-undangan (wetgeving) yang berhubung dengan hukum adat tersebut.
Dalam makalah ini kita hendak meninjau secara sepintas sikap dan pendirian
masing-masing pemerintah terhadap hukum adat itu, pertama-tama pada zaman
VOC, zaman Gubernemen Hindia Belanda dan zaman Kemerdekaan sampai
sekarang. Untuk lebih rincinya sejarah politik hukum adat itu dapat dibagi
beberapa periode yaitu :

1
R. Suroso, SH, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 323.
2
Penafsiran peraturan perundang-undangan adalah mencari dan menetapkan pengertian atas
dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki dan dimaksud
oleh pembuat undang-undang. Cara menafsirkan dapat dalam pengertian subyektif dan obyektif
atau sempit dan luas, selain itu terdapat berbagai macam metode penafsiran hukum yang dapat
digunakan. Lihat : R. Suroso, SH, Pengantar Ilmu Hukum, h. 97-109.

1
1. Zaman Penjajahan Belanda (1596 - 1816)
a) Masa Kompeni (VOC Tahun 1596 – 1808)
b) Masa pemerintahan Daendels (Tahun 1808 – 1811)
c) Masa Pemerintahan Raffles (Tahun 1811 – 1816)
2. Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)
3. Zaman Indonesia Merdeka (1945-1950)
4. Zaman Negara Republik Indonesia Serikat - RIS (1950-1959)
5. Zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia - Orde Lama (1959-1966)
6. Zaman Orde Baru (1966 - 1998)
7. Zaman Reformasi (1998-2020)
8. Zaman Sekarang (2020)

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Zaman Penjajahan Belanda

a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (1602-1799)


Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh peara
pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi
persaingan antar para pedagang yang membeli rempah-rempah dari
orang-orang pribumi dengan tujuan dapat memperoleh keuntungan yang besar
di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang, VOC kemudian diberi hak-hak
istimewa (octrooi) oleh pemerintah Belanda seperti hak monopoli pelayaran
dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dan hak mencetak uang.
Dengan hak octrooi tersebut, VOC melakukan ekspansi penjajahan di
daerah-daerah kepulauan nusantara yang didatanginya dan menanamkan
penekanan dalam bidang perekonomian dengan memaksakan aturan-aturan
hukum yang dibawanya. Ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di atas
kapal dagang itu sama dengan (konkordan) hukum Belanda Kuno (Oud
Nederlandsrecht) yang sebagian besar merupakan “hukum disiplin”
(tuchtrecht).
Pada tahun 1610, pengurus pusat VOC di Belanda memberikan
kewenangan kepada Gubernur Jenderal Pieter Both untuk membuat peraturan
dalam menyelesaikan perkara istimewa yang harus disesuaikan dengan
kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasai, disamping ia
dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Perkara yang dibuat oleh
Gubernur Jenderal itu kemudian diberlakukan berdampingan dengan
peraturan yang dibuat sendiri oleh Direksi VOC di Belanda dengan nama
“Heeren Zeventien”.
Sejak Gubernur Jenderal diberi wewenang dapat membuat peraturan yang
diperlukan untuk kepentingan VOC di daerah-daerah yang dikuasai, maka
setiap peraturan yang dibuat itu diumumkan berlakukanya melalui “plakat”,
yang memuat setiap peraturan-peraturan, namun setelah diumumkan tidak
pernah dikumpulkan dengan tataan yang baik. Dalam perkembangannya,
maka pada tahun 1635 tidak diketahui lagi plakat mana yang masih berlaku
dan plakat mana yang sudah dicabut atau diubah. Kemudian selama tujuh
tahun sejak itu semua plakat yang pernah diumumkan dikumpulkan lagi, dan
bagi plakat yang masih berlaku, disusun secara sistematik. Setelah
penyusunannya selesai, maka pada tahun 1642 diumumkan di Batavia dengan
nama “Statuta Van Batavia” (Statuta Batavia). Upaya pengumpulan plakat ini
terus berlangsung hingga selesai pada tahun 1766 dan diberi nama “Nieuwe
Bataviase Statuten” (Statuta Batavia Baru).
Peraturan statuta yang berlaku di daerah-daerah kekuasaan VOC
berdampingan berlakunya dengan aturan-aturan hukum lainnya sebagai satu

3
sistem hukum tersendiri dari orang-orang pribumi dan orang-orang pendatang
di luar orang Eropa. Telah dilakukan beberapa penelitian-penelitian terhadap
aturan-aturan hukum tersebut, salah satunya oleh Freijer dan menghasilkan
suatu kitab hukum pada tahun 1760. Kitab hukum (Kompendium) Freijer itu
ternyata hanya berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris
Islam.
Sampai berakhirnya masa penjajahan VOC yang dibubarkan oleh
pemerintah Belanda pada tanggal 31 Desember 1799, karena banyak
menanggung hutang, tidak ada aturan-aturan hukum lainnya lagi yang berlaku,
kecuali yang disebutkan tadi.

b. Masa pemerintahan Daendels (Tahun 1808 – 1811)


Sejak tanggal 1 Januari 1800, daerah-daerah kekuasaan VOC diambil alih
oleh pemerintah Bataafsche Republiek yang kemudian diubah menjadi
Koninklijk Holand. Kepulauan Nusantara sejak itu mengalami masa-masa
penjajahan pemerintah Belanda dengan melaksanakan pedoman pemerintahan
dan aturan-aturan hukumnya sendiri. Untuk mengurus daerah jajahan raja
Belanda yang monarki absolut waktu itu menunjuk Daendels sebagai
Gubernur Jenderal. Ia ditugaskan mempertahankan tanah jajahan nusantara
dalam menghadapi kemungkinan serangan Inggris. Pelaksanaan tugas ini
banyak menimbulkan korban terutama bagi orang-orang di Pulau Jawa yang
dipaksa sebagai pekerja rodi. Misalnya dalam pembuatan jalan dari Anyer -
Panarukan Sumedang - Bandung. Dalam bidang pemerintahan, Daendels
membagi Pulau Jawa menjadi sembilan Keresidenan (prefektur). Sedangkan
pada bupati dijadikan sebagai pegawai pemerintah Belanda dan diangkat oleh
pemerintah Batavia dengan menerima gaji. Untuk menambah keuangan,
maka pelaksanaan pertanian diperketat dengan pajak, bahkan tanah
pemerintah banyak yang dijual kepada partikelir. Dalam bidang hukum,
Daendes tidak mau mengganti aturan-aturan hukum berlaku di dalam
pergaulan hidup pribumi dengan memberlakukan aturan-aturan hukum Eropa.
Hanya saja dalam penetapannya dikatakan bahwa hukum pribumi tetap
berlaku kalau tidak bertentangan dengan perintah yang dibberikan kemudian
ataupun bertentangan dengan dasar-dasar umum dari keadilan dan kepatuhan
demi keamanan umum.

c. Masa Pemerintahan Raffles (Tahun 1811 – 1816)


Pada tahun 1811 Daendels diganti oleh Jansens yang tidak lama
memerintah, karena tahun itu juga kepulauan Nusantara dikuasai oleh Inggris.
Pemerintah Inggris kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles menjadi
Letnan Gubernur. Dalam pemerintahan Raffles, prefektur di Jawa diubah
menjadi sembilan belas dan kekuasaan Bupati dikurangi. Seluruh rakyat
dibebani “Landrente” (Pajak Bumi). Dalam bidang hukum, Raffles
mengutamakan susunan pengadilan yang dikonkordansikan susunannya
menjadi terdiri dari :

4
 Division Court
Terdiri dari beberapa pegawai pribumi, yaitu Wedana atau Demang dari
pegawai bawahannya. Mereka berwenang mengadili perkara pelanggaran
kecil dan sipil. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan kepada
Bupati’s Court.
 District’s Court atau Bupati’s Court
Terdiri dari bupati sebagai ketua, penghulu, jaksa dan beberapa pegawai
Bumiputera (pribumi) di bawah perintah Bupati. Wewenangnya adalah
mengadili perkara sipil. Dalam memberikan putusan, Bupati meminta
pertimbangan jaksa dan penghulu. Kalau tidak ada persesuaian pendapat,
maka perkawanya harus diajukan kepada Resident’s Court.
 Residens Court
Terdiri dari Residen, para Bupati, Hooft Jaksa dan Hooft Penghulu.
Wewenangnya mengadili seluruh perkara pidana selain perkara pidana
dengan ancaman hukuman mati.
 Court of Circuit
Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Bertugas sebagai
pengadilan keliling dalam menangani perkara pidana dengan ancaman
hukuman mati. Dalam peradilan ini dianut sistem juri yang terdiri dari 5
sampai 9 orang bumiputera yang dipilih oleh masyarakat (pemuka
masyarakat).
Raffles tidak melakukan perubahan terhadap hukum yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat Bumiputera. Anggapannya, aturan-aturan hukum yang
berlaku itu identik dengan Hukum Islam. Bahkan bagi hakim diperintahkan
untuk tetap memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum Bumiputera dalam
menyelesaikan perkara. Tetapi walaupun demikian hukum Bumiputera
dianggap lebih rendah derajatnya dari hukum Eropa.
Setelah Inggris menyerahkan Nusantara kepada Belanda pada tahun 1816
sebagai hasil Konvensi London 1814, maka seluruh tata pemerintahannya
mulai diatur dengan baik. Sejak saat itu sejarah perundang-undangan
membagi tiga masa perundang-undangan sebagai berikut :
a) Masa Besluiten Regerings (1814-1855)
Berdasarkan pasal 36 Nederlands Gronwet (Undang-undang Belanda)
tahun 1814, menyatakan bahwa “Raja yang berdaulat secara mutlak
mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta
milik negara di bagian-bagian lain…”, maka raja dalam monarki
konstitusional ini langsung mengurus dan mengatur daerah jajahannya.
Dalam melaksanakan kekuasaannya hanya raja yang berhak membuat dan
mengeluarkan peraturan yang berlaku secara umum dengan sebutan
“Algemene Verordening” (Peraturan Pusat). Karena peraturan pusat itu
disebut juga “Koninklijk Besluit” (Besluit Raja). Pengundangan dari
besluit-besluit yang dibuat oleh Raja ini disebut “Publicatie”, yaitu surat
selebaran yang diumumkan oleh Gubernur Jenderal. Koninklijk Besluit itu
sebenarnya kalau dilihat dari isi mempunyai dua sifat tergantung dari
kebutuhan dibuatnya peraturan tersebut. Kalau Besluit itu sebagai
tindakan eksklusif, maka disebut ketetapan raja, misalnya dalam hal

