DOSEN PEMBIMBING
UNIVERSITAS BALIKPAPAN
Anggota Kelompok :
-
Sandy Prayoga
Teguh Wiwit Wibowo
Nur Rezawati (power point)
Agatha Kartika Eka Paksi (finishing makalah)
Muhammad Bachrul Ilmi (group kerja kelompok)
Monalisa Sin (makalah)
Muhammad Akhyar (group kerja kelompok)
Fendy Dwi Aji Kurniawan
Muhammad Wahyu Irwanda
Octalinda Prabawati Wahyuningtyas
Denny Irawan
Lissa kusuma Wardani
Febri Nur Ayu Pratiwi
Dina Purnama
Ludin Situmorang
Ahmad Risky Adha
Ashara Syafira Putri
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah Pengantar
Ilmu Hukum. Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan
tentang penafsiran hukum di Indonesia.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Bruce Anzward S.H M.H selaku dosen
Pengantar Ilmu Hukum kami yang telah membimbing kami agar dapat menyelesaikan makalah
ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah
selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih dan semoga
karya tulis ini bermanfaat bagi para pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I . PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan
Interpretasi Hukum
B.
Konstruksi Hukum
C.
Kata Penutup
B.
Kesimpulan
C.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia berkepentingan untuk merasa bahwa ia aman. Aman berarti bahwa kepentingankepentingannya tidak diganggu. Oleh karena itu manusia selalu berharap bahwa kepentingankepentingannya dilindungi dari konflik, gangguan-gangguan dan bahaya yang mengancam serta
menyerang kepentingan dirinya dan kehidupan bersama. Gangguan dan konflik harus dicegah
dan tidak dibiarkan berlangsung terus menerus, karena akan merusak keseimbangan tatanan
masyarakat. Jadi manusia di dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan.
Perlindungan kepentingan itu akan tercapai jika tercipta pedoman atau peraturan yang
menentukan manusia seharusnya hidup dalam masyarakat agar tidak merugikan dirinya sendiri
dan orang lain. Pedoman, patokan atau ukuran untuk bertingkah laku atau bersikap dalam
kehidupan bersama itu disebut dengan norma atau kaidah social. Kaidah sosial pada hakekatnya
merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan untuk dijalankan.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Jadi agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara
normal dan damai tapi dapat terjadi juga pelanggaran hukum. Dalam kasus pelanggaran hukum
inilah maka hukum harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah, hukum itu menjadi
kenyataan. Dalam menegakkan hukum, terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu:
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Pembahasan tentang hukum cenderung dikaitkan dengan perundang-undangan. Undangundang sendiri tidak sempurna, tidak mungkin undang-undang mengatur seluruh kegiatan
manusia secara tuntas. Adakalanya undang-undang tidak jelas dan adakalanya tidak lengkap.
Meskipun tidak lengkap dan tidak jelas, undang-undang tersebut tetap harus dilaksanakan.
Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan
alasan karena hukumannya tidak lengkap dan tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan
putusan dengan dalil tidak sempurnanya undang-undang atau tidak adanya hukum. Jika dalam
perkara tertentu tidak lengkap atau tidak jelas dalam undang-undang maka hakim harus mencari
hukumnya atau menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum. Penegakkan dan
pelaksanaan hukum sering melupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.
Karena itu usaha penemuan hukum ini merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan
hakim dalam memutuskan perkara.
Penemuan hukum ini menjadi pokok bahasan yang lebih menarik karena dinamikanya
dalam merujuk pada undang-undang dan kasus-kasus serupa yang pernah diputuskan perkaranya.
B.
Rumusan Masalah
2.
BAB 2
PEMBAHASAN
Disebutkan bahwa hakim juga bisa membentuk hukum apabila ia melakukan penemuan
kaidah hukum. Penemuan hukum ini lazimnya diartikan sebagai pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Bahwasanya penemuan hukum dimana terdapat
peristiwa dan tidak ditemukan aturan secara tertulis dalam suatu perundangundangan maka
diberikan kewenangan kepada hakim dalam meberikan penafsiran. Latar belakang perlunya
seorang hakim melakukan penemuan hukum adalah karena hakim tidak boleh menangguhkan
atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya tidak lengkap atau tidak
jelas. Ketika undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara, saat
itulah hakim harus mencari dan menemukan hukumnya(rechtsviding).
