Abstrak
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar menempati hierarki tertinggi dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan suatu Negara. Bertolak dari konsepsi tersebut, maka secara
umum istilah konsitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara,
yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah negara.
Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis dan yang tidak tertulis. Hal tersebut membuat
konstitusi sebagai norma-norma hukum tertinggi yang menjadi dasar dari segala-galanya,
atau menjadi sumber bagi segala peraturan hidup yang diberlakukan dalam negara tersebut.
Kajain ini akan mengkaji secara lebih jauh bagaimana konstitusi merupakan suatu bagian dari
objek kajian Hukum Tata Negara
A. Pendahuluan
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian
kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani Kuno politeia dan perkataan
bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan politeia
dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat
manusia. Kata politeia dari kebudayaan Yunani dapat disebut yang paling tua usianya.
Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal adanya istilah yang mencerminkan pengertian
kata jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tradisi Romawi yang datang kemudian 3.
Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum
berbentuk seperti yang dimengerti di zaman modern sekarang. Namun, perbedaan antara
konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan yang dilakukan oleh
Aristoteles terhadap pengertian kata politea dan nomoi. Pengertian politiea dapat
disepadankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang biasa4.
Menurut Cicero, “This constitution (haec constitution) has a great measure of equability
without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan
oleh Cicero: Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the
republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.
Pendapat Cicero dapat dipahami secara lebih pasti bahwa konstitusi republik bukanlah hasil
kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh karena
itu, dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dapat
ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan pengertian dan penggunaan perkataan
politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan
3
Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University
Press, 1966), h. 26
4
George E. Woodbine (ed.), Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae, (New Haven: 1932), h. 63.
di antara keduanya satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman
praktik kehidupan kenegaraan dan hukum5.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas
kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu
menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika
yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya
suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang
merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya.
Untuk itu, di lingkungan negara-negara demokrasi liberal, rakyatlah yang menentukan
berlakunya suatu konstitusi. Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat misalnya
melalui referendum, seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara
tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Meskipun dalam pembukaan Konstitusi
Amerika Serikat (preamble) terdapat perkataan “We the people”, tetapi yang diterapkan
sesungguhnya adalah sistem perwakilan, yang pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus
(special convention) dan kemudian disetujui oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum
perwakilan negara yang didirikan bersama7.
Pemikiran nilai konstitusi dapat dikutip dari eorang sarjana, Karl Loewenstein, yang
mengadakan suatu penyelidikan apakah arti dari suatu konstitusi tertulis ( Undang-Undang
Dasar) dalam suatu lingkungan nasional yang spesifik, terutama kenyataan bagi rakyat biasa
sehingga membawa Karl Loewenstein kepada tiga jenis penilaian konstitusi, yaitu konstitusi
8
Harun Alrasid, Kuliah Hukum Tata Negara Prof. Mr. Djokosoetono, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,
Hlm 47-57
9
Kenneth C. Wheare, Modern Constitutions”, Third Impression, First Published 1951, London, New York,
Toronto: Oxford University Press, 1975, Hlm 1.
10
Sri Soemantri , Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Alumni, 2006. Hlm 2-3
yang mempunyai nilai normative, nilai nominal, dan konstitusi yang mempunyai nilai
semantik.11
a. Nilai Normatif
Nilai konstitusi mempunyai nilai normatif apabila penerimaan segenap rakyat dari
suatu negara terhadap konstitusinya benar-benar murni dan konsekuen, konstitusi itu
ditaati dan demikian dijunjung tinggi tanpa adanya penyelewengan sedikitpun juga.12
Sebagai contoh dapat diberikan Konstitusi Amerika Serikat di mana ketiga kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif menjalankan fungsinya masing-masing secara
terpisah. 13
b. Nilai Nominal
Nilai nominal dari suatu konstitusi kita peroleh apabila ada kenyataan sampai dimana
batas-batas berlakunya itu, yang dalam batas-batas berlakunya itulah yang dimaksud
dengan nilai nominal suatu konstitusi. Dari sejumlah pasal dalam suatu konstitusi
terdapat beberapa pasal yang tidak dapat diberlakukan dengan baik, bahkan mungkin
dibeberapa daerah tertentu terdapat pasal yang sama sekali tidak dapat diberlakukan. 14
Yang dimaksud di sini bawha suatu konstitusi itu secara umum berlaku, namun
berlakunya itu tidak sempurna, karena ada pasal-pasal tertentu dari padanya
yangdalam kenyataannya tidak berlaku.15
c. Nilai Semantik
Nilai konstitusi yang bersifat semantic ialah suatu konstitusi yang dilaksanakan dan
diperlakukan dengan penuh, tetapi hanyalah sekedar member bentuk (formalization)
dari tempat yang telah ada untuk melaksanakan kekuasaan politik. 16
Terkait dengan sifat konstitusi, Di dalam referensi hukum tata negara karakteristik (sifat)
dari konstitusi dapat di bagi ke dalam dua bagian yaitu: 1) Konstitusi yang bersifat flaxible
(lentur) artinya konstitusi secara formil maupun secara materil dapat diubah dan atau
ditambah bahkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman; dan 2)
Konstitusi yang rigid (kaku) artinya konstitusi secara formil maupun secara materil tidak
11
Ibid .hlm 311.
12
Chandra Parbawati, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, (Pusat Kajian Konstitusi dan Peraturan Perundang-
Undangan, 2019) hal 45
13
Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), hal 73
14
Ibid hal 45
15
Ibid hal 74
16
Ibid hal. 46
dapat diubah dan atau ditambah. Bahkan sangat sulit untuk dapat disesuaikan dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat17.