5
pengangkatan Gubernur Jenderal. Sedangkan yang merupakan tindakan
legislatif untuk mengatur rakyat, maka disebut “Algemene Verordening”,
misalnya peraturan di Belanda yang disebut “Algemene Maatregel van
Bestuur” (AMvB) atau Tindakan Umum tentang Tata Usaha Negara
(TUN).
Untuk melaksanakan pemerintahan di Kepulauan Nusantara yang
oleh pemerintah Belanda disebut “Nederlands Indie” (Hindia Belanda),
Raja mengangkat Komisaris Jenderal yang terdiri dari Elout, Buyskes dan
Van der Capellen. Mereka tidak mengetahui secara menyeluruh
peraturan-peraturan yang dibuat oleh Inggris. Karena itu tetap
memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku
pada masa pemerintahan Inggris berkuasa terutama mengenai Pajak Bumi
(Landrente) dan pertanian. Dalam bidang hukum, peraturan-peraturan
yang berlaku bagi orang-orang Belanda - sejak VOC dan tidak diganti
atau dicabut - tidak mengalami perubahan, karena menunggu rencana
pengkodifikasian hukum nasional Belanda. Sedangkan mengenai susunan
lembaga peradilan dan pelaksanaannya bagi orang-orang Bumiputera
masih tetap digunakan peradilan Inggris. Kekosongan kas negara belanda
sebagai akibat dari pendudukan Perancis tahun 1810-1814, diisi dengan
melaksanakan “Politik Agraria” tahun 1826 oleh Gubernur Jenderal Du
Bus De Gisignes. Dalam politik agraria itu mempekerjakan para
terhukum Bumiputera dengan “Dwangsarbeid” (Kerja Paksa)
berdasarkan Staatsblad (lembaran negara) 1826:16 yang membagi para
terhukum dalam dua golongan, yaitu :
1. Golongan yang dihukum kerja rantai (kettingarbeid), ditempatkan
dalam suatu tuchtplaats dan akan dipekerjakan pada openbare werker
di Batavia dan Surabaya.
2. Golongan yang dihukum kerja paksa (dwangsarbeid), terdiri dari
pekerja paksa diupah dan tidak diupah. Mereka ditempatkan dalam
suatu pekerjaan lepas (werkplaats) dan dipekerjakan pada
landbouweta-blissemeen (perkebunan negara) yang dibuat oleh
Pemerintah Belanda.
Politik agraria dengan kerja paksa ini dipertahankan oleh Gubernur
Jenderal Van den Bosch untuk melaksanakan Cultur Stelsel tahun 1830.
Pada tanggal 15 Agustus 1839, Menteri Jajahan di Belanda mengangkat
Komisi Undang-undang bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr.
Scholten van Oud Vaarlem sebagai Ketua, Mr. I Schneither dan Mr. I.F.H
van Nes, masing masing sebagai anggota, untuk menyelesaikan beberapa
peraturan yang kemudian disempurnakan menjadi terdiri dari3 :
1. Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan
Organisasi Pengadilan (POP)
2. Algemene Bapalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan Umum
tentang Perundang-undangan.

3
R. Abdoel Djamali, S.H, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta : 2003, hlm. 17

6
3. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Sipil
(KUHS).
4. Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD)
5. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan
tentang Acara Perdata.
Semua peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belanda
(Indonesia) sejak tanggal 1 Mei 1848 melalui Staatsblad 1847:23.
Peraturan yang telah dikodifikasi tersebut berlaku sebagai hukum positif
bagi negara-negara jajahan pemerintah Belanda, termasuk Indonesia,
sehingga sangat mempengaruhi politik hukum4 di Indonesia.
Politik hukum yang dijalankan oleh pemerintah Belanda di Hindia
Belanda secara tidak jelas dicantumkan dalam pasal 11 Algemene
Bepalingen van Wetgeving (AB), yang memuat perintah kepada hakim
untuk memperlakukan hukum perdata Eropa bagi golongan Eropa dan
hukum perdata Adat bagi golongan lain, dalam menyelesaikan perkara.
Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka pemerintah penjajahan Belanda
melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan tidak
tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan
terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel
(WvK), yang tidak dikodifikasikan terdapat dalam undang-undang dan
peraturan lainnya. Sedangkan yang tidak tertulis, yakni hukum perdata
adat dan berlaku bagi setiap orang diluar golongan Eropa. Corak
hukumnya dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum
perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata
lain yang berlaku bagi golongan Indonesia.
Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum perdata
berdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut Pasal
11 AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak
adanya asas pembeda yang tegas walaupun ada ketentuan pasalnya.
Pada tahun 1848 di Belanda terjadi perubahan terhadap
Grondwet-nya sebagai akibat dari pertentangan de staten general
(parlemen) dan raja yang berakhir dengan kemenangan Parlemen dalam
bidang mengelola kehidupan bernegara. Kemenangan itu mengubah
sistem pelaksanaan pemerintahan dari monarki konstitusioanl menjadi
monarki konstitusional perlementer. Adanya perubahan itu
mengakibatkan juga terjadinya perubahan terhadap pemerintahan dan
perundang-undangan negara-negara jajahan pemerintah Belanda,
termasuk Indonesia.

4
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Politik Hukum hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu
arti dari politik, yakni suatu kemungkinan untuk memberikan wujud sebenarnya kepada apa yang
dicita-citakan. Dalam kaitannya dengan “ilmu negara”, suatu politik berobjekhukum dan tugasnya
meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha membuat suatu ius constituendum menjadi pengganti
ius constitutum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Politik suatu negara biasanya
dicantumkan dalam Undang-undang Dasarnya.

7
Kekuasaan Raja terhadap daerah jajahan menjadi berkurang
walaupun Raja masih berhak mengeluarkan peraturannya sendiri. Namun
undang-undang tidak dibuat oleh Raja sendirian melainkan bersama-sama
dengan Parlemen. Peraturan dasar tentang pemerintahan yang dibuat
untuk kepentingan daerah jajahan di Indonesia dan berbentuk
undang-undang dinamakan Regerings Reglement (RR) dan diundangkan
pada tanggal 1 Januari 1854 tetapi mulai berlaku tahun 1855 melalui
Staatsblad 1855: 2. dan dianggap sebagai Undang-undang Dasar
Pemerintah Jajahan Belanda.
b) Masa Regerings Reglement (1855-1926)
Politik hukum pemerintah jajahan Belanda yang mengatur tentang
pelaksanaan tata hukum pemerintah di Hinda Belanda (Indonesia) itu
dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada dasarnya seperti tertera dalam
pasal 11 AB. Dalam pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan pengertian
terhadap penentuan penghuni menadi “pendatang” dan “yang didatangi”.
dan golongannya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa,
Indonesia dan Timur Asing.
Melalui Staatsblad 1866 : 55 diundangkan sebuah kitab hukum
pidana yang diperuntukkan bagi orang Eropa sebagai hasil saduran dari
Code Penal (KUHP Perancis) yang waktu itu berlaku di Belanda. Pada
tahun 1872, kitab hukum itu ditambahkan dengan “Algemene Politie
Strafreglement”. Sedangkan bagi orang bukan Eropa, melalui Staatsblad
1872 : 85 diundangkan berlakunya sebuah kitab hukum pidana yang
isinya hampir sama dengan kitab hukum pidana Eropa tahun 1866.
kemudian melalui Staatsblad 1872 : 111 diberlakukan juga sebuah
“Politie-strafreglement” bagi orang bukan Eropa. Pada tahun 1915,
dengan Staatsblad 1915 : 732 di Hindia Belanda diundangkan “Wetboek
van Strafrecht” dalam suatu kodifikasi yang berlaku bagi setiap golongan
sejak tanggal 1 Januari 1918.
Pada tahun 1918 inilah, pemerintah Belanda membentuk Volksraad
(Wakil Rakyat) sebagai hasil dari perjuangan bangsa Indonesia yang
menghendaki ikut serta dalam menentukan nasib bangsanya sendiri. Tata
pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia) mengalami perubahan. RR
yang berlaku sejak tahun 1855 diubah dan diganti menjadi “Indische
Staatsregeling” (IS) dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926
melalui Staatsblad 1925 : 415.
c) Masa Indische Staatsregeling (1926-1942)
Indische Staatsregeling (IS) mencantumkan politik hukumnya dalam
pasal 131 yang seluruh isinya merupakan salinan dari pasal 75 RR (baru).
Dilihat dari ketentuan pasal itu, maka secara prinsipil isinya mengandung
makna sebagai berikut :
1. Mengandung asas hukum tertulis dan tidak memuat perintah untuk
mengkodifikasikan hukum di Hindia Belanda dalam kitab hukum
tetapi menghendaki supaya hukum itu ditulis dan ditetapkan dalam
ordonasi

