Anda di halaman 1dari 17

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA
------

KONSTITUSI DAN KEBHINNEKAAN1


Oleh: Jimly Asshiddiqie2

A. KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME, DAN


KEBHINNEKAAN
Dari sisi istilah dan perkembangan gagasannya,
konstitusi (constitution) dapat dipahami meliputi dua
konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the natural frame of
the state yang dapat ditarik ke belakang terkait dengan
pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua,
konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law
of the realm. Cicero3 dapat disebut sebagai sarjana pertama
yang menggunakan perkataan constitutio dalam pengertian
kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Res Pub-
lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi, perkataan constitutio
dalam bentuk latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis
untuk menyebut the acts of legislation by the emperor.
Menurut Cicero, “This constitution (haec constitution) has a
great measure of equability without which men can hardly
remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan
1
Bahan disampaikan pada acara Seminar “Masa Depan
Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan,
dan Solusi”. Diselenggarakan oleh International Center for Islam and
Pluralism. Jakarta, 22 Juli 2008.
2
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
3
Lihat R.N. Berki, The History of Political Thought: A Short
Introduction, (London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library,
1988), hal. 74.
1
oleh Cicero “now that opinion of Cato becomes more certain,
that the constitution of the republic (consitutionem rei
publicae) is the work of no single time or of no single man.”
Dari pendapat Cato tersebut dapat dipahami bahwa
konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu waktu ataupun
satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh
karena itu, dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai
konstitusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih
mendalam dalam perkembangan pengertian dan
penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan
perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di
antara keduanya satu sama lain di sepanjang sejarah
pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan
kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itulah yang
pada akhirnya mengantarkan umat manusia pada pe-
ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern.
Dalam Oxford Dictionary, perkataan constitution dikaitkan
dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of
ordaining, or the ordinance or regulation so established”.
Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai
pembuatan atau penyusunan yang menentukan hakikat
sesuatu (the “make” or composition which determines the
nature of anything) yang dalam hal ini adalah entitas suatu
negara.
Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi
selalu dianggap “mendahului” dan “mengatasi” pemerinta-
han dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A
Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a govern-
ment but of the people constituting a government”.4 Kon-
stitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya,
melainkan dalam sifatnya yang superior dan kewenangannya
untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain
menjelaskan:
In fact, the traditional notion of constitutionalism before
the late eighteenth century was of a set of principles

4
Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and
Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966), hal. 20.
2
embodied in the institutions of a nation and neither
external to these nor in existence prior to them.5

Oleh karena itu, konstitusi dan konstitusionalisme


selalu dilihat sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang
tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada
yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang
mendahuluinya. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum
dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi
atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara.
Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka
sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Hal inilah
yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang
merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus
di atas sistem yang diaturnya.6
Dalam hubungan dengan pengertian constituent power
tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act.
Konstitusi adalah constituent act, bukan produk peraturan
legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent
power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului
organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan
konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901), konsti-
tusi tertulis merupakan:
The instrument in which a constitution is embodied
proceeds from a source different from that whence
spring other laws, is regulated in a different way, and
exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordinary
legislative authority but by some higher and specially
empowered body. When any of its provisions conflict
with the provisions of the ordinary law, it prevails and
the ordinary law must give way.7

5
Ibid., hal. 12.
6
Lihat misalnya Brian Thomson, Textbook on Constitutional and
Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press Ltd., 1997),
hal. 5.
7
J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, Vol. 1, (Oxford:
Clarendon Press, 1901), hal. 151.
3
Oleh karena itu, dasar keberadaan dan kedudukan
konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan
bersama (general consensus) seluruh rakyat mengenai
bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.
Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat
politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi
atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut negara.8 Kata kuncinya adalah
konsensus atau general agreement.
Jika negara-bangsa yang didirikan disandarkan pada
prinsip kedaulatan rakyat dan ditujukan kepada seluruh
bangsa yang terdiri atas beragam suku, budaya, dan agama,
maka mekanisme demokrasi menjadi satu-satunya pilihan
dalam proses pembentukan kesepakatan bersama. Hal ini
karena dalam demokrasi mengutamakan adanya dan
pentingnya pluralisme dalam masyarakat.9 Di sisi lain,
demokrasi tidak mungkin terwujud jika disertai absolutisme
dan sikap mau benar sendiri. Demokrasi mengharuskan
sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai
(mutual respect) antara warga masyarakat di bawah tujuan
yang lebih besar, yaitu kemaslahatan umum.10
Proses kompromi yang didasari sikap saling percaya
(mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect) dalam
kontrak sosial menentukan cita-cita nasional dan prinsip-
prinsip kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan negara.
Kontrak sosial tersebutlah yang mengikat seluruh bangsa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk
konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi sebagai bentuk

