BAB III
KESETIMBANGAN FASA
Fasa adalah bagian sistem dengan komposisi kimia dan sifat sifat fisik
seragam, yang terpisah dari bagian sistem lain oleh suatu bidang batas.
Pemahaman perilaku fasa mulai berkembang dengan adanya aturan fasa Gibbs.
Untuk sistem satu komponen, persamaan Clausius dan Clausisus Clapeyron
menghubungkan perubahan tekanan kesetimbangan dengan perubahan suhu.
Sedangkan pada sistem dua komponen, larutan ideal mengikuti hukum
Raoult. Larutan non elektrolit nyata (real) akan mengikuti hukum Henry. Sifat
sifat koligatif dari larutan dua komponen akan dibahas pada bab ini.
3.1. Sistem Satu Komponen
3.1.1. Aturan Fasa Gibbs
Pada tahun 1876, Gibbs menurunkan hubungan sederhana antara jumlah
fasa setimbang, jumlah komponen, dan jumlah besaran intensif bebas yang dapat
melukiskan keadaan sistem secara lengkap. Menurut Gibbs,
c p
dimana
..........................................
(3.1)
= derajat kebebasan
c = jumlah komponen
p = jumlah fasa
= jumlah besaran intensif yang mempengaruhi sistem (P, T)
KP
P P
P
H2
O2
1/ 2
.............................................
(3.2)
H 2O
Gambar 3.2. Kebergantungan energi Gibbs pada fasa fasa padat, cair dan gas terhadap
suhu pada tekanan tetap
Lereng garis energi Gibbs ketiga fasa pada gambar 3.2. mengikuti persamaan
G
T P
............................................
(3.3)
Nilai entropi (S) adalah positif. Tanda negatif muncul karena arah lereng yang
turun. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Sg > Sl > Ss.
3.1.3. Persamaan Clapeyron
Bila dua fasa dalam sistem satu komponen berada dalam kesetimbangan,
kedua fasa tersebut mempunyai energi Gibbs molar yang sama. Pada sistem yang
memiliki fasa dan ,
G = G ..................................................
(3.4)
Jika tekanan dan suhu diubah dengan tetap menjaga kesetimbangan, maka
dG = dG ................................................
G
dP
T
G
dT
P
P
G
T
dP
dT
P
...............
(3.5)
(3.6)
V dP S dT V dP S dT
..............................
(3.7)
dP S S
S
dT V V
V
H
T
Karena
maka
dP
S
dT TV
...........................................
(3.8)
.................................................
(3.9)
.............................................
(3.10)
..............................
(3.11)
3.1.4. Persamaan Clausius Clapeyron
Untuk peristiwa penguapan dan sublimasi, Clausius menunjukkan bahwa
persamaan Clapeyron dapat disederhanakan dengan mengandaikan uapnya
mengikuti hukum gas ideal dan mengabaikan volume cairan (Vl) yang jauh lebih
kecil dari volume uap (Vg).
V V g Vl V g
Bila
.............................................
RT
Vg
P
(3.12)
.................................................
(3.13)
maka persamaan 3.10 menjadi
dP PH v
dT
RT 2
dP H v
dT
P
RT 2
..........................................
(3.14)
........................................
(3.15)
P2
H v
1
dP
P
R
P1
T2
dT
.......................................
T1
(3.16)
ln
P2 H v
1
1
P1
R T2 T1
ln
Persamaan
3.18
........................................
P2 H v T2 T1
P1
RT1T2
disebut
Persamaan
(3.17)
........................................
Clausius
Clapeyron.
(3.18)
Dengan
H penguapan
Tdidih
88 J / K .mol
..........................
(3.19)
3.2. Sistem Dua Komponen
3.2.1. Kesetimbangan Uap Cair dari Campuran Ideal Dua Komponen
Jika campuran dua cairan nyata (real) berada dalam kesetimbangan
dengan uapnya pada suhu tetap, potensial kimia dari masing masing komponen
adalah sama dalam fasa gas dan cairnya.
i ( g ) i (l )
.............................................
(3.20)
i ( g ) io( g ) RT ln
Pi
Po
.....................................
(3.21)
(3.22)
io( g ) RT ln
Pi
io(l ) RT ln ai ..................................
o
P
(3.23)
RT ln
Pi
RT ln ai ...........................................