8
2. Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum bagi semua golongan
penghuni, tetapi tidak mengharuskan unifikasi dilaksanakan.
3. Adanya wewenang bagi pembentuk ordonansi untuk melakukan
penyimpangan terhadap Hukum Adat yang berlaku bagi golongan
Indonesia dan Timur Asing atas dasar kepentingan umum.
4. Menempuh corak dualistis dalam memberlakukan hukum perdata.
Hal ini dapat dilihat dari ayat 2 pasal 131 IS, bahwa bagi golongan
Eropa berlaku sistem hukum perdata dengan asas konkordansi,
sedangkan bagi golongan Indonesia dan Timur Asing berlaku hukum
perdata Adat masing-masing.
5. Kalau dilihat dari sistem hukum Adat yang berlaku bagi
masing-masing golongan Indonesia dan Timur Asing maka berarti
corak berlakunya sistem hukum Adat itu pluralistis.
Ketentuan pasal 131 IS menyatakan ada 3 golongan penghuni Hindia
Belanda yang terdiri dari golongan Eropa, golongan Indonesia dan
golongan Timur Asing. Bagi masing-masing golongan tersebut berlaku
sistem hukum yang berbeda. Politik hukum dilaksanakan dengan corak
berlakunya dualistis terhadap hukum perdata. Pemikiran seperti itu telah
ada ketika dimulainya pengkodifikasian hukum yang nantinya akan
diberlakukan kepada orang-orang Eropa untuk membedakan berlakunya
sistem hukum perdata itu bagi orang-orang di Hindia Belanda dengan
membedakan golongannya. Akan tetapi dikemudian hari, pemerintah
Belanda memaksakan pembelakuan hukum perdata Eropa, yang dinilai
lebih tinggi derajatnya, berlaku juga bagi golongan lain selain
orang-orang Eropa, dan dalam kenyataannya keadaan itu tidak dapat
dihindarkan dilihat dari kehidupan antargolongan yang tidak mungkin
berkomunikasi dengan baik tanpa adanya aturan hidup yang sama.
Pelaksanaan akan unifikasi hukum itu dilakukan bertahap dengan jalan
sebagai berikut :
1. Menyatakan berlakunya hukum perdata Eropa bagi golongan yang
dipersamakan dengan golongan Bumiputera
2. Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken)
3. Tunduk pada aturan hukum perdata Eropa
a) Tunduk secara sukarela untuk seluruh aturan
b) Tunduk pada sebagian aturan
c) Tunduk pada suatu tindakan hukum tertentu (tunduk secara
diam-diam)
4. Peraturan hukum perdata bagi orang-orang Cina

Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)

Pada bulan Maret 1942 balatentara Jepang dengan mudah dapat menduduki
seluruh daerah Hindia Belanda. Dalam keadaan darurat waktu itu (Pedang Dunia
II), pemerintahan Jepng di Indonesia membagi dua kekuasaan, yaitu :
1. Indonesia Timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di
Makassar

9
2. Indonesia Barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di
Jakarta.
Pusat pemerintahan untuk daerah-daerah Asia Tenggara yang diduduki
Jepang berada di Saigon. Pemerintah Jepang bepedoman kepada undang-undang
yang disebut Gunseirei, yang melalui Osamu Seirei mengatur segala hal yang
diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan, dimana peraturan pelaksananya
disebut Osamu Kanrei dan berlaku umum untuk seluruh golongan. Pemerintah
Jepang juga mempunyai undang-undang darurat atau yang sekarang dikenal
sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang disebut Tomi
Kanrei.
Dalam bidang hukum, melalui Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942, dalam
pasal 3 menyatakan bahwa “Semua badan pemerintahan dan kekuasaannya,
hukum dan undang-undang dari pemerintahan yang dahulu tetap diakui sah bagi
sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan
militer.” Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kekosongan hukum, disamping
mengatur perkembangan hukum sesuai dengan keadaan yang memerlukan
tindakan cepat. Peraturan perundangan yang berlaku tersebut adalah :
1. Indische Staatsregeling (IS)
2. Burgerlijk Wetboek (BW)
3. Wetboek van Koophandel (WvK)
4. Wetboek van Stragrecht (WvS)
Sedangkan residentiegerecht dihapuskan melalui Gunseirei No. 14 Tahun 1942.
Semua aturan hukum dan proses peradilannya selama masa penjajahan Jepang
berlaku sampai Indonesia Merdeka.

Zaman Indonesia Merdeka (1945-1950)

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan sebagai


bangsa merdeka dan lepas dari penjajahan siapapun. Sebagai bangsa yang
merdeka, pada tanggal 18 Agustus 1945 berlaku sebuah Undang-undang Dasar
(UUD). Sejak saat itu dimulailah dilaksanakan hasil perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia dengan tata susunan kenegaraan yang berpedoman kepada UUD
(yang kemudian dikenal dengan UUD 1945).
Pada umumnya suatu negara mencantumkan politik hukum negara itu pada
salah satu pasal dalam UUD. Namun dalam UUD 1945 yang batang tubuhnya
terdiri dari 37 pasal tidak mencantumkan tentang politik hukum negara Indonesia.
Namun bukan berarti Indonesia tidak memiliki politik hukum, hanya untuk
sementara, karena lembaga tertinggi negara waktu itu belum menjalankan
fungsinya, dan supaya tidak ada kekosongan hukum, maka Pasal II Aturan
Peralihan menyatakan : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Hal ini
berarti juga bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku pada zaman penjajahan
Jepang masih tetap berlaku.
Sayangnya pasal II Aturan Peralihan ini tidak sempat dikelola secara
menyeluruh untuk pembentukan hukum nasional Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh kedatangan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ke

10
Indonesia bersama dengan tentara Inggris yang bertugas melaksanakan
oemulangan tentara Jepang dari Indonesia. Kedatangan tentara NICA
mendapatkan perlawanan dari tentara Republik Indonesia.
Dalam kesibukan menghadapi serangan tentara NICA, pemerintah Republik
Indonesia masih tetap memperhatikan keadaan hukum untuk kepentingan rakyat,
dengan melakukan penyesuaian terhadap ketentuan pada Wetboek van Strafrecht
voor Nederland Indie yang rampung pada tanggal 26 Februari 1946 dengan
diundangkannya Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
melalui UU Nomor 1 Tahun 1946.
Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar pada bulan Desember 1949,
wilayah Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda dijadikan negara Republik
Indonesia Serikat (RIS) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1950.

Zaman Republik Indonesia Serikat (1950-1959)

Setelah Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) berlaku


ketentuan-ketentuan pedoman bernegara yang dituangkan sebagai konstitusi
(UUD) RIS. Sebenarnya dalam bidang hukum, aturan-aturan yang digunakan
antara negara bagian Republik Indonesia dan negara bagian Republik Indonesia
Serikat tidak ada perbedaan yang prinsipal, karena keduanya menggunakan
aturan-aturan hukum yang dicantumkan dalam Indische Staatsregeling. Tetapi
kalau dilihat ruang lingkup negara RIS meliputi seluruh wilayah yang oleh
pemerintah Belanda dulu dinamakan Nederlands Indie, maka pasal 192 UUD
RIS5 tentunya lebih berwenang dalam mengatur pelaksanaan hukum di seluruh
wilayah Republik Indonesia Serikat.
Alat-alat perlengkapan negara RIS yang berkedudukan di Jakarta sebagai
Ibukota Negara, terdiri dari : Presiden, Menteri-menteri, Senat, dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Berdasarkan seperangkat alat-alat perlengkapan negara
RIS melaksanakan pemerintahannya dibawah pimpinan Raja Belanda sebagai
Uni-Indonesia-Belanda. Tetapi bagi bangsa Indonesia, pembentukan negara RIS
merupakan politik negara sebagai bentuk kolonisasi modern. Sehingga
menimbulkan berbagai pergolakan dan gejolak petisi spontan dari rakyat yang
menginginkan kembalinya negara kesatuan dengan jalan penggabungan diri
kepada negara bagian Republik Indonesia. Untuk mewujudkan keinginan rakyat,
pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menggadakan rapat gabungan
dengan DPR dan Senat, dan menyatakan terbentuknya negara kesatuan. Pada
tanggal 17 Agustus 1950, DPR dan Senat menyetujui hasil pembahasan tersebut
dan sejak saat itu bangsa Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Untuk menjalankan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dibentuklah sebuah lembaga yang dinamakan Konstituante, yang bertugas khusus

5
Pasal 192 UUD RIS mengatur tentang aturan peralihan yang berbunyi sebagai berikut :
“Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan tata usaha uang sudah ada pada saat konstitusi ini
berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RIS
sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini”

11
untuk membuat UUD yang diperlukan sebagai pedoman bernegara. Setelah
Konstituante bekerja kurang lebih dua setengah tahun namun belum juga
menyelesaikan tugasnya dalam membuat UUD, maka pada tanggal 22 April 1959
Presiden menyampaikan saran kepada Sidang Pleno Konstituante untuk
menetapkan kembali UUD 1945. Setelah dilakukan pemungutan suara yang tidak
memenuhi syarat quorum, maka Presiden pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959
sekitar pukul 17.00 WIB membacakan Dekrit Presiden di Istana Merdeka, yang
berisi :
1. Membubarkan Konstituante
2. UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia
3. Akan segera membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
anggotanya terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), utusan-utusan
daerah, dan golongan-golongan tertentu, serta akan membentuk Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) Sementara.
Dengan dikeluarkannya dekrit itu berarti sejak tanggal 5 Juli 1959 UUD 1945
berlaku kembali bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia - Orde Lama (1959-1966)

Berdasarkan penjelasan UUD 1945 dalam “Pembukaan” terdapat


pokok-pokok pikiran yang memperlihatkana danya pancaran dari falsafah negara
Indonesia, yakni Pancasila. Sedangkan dalam batang tubuh UUD 1945 terdiri dari
37 pasal, yang secara sistematik menguraikan unsur-unsur persyaratan
terbentuknya sebuah negara, yakni sebagai berikut :
1. Adanya Rakyat : UUD 1945 menghapuskan penggolongan penduduk dengan
hanya mengenal Warga Negara Indonesia (WNI)6 dan Warga Negara Asing
(WNA)7.
2. Adanya wilayah
3. Adanya organisasi-organisasi pemerintahan : yang terdiri dari MPR, Presiden
dan Wakil Presiden, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung
Kemudian dengan Ketetapan Presiden No. 282 tahun 1964 dibentuk suatu
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional gaya baru. Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional yang bertugas melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional sesuai dengan
UUD 1945 dan sebagaimana yang dikehendaki oleh MPRS dengan tujuan
mencapai satu tata hukum nasional berdasarkan Pancasila, yaitu dengan :
Menyiapkan Rancangan Peraturan-peraturan perundang-undangan dengan
berpedoman kepada :
a. Ketentuan-Ketentuan yang telah ditetapkan dalan Ketetapan MPRS.
b. Kebijaksanaan Politik Menteri Kehakiman dalam tata ketetapan Hukumn
Nasional.