Selain itu ada pula konstitusi formil dan materiil. Sifat dari konstitusi formil dan materiil
ini sering diidentikkan dengan Undang-Undang Dasar. Kesalahan ini disebabkan antara lain
pengaruh paham kodifikasi yang menghendaki semua aturan hukum dibuat dalam bentuk
yang tertulis dengan maksud untuk mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum, dan
kepastian hukum. Begitu besar pengaruh paham kodifikasi ini, maka di seluruh dunia
berkembang anggapan bahwa setiap peraturan itu penting, maka harus ditulis begitu pula
dengan konstitusi. Di zaman modern sekarang ini, dapat dikatakan bangsa Amerika Serikat
lah yang pertama menuliskan konstitusi dalam satu naskah, meskipun leluhur mereka di
Inggris tidak mengenal naskah konstitusi yang tertulis dalam satu naskah. Sifat yang materiil,
dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal yang bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara.
Artinya konstitusi tersebut memiliki substansi yang penting, terpilih, dan mendasar untuk
mengatur jalannya negara sehingga kehidupan antara rakyat dan negara dapat berjalan
dengan stabil. Rakyat dapat mematuhi segala konstitusi yang diterapkan negara begitu pun
negara dapat menjamin konstitusi yang telah diciptakannya, sehingga elite politik atau
pemerintah pun dapat tunduk terhadap konstitusi tersebut.
Terdapat pula Dua macam konstitusi, yaitu “konstitusi tertulis” (written constitution) dan
“konstitusi tak-tertulis” (unwritten constitution) memiliki arti seperti halnya dengan “hukum
tertulis” (geschrevent recht) yang termuat dalam undang-undang dan “hukum tak-tertulis”
(orgescheverent recht) yang berdasarkan atas adat-kebiasaan.
Richard Kay memaparkan “Constitutionalism implements the rule of laws; it brings about
predictability and security in the relations of individuals and the government by defining in
the power and limit of that government (Konstitusionalisme mengatur pelaksanaan rule of
law dalam hubungan individu dengan pemerintah. Konstitusionalisme menghadirkan situasi
yang dapat memupuk rasa aman, karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah
yang telah ditentukan terlebih dahulu)18.
Pemikiran mengenai Constitutionaism dilandasi dari adagium yang dikeluarkan oleh Lord
Acton yakni ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutly”. Manusia yang
17
Ibid
18
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit PT. Gramedia Pustala Utama, Jakarta, 2008, Hlm 170
mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang
mempunyai kekuasaan sudah pasti akan menyalahgunakannya. Maka dari itu lebih lanjut
William G Andrew under constitutionalism, two types of limitations impinge on government.
Power is proscribed and procedures prescribed.
Maka ketika konstitusi tidak mengandung konstitusionalisme? Untuk apa suatu negara
tetap memiliki konstitusi? K.C Wheare untuk menjawab pertanyaan tersebut menggunakan
istilah The Desire to have a new start merupakan suatu pernyataan yang diungkapkan oleh
K.C Wheare untuk menggambarkan alasan mengapa suatu negara yang baru merdeka
ataupun baru terbentuk membentuk sebuah konstitusi 22. Dari pertanyaan yang diungkapkan
olek K.C Wheare maka jelas dibentuknya konstitusi bukan hanya digunakan untuk
19
Ibid. Hlm 171
20
Djafar, “Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan atas Kecendrungan Defisit Negara
Hukum di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 5, Oktober 2010. Hlm. 152
21
Margarito Kamis, Op.Cit
22
Kenneth C. Wheare, Op.Cit.
mengimplementasikan paham konstitusionalisme, namun untuk memulai suatu hal baru yang
akan dilaksanakan oleh suatu negara seperti tujuan negara.
C. Penutup
Hukum Tata Negara sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi
daripada negara, hubungan antaralat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan
horizontal serta kedudukan warga negara dan hak-hak asasinya. Analisis terhadap definisi
ini mencakup unsur-unsur, peraturan hukum, organisasi negara, lembaga negara, hak warga
negara, dan jaminan hak asasi negara. Kiranya tampak mendeskripsikan sesuai dengan
tuntutan dari muatan sebuah konstitusi.
Berdasarkan pembahasan tersebut kiranya dapat disimpulkan HTN memberi dukungan
yuridis konstitusional untuk mendirikan dan menata bangunan organisasi negara sehingga
negara dalam posisi dibangun tidak dalam keadaan bergerak sebagai objek. Beranjak dari
bahasan yang menyimpulkan bahwa Hukum Tata Negara merupakan perwujudan
konstitusional dari nilai-nilai Pancasila untuk diimplementasikan dalam kehidupan
bernegara.
Melalui pembahasan di atas kita dapat merumuskan pengertian dalam rangka studi
Hukum Tata Negara bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar yang
tertulis sebagai perwujudan yuridis konstitusional dari Pancasila sebagai dasar negara, yang
memiliki kedudukan sebagai salah satu sumber hukum dan hukum dari Hukum Tata Negara
Indonesia.
Daftar Pustaka
Chandra Parbawati, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, (Pusat Kajian Konstitusi dan
Peraturan Perundang-Undangan, 2019)
Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York:
Cornell University Press, 1966)
Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005).
Harun Alrasid, Kuliah Hukum Tata Negara Prof. Mr. Djokosoetono, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1982
Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010)
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit PT. Gramedia Pustala Utama,
Jakarta, 2008
R.N. Berki, The History of Political Thought: A Short Introduction, (London: J.J.Dent
and Sons, Everyman’s University Library, 1988)
Sri Soemantri , Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Alumni, 2006.
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat,
1989