Pi o
ai
Pi
Pi o
..................................................
(3.24)
(3.25)
Persamaan 3.25 menyatakan bahwa bila uap merupakan gas ideal, maka aktifitas
dari komponen i pada larutan adalah perbandingan tekanan parsial zat i di atas
larutan (Pi ) dan tekanan uap murni dari zat i (Pio).
Pada tahun 1884, Raoult mengemukakan hubungan sederhana yang dapat
digunakan untuk memperkirakan tekanan parsial zat i di atas larutan (Pi ) dari
suatu komponen dalam larutan. Menurut Raoult,
Pi x i Pi o
................................................
(3.26)
Pernyataan ini disebut sebagai Hukum Raoult, yang akan dipenuhi bila
komponen komponen dalam larutan mempunyai sifat yang mirip atau antaraksi
antar larutan besarnya sama dengan interaksi di dalam larutan (A B = A A = B
B). Campuran yang demikian disebut sebagai campuran ideal, contohnya
campuran benzena dan toluena. Campuran ideal memiliki sifat sifat
Hmix = 0
Vmix = 0
Smix = - R ni ln xi
Tekanan uap total di atas campuran adalah
P P1 P2
x1 P1o x 2 P2o
....................................
(3.27)
Karena x2 = 1 x1, maka
(3.28)
xi'
Pi
P
...................................................
(3.29)
Keadaan campuran ideal yang terdiri dari dua komponen dapat digambarkan
dengan kurva tekanan tehadap fraksi mol berikut.
Gambar 3.3. Tekanan total dan parsial untuk campuran benzena toluena pada 60oC
Gambar 3.4. Fasa cair dan uap untuk campuran benzena toluena pada 60oC
Garis titik embun (dew point line) dibuat dengan menggunakan persamaan
P1o P2o
P1o P2o P1o x1o
.......................................
(3.30)
gambar 3.4). Jika diandaikan fraksi mol toluena adalah x, maka jumlah zat yang
berada dalam fasa cair adalah
C cair
xv
l v
..........................................
(3.31)
lx
l v
..........................................
(3.32)
Penentuan jumlah zat pada kedua fasa dengan menggunakan persamaan 3.31 dan
3.32 disebut sebagai Lever Rule.
3.2.2. Tekanan Uap Campuran Non Ideal
Tidak semua campuran bersifat ideal. Campuran campuran non ideal ini
mengalami penyimpangan / deviasi dari hukum Raoult. Terdapat dua macam
penyimpangan hukum Raoult, yaitu
a. Penyimpangan positif
Penyimpangan positif hukum Raoult terjadi apabila interaksi dalam
masing masing zat lebih kuat daripada antaraksi dalam campuran zat
( A A, B B > A B). Penyimpangan ini menghasilkan entalpi
campuran (Hmix) positif (bersifat endotermik) dan mengakibatkan
terjadinya penambahan volume campuran (V mix > 0). Contoh
penyimpangan positif terjadi pada campuran etanol dan n hekasana.
b. Penyimpangan negatif
Penyimpangan negatif hukum Raoult terjadi apabila antaraksi dalam
campuran zat lebih kuat daripada interaksi dalam masing masing zat
( A B > A A, B B). Penyimpangan ini menghasilkan entalpi
campuran (Hmix) negatif (bersifat eksotermik) mengakibatkan
terjadinya pengurangan volume campuran (Vmix < 0).. Contoh
penyimpangan negatif terjadi pada campuran aseton dan air.
Pada gambar 3.5 dan 3.6 terlihat bahwa masing masing kurva memiliki
tekanan uap maksimum dan minimum. Sistem yang memiliki nilai maksimum
atau minimum disebut sistem azeotrop. Campuran azeotrop tidak dapat
dipisahkan dengan menggunakan destilasi biasa. Pemisahan komponen 2 dan
azotrop dapat dilakukan dengan destilasi bertingkat. Tetapi, komponen 1 tidak
dapat diambil dari azeotrop. Komposisi azeotrop dapat dipecahkan dengan cara
destilasi pada tekanan dimana campuran tidak membentuk sistem tersebut atau
dengan menambahkan komponen ketiga.