6
Berdasarkan UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan yang berlaku pada saat itu, dasar untuk
menjadi WNI adalah : 1. Kelahiran, 2. Pengangkatan (Adopsi), 3. Permohonan menjadi WNI dikabulkan
(perwalian). 4. Pewarganegaraan (Naturalisasi). 5, Akibat perkawinan dengan WNI. 6. Turut orang tua.
7
Warga Negara Asing itu terdiri dari warga negara pelbagai negara dari luar Indonesia dan menjadi
penghuni di Negara Kesatuan Republik Indonesia

12
c. Menyelenggarakan Riset dan Dokumentasi serta segala sesuatu yang
diperlukan untuk menyusun peraturan perundangan. Kedudukan Lembaga ini
kemudian lebih disempurnakan lagi dengan Keputusan Presiden tanggal 24
Juli 1965 No. 184 / 1965.
Melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor YS. 4/3/7 tahun 1975
mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman, nama
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) dirubah menjadi Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Di dalam pasal 616 disebutkan bahwa
“Badan Pembinaan Hukum Nasional mempunyai tugas menyelenggarakan
Pengembangan Hukum Nasional berdasarkan Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Menteri Kehakiman.”
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada Pasal 616 Badan Pembinaan
Hukum Nasional mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Membina penyelenggaraan pertemuan ilmiah bidang hukum
b. Membina Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional
c. Membina penyusunan naskah rancangan undang-undang dan kodifikasi.
d. Membina Pusat dokumentasi, perpustakaan dan publikasi hukum (Pasal 617)
Setelah mempelajari asas-asas hukum yang hidup dikalangan rakyat Indonesia,
mengadakan rapat “Hearings”8 dari golongan masyarakat maka pada tahun 1962
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah berhasil merumuskan asas-asas Tata
Hukum Nasional itu sebagai berikut :
 Dasar Pokok Hukum Nasional Republik Indonesia adalah : “Pancasila”
Hukum Nasional bersifat :
a. Pengayoman
b. Gotong royong
c. Kekeluargaan
d. Toleransi dan Anti Kolonialisme, Imperialisme dan Feodalisme.
 Semua Hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis. Selain Hukum
tertulis diakui berlaku hukum tidak tertulis sepanjang tidak menghambat
terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia.
 Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis melalui Yurisprodensi
ke arah keseragaman hukum (Homogenitas) yang seluas-luasnya dan dalam
hukum kekeluargaan ke arah sistem Parental.
 Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin di
himpun dalam bentuk Kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum
Dagang, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata) Untuk pembangunan
masyarakat sosialis Indonesia diusahakan Unifikasi hukum. Dalam Perkara
Pidana :
 Hakim berwenang sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik karena
jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang berkepentingan.
 Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang patut dan adil
disamping atau tanpa pidana.
 Sifat Pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi
warga negara yang bermanfaat bagi masyarakat.

8
Hearing = Jajak Pendapat

13
 Dalam bidang Hukum Acara Perdata diadakan jaminan supaya peradilan
berjalan sederhana cepat dan murah.
 Dalam bidang Hukum Acara Pidana diadakan ketentuan yang merupakan
jaminan kuat untuk mencegah :
a. Seseorang tanpa sadar hukum yang cukup kuat ditahan atau ditahan lebih
lama dari yang benar-benar diperlukan.
b. Penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat dilakukan
sewenang-wenang.
Untuk menghimpun berbagai pemikiran tentang masalah-masalah hukum
dalam rangka Pembinaan Hukum Nasional oleh LPHN / BPHN diselenggarakan
beberapa kali Seminar Hukum Nasional yang bekerjasama antara lain dengan
Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI), Fakultas Hukum dan Ilmu
Pengetahuan Kemasyarakatan Universita Indonesia, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, yaitu :
 Seminar Hukum Nasional I di Jakarta Tahun 1963
 Seminar Hukum Nasional II di Semarang Tahun 1968
 Seminar Hukum Nasional III di Surabaya Tahun 1974
Dasar asas-asas Hukum Nasional yang digariskan oleh LPHN tersebut di atas
mendapat dukungan sepenuhnya dari Seminar Hukum Nasional I sebagaimana
yang terlihat dalam kesimpulannya yang menyatakan :
 Dasar Pokok Hukum Nasional Republik Indonesia ialah Pancasila
 Hukum Nasional sebagai alat revolusi dengan arti “Tutwuri Handayani” serta
sebagai ekspresi cita-cita Politik rakyat berfungsi pengayoman dalam arti
membina, mengatur, melindungi tertib masyarakat sosialisme Indonesia,
dimana dijamin keseimbangan antara kepetingan masyarakat dan kepentingan
individu.
 Hukum Nasional Indonesia mencerminkan sifat gotong-royong, kekeluargaan,
toleransi dan anti Imperialisme, Kolonialisme serta Feodalisme dalam segala
bentuk.
Seminar Hukum Nasional II di Semarang Tahun 1968, setahun penulis tidak
membicarakan tentang dasar hukum nasional Indonesia.
Dalam Seminar Hukum Nasional ke III di Surabaya Tahun 1974, kita jumpai
kembali kesimpulan tentang dasar-dasar pembinaan Hukum Nasional sebagai
berikut :
 Dasar Pembinaan Hukum Nasional adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
 Pembinaan Hukum Nasional meliputi seluruh Hukum Positif Indonesia, baik
hukum sipil maupun militer, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
 Penemuan dan Pembentukan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah
tugas badan-badan Legislatif, Eksekutif, dan Peradilan dalam bentuk
peraturan perundangan, keputusan-keputusan dan dalam putusan-putusan
hakim.
Seminar Hukum Nasional ke IV diselenggarakan di Jakarta pada Tanggal
26-30 Maret 1979. Mengenai Sistem Hukum Nasional ini antara lain
menyimpulkan sebagai berikut :

14
“Sistem Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan Kesadaran Hukum
Rakyat Indonesia. Landasan Hukum Nasional ialah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.”
Asas-Asas umum Hukum Nasional adalah asas-asas yang tercantum dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978) yaitu :
a. Asas Manfaat
b. Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan
c. Asas Demokrasi
d. Asas Adil dan Merata
e. Asas Perikehidupan dalam Keseimbangan
f. Asas Kesadaran Hukum
g. Asas Kepercayaan Kepada Diri Sendiri
Fungsi Hukum Nasional ialah Pengayoman Dalam rangka menciptakan
Ketertiban dan Kepastian Hukum untuk memperlancar Pembangunan Nasional,
Hukum Nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Di samping
itu hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari Hukum Nasional.
Untuk memelihara Persatuan dan Kesatuan, Hukum Nasional dibina ke arah
Unifikasi dengan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, khususnya dalam
bidang-bidang yang erat hubungannya dengan kehidupan spiritual.
Tentang sistem pidana ditetapkan harus disesuaikan dengan nilai yang
terkandung di dalam Pancasila. Dari kesimpulan Seminar Hukum Nasional IV
tersebut diatas kiranya jelas dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum Adat masih
tetap akan mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan Hukum
Nasional kita yang akan datang.
Mengenai Pancasila sebagai dasar Pembinaan Hukum Nasional kiranya tidak
perlu dipermasalahkan lagi karena sudah merupakan suatu Konsensus Nasional
yang menyatakan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber
hukum, begitu pula halnya dengan UUD 1945 yang merupakan Hukum Dasar
Tertulis dalam kehidupan bernegara di negara kita.
I. Berlainan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) di bidang Hukum memperlihatkan adanya Tendensi yang
selalu berubah untuk setiap periode pembangunan.Ketetapan MPRS No. II
/ MPRS / 1960 antara lain menyebutkan :
“Asas-asas Pembinaan Hukum Nasional itu sesuai dengan Haluan Negara
dan berlandaskan pada Hukum Adat yang tidak menghambat
perkembangan masyarakat adil dan makmur”
II. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973 memberikan
beberapa ketentuan tentang Pembangunan di bidang hukum sebagai
berikut :
1. Pembangunan di bidang hukum dan Negara Hukum Indonesia adalah
berdasar atas landasan sumber tertib hukum Negara yaitu cita-cita
yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita
hukum serta cita-cita yang luhur yang meliputi suatu kejiwaan serta
watak dari bangsa Indonesia yang dipadatkan dalam Pancasila dan
UUD 1945.