Larangan bagi hakim menolak perkara ini diatur juga dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lalu, hasil temuan itu akan menjadi hukum apabila
diikuti oleh hakim berikutnya atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi.
Penemuan hukum ini dapat dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang berkembang
dalam masyarakat
Cara penemuan hukum disebutkan dapat dilakukan dengan dua metode yakni Interpretasi &
Konstruksi.
Interpretasi Hukum
A. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)
1. Definisi Penafsiran Hukum
Penafsiran atau interpretasi hukum peraturan undang-undang ialah mencari dan
menetapkan pengertian asas dalil-dalil yang tercantum dalam undang undang sesuai
dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang (Soeroso,
2006:97).
Menurut Ridwan Halim (2005:81) penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada
dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik dalam arti memperluas maupun
membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada, dalam rangka penggunaannya
untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, penafsiran hukum sangat penting mengingat isi
undang-undang yang kadang tidak jelas susunan katanya, dan tidak jarang mempunyai lebih
dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran hukum terhadap undang-undang merupakan suatu
hal yang perlu dilakukan.
Contoh:
- Dalam pasal 1 penetapan presiden (PENPRES) no. 2 tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan
hukuman mati di Indonesia, di tegaskan bahwa hukuman mati dengan jalan di tembak.
Penafsiran kata di tembak di sini secara gramatikal adalah penembakan pada bagian yang bisa
menyebabkan kematian si terhukum, jadi bukan asal sembarang tembak.
2. Penafsiran Undang-Undang Secara Sistematis (Dogmatis)
Penafsiran ini memperhatikan susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik
dalam undang-undang itu maupun undang undang lainnya. Dengan penafsiran itu orang dapat
memperoleh gambaran atau pandangan yang luas dan jelas tentang arti suatu perkataan dalam
undang-undang seluruhnya. Jadi, penafsiran sistematis menitikberatkan pada kenyataan bahwa
undang-undang tidak terlepas, tetapi akan selalu ada hubungannya antara yang satu dengan
lainnya sehingga seluruh perundang-undangan itu merupakan kesatuan tertutup, yang rapi dan
teratur.
Contoh:
Contoh:
-Orang yang melakukan penimbunan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dapat di
tafsirkan sebagai pelaku tindak pidana ekonomi (kejahatan untuk menghacurkan perekonomian
masyarakat), meskipun tujuan orang itu melakukan penimbunan hanyalah untuk mencari laba
yang sebesar besarnya bagi dirinya.
5.
: yang disebut hari adalah waktu selama dua puluh empat jam; yang
: yang disebut waktu malam yaitu waktu antara matahari silam dan
matahari.
c. Pasal 99 KUHP
memang sudah ada tetapi bukan untuk masuk; atau masuk melalui lubang di dalam tanah
yang dengan sengaja digali; begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan
sebagai batas penutup.
d. Pasal 100 KUHP : yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang
tidak dimaksud untuk membuka kunci.
e. Pasal 101 KUHP : yang disebut ternak yaitu semua binatang yang berkuku satu, binatang
memamah biak, dan babi.
Penafsiran Restriktif ialah penafsiran yang bersifat membatasi, arti membatasi disini adalah
dengan melakukan penyempitan pengertian.
Contoh:
-kerugian hanya terbatas kepada kerugian materiil saja sedangkan kerugian imateril, termasuk di
dalamnya
Penafsiran Ekstensif ialah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti katakata yang terdapat dalam peraturan undang-undang.
Contoh:
-hakim menyamakan pencurian listrik sama dengan pencurian benda (hal ini dilakukan karena
pada jaman dahulu belum ada listrik, jadi tidak ada UU yang mengatur tentang listrik.
7. Penafsiran Undang-Undang Secara Analogis
Penafsiran undang-undang secara analogis ialah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan
dengan cara memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat dalam undang-undang
sesuai dengan asas hukumnya. Dengan demikan suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, lalu dianggap atau diibaratkan sesuai dengan bunyi peraturan tersebut
Contoh:
- Aliran listrik yang sebenarnya bukan barang di anggap sama dengan barang yang dapat di ilhat
dan di pegang, sehingga pencurian aliran listrik tetap dapat di hukum meskipun dalam undangundang masalah puncurian aliran listrik ini tidak diatur, alasanya karena alasanya untuk
mendapatkan aliran listrik tetap di perlukan sejumlah uang atau harus di bayar dengan sejumlah
uang.