3.2.3. Hukum Henry
Hukum Raoult berlaku bila fraksi mol suatu komponen mendekati satu.
Pada saat fraksi mol zat mendekati nilai nol, tekanan parsial dinyatakan dengan
Pi xi K i
(3.33)
................................................
yang disebut sebagai Hukum Henry, yang umumnya berlaku untuk zat terlarut.
Dalam suatu larutan, konsentrasi zat terlarut (dinyatakan dengan subscribe 2)
biasanya lebih rendah dibandingkan pelarutnya (dinyatakan dengan subscribe 1).
Nilai K adalah tetapan Henry yang besarnya tertentu untuk setiap pasangan pelarut
zat terlarut.
Tabel 3.1. Tetapan Henry untuk gas gas terlarut pada 25oC (K2 / 109 Pa)
Gas
H2
N2
O2
CO
CO2
CH4
C2H2
C2H4
C2H6
Pelarut
Air
7,12
8,68
4,40
5,79
0,167
4,19
0,135
1,16
3,07
Benzena
0,367
0,239
0,163
0,0114
0,569
dimana konsentrasi zat terlarut jauh lebih kecil dari pada konsentrasi pelarutnya
(x2 <<< x1). Perubahan sifat sifat koligatif tersebut dapat dilihat pada gambar
3.7.
P
pelarut
larutan
Po
P
P
Tf o
Tbo
Tf
Tf
Tb
(3.34)
(3.35)
P1o (1 x1 )
Tb
.....
P P1o .x 2
(3.36)
dimana
Fraksi mol (xi) adalah perbandingan jumlah mol zat i (ni) terhadap jumlah mol
total (ntotal) dalam larutan. Untuk larutan yang sangat encer, n2 << n1. Sehingga,
n2
n
2
n1 n 2 n1
..........................................
(3.37)
Dengan demikian,
P = P1o .
n2
n1 n2
P = P1o .
n2
n1
(3.38)
.....
(3.39)
3.2.4.2. Kenaikan Titik Didih (Tb) dan Penurunan Titik Beku (Tf)
Titik didih (boiling point / Tb) normal cairan murni adalah suhu dimana
tekanan uap cairan tersebut sama dengan 1 atm. Penambahan zat terlarut yang
tidak mudah menguap menurunkan tekanan uap larutan. Sehingga, dibutuhkan
suhu yang lebih tinggi agar tekanan uap larutan mencapai 1 atm. Hal ini
mengakibatkan titik didih larutan lebih tinggi daripada titik didih pelarut
murninya.
Dari persamaan 3.36, penurunan tekanan uap (P) dapat dinyatakan
P1o P1 = P1o . x2
sebagai
....................................
(3.40)
x2
P1o P1
P1o
(3.41)
Menurut persamaan Clausius Clapeyron,
ln
P2
P1
HV T2 T1
RT1T2
....
(3.42)
Bila
P2 = P1
dan
T2 = Tb
P1 = P1o
T1 = Tbo
P1
HV (Tb Tbo )
ln o =
P1
RTboTb
..
(3.43)
P1o P1
ln 1
o
P1
HV
Tb
RT1T2
.......
(3.44)
Pada larutan encer,
P1o P1
sangat kecil, sehingga
P1o
ln
P1o P1
P1o
P1o P1
P1o
= -
...........
(3.45)
Karena Tb sangat kecil, maka Tb Tbo
-
P1o P1
P1o
HV
R Tbo
Tb
...
(3.46)
- x2 =
HV
Tb
......
Tb
..
R Tbo
(3.47)
n2
n1
= -
HV
R Tbo
(3.48)
n2
w M
2 x 1
n1 M 2 w1
..............................
(3.49)
dengan w1 dan M1 masing masing adalah berat dan massa molar pelarut, serta w2
dan M2 adalah berat dan massa molar zat terlarut. Jika w1 dianggap 1000 gram,
n2
m2 .M 1
n1
.....
(3.50)
m2 . M1 = -
HV
R Tbo
Tb
....
. m2
......................................
(3.51)
Tb = -
R Tbo M 1
H v
(3.52)
Tb = Kb . m2 ..........................................