15
2. Pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum rakyat yang berkembang kearah
modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala
bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai
prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan
kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang
perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh,
dilakukan dengan :
a.Peningkatan dan penyempurnaan Pembinaan Hukum Nasional
dengan mengadakan pembaharuan, kodifikasi sertan unifikasi
hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan
kesadaran hukum dalam masyarakat.
b. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya
masing-masing.
c.Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
3. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap
para penguasa dan para pejabat pemerintah ke arah penegakan hukum,
keadilan serta perlindungan terhadap harkat, martabat dan ketertiban
serta kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945.
III. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1978 merumuskan
tentang arah pembangunan di bidang hukum sebagai berikut.
1. Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia
didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung
dalam Pancasila dan UUD 1945.
2. Pembagian dan Pembinaan bidang Hukum diarahkan agar hukum
mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah diciptakan
ketertiban dan kepastian hukum dan memperlancar pelaksanaan
pembangunan.
a.Peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan antara lain
mengadakan pembaharuan kondifikasi serta unifikasi hukum
dibidang - bidang tertentu dalam masyarakat
b. Menertibkan badan – badan penegak hukum sesuai dengan fungsi
dan wewenangnya masing – masing.
c.Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegah hukum
d. Membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan
masyarakat yang kurang mampu.
3. Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat sehingga
menghayati hak dan kewajibannya dan meningkatkan pembinaan sikap
para pelaksanaan penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban
serta kepastian hukum sesuai dengan Undang – undang Dasar 1945.
4. Mengusahakan terwujudnya Peradilan Tata Usaha Negara
5. Dalam usaha pembangunan hukum nasional perlu ditingkatkan
langkah – langkah untuk penyusunan perundang – undangan yang

16
menyangkut hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka
mengumumkan Pancasila dan UUD 1945
Dalam rangka pembentukan Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan
seminar – seminar Hukum Nasional mulai dari yang pertama sampai yang terakhir
jalan arah dan tujaun pembentukan Hukum Nasional Indonesia adalah
berdasarkan Hukum Adat. Dan untuk lebih menegaskan hal seperti tersebut di atas
maka berdasarkan : Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
tanggal 17 Desember 1974 No. Y.S.8/82/23 : telah ditetapkan untuk
menyelenggarakan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional pada
tanggal 15–17 Januari 1975 yang penyelenggaraanya dilakukan oleh BPHN dan
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada di Yokyakarta.
Yang menjadi dasar pertimbangan dari pada diadakan seminar tersebut
adalah :
a. Bahwa di dalam usaha kondifikasi dan unifikasi hukum dalam rangka
pembinaan hukum nasional memerlukan bahan – bahan khususnya Hukum
Adat di Indonesia.
b. Bahwa di dalam membina Hukum Nasional, Hukum Adat yang merupakan
hukum yang hidup di dalam masyarakat perlu diperhatikan
c. Bahwa adanya plun formilitas hukum yang hidup dalam masyarakat
Indonesia perlu digali dan dibahas dalam satu seminar untuk mendapatkan
gambaran yang jelas dan nyata tentang hukum adat yang benar – benar hidup
dan berlaku di seluruh tanah air.
Dalam seminar inilah jelas terlihat arah dan kebijaksanaan pemerintah dalam
menetapkan Hukum Nasional yang nantinya akan berlaku bagi seluruh penduduk
Indonesia dan sekaligus menegaskan pendirian Pemerintah tentang sifat Hukum
Adat sebagai. Hukum Nasional atas hukum yang bersumber pada kepribadian
bangsa.
Hal yang dianggap perlu atau relevant dalam seminar tersebut kaitannya
dengan pembentukan hukum nasional yang berdasarkan adat adalah :
1. Mengenai Pengertian Hukum Adat :
Dengan menghargai pengertian yang dikembangkan masing-masing
peserta mengenai Hukum Adat, sesuai dengan pengertian hukum yang
dianut serta panafsiran yang dipergunakannya, dalam seminar ini hukum
adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli, yang tidak tertulis dalam
bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini
mengandung unsur agama.
2. Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat
a. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk
memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan Hukum Nasional yang
menuju kepada Unifikasi hukum dan yang terutama akan dilakukan
melalui pembuatan peraturan perundangan, dengan tidak mengabaikan
timbul/tumbuh dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan
dalam pembinaan hukum.
b. Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan
Hukum Nasional pada dasarnya berarti :

17
3. Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari Hukum Adat
untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan
masyarakat masa kini dan mendatang., dalam rangka membangun
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4. Penggunaan lembaga-lembaga Hukum adat yang dimodernisir dan
disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan
sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
5. Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas Hukum Adat ke dalam
lembaga-lembaga hukum baru dan lembaga-lembaga hukum dari Hukum
asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan
Hukum Nasional agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945.
a. Di dalam pembinaan Hukum harta kekayaan nasional, Hukum Adat
merupakan salah satu unsur, sedangkan dalam pembinaan Hukum
keseluruhan dan Hukum Kewargaan Nasional merupakan intinya.
b. Dengan terbentuknya Hukum Nasional yang mengandung unsur-unsur
Hukum Adat, maka kedudukan dan peranan Hukum Adat telah
terserap di dalam Hukum Nasional.
Demikianlah sikap politik hukum khususnya hukum adat dari pemerintah
setelah Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17-08-1945 yang jelas
arah dan tujuannya yaitu berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan UUD1945 khususnya pasal 5 dan 20 UUD 1945 adalah
mengutamakan jalur Kodifikasi tetapi isinya adalah berdasarkan pandangan hidup
dan kepribadian bangsa yang tertuang dalam Pancasila yang sekaligus merupakan
dasar falsafah Bangsa Indonesia.
Meski telah merdeka, pada tahun 1950 hingga tahun 1960-an negara
Indonesia berada dalam kondisi yang relatif tidak stabil. Bahkan setelah Belanda
secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, keadaan politik
maupun ekonomi Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan diantara
kelompok-kelompok politik. Keputusan Presiden Soekarno untuk mengganti
Sistem Parlemen dengan Demokrasi Terpimpin, yakni membentuk Kabinet
Dwikora, memperparah kondisi ini. Presiden Soekarno juga dinilai memperuncing
persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia yang kala
itu mempersenjatai diri.
Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (atau dikenal dengan
peristiwa G30S-PKI) mengakibatkan semakin berangusnya Partai Komunis
Indonesia (PKI). Peristiwa ini dinilai oleh ahli sejarah hukum sebagai ujung
tombak kelemahan pada kekuasaan era pemerintahan Presiden Soekarno.
Pada saat Sidang Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan dipimpin oleh
Presiden Soekarno sedang berlangsung pada tanggal 11 Maret 1966, ajudan
presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal
dan kerumunan massa (gabungan kesatuan aksi mahasiswa Indonesia) yang
menuntut tiga tuntutan kepada pemerintah, yakni pembubaran PKI beserta
ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora serta penurunan harga pangan.
Tuntutan ini kemudian dikenal dengan Peristiwa Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat).
Presiden Soekarno langsung menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil

18
Perdana Menteri (Waperdam) II saat itu, Dr. Johannes Leimena, dan langsung
berangkat menuju Istana Bodor didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio dan
Waperdam III Chaerul Saleh.
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayjen Basuki Rachmat,
Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amir Machmud bertemu dengan Letjen Seoharto
selaku Menteri Panglima Angkata Darat dan Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin
menghadap Presiden Soekarno. Segera setelah mendapatkan ijin ketiga perwira
tinggi ini menuju Istana Bogor untuk melaporkan kepada Presiden bahwa
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam kondisi siaga dan
memohon kepada Presiden Soekarno untuk mengambil tindakan dalam mengatasi
keadaan ini.
Presiden Sokarno lalu mengeluarkan Surat Perintah kepada Letjen Soeharto
untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan dan
stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat
Perintah 11 Maret 1966 (atau Supersemar).
Sebagai tindaklanjut keluarnya Supersemar, Letjen Soeharto mengeluarkan
Surat Keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi PKI serta
ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengan PKI untuk
beraktivitas dan hidup di wilayah NKRI. Keputusan ini kemudian diperkuat
dengan Keputusan Presiden, Pangti ABRI, Mandataris MPRS No 1/3/1966
tanggal 12 Maret 1966.
Dalam rangka memenuhi Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan
MPRS No XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet
Ampera. Tugas Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan
stabilitas politik yang dikenal dengan Dwidarma Kabinet Ampera. Program kerja
yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera.
Kabinet Ampera secara de facto dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun
pelaksanannya dilakukan oleh Presidium Kabinet yakni Jenderal Soeharto.
Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan yang menjadikan kondisi stabilitas
politik dan hukum di Indonesia kala itu kurang baik. Hal ini dikarenakan Presiden
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik namun kekuataan
kekuasaannya perlahan-lahan melemah, khususnya di bidang militer dan
kedekatan Presiden Soekarno dengan Uni Soviet dan Tiongkok kala itu
menambah kekhawatiran rakyat bahwa Indonesia bergerak menjadi negara
komunis.
Akhirnya pada tanggal 22 Februari 1967 untuk mengatasi situasi konflik yang
semakin memuncak kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada
Jenderal Soeharto yang dituangkan dalam Pengumuman Presiden Mandataris
MPRS, Panglima Tinggi ABRI tanggal 20 Februari 1967. Pengumuman itu
didasarkan pada Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa
apabila Presiden berhalangan, pemegang Supersemar berfungsi sebagai pemegang
jabatan Presiden.

19
Zaman Orde Baru (1966-1998)9

Orde baru lahir dari diterbitkannya Supersemar pada tahun 1966 yang
kemudian menjadi dasar legalitas penyerahan kekuasaan tertinggi Presiden
Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Orde baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan negara pada kemurnian pelaksanaan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Pada tanggal 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan
pemindahan kekuasaan pemerintahan di hadapan sidang DPRHR. Namun,
lembaga pemerintah pada saat itu berpendirian bahwa sidang MPRS perlu
dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional, karena itu
diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta,
yang pada akhirnya resmi mengangkat Soeharto sebagai Presiden NKRI.
Di awal kekuasaannya, pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan
ekonomi yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya. Untuk mengatasi
kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan TAP MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada
pengendalian inflasi dan usaha rehabitiasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan
ekonomi dan kecukupan kebutuhan sandang. Pada tanggal 1 April 1969,
pemerintahan Presiden Soeharto menciptakan landasan pembangunan yang
disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang kemudian
disebut Repelita I (1969-1974), yang berfokus pada rehabitilitasi prasarana
penting dan pembangunan iklim usaha dan investasi. Pembangunan sektor
pertanian diberi prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum
membangun sektor-sektor lain.
Repelita II (1974-1979) dan Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian
pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional dan pemerataan pembangunan dengan
penekanan pada sektor pertanian dan industri pengolahan bahan mentah menjadi
bahan baku. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada
beras. Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain
berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak
menitikberatkan pada sektor industri khususnya yang menghasilkan barang ekspor,
industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.
Selain mensukseskan program Repelita, pemerintahan Orde Baru juga
berhasil dalam beberapa program sebagai berikut :
1. Program Transmigrasi sebagai upaya pemerataan kesejahteraan penduduk;
2. Program Keluarga Berencana (KB) untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk;
3. Program berantas buta huruf dengan Gerakan Wajib Belajar;
4. Program Puskesmas, Posyandu, Kamtibnas, Lumbung Desa, Karang Taruna
dan sebagainya sebagai upaya kontribusi rakyat terhadap kesejahteraan,
keamanan, ketertiban dan kesehatan antar penduduk; Dan sebagainya.