8
William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions
and Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a
political community have, bu definition, common interests which they seek
to promote or protect through the creation and use of the compulsory
political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand
Company, 1968), hal. 9.
9
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi, Cetakan Kedua, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 257.
10
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta
dan Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2003), hal. 98-99.
4
kesepakatan bersama merefleksikan kebhinnekaan yang
dipersatukan dalam suatu ikatan kebangsaan dan
kenegaraan. Jika kebhinnekaan tersebut tidak dijamin dan
tidak diakui keberadaannya, tentu tidak tercapai
kesepakatan bersama dan tidak dapat hidup sebagai satu
bangsa dan satu negara.
Di sinilah dapat dilihat peran konstitusi sebagai
pemersatu bangsa dengan cara mengakui dan melindungi
kebhinnekaan. Konstitusi menjamin hak setiap orang
memiliki pandangan berdasarkan keyakinan masing-masing,
sama halnya dengan setiap kelompok, suku, atau agama
yang memiliki hak kolektif untuk mengembangkan
keragaman sesuai dengan sistem nilai dan kepercayaannya.
Namun dalam interaksi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang melibatkan keseluruhan
komponen bangsa, konstitusi yang telah disepakati bersama
menjadi acuan utama dan pertama.
Konsensus yang diwujudkan dalam kontitusi dapat
dipahami substansinya sebagai substansi paham
11
konstitusionalisme yang meliputi tiga hal, yaitu:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama
(the general goals of society or general acceptance of
the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan
negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of
institutions and procedures).

Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan de-


ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti-
tusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita
bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung-
kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di
antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya
harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh

11
Ibid., hal.12-13.
5
karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin keber-
samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan
perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama
yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau
staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische
grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa’ di
antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan
bernegara.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis
pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi.
Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil,
karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama
bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe-
nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the
game yang ditentukan bersama. Bahkan di Amerika Serikat
istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu “The Rule of
Law, and not of Man” untuk menggambarkan pengertian
bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau
memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
Istilah “The Rule of Law” jelas berbeda dari istilah “The
Rule by Law”. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum
(law) digambarkan hanya sekedar bersifat instrumentalis
atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan
orang atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”.
Sedangkan prinsip “The Rule of Law” mensyaratkan bahwa
kekuasaan dalam negara berpuncak pada konstitusi. Dari
sinilah dikenal istilah constitutional state yang merupakan
salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu,
kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga
konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam
memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas
hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak
akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai
kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan
tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana
mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) ba-
ngunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur
kekuasaannya, (b) hubungan-hubungan antar organ negara
6
itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ
negara itu dengan warga negara. Kesepakatan-kesepakatan
yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi tersebut harus
menjadi pedoman bersama dalam jangka panjang. Oleh
karena itu, para perancang dan perumus konstitusi tidak
seharusnya membayangkan, bahwa naskah konstitusi itu
akan sering diubah dalam waktu dekat.
Mengingat kedudukan konstitusi sebagai kesepakatan
nasional yang mempersatukan bangsa, maka konstitusi oleh
Thomas Paine dikatakan bahwa konstitusi juga berfungsi
sebagai “a national symbol”.12 Konstitusi dapat berfungsi
sebagai pengganti raja dalam kaitannya dengan fungsi-
fungsi yang bersifat seremonial dan fungsi pemersatu
bangsa seperti yang biasanya dikaitkan dengan fungsi kepala
negara. Karena itu, konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu
sebagai kepala negara simbolik dan sebagai kitab suci dari
suatu agama civil atau syari’at negara (civil religion).13
Sebagai kepala negara simbolik, konstitusi berfungsi
sebagai; (i) simbol persatuan (symbol of unity), (ii) lambang
identitas dan keagungan nasional suatu bangsa (majesty of
the nation), dan atau (iii) puncak atau pusat kekhidmatan
upacara (center of ceremony). Sedangkan sebagai kitab suci
simbolik (symbolic civil religion), konstitusi berfungsi
sebagai; (i) dokumen pengendali (tool of political, social, and
economic control), dan (ii) dokumen perekayasa dan bahkan
pembaruan ke arah masa depan (tool of political, social and
economic engineering and reform).
Sementara itu, dalam fungsinya sebagai dokumen civil
religion14, konstitusi dapat difungsikan sebagai sarana pe-
ngendalian atau sarana perekayasaan dan pembaruan.
Konstitusi dapat pula difungsikan sebagai sarana kontrol po-
litik, sosial dan/atau ekonomi di masa sekarang, dan sebagai
sarana perekayasaan politik, sosial dan/atau ekonomi menu-
ju masa depan.
12
Ibid, hal. 24.
13
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 29-30.
14
Istilah ini dikembangkan dari Sanford Levinson dalam
Constitutional Faith, (Princeton: Princeton University Press, 1990).
7
Perkembangan konstitusionalisme dalam praktik
kehidupan bernegara berdasarkan konstitusi dan mengakui
dan melindungi kebhinnekaan sendiri telah dijalankan oleh
Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahannya di
Madinah, telah disusun dan ditandatangani persetujuan atau
perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk
kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur
kehidupan bersama yang di kemudian hari berkembang
menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern
sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang
selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah
Charter).
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam
tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat
dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti
modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara
Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota
Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke
Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622 M.
Para ahli menyebut Piagam Madinah tersebut dengan
berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.15
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam
Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah
(social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok
komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam.
Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan
Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum
Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari
Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum
Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum
15
Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu
sebagai Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa diantaranya
lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945:
Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat
Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995); Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi
dan Hukum Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005). Lihat juga Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang
Prinsio-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. kedua, (Jakarta: Kencana,
2004).
8
Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu
‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi)
Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu
Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah tersebut berisi 47
pasal. Pasal 1, misalnya, menegaskan prinsip persatuan
dengan menyatakan: “Innahum ummatan wahidatan min
duuni al-naas” (Sesungguhnya mereka adalah ummat yang
satu, lain dari (komunitas) manusia yang lain). 16 Dalam Pasal
44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam)
bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas kota
Yatsrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan “Kaum
Yahudi memikul biaya bersama kamu mukminin selama
dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum
Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum
mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kamu
mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang
zalim dan yang jahat. Hal demikian akan merusak diri dan
keluarganya sendiri.” Jaminan persamaan dan persatuan
dalam keragaman tersebut demikian indah dirumuskan
dalam Piagam ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang
mungkin akan menyerang kota Madinah, setiap warga kota
ditentukan harus saling bahu membahu.
Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan
amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan
beragama. Bagi orang Yahudi sesuai dengan agama mereka,
dan bagi kaum mukminin sesuai dengan agama mereka pula.
Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih tegas dari rumusan al-
Quran mengenai prinsip lakum diinukum walya diin (bagimu
agamamu, dan bagiku agamaku) yang menggunakan
perkataan “aku” atau “kami” versus “kamu”. Dalam piagam
digunakan perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi
maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak yang sama
dengan Nabi.
Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi
ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya adalah:

16
Ibid., hal. 47.
9
Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim
dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan
orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang
yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang
yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda Muhammad
Rasulullah SAW).17

Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada


abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting
selama abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi
baru adanya perjanjian bersama di antara kelompok-
kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah per-
janjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis. Piagam
Madinah ini dapat disebut sebagai konstitusi tetulis pertama
dalam sejarah umat manusia, meskipun dalam
pengertiannya sebagai konstitusi modern yang dikenal
dewasa ini, Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787-lah yang
pada umumnya dianggap sebagai konstitusi tertulis
pertama. Peristiwa penandatangan Piagam Madinah itu
dicatat oleh banyak ahli sebagai perkembangan yang paling
modern di zamannya, sehingga mempengaruhi berbagai
tradisi kenegaraan yang berkembang di kawasan yang dipe-
ngaruhi oleh peradaban Islam di kemudian hari. Bahkan
pada masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
kepemimpinan dilanjutkan oleh empat khalifah pertama
yang biasa dikenal dengan sebutan Khalifatu al-Rasyidin,
yaitu Abubakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali
ibn Abi Thalib.