(3.53)
(3.54)
pelarut
murni
larutan
G
n
= -
S
n
dT +
V
n
dP
(3.55)
...
(3.56)
d = - S dT +
dP
.....
(3.57)
= , maka
Karena
dP
d =
..
(3.58)
Bila V dianggap tidak bergantung pada tekanan, maka
(3.59)
Menurut kesetimbangan kimia,
= o + RT ln
P
Po
..
P
Po
......
(3.60)
- o = RT ln
(3.61)
= - RT ln
(3.62)
dimana P = P1 = tekanan uap larutan
Po = P1o = tekanan uap pelarut murni
P
Po
P1
o
P1
...
(3.63)
Menurut Hk. Raoult
P1
P1o
x1 =
......
(3.64)
x1 = (1 x2)
(3.65)
P1
o =
P1
...
(3.66)
- RT ln x1 =
RT
...
(3.67)
= -
ln (1 x2)
.........................
(3.68)
Pada larutan sangat encer, x2 sangat kecil sehingga ln (1 x2) - x2.
= -
RT
(- x2)
.....................................
n2
n1
...
(3.69)
RT
V
n1
(3.70)
R.T.C2
(3.71)
dimana C2 adalah konsentrasi zat terlarut.
.............................................
Gambar 3.9. Kurva pendinginan dan diagram fasa suhu persen berat untuk sistem Bi Cd
proses kristalisasi dari padatan yan gkeluar dari larutan dan juga oleh perubahan
kapasitas kalor. Hal ini dapat terlihat pada komposisi 20% dan 80% Cd. Untuk
komposisi 40% Cd pada suhu 140oC, terjadi pertemuan antara lereng kurva
pedinginan Bi dan Cd yang menghasilkan garis mendatar. Pada suhu ini, Bi dan
Cd mengkristal dan keluar dari larutan, menghasilkan padatan Bi dan Cd murni.
Kondisi dimana larutan menghasilkan dua padatan ini disebut titik eutektik, yang
hanya terjadi pada komposisi dan suhu tertentu. Pada titik eutektik terdapat tiga
fasa, yaitu Bi padat, Cd padat dan larutan yang mengandung 40% Cd. Derajat
kebebasan untuk titik ini adalah 0, sehingga titik eutektik adalah invarian.
Eutektik bukan merupakan fasa, tetapi kondisi dimana terdapat campuran yang
mengandung dua fasa padat yang berstruktur butiran halus.
3.2.5.1. Pembentukan Senyawa
Komponen komponen pada sistem biner dapat bereaksi membentuk
senyawa padat yang berada dalam kesetimbangan dengan fas cair pada berbagai
komposisi. Jika pembentukan senyawa mengakibatkan terjadinya daerah
maksimum pada diagram suhu komposisi, maka disebut senyawa bertitik lebur
sebangun (congruently melting compound). Contoh senyawa ini dapat dilihat
pada diagram fas Zn Mg pada gambar 3.10.
Selain melebur, senyawa juga dapat meluruh membentuk senyawa lain dan
larutan yang setimbang pada suhu tertentu. Titik leleh ini disebut titik leleh tak
sebangun (incongruently melting point) dan senyawa yang terbentuk disebut
senyawa bertitik lebur tak sebangun. Hal ini terjadi pada bagian diagram fasa
Na2SO4 H2O yang menunjukkan pelelehan tak sebangun dari Na2SO4.10H2O
menjadi kristal rombik anhidrat Na2SO4.
Pada gambar 3.12, terlihat adanya daerah dimana terdapat fasa cair
(larutan) dan fasa padat (larutan padat) yang berada dalam kesetimbangan. Garis
yang berbatasan dengan fasa cair disebut sebagai garis liquidus, sedangkan garis
yang berbatasan dengan fasa padat disebut garis solidus. Larutan padat pada
sistem ini disebut sebagai fasa . Komposisi masing masing fasa dapat
ditentukan dengan menggunakan lever rule. Kondisi fasa fasa yang ada dalam
sistem pada berbagai suhu dapat dilihat pada gambar 3.13.
Gambar 3.13. Kondisi fasa fasa dalam sistem Cu Ni pada berbagai suhu
Gambar 3.14. Diagram fasa sistem tiga komponen air asam asetat vinil asetat