9
Vatikiotis, Michael R.J (1998), Indonesian Politics Under Soeharto : Rise and Fall the New Order, London:
Routledge. ISBN 0-203-25980-7

20
Namun kesuksesan pemerintahan Orde Baru ini dinodai dengan semaraknya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kesenjangan pembangunan di pusat dan di
daerah, kecemburuan antara penduduk asli dan transmigran, bertambahnya
kesenjangan sosial (timbulnya jurang yang semakin lebar antara si kaya dan si
miskin), kebebasan pers dibatasi, menurunnya kualitas birokrasi di Indonesia
karena tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaaan kepada presiden
selanjutnya atau disebut juga sebagai the lost generation), munculnya program
petrus (penembakan misterius), kritik dibungkam dan oposisi diharamkan.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi
Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan jatuhnya harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya. Hal ini membuat mata uang rupiah
jatuh, inflasi meningkat tajam dan perpindahan modal dipercepat. Keadaan negara
Indonesia semakin diperburuk oleh praktek-praktek KKN yang semakin
merajalela hingga ke daerah-daerah, sehingga perekonomian Indonesia semakin
terpuruk. Hal ini memicu gejolak kemarahan massa yang meluas hingga massa
menduduki gedung MPR - DPR RI, Istana Merdeka dan berbondong-bondong
mendatangi ibukota dengan longmarch. Meskipun aksi massa ini dihadang oleh
pemerintah melalui kepolisian, tetapi aksi demonstrasi massa ini terus
berlangsung secara merata hingga ke daerah dan selama beberapa waktu. Hingga
akhirnya membuat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tepat
tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ke-tujuh. Turunnya
Presiden Soeharto ini otomatis menjadikan Wakil Presiden kala itu, BJ Habibie,
menjadi Presiden ketiga Indonesia. Mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya
pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda berakhirnya Orde Baru untuk
kemudian digantikan dengan Era Reformasi.

Zaman Reformasi (1998-2020)

Istilah Reformasi pertama kali digunakan oleh Paus Gregorius VII, yang
artinya sebagai usaha untuk membentuk kembali. Menurut Soetandyo
Wignojosoebroto, reformasi tidak hanya dimaknai sebagai usaha untuk
membentuk kembali, melainkan sebagai usaha melaksanakan perbaikan tatanan di
dalam struktur.
Sedangkan tujuan reformasi yaitu untuk memperbaiki sistem hukum,
menegakkan supremasi hukum, sistem politik, agar dapat mencapai tujuan negara
sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi yakni meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur. Reformasi ini diperlukan
karena:
1) Orde baru telah membangun sistem politik monopoli dan mempertahankan
status quo.
2) Orde baru membatasi jumlah partai politik (2 partai politik dan golkar)
3) Memelihara birokrasi yang otoriter
4) Membangun ekonomi klientelisme ekonomi pemerintah dan swasta.
5) Melakukan represi ideologi serta penggunaan wacana otoriter.

21
Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya
saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan
wakil presiden BJ Habibie. Salah satu latar belakang jatuhnya Pemerintahan
Presiden Soeharto ini, yaitu terjadinya krisis finansial Asia yang
menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan
masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan
Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang
kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan
mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar
dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan
diri dari jabatannya.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol,
pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi.
Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan
Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan
kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap.
Pada pemilu tahun 1999, Abdurrahman Wahid terpilih sebgai Presiden
keempat RI. Dalam pemerintahanya banyak diwarnai dengan gerakan-
gerakan separatisme yang makin berkembang di Aceh, Maluku dan Papua. Selain
itu, banyak kebijakan Abdurrahman Wahid yang ditentang oleh MPR/DPR.
Selanjunya pada tahun 2004, Pemilihan umum secara langsung untuk pertama
kalinya dilakukan dan yang terpilih ialah Presiden SBY yang kemudia juga
terpelih untuk kedua kalinya. Perbaikan dari sektor hukum yang terjadi pada masa
ini juga tidak terlalu memuaskan.
Di era reformasi ini, terjadi tonggak sejarah hukum yang sangat fundamental
dimana UUD 1945 sebagai dasar negara di-amandemen hingga 4 kali dalam
runtun waktu yang cukup singkat. Pasca dilakukannya amandemen
Undang-undang Dasar 1945 sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 menghadirkan
warna baru dalam perjalanan sistem hukum Indonesia. Melihat secara historikal
pembentukan sistem hukum Indonesia yang berangkat dari konsep hukum adat
yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang pada akhirnya dipengaruhi oleh
sistem hukum Belanda ketika belanda menjajah Indonesia. Proses konkordansi
atas sistem hukum Belanda mewarnai pembentukan sistem hukum Indonesia yang
notabenenya tidak dapat dipungkiri masih meninggalkan sisa dalam beberapa
bagian sistem hukum Indonesia.
Bahwa Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen sudah lebih baik
daripada Undang-undang Dasar 1945 yang asli rasanya tidak dapat dibantah oleh
siapa pun. Setelah Undang-undang Dasar 1945 dirubah tampak jelas bahwa
kehidupan demokrasi tumbuh semakin baik. Dilakukannya perubahan itu sendiri
sudah merupakan kemajuan yang sangat besar bagi demokrasi sebab pada masa
lalu setiap gagasan untuk mengubah Undang-undang Dasar 1945 dianggap
subversive.10
10
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta,
2007, hlm. xiv-xv.

22
Berkaitan dengan hal di atas, ciri apapun yang dilekatkan pada sistem hukum
tertentu, ciri tersebut sama dengan yang ada pada sistem atau proses manapun.
Pertama di sana ada input, bahan-bahan mentah yang masuk pada satu sisi sistem
tersebut17. Namun berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai yang
dikristalkan di dalam tujuan negara, dasar negara, dan cita hukum, maka yang
diperlukan adalah suatu sistem hukum nasional yang dapat dijadikan wadah atau
pijakan dan kerangka kerja politik hukum nasional.11
Jadi, sejarah hukum pada zaman reformasi ini lebih ditekankan pada
tereliminasi posisi ABRI di DPR, DPD menggantikan Utusan Daerah dan
Utusan golongan, Terbentuknya multi partai politik, Terealisasinya
penyelenggaraan otonomi daerah yang dititik beratkan pada daerah Tk. II, MPR
hanya sebagai forum pertemuan antara DPD dan DPR, Presiden dan Wakil
Presiden dipilih langsung serta Terbentuknya lembaga hukum yang baru seperti
MK, KPK dan KY. Akan tetapi persoalan hukum yang lain yang mesti harus
disempurnakan kembali yaitu biaya demokrasi masih terlalu mahal, Terjadi
korupsi merajalela dimana-mana, Fungsi DPD sebagai wakil daerah sangat
terbatas, karena hanya beranggotakan 1/3 dari anggota DPR, maka dalam voting
“one man one voute”, tdk ada keseimbangan dengan anggota DPR,
Penegakan hukum belum mencerminkan jiwa reformasi (terutama para
aparat penegak hukum masih ada yang bermental korup) serta Pelaksanaan
otonomi daerah yang berbasis pada Bottom up, belum menunjukkan hasil yang
maksimal.
Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat telah melalui perjalanan sejarah
panjang dalam kepemimpinan nasional sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945. Hingga saat ini Indonesia telah memiliki tujuh
orang presiden, sejak Presiden Ir. Soekarno, hingga Presiden yang
baru terpilih dalam Pemilihan Presiden 2014, Ir. H. Joko Widodo.

Zaman Sekarang (2020)

Presiden Ir. H. Joko Widodo atau lebih dikenal dengan nama Jokowi terpilih
menjadi Presiden Republik Indonesia melalui pemilihan secara langsung oleh
rakyat dalam Pemilihan Presiden tahun 2014 berdasarkan Surat Keputusan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 536/Kpts/KPU/Tahun 2014 Tentang Penetapan
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, dengan perolehan 70.997.833 suara
atau 53,15 persen dari total suara sah nasional. Namun demikian walaupun
Jokowi merupakan presiden pilihan rakyat yang ketika kampanye banyak
mengusung tema kesejahteraan “wong cilik” dan stabilitas nasional serta memiliki
bekal pengalaman yang cukup baik ketika memimpin Kota Solo dan Provinsi DKI
Jakarta, tetapi kebijakan-kebijakan yang diambilnya seringkali membuat
kontroversi dalam masyarakat, dengan berbagai permasalahan yang mulai nampak
ke permukaan sejak awal beliau dilantik menjadi Presiden. Hal tersebut
diakibatkan oleh sikap Presiden Jokowi yang dianggap kurang tegas dalam
11
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta,
2007, hlm. 21.