B. KEBHINNEKAAN DALAM UUD 1945


Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Dari
sudut bahasa saja, Indonesia memiliki tidak kurang dari 665
bahasa daerah. Bahasa mencerminkan cara berpikir, cita
rasa budaya dan tentu ada kaitan dengan adat dan sistem
hukum adat yang berbeda-beda. Dari sisi geografis, bangsa
Indonesia juga sangat plural, terdiri lebih dari 17.000 ribu
pulau dengan keragaman suku dari sisi antropologis.

17
Ibid., hal. 57.
10
Indonesia sendiri berada di tengah pergaulan dunia (the
cross road), semua pengaruh kebudayaan besar, semua
pengaruh agama besar, semua pengaruh peradaban besar
dunia berpartisipasi dan berebut pengaruh di Indonesia.
Aspek lain yang memiliki pengaruh kuat dalam
kehidupan bermasyarakat adalah keragaman agama yang
dianut oleh masyarakat Indonesia. Walaupun mayoritas
masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, namun
terdapat pula masyarakat yang menganut agama, Kristen,
Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, bahkan juga terdapat
masyarakat yang menganut kepercayaan adat yang tidak
dapat dimasukkan ke dalam kategori agama besar tersebut
di atas. Kebhinnekaan juga merupakan konsekuensi dari
aspek manusia sebagai makhluk yang “berpikir”, “bekerja”,
dan “berpengharapan”. Sebagai makhluk yang memiliki cita-
cita, eksistensi manusia berada sepanjang “masa kini” dan
“masa depan”. Maka manusia selalu melakukan perubahan
secara kreatif dan berbeda-beda. Karenanya pula manusia
mempunyai kebebasan untuk bertindak dan memilih
(freedom of will and choice).18
Kebhinnekaan bangsa Indonesia adalah suatu
kenyataan. Bahkan kebhinnekaan tersebut merupakan
kekayaan sebagai karunia Tuhan yang telah menyatakan
bahwa manusia diciptakan bergolongan-golongan agar
saling kenal-mengenal. Karena itu, organisasi negara yang
didirikan harus mengakomodasi keseluruhan perbedaan-
perbedaan tersebut menjadi suatu persatuan tanpa harus
memaksakan adanya kesatuan. Jika tidak ada mampu
mengkamodasikan keragaman dalam satu ikatan bersama,
mustahil dapat diorganisasikan sebagai satu bangsa dan satu
negara. Akan muncul pertentangan antara satu budaya
dengan budaya lainnya atau antara satu agama dengan
agama lainnya.
Oleh karena itu gagasan negara bangsa (nation state)
yang dikemukakan para pendiri bangsa Indonesia bukanlah
konsep negara bangsa yang semata-mata mendasarkan diri
Mukti Ali, Butir-Butir Manusia Ditinjau dari Segi Agama, dalam
18

Darmanto JT dan Sudharto PH, Mencari Konsep Manusia Indonesia:


Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986), hal. 175-177.
11
pada persamaan ras, bahasa, dan, agama. Negara bangsa
adalah gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh
bangsa. Konsep “negara bangsa” adalah negara yang
didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang
menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional
terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan
untuk kepentingan seluruh rakyat.
Para pendiri bangsa telah menyadari perlunya menjaga
dan melindungi kebhinnekaan bangsa. Hal itu dapat dilihat
dari tujuan nasional yang dirumuskan dalam Pembukaan
UUD 1945 yang merupakan kesepakatan bersama tentang
tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or
general acceptance of the same philosophy of government)
sebagai dasar konstitusionalisme Indonesia. Salah satu
tujuan nasional adalah “melindungi segenap bangsa
Indonesia”. Kata “segenap” menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, agama, dan
perbedaan lain, yang semuanya harus dilindungi.
Selain itu, para pendiri bangsa juga telah menyepakati
falsafah kenegaraan yang berfungsi sebagai common
platforms atau kalimatun sawa’ di antara sesama warga
masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Prinsip
dasar tersebut adalah Pancasila yang meliputi lima dasar,
yaitu (i) ke-Tuhanan Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, (iii) Persatuan Indonesia, (iv) Kerakyatan
Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
Sebelum Perubahan UUD 1945, ketentuan yang terkait
dengan perlindungan terhadap kebhinnekaan tertuang
dalam jaminan terhadap kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945
sebelum perubahan). Selain itu dalam Penjelasan UUD 1945
sebelum perubahan juga terdapat pengakuan terhadap lebih
kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan
marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
12
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Selain itu juga dinyakan
bahwa Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan
daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul
daerah tersebut.
Pasca Perubahan UUD 1945, jaminan terhadap kebhinnekaan
semakin jelas dan kuat, baik berupa hak individu, hak kolektif,
maupun terhadap satuan pemerintahan. Ketentuan UUD 1945 yang
menjamin kebhinnekaan dalam bentuk hak individu diantaranya
adalah Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 28I Ayat (2); dan Pasal
29 Ayat (2). Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal 28E Ayat
(2) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya. Pasal 28E Ayat (3) menjamin hak setiap
orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat. Pasal 28I Ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Sedangkan Pasal 29 Ayat (2) juga memberikan jaminan terhadap
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Khusus untuk kemerdekaan beragama dan beribadat, adalah
jaminan terhadap kebhinnekaan dalam hal bergama. Hal itu
ditegaskan dalam dua ketentuan, yaitu Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal
29 Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
ditegaskan bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta
hak beragama merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.
Di samping jaminan kebhinnekaan berupa hak individu, UUD
1945 juga memberikan jaminan terhadap hak kolektif baik sebagai
suatu komunitas masyarakat maupun sebagai satuan
pemerintahan. Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
setiap orang berhak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
13
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945). Sedangkan pengakuan terhadap
kebhinnekaan satuan pemerintahan dijamin dalam Pasal 18B Ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa. Kekhususan dan keistimewaan
tersebut terkait dengan struktur dan sistem pemerintahan serta
masyarakatnya yang dapat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah,
kondisi geografis, maupun ajaran agama tertentu.
Berbagai ketentuan UUD 1945, terutama tentang hak asasi
manusia dan hak kolektif masyarakat tersebut harus dilaksanakan
oleh segenap komponen bangsa dan seluruh penyelenggara negara.
Pengakuan keragaman dalam bangsa Indonesia dalam UUD 1945
merupakan landasan konstitusional dalam pembuatan kebijakan
dan tindakan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, jika
terdapat produk hukum atau kebijakan yang mengingkari
keragaman bangsa Indonesia, maka produk hukum dan kebijakan
tersebut dapat dinyatakan inkonstitusional.