8. Penafsiran Undang-Undang Secara A Contratio
Penafsiran undang-undang secara a contrario adalah suatu penafsiran undang-undang yang
dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang
dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Maka dengan berdasarkan perlawanan
pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak diliputi oleh
undang-undang yang dimaksud atau berada di luar ketentuan undang-undang tersebut.
Contoh:
-Pada pasal 4 ayat 3g bahwa wanita tidak boleh menikah lagi sebelum waktu 300 hari. Jika
menggunakan argumen a contraro, maka dapat diambil kesimpulan bahwa laki-laki dibolehkan
untuk menikah lagi dalam waktu kurang dari 300 hari.
9. Penafsiran Nasional
Penafsiran nasional adalah penafsiran yang menilik sesuai yidaknya dengan sistem hukum yang
berlaku, misalnya: hak milik Pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik
sistem hukum Indonesia.
10. Penafsiran Multidisipliner
Dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus mempelajari suatu atau beberapa disiplin
ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verivikasi dan
bantuan dari lain-lain disiplin ilmu. Hakim dalam menyikapi suatu permasalahan yang berkaitan
dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ilmu
hukum, tetapi karena suatu perkara yang diperiksa, hakim memerlukan kejelasaan akan suatu
makna dalam peraturan perundang-undangan atau suatu makna perbuatan terdakwa, maka hakim
memerlukan bantuan ahli dari disiplin ilmu yang relevan untuk membantunya mencari
penjelasan tersebut, dan biasanya keterangan tersebut diberikan di depan persidangan dalam
bentuk keterangan ahli, yang merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana.
komparatif
ini
dimaksudkan
sebagai
metode
penafsiran
dengan
jalan
membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian
Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai
disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut kejahatan korupsi, hakim dapat
menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang, yaitu hukum pidana, administrasi
negara, dan perdata. Kasus yang akhir-akhir ini jadi pemberitaan di media cetak dan elektronik,
pernikahan Syeikh Puji dengan Lutviana Ulfa misalnya, bisa dilihat dengan melihat interpretasi
hukumnya pada KUH Perdata tentang status pernikahan dini, dan juga dalam UU Perlindungan
Anak yang berkaitan dengan masalah pidananya.
Konstruksi Hukum
B. Konstruksi Hukum
Konstruksi Hukum Berdasarkan Sejarah Filsafat Hukum Sejak Zaman Klasik Hingga Abad 20
Pengetahuan adalah sesuatu yang berawal dari amat besarnya hasrat keingintahuan manusia, baik
terhadap alam semesta maupun tentang dirinya sendiri. Hasrat tersebut membawa manusia pada
perenungan-perenungan mendalam hingga sampai pada hakikat tentang sesuatu yang
direnungkan. Pengetahuan yang lahir dari perenungan ini ada yang bersifat metodik, sistemik,
dan antara kenyataan satu dan lainnya saling berhubungan hingga kemudian menjadi petunjuk
bagi arah kegiatan manusia dalam kehidupannya. Proses yang demikian dikenal sebagai kegiatan
berfilsafat.
Makna filsafat diakui berasal dari bahasa Yunani Philosophia atau cinta kebijaksanaan.
Dibangun dari dua kata Philos artinya cinta dan shopia berarti kebijaksanaan. Tetapi kata
filsafat sendiri sesungguhnya berasal dari bahasa Arab Falsafah, yang secara etimologi
memiliki arti gagasan dan sikap batin paling dasar yang dimiliki seseorang atau sekelompok
masyarakat.
Dari kedua definisi tersebut dapat dikenali tiga sifat pokok yang menjadi ciri filsafat adalah;
1) menyeluruh
2) mendasar
3) spekulatif
Dari ketiga sifat pokok ini mengandung arti bahwa daam berfilsafat tidak boleh berpikir sempit,
melainkan harus melihat setiap sisi yang ada dan berisikan pertanyaan-pertanyaan diluar dari
jangkauan ilmu biasa, serta dalam melangkah tidak sembarangan, tetapi harus memiliki dasardasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Hampir dalam setiap ilmu pengetahuan memiliki filsafat, dan cenderung bertambah seiring
bertambahnya ilmu-ilmu pengetahuan baru. Seorang ilmuwan filsafat Louis S. Kattsoff (1987)
membagi filsafat dalam tiga belas bidang, yaitu :
1) Logika, mempelajari tentang tata cara penarikan kesimpulan yang benar,
2) Metodologi, mempelajari tentang teknik-teknik penelitian,
3) Metafisika, mempelajari tentang hakikat segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada,
4) Ontologi, mempelajari tentang asas-asas rasional dari kenyataan,
5) Kosmologi, mempelajari tentang keadaan sesuatu hal sehingga muncul asas-asas rasional dari
kenyataan,
6) Epistemologi, mempelajari tentang asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya
pengetahuan,
7) Biologi, mempelajari tentang hakikat jasad hidup,
8) Psikologi, mempelajari tentang jiwa,
9) Antropologi, mempelajari tentang hakikat manusia,
1.