23
memutuskan suatu permasalahan politik serta kebijakan yang dikeluarkan
Presiden seringkali dianggap sebagai kebijakan yang menguntungkan partai
pendukungnya. Masyarakat menilai Jokowi telah “tersandera” oleh partaipartai
politik pendukungnya, dimana hal terlihat dari komposisi menteri-menteri pada
Kabinet Kerja yang dibentuk Jokowi dan Jusuf Kalla didominasi oleh kaderkader
partai pengusung dirinya dalam Pemilihan Presiden tahun 2014 silam.
Permasalahan-permasalahan yang timbul turut memicu situasi politik semakin
memanas sehingga membuat gejolak di berbagai bidang kehidupan masyarakat
terutama yang mencakup hajat hidup orang banyak, seperti ketika Jokowi
memutuskan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kemudian
diturunkannya kembali, serta kekisruhan pengisian jabatan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang kemudian berujung pada konflik antara
KPK-POLRI.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Presiden Jokowi sebagai seorang
pemimpin yang baru saja memimpin negeri ini harus berusaha untuk
mengembalikan lagi kepercayaan dari rakyat yang dipimpinnya dengan
melakukan perbaikan-perbaikan dari berbagai sisi. Walau demikian
kepemimpinan Presiden Jokowi yang terbilang cukup unik ini banyak menjadi
bahan pembicaraan di kalangan masyarakat luas, tidak terkecuali di kalangan
mahasiswa yang terkenal cukup kritis terhadap pemerintah. Hal ini menarik untuk
diperhatikan, sebab kepemimpinan Presiden Jokowi yang demikian itu seringkali
dikatakan jarang atau bahkan belum pernah dialami pada masa kepemimpinan
para Presiden Indonesia sebelumnya. Ciri khas kepemimpinan Presiden Jokowi
akan nampak dari kebijakankebijakan yang dikeluarkannya adalah sesuai dengan
paradigmanya. Apapun paradigma dan kebijakan yang diambil harus berpijak
pada kehendak umum (general will) untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia sangat besar peranannya
dalam setiap pengambilan keputusan, karena membuat keputusan dan mengambil
tanggung jawab terhadap hasilnya adalah salah satu tugas seorang pemimpin.
Persepsi publik sangat penting dalam keberlangsungan suatu kepemimpinan,
sehingga pemimpin dapat menilai hal apa yang mesti dilakukan dalam
menjalankan kepemimpinannya. Banyak teori yang menyatakan bahwa daya tarik
populer seorang pemimpin yang diukur dengan keberhasilan pemilihan umum
merupakan sebuah kecocokan antara motif dirinya dan motif masyarakat.
Namun torehan kepemimpinan Presiden Jokowi diwarnai oleh
kebijakan-kebijakan yang sangat kontroversial, salah satunya adalah dengan
menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut omnibus
law di Indonesia untuk merevisi beberapa bahkan puluhan undang-undang
sekaligus. Hal ini disampaikan pertama kali dalam pidato Presiden Jokowi setelah
dilantik sebagai presiden untuk kedua kalinya pada tanggal 20 Oktober 2019.
Konsep omnibus law ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi
jumlah dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Konsep omnibus
law yang dikemukana oleh Presiden Jokowi banyak berkaitan dengan bidang kerja
pemerintah di sektor ekonomi. Secara keseluruhan ada 11 klaster yang menjadi
pembahasan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, yaitu :

24
1. Penyederhanaan perizinan tanah
2. Persyaratan investasi
3. Ketenagakerjaan
4. Kemudahan dan perlindungan UMKM
5. Kemudahan berusaha
6. Dukungan riset dan inovasi
7. Administrasi pemerintahan
8. Pengenaan sanksi
9. Pengendalian lahan
10. Kemudahan proyek pemerintah
11. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Pengesahan UU Cipta Kerja dengan mengusung konsep Omnibus Law ini
menuai protes seluruh kalangan (dari mulai mahasiswa, guru, buruh, pengusaha
lokal, dan sebagainya) di seluruh daerah di Indonesia. Rakyat mempertanyakan
tujuan pembentukan UU Cipta Kerja yang dinilai memiliki unsur kepentingan
asing dan politik di dalamnya namun ditutupi dengan dalih demi menghidupkan
iklim investasi di Indonesia dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

25
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum


agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun
pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah
masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan
Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam
lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam
perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari
aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
nusantara. Sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental
atau Civil Law. Hal ini dapat dilihar dari sejarah dan politik hukum, sumber
hukum maupun sistem penegakan hukumnya.
Namun dalam pembentukannya peraturan perundangan yang berlaku di
Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum adat dan sistem hukum Islam. Hal
tersebut wajar, mengingat hukum merupakan sebuah sistem yang tersusun atas
sejumlah bagian yang masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan
subsistem. Dalam sistem hukum Indonesia terdapat subsistem hukum perdata,
hukum pidana, maupun hukum tata negara.
Dalam buku Pengantar Hukum Indonesia (2016) karya Hanafi Arief, sejarah
hukum di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan dipengaruhi hukum adat
dan kemudian diganti oleh sistem hukum Civil Law yang disebabkan penjajahan
Belanda. Sistem tata hukum yang digunakan sebelum 17 Agustus 1945 antara lain
sistem hukum Hindia Belanda berupa sistem hukum barat dan sistem hukum asli
(hukum adat). Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda, hukum yang digunakan
untuk menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi di masyarakat mengggunakan
hukum adat.
Dari pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dalam sejarah sistem hukum di Indonesia pada masa kerajaan sebelum VOC
datang adalah menggunakan hukum adat sebagai hukum positip di tiap-tiap
daerah nusantara Indonesia yang ditaati dan dilaksanakan sebagai suatu adat
kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai
tradisi bangsa Indonesia.
2. Bahwa seiring dengan penjajahan Belanda, lambat laun Pemerintahan Hindia
Belanda menggeser hukum adat sedikit demi sedikit digantikan dengan
sistem hukum kodifikasi hukum Barat yang secara efektif berlaku sejak tahun
1848. Sejak tahun 1848, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata dan Acara Pidana berdasarkan pada pola Belanda berlaku bagi
penduduk Belanda di Indonesia.

26
3. Bahwa Pada masa penjajahan Jepangpun hukum kolonial Belanda masih
digunakan karena Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai peraturan
perundang-undangan karena masa menjajah hanya 31/2 (tiga setengah)
tahun kecuali Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang berisi
pemberlakuan berbagai peraturan perundangan yang ada pada zaman Hindia
Belanda.
4. Jadi pada era orde lama, Indonesia menggunakan hukum Tiban yaitu hukum
yang serta merta berlaku pada saat Indonesia merdeka. Oleh karena pada saat
itu Indonesia belum memiliki atau merumuskan hukum, sehingga dipastikan
bahwa produk hukumnya cenderung represif.
5. Selanjutnya pada masa orde baru, pemerintah memfokuskan perhatiannya
pada aspek pembangunan ekonomi.Pengurutan hukum juga menjadi agenda
yang begitu penting dalam hal ini UUD 1945, UU/Perpu, dan lain sebagainya.
6. Masa Reformasi dimana pada masa ini sudah terjadi empat kali amandemen
UUD RI. Dengan demikian, komposisi UUD 1945 pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2002 yang lalu, maka susunan UUD 1945 memiliki susunan
sebagaimana berikut ini:
1) Undang – Undang Dasar 1945 Asli
2) Amandemen Pertama Undang – Undang Dasar 1945
3) Amandemen Kedua Undang – Undang Dasar 1945
4) Amandemen Ketiga Undang – Undang dasar 1945
5) Amandemen Keempat Undang – Undang Dasar 1945
7. Masa sekarang (tahun 2020) sejarah hukum Indonesia diwarnai dengan
penerapan konsep omnibus law pada pengesahan UU Cipta Kerja oleh pemerintah
yang menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Tuntutan pembatalan
UU Cipta Kerja pun menggema hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Negara Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya sangat
membutuhkan pembinaan dan pengembangan Sistem Hukum Nasional dalam
rangka mendorong dan mendukung pembangunan di segala bidang. Meminjam
istilah Roscoe Pound bahwa “as tool as social engineering”, maka sesungguhnya
pembinaan dan pengembangan hukum nasional sudah semestinya dapat
memberikan arah dan jalan bagi hukum, masyarakat dan negara untuk saling
terkait satu dengan yang lainnya. Tentunya hal itu dapat terwujud jika semangat
dalam pembinaan dan pengembangan hukum nasional itu dilandasi dengan
semangat dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat dengan tidak
mengenyampingkan juga nilai-nilai yang berkembang lainnya yang sesuai dengan
kultur masyarakat Indonesia.
Negara adalah merupakan organisasi kekuasaan yang nampaknya keluar
terdiri dari aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan hukum yang tersusun di dalam
suatu tatanan hukum, oleh karena itulah seperti dikemukakan di atas, maka saat
berdirinya negara akan bersamaan pula dengan saat berdirinya sistem hukum
negara tersebut12
Hukum (sama dengan ekonomi atau politik atau masyarakat) merupakan
suatu sistem, yang terdiri dari sekian banyak unsur yang saling berkaitan dan

12
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 5

27
saling mempengaruhi, sedemikian rupa sehingga apabila satu unsur tidak
berfungsi (bekerja) sebagaimana mestinya. demikian pula, apabila salah satu
bagiannya (misalnya peraturannya) diubah, semua unsur hukum lainnya harus
diubah juga13bahkan alam pikiran (mindset) pejabat, hakim, atau masyarakat
pengguna hukum masih tetap seperti di zaman kolonial, atau bahkan masih sama
dengan di zaman sebelum kedatangan orang asing ke kepulauan Indonesia
(hukum adat).14
Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia maka secara otomatis
pula mengakhiri rezim hukum kolonial Belanda maupun Jepang. Kehadiran
proklamasi kemerdekaan menjadi tonggak awal pendirian sistem hukum
Indonesia ke depannya. Kendati, tidak dapat dinafikan pasca kemerdekaan
Indonesia masih menggunakan hukum-hukum kolonial sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada atau diadakan yang
baru, hal ini semata-mata hanya mencegah terjadinya kekosongan hukum di
Indonesia. Jelas juga tampak bahwa baik sistem hukum maupun sistem peradilan
yang ada di Indonesia sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia sangat rumit dan
sangat diskriminatif terhadap bangsa/penduduk Indonesia sendiri sehingga setelah
Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, sistem peradilan ini dianggap perlu untuk
disederhanakan menjadi satu sistem yang sama untuk semua warga negara dan
penduduk Indonesia dengan melakukan unifikasi hukum. Keharusan penyesuaian
antara produk hukum dengan gagasan struktur masyarakatnya ini disebabkan
hukum harus berfungsi untuk melayani masyarakatnya15,3, atau disebabkan
hukum itu tidak berada di dalam sebuah vakum.16
Berkaitan dengan hal di atas, tidak sedikit para pakar hukum yang
mengganggap bahwa kodifikasi dan unifikasi harus dijadikan arah dalam
pembangunan hukum karena kodifikasi dan unifikasi dapat memberi manfaat bagi
pembinaan hukum dan masyarakat Indonesia. Kodifikasi dapat memberikan
jaminan kepastian hukum, sedangkan unifikasi lebih sesuai dengan Pancasila
karena mempercepat proses integrasi (pembangunan kesatuan dan persatuan)
bangsa Indonesia yang majemuk17
Perkembangan sistem hukum nasional sejatinya harus menjadi keinginan
bersama dari segenap elemen pemerintahan guna menciptakan sebuah sistem
hukum yang tertata dan sistematis yang mengarah kepada pembangunan hukum
nasional. Perkembangan sistem hukum nasional tentunya merupakan input dari
lapisan masyarakat dalam melihat pelaksanaan sistem hukum yang ada saat ini.
Jika berkaca pada sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam
Undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen dikatakan bahwa “Negara
Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (Machtsstaat)”, maka sesungguhnya corak sistem hukum Indonesia
13
C.F.G Sunaryati Hartono, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan
Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 44-45.
14
C.F.G Sunaryati Hartono, Bhinneka Tunggal…Op.Cit. hlm. 45.
15
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial, Dalam Majalah
Hukum Nasional, No 1, 1986, hlm. 27.
16
Affan Gaffar, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, Makalah pada Seminar “Politik
Pembangunan Hukum Nasional” Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1990.
17
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm. 137

28
diwarnai oleh sistem hukum Belanda yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental dengan berasaskan kepada kepastian hukum (Rechtsstaat). Hal ini
tentunya dapat dipahami terjadi dikarenakan Indonesia merupakan bekas jajahan
Belanda. Namun, untuk hal-hal tertentu setelah kemerdekaan negara Indonesia
telah mencoba untuk membangun sistem hukumnya sendiri yang sesuai dengan
cita negara Indonesia dan tujuan negara Indonesia. Keberanian untuk keluar dari
pengaruh sistem hukum Belanda tentunya sangat dipengaruhi oleh perkembangan
hukum yang diimplementasikan di dalam masyarakat. Selanjutnya juga,
penegasan di atas, berdasarkan perspektif resmi, Indonesia adalah negara hukum
sehingga hukum harus memainkan peranan yang menentukan atau menjadi sentral
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia18
Perkembangan Sistem Hukum Nasional semestinya tidak meninggalkan
sumber hukum materiil sebagai dasar pembentukan sistem hukum yang
mencerminkan semangat ke-Indonesia-an. Sumber hukum materiil yang
dicerminkan dengan Pancasila, cita masyarakat Indonesia, nilai-nilai,
norma-norma, kekeluargaan, musyawarah, gotong royong, toleransi dan
sebagainya yang menjadi ciri dari masyarakat Indonesia harus menjadi skala
prioritas dalam melakukan penataan terhadap sistem hukum Indonesia ke
depannya. Semangat ke-Indonesia-an tentunya harus terpancar dari perkembangan
sistem hukum nasional. Dalam artian, tidak dibenarkan meninggalkan semangat di
atas dengan cara menggunakan konsep-konsep yang lainnya yang secara nyata
bertentangan sehingga menyebabkan sistem hukum nasional menjadi terganggu.
Hal tersebut khususnya tercermin dalam Pasal 24 F yang menentukan bahwa
negara menata dan mengembangkan sistem hukum nasional dengan memelihara
dan menghormati keberagaman nilai-nilai hukum dan sumber- sumber hukum
yang hidup dalam masyarakat19 Oleh karenanya, perkembangan sistem hukum
nasional harus berorientasi kepada kebijakan berupa pilihan hukum yang berlaku,
sistem hukum yang akan dianut, dasar filosofis yang digunakan dalam
pembentukan hukum, termasuk kebijakan agar mendasarkan hukum nasional dari
asas-asas umum yang berlaku. Selanjutnya, pembangunan sistem hukum
Indonesia seharusnya mengarah kepada cita negara (staatsidee) Indonesia yang
sejauh mungkin harus dibangun secara khas dalam arti tidak meniru paham
individualismeliberalisme yang justru telah melahirkan kolonialisme dan
imperialisme yang harus ditentang, ataupun paham kolektivisme ekstrim seperti
yang diperlihatkan dalam praktek di lingkungan negara-negara sosialis-komunis.
Dengan kata lain, semangat yang melandasi pemikiran para pendiri Republik
Indonesia adalah semangat sintesis, semangat untuk melakukan kombinasi atau
semangat untuk menciptakan suatu paham baru.20 Patut juga untuk dipahami,
bahwa sistem hukum itu merupakan sistem abstrak (konseptual) karena terdiri dari
unsur-unsur yang tidak konkret, yang tidak menunjukkan kesatuan yang dapat

18
Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986.
hlm. 29.
19
Soetanto Soepiadhy, Undang-Undang Dasar 1945 : Kekosongan Politik Hukum Makro, Kepel
Press, Purwanggan, 2004, hlm. 20.
20
Jimly Asshiddiqie dalam Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara : Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Konstitusi Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 3.

29
dilihat. Unsur-unsur dalam sistem hukum mempunyai hubungan yang khusus
dengan unsur-unsur lingkungannya. Selain itu juga dikatakan, bahwa sistem
hukum merupakan sistem yang terbuka, karena peraturan-peraturan hukum
dengan istilah-istilahnya yang bersifat umum, terbuka untuk penafsiran yang
berbeda dan untuk penafsiran yang luas.21
Oleh karena itu, perkembangan sistem hukum Indonesia yang salah satunya
didorong oleh perkembangan tatanan kehidupan masyarakat, mengarahkan
pembangunan sistem hukum Indonesia kepada pembangunan hukum yang
mencerminkan kehidupan masyarakat itu sendiri. Sub sistem hukum-sub sistem
hukum Indonesia tentunya tidak boleh bertentangan dengan semangat nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Di sisi lainnya, pengaruh dari sistem
hukum yang lainnya seperti sistem hukum anglo saxon, sistem hukum eropa
kontinental, sistem hukum islam maupun sistem hukum adat harus dijadikan
sebagai bahan pembanding bagi terciptanya sistem hukum Indonesia yang lebih
baik lagi. Pengadopsian sebuah sistem hukum tanpa proses filterisasi akan
bertentangan dengan semangat cita negara pada akhirnya akan menimbulkan
gejolak sosial yang berkepanjangan akibat dari ketidaksesuaian penerapan hukum
di tengahtengah masyarakat. Hasrat untuk membangun sebuah sistem hukum yang
memiliki pondasi yang kokoh tentunya harus bersumber kepada nilai-nilai dan
cita negara Indonesia itu sendiri.

B. SARAN

Mempelajari dan memahami sejarah sangat penting karena melalui sejarah


kita dapat mengetahui hubungan keadaan yang lampau dengan keadaan sekarang
maupun yang akan datang atau bahkan keadaan sekarang berasal dari keadaan
yang lampau dan keadaan sekarang menjadi titik tolak lahirnya keadaan yang
datang.
Pemikiran yang hanya melihat hukum tanpa melihat masa lalunya adalah
pemikiran yang tidak luas dan tergolong sebagai pemikiran yang sempit karena
kaidah-kaidah hukum sekarang yang berlaku sering hanya dapat dipahami secara
menyeluruh dengan bersaranakan sejarah hukum.
Tidak dapat disangkal pemahaman dalam pengetahuan sejarah hukum
merupakan modal penting yang harus diperhitungkan keberadaannya sebagai
salah satu unsur atau elemen penting dalam melakoni profesi yuridis baik sebagai
akademisi maupun sebagai praktisi, dikarenakan sesungguhnya seorang akademisi
maupun praktisi harus memiliki pandangan yang lebih luas tentang hukum agar
dapat menyesuaikan hukum yang berlaku sekarang dengan kondisi waktu yang
dihadapi kini.

21
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hlm. 90.

30
DAFTAR PUSTAKA

Buku Literatur
1. Affan Gaffar, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, Makalah pada Seminar
“Politik Pembangunan Hukum Nasional” Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,
1990.
2. C.F.G Sunaryati Hartono, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum bagi
Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
3. Jimly Asshiddiqie dalam Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara : Kajian
Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, Gama Media,
Yogyakarta, 1999.
4. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta,
2001.
5. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
LP3ES, Jakarta, 2007.
6. Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum,
Rajawali, Jakarta, 1986.
7. R. Abdoel Djamali, S.H, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Grafindo Persada,
Jakarta : 2003.
8. R. Suroso, SH, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.
9. R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009).
10. Soetanto Soepiadhy, Undang-Undang Dasar 1945 : Kekosongan Politik
Hukum Makro, Kepel Press, Purwanggan, 2004.
11. Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006
12. Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial,
Dalam Majalah Hukum Nasional, No 1, 1986.
13. Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta,
1984.

31
Peraturan Perundang-Undangan
1. Pasal 192 UUD RIS mengatur tentang aturan peralihan.
2. UUD 1945 awal
3. UUD 1945 amandemen
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Serikat No.XIII/MPRS/1966
5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973
6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1978

Sumber Lainnya
https://dalitelaumbanua.wordpress.com/2012/05/30/sejarah-hukum-di-indonesia/
https://www.bappenas.go.id/ikhtisarpelaksanaanrepelita/repelita-indonesia/

32

Anda mungkin juga menyukai