C. TANTANGAN PELAKSANAAN KONSTITUSI DAN


KEBHINNEKAAN
Upaya menjamin kebhinnekaan dan mewujudkan
konstitusionalisme adalah bagian integral dari upaya pelaksanaan
UUD 1945. Hal itu membutuhkan pemahaman dari seluruh rakyat
dan segenap penyelenggara yang mengarah pada budaya sadar
berkonstitusi. Pemahaman dalam hal itu tidak hanya berupa
pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan dasar yang ada dalam
UUD 1945 tetapi juga pemahaman terhadap latar belakang filosofis
berupa prinsip-prinsip dasar yang menjiwai seluruh ketentuan
dalam UUD 1945, termasuk jaminan dan perlindungan terhadap
kebhinnekaan Indonesia.
Di dalam budaya sadar berkonstitusi juga terkandung
maksud ketaatan kepada aturan hukum sebagai aturan main (rule
of the game) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Segenap
komponen bangsa harus bertindak sesuai dengan aturan yang
ditetapkan, serta apabila timbul permasalahan atau sengketa, harus
diselesaikan melalui mekanisme hukum. Budaya mematuhi aturan
hukum merupakan salah satu ciri utama masyarakat beradab. Hal
14
ini juga berlaku dalam konteks menjalankan kebebasan beragama.
Tanpa adanya kesadaran mematuhi rambu-rambu permainan dan
mekanisme penyelesaian sengketa, persatuan sebagai satu bangsa
dan satu negara akan menghadapi ancaman.
Oleh karena itulah harus ada upaya secara terus-menerus
untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Budaya sadar
berkonstitusi tercipta tidak hanya sekedar mengetahui norma
dasar dalam konstitusi. Lebih dari itu, juga dibutuhkan pengalaman
nyata untuk melihat dan menerapkan konstitusi dalam praktik
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tantangan lain yang dihadapi adalah munculnya polarisasi
dalam masyarakat karena proses demokratisasi yang telah kita
jalani. Di samping telah mampu membentuk kelompok-kelompok
masyarakat sipil yang tidak saja memiliki pemahaman terhadap
prinsip kebhinnekaan dan konstitusionalisme, tetapi juga
mendedikasikan hidupnya untuk melindungi kebhinnekaan, juga
terdapat kutub kelompok yang cenderung eksklusif. Bahkan,
kelompok ini mencurigai prinsip pluralisme sebagai bagian dari
gagasan HAM adalah bagian dari budaya barat yang individual-
liberal. Kelompok ini tidak hanya berada di tingkat lokal, tetapi juga
memiliki jaringan antar negara.
Eklusivitas kelompok tersebut didorong oleh keyakinan atas
kebenaran yang dianut. Eklusivitas tersebut mendorong tindakan
yang tidak toleran terhadap kelompok lain dan senantiasa
mengupayakan agar setiap aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara diatur berdasarkan kebenaran yang diyakininya. Jika hal
itu dilakukan dengan cara-cara demokratis, tentu tidak
menimbulkan persoalan. Namun adakalanya hal itu dilakukan
dengan cara kekerasan dan pemaksaan kehendak terhadap
kelompok lain.
Terhadap kekerasan yang dilakukan tentu harus ditindak
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Di sinilah letak peran
negara yang utama. Tetapi terhadap keyakinan dan pikiran yang
eksklusif, tentu tidak dapat dilakukan pelarangan, karena hal itu
dengan sendirinya menyalahi prinsip kebhinnekaan dan
demokrasi. Yang harus dikedepankan adalah dialog yang
mengedepankan prinsip kebaikan bersama, bukan memaksakan
kebenaran masing-masing.

15
Proses dialog tersebut hanya dapat terlaksana jika antar
kelompok dalam masyarakat menjadikan kesepakatan bersama
untuk hidup sebagai satu bangsa dan satu negara sebagai titik
berangkat, bukan dari keyakinan kebenaran masing-masing. Oleh
karena itu, gagasan konstitusi sebagai kitab suci dari suatu agama
civil atau syari’at negara (civil religion) perlu ditransformasikan
dan dikembangkan lebih lanjut. Hal ini tentu tidak sekadar menjadi
tanggungjawab negara, tetapi tanggungjawab seluruh warga
negara, termasuk organisasi keagamaan yang memiliki otoritas
terhadap ummatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sukardja. Piagam Madinah dan Undang-Undang


Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar
Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta:
UI-Press, 1995.
Berki, R.N. The History of Political Thought: A Short
Introduction. London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s
University Library, 1988.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. Vol. 1. Oxford:
Clarendon Press, 1901.
Dahlan Thaib dkk. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi.
Cet. Kelima. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005.
Darmanto JT dan Sudharto PH. Mencari Konsep Manusia
Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1986.
Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. Cetakan Kedua. Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

16
Levinson, Sanford. Constitutional Faith. Princeton: Princeton
University Press, 1990.
McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism: Ancient and
Modern. Ithaca, New York: Cornell University Press,
1966.
Nurcholish Madjid. Indonesia Kita. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Universitas
Paramadina Jakarta dan Perkumpulan Membangun
Kembali Indonesia, 2003.
Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-
prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini. Cet. Kedua. Jakarta: Kencana, 2004.
Thomson, Brian. Textbook on Constitutional and
Administrative Law. Edisi ke-3. London: Blackstone
Press Ltd., 1997.

17

Anda mungkin juga menyukai