2.
1. Penafsiran analogis
Penafsiran analogis adalah penafsiran daripada suatu peraturan hukum dengan memberi
ibarat (kias) pada kata-kata sesuai dengan asas hukum, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya
tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya
menyambung aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik.
Memakai UU secara analogi maksudnya memperluas berlakunya pengertian hukum atau
perundang-undangan. Adanya analogi, akibat dibutuhkan perluasan hukum dengan menyesuaikan
tempat, waktu dan situasi. Menganalogi merupakan penciptaan konstruksi baru, mempunyai
kesaam permasalahan dengan anasir yang berlainan. Pada prinsipnya analogi berlaku untuk
masalah-masalah
hukum
perdata
(privat),
terutama
sekali
dalam
hukum
perikatan
(verbintenissenrecht). Sedangkan untuk hukum publik yang sifatnya memaksa (dwingend recht)
tidak boleh dilakukan analogi karena terikat pada pasal 1 KUH Pidana yang menegaskan bahwa
seseorang tidak dapat dihukum, selai atas kekuatan ketentuan pidana dalam UU.
Contoh :
UU Pasal 1576 KUH Perdata hanya mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hubungan sewa
menyewa.
berlakunya suatu pasal merupakan kebalikan daripada analogi hukum. Penghalusan hukum
bemaksud mengisi kekosongan dalam sistem UU.
Dalam sistem UU terdapat ruang kosong apabila sistem UU (sistem formal hukum) tidak
dapat menyelesaikan masalah secara adil atau sesuai dengan kenyataan sosial (social
werkelijkheid). Penghalusan hukum merupakan penyempurnaan sistem hukum oleh hakim.
Sifat daripada Penghalusan hukum adalah tidak mencari kesalahan daripada pihak dan apabila
satu pihak disalahkan maka akan timbul ketegangan. Perbuatan menghaluskan hukum ketika
hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan dari lingkungan ketentuan dan
selanjutnya diselesaikan menurut peraturan tersendiri.
Contoh :
Masalah perbuatan melanggar hukum pasal 1365 Perdata, adalah pihak yang salah wajib
memberi ganti rugi kepada yang menderita kerugian. Cthnya: Disuatu jalan terjadi tabrakan
antara A dan B. Kedua kendaraan sama-sama berkecepatan tinggi dan sama-sama rusak. Apabila
A menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga dapat menuntut ganti rugi terhadap A. Dengan
demikian kedua-duanya salah, sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu
kompensasi.
3.
Contoh :
Pada pasal 53 UU No.10 Thaun 2004 menjelaskan masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan UU dan
rancangan peraturan daerah. Penjelasan partisipasi tersebut ketika diatur dalam tatib legislative
artinya keterlibatan bukan menjadi suatu kemutlakan kecuali diizinkan dalam tata tertib
legislatif.
3.
1.
Dilihat dari definisinya penafsiran hukum merupakan sebuah bentuk penemuan hukum,
jadi sebenarnya hukum itu sudah ada hanya saja perlu digali lagi, mencari sumber lain yang
dipakai dasar untuk memutus sebuah kasus, sumber lainnya adalah dari masyarakat berupa nilai
nilai kehidupan ataupun norma dan kebiasaan hal inilah yang disebut dengan penafsiran. Siapa
yang menggali ialah hakim yang memiliki kewenangan dan hak untuk memutuskan dan
menyelesaikan sebuah perkara. Alasan kenapa proses penafsiran hukum tersebut dilakukan
karena didalam undang undang/peraturan perundang - undangan tersebut terkandung makna
yang ambigu, multi tafsir, samar samar kurang jelas, tidak ada dalam yuris prudensi maupun
doktrin (pendapat para ahli), Adanya kewajiban bagi hakim untuk memutus suatu perkara yang
diajukan, dan Hakim tidak boleh menolah suatu perkara (UU/48/2009 pasal 10) karena hakim
dianggap tahu walaupun sebenarnya tidak tahu. Sedangkan konstruksi hukum adalah sebuah
proses atau langkah penemuan atau penciptaan hukum, hukum itu tidah ada/ada kekosongan
hukum yang disebut dengan wet vacuum.. Lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal ini
adalah Hakim, Pembentuk hukum seperti DPR dengan Presiden dan Peneliti.
Perbedaan yang kedua adalah Konstruksi hukum itu diambil apabila di dalam proses
penafsiran hukum tidak diperoleh jalan keluar/hasil yang dapat menyelesaikan sebuah kasus.
Dalam pengambilan keputusannnya penafsiran hukum lebih menekankan bahwa hakim harus
memutuskan sebuah kasus berdasarkan nilai nilai/ norma/ kebiasaan yang ada didalam
masyarakat. Sedangkan di konstruksi hukum hakim diperkenankan memutuskan sebuah kasus
berdasarkan hati nurani individunya sendiri.
2.
Penafsiran hukum bisa berubah menjadi konstruksi hukum, hal ini dikarenakan :
Seperti yang dijelaskan pada jawaban sebelumnya apabila didalam proses penafsiran
hukum tidak ditemukan atau diperoleh jalan keluar atau hasil untuk mengambil keputusan akhir
atau menyelesaikan sebuah perkara maka tindakan yang diambil adalah melakukan konstruksi
hukum. Jadi penafsiran hukum terlebih dahulu dilakukan dan apabila setelah digali dengan
melihat hukum adat, kebiasaan, hukum agama atau yang lainnya juga tidak menemukan aturan
atau hukum yang mengatur perkara tersebut kemudian baru dilakukan konstriksi hukum yang
dikeluarkan oleh hakim sesuai nuraninya sendiri asal tidak melanggar HAM, UU, dan UUD
1945.
Penafsiran hukum dapat berubah menjadi rekonstruksi hukum dilakukan oleh hakim
dengan metode argumentum peranalogian (suatu peristiwa yang belum diatur hukumnya dengan
mencari persamaan peritiwa yang sejenis namun telah memiliki ketentuan pereturan atau
hukum). Metode argumentuma contrario, yaitu menetapkan ketentuan bagi suatu peristiwa
tentunya yang tidak diatur oleh hukum, dengan mendasarkan perbedaan peristiwa tersebut
dengan peristiwa lainnya.
Apabila peraturan perundang undangan tidak jelas atau tidak lengkap. Hakim berhak
melakukan penafsiran hukum melalui penemuan hukum yang digali dari hukum adat, kebiasaan,
hukum agama, dsb. Oleh karena itu harus diketemukan hukum dengan jelas, penafsiran atau
melengkapi perundang undangan. Kapasitas hakim tidak hanya bercermin pada civil law
system yang berdasarkan pada peraturan perundang undangan. Akan tetapi karena ketentuan
UU tidak memuat, jadi hukum dengan mengakomodis common law system melalui kreativitas
hakim dalam merekonstruksi hukum. Jadi berdasarkan ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
manjelaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak sebuah perkara yang diajukan untuk
memeriksa dan mengadili dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa atau mengadilinya. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila
terjadi suatu peraturan perundang undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus
bertindak berdasarkan inisyatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara. Dalam hal ini hakim
harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum. Sekalipun peraturan perundang
undangan tidak dapt membantunya, tindakan hakim inilah yang dinamakan dengan penemuan
hukum. Undang undang tentang kekuasaan kehakiman (UU 48/2009) pada pasal 14 ayat 1
menjelaskan bahwa hakim sebagai organisasi pengadilan dianggap memahami hukum. Apabila
terjadi konflik antar peraturan sehingga tumpang tindih, conflict of norm hakim juga wajib
melakukan
penafsiran
gramatikal,
teleologis/sosiologis,
sistematis,
hirtoris,
futuristic,
komparatif, restriktif dan ekstensif dengan merekonstruksi hukum yang baru melalui
penambahan/pengurangan atau pergantian ketentuan hukum tersebut menyesuaikan dengan
tingkat keberterimaan masyarakat.
KATA PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah
ini.
Kami banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya.