REPUBLIK INDONESIA
------
4
Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and
Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966), hal. 20.
2
embodied in the institutions of a nation and neither
external to these nor in existence prior to them.5
5
Ibid., hal. 12.
6
Lihat misalnya Brian Thomson, Textbook on Constitutional and
Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press Ltd., 1997),
hal. 5.
7
J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, Vol. 1, (Oxford:
Clarendon Press, 1901), hal. 151.
3
Oleh karena itu, dasar keberadaan dan kedudukan
konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan
bersama (general consensus) seluruh rakyat mengenai
bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.
Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat
politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi
atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut negara.8 Kata kuncinya adalah
konsensus atau general agreement.
Jika negara-bangsa yang didirikan disandarkan pada
prinsip kedaulatan rakyat dan ditujukan kepada seluruh
bangsa yang terdiri atas beragam suku, budaya, dan agama,
maka mekanisme demokrasi menjadi satu-satunya pilihan
dalam proses pembentukan kesepakatan bersama. Hal ini
karena dalam demokrasi mengutamakan adanya dan
pentingnya pluralisme dalam masyarakat.9 Di sisi lain,
demokrasi tidak mungkin terwujud jika disertai absolutisme
dan sikap mau benar sendiri. Demokrasi mengharuskan
sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai
(mutual respect) antara warga masyarakat di bawah tujuan
yang lebih besar, yaitu kemaslahatan umum.10
Proses kompromi yang didasari sikap saling percaya
(mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect) dalam
kontrak sosial menentukan cita-cita nasional dan prinsip-
prinsip kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan negara.
Kontrak sosial tersebutlah yang mengikat seluruh bangsa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk
konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi sebagai bentuk
8
William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions
and Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a
political community have, bu definition, common interests which they seek
to promote or protect through the creation and use of the compulsory
political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand
Company, 1968), hal. 9.
9
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi, Cetakan Kedua, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 257.
10
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta
dan Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2003), hal. 98-99.
4
kesepakatan bersama merefleksikan kebhinnekaan yang
dipersatukan dalam suatu ikatan kebangsaan dan
kenegaraan. Jika kebhinnekaan tersebut tidak dijamin dan
tidak diakui keberadaannya, tentu tidak tercapai
kesepakatan bersama dan tidak dapat hidup sebagai satu
bangsa dan satu negara.
Di sinilah dapat dilihat peran konstitusi sebagai
pemersatu bangsa dengan cara mengakui dan melindungi
kebhinnekaan. Konstitusi menjamin hak setiap orang
memiliki pandangan berdasarkan keyakinan masing-masing,
sama halnya dengan setiap kelompok, suku, atau agama
yang memiliki hak kolektif untuk mengembangkan
keragaman sesuai dengan sistem nilai dan kepercayaannya.
Namun dalam interaksi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang melibatkan keseluruhan
komponen bangsa, konstitusi yang telah disepakati bersama
menjadi acuan utama dan pertama.
Konsensus yang diwujudkan dalam kontitusi dapat
dipahami substansinya sebagai substansi paham
11
konstitusionalisme yang meliputi tiga hal, yaitu:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama
(the general goals of society or general acceptance of
the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan
negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of
institutions and procedures).
11
Ibid., hal.12-13.
5
karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin keber-
samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan
perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama
yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau
staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische
grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa’ di
antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan
bernegara.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis
pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi.
Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil,
karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama
bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe-
nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the
game yang ditentukan bersama. Bahkan di Amerika Serikat
istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu “The Rule of
Law, and not of Man” untuk menggambarkan pengertian
bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau
memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
Istilah “The Rule of Law” jelas berbeda dari istilah “The
Rule by Law”. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum
(law) digambarkan hanya sekedar bersifat instrumentalis
atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan
orang atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”.
Sedangkan prinsip “The Rule of Law” mensyaratkan bahwa
kekuasaan dalam negara berpuncak pada konstitusi. Dari
sinilah dikenal istilah constitutional state yang merupakan
salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu,
kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga
konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam
memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas
hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak
akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai
kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan
tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana
mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) ba-
ngunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur
kekuasaannya, (b) hubungan-hubungan antar organ negara
6
itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ
negara itu dengan warga negara. Kesepakatan-kesepakatan
yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi tersebut harus
menjadi pedoman bersama dalam jangka panjang. Oleh
karena itu, para perancang dan perumus konstitusi tidak
seharusnya membayangkan, bahwa naskah konstitusi itu
akan sering diubah dalam waktu dekat.
Mengingat kedudukan konstitusi sebagai kesepakatan
nasional yang mempersatukan bangsa, maka konstitusi oleh
Thomas Paine dikatakan bahwa konstitusi juga berfungsi
sebagai “a national symbol”.12 Konstitusi dapat berfungsi
sebagai pengganti raja dalam kaitannya dengan fungsi-
fungsi yang bersifat seremonial dan fungsi pemersatu
bangsa seperti yang biasanya dikaitkan dengan fungsi kepala
negara. Karena itu, konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu
sebagai kepala negara simbolik dan sebagai kitab suci dari
suatu agama civil atau syari’at negara (civil religion).13
Sebagai kepala negara simbolik, konstitusi berfungsi
sebagai; (i) simbol persatuan (symbol of unity), (ii) lambang
identitas dan keagungan nasional suatu bangsa (majesty of
the nation), dan atau (iii) puncak atau pusat kekhidmatan
upacara (center of ceremony). Sedangkan sebagai kitab suci
simbolik (symbolic civil religion), konstitusi berfungsi
sebagai; (i) dokumen pengendali (tool of political, social, and
economic control), dan (ii) dokumen perekayasa dan bahkan
pembaruan ke arah masa depan (tool of political, social and
economic engineering and reform).
Sementara itu, dalam fungsinya sebagai dokumen civil
religion14, konstitusi dapat difungsikan sebagai sarana pe-
ngendalian atau sarana perekayasaan dan pembaruan.
Konstitusi dapat pula difungsikan sebagai sarana kontrol po-
litik, sosial dan/atau ekonomi di masa sekarang, dan sebagai
sarana perekayasaan politik, sosial dan/atau ekonomi menu-
ju masa depan.
12
Ibid, hal. 24.
13
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 29-30.
14
Istilah ini dikembangkan dari Sanford Levinson dalam
Constitutional Faith, (Princeton: Princeton University Press, 1990).
7
Perkembangan konstitusionalisme dalam praktik
kehidupan bernegara berdasarkan konstitusi dan mengakui
dan melindungi kebhinnekaan sendiri telah dijalankan oleh
Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahannya di
Madinah, telah disusun dan ditandatangani persetujuan atau
perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk
kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur
kehidupan bersama yang di kemudian hari berkembang
menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern
sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang
selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah
Charter).
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam
tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat
dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti
modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara
Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota
Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke
Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622 M.
Para ahli menyebut Piagam Madinah tersebut dengan
berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.15
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam
Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah
(social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok
komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam.
Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan
Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum
Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari
Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum
Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum
15
Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu
sebagai Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa diantaranya
lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945:
Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat
Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995); Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi
dan Hukum Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005). Lihat juga Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang
Prinsio-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. kedua, (Jakarta: Kencana,
2004).
8
Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu
‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi)
Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu
Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah tersebut berisi 47
pasal. Pasal 1, misalnya, menegaskan prinsip persatuan
dengan menyatakan: “Innahum ummatan wahidatan min
duuni al-naas” (Sesungguhnya mereka adalah ummat yang
satu, lain dari (komunitas) manusia yang lain). 16 Dalam Pasal
44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam)
bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas kota
Yatsrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan “Kaum
Yahudi memikul biaya bersama kamu mukminin selama
dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum
Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum
mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kamu
mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang
zalim dan yang jahat. Hal demikian akan merusak diri dan
keluarganya sendiri.” Jaminan persamaan dan persatuan
dalam keragaman tersebut demikian indah dirumuskan
dalam Piagam ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang
mungkin akan menyerang kota Madinah, setiap warga kota
ditentukan harus saling bahu membahu.
Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan
amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan
beragama. Bagi orang Yahudi sesuai dengan agama mereka,
dan bagi kaum mukminin sesuai dengan agama mereka pula.
Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih tegas dari rumusan al-
Quran mengenai prinsip lakum diinukum walya diin (bagimu
agamamu, dan bagiku agamaku) yang menggunakan
perkataan “aku” atau “kami” versus “kamu”. Dalam piagam
digunakan perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi
maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak yang sama
dengan Nabi.
Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi
ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya adalah:
16
Ibid., hal. 47.
9
Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim
dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan
orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang
yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang
yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda Muhammad
Rasulullah SAW).17
17
Ibid., hal. 57.
10
Indonesia sendiri berada di tengah pergaulan dunia (the
cross road), semua pengaruh kebudayaan besar, semua
pengaruh agama besar, semua pengaruh peradaban besar
dunia berpartisipasi dan berebut pengaruh di Indonesia.
Aspek lain yang memiliki pengaruh kuat dalam
kehidupan bermasyarakat adalah keragaman agama yang
dianut oleh masyarakat Indonesia. Walaupun mayoritas
masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, namun
terdapat pula masyarakat yang menganut agama, Kristen,
Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, bahkan juga terdapat
masyarakat yang menganut kepercayaan adat yang tidak
dapat dimasukkan ke dalam kategori agama besar tersebut
di atas. Kebhinnekaan juga merupakan konsekuensi dari
aspek manusia sebagai makhluk yang “berpikir”, “bekerja”,
dan “berpengharapan”. Sebagai makhluk yang memiliki cita-
cita, eksistensi manusia berada sepanjang “masa kini” dan
“masa depan”. Maka manusia selalu melakukan perubahan
secara kreatif dan berbeda-beda. Karenanya pula manusia
mempunyai kebebasan untuk bertindak dan memilih
(freedom of will and choice).18
Kebhinnekaan bangsa Indonesia adalah suatu
kenyataan. Bahkan kebhinnekaan tersebut merupakan
kekayaan sebagai karunia Tuhan yang telah menyatakan
bahwa manusia diciptakan bergolongan-golongan agar
saling kenal-mengenal. Karena itu, organisasi negara yang
didirikan harus mengakomodasi keseluruhan perbedaan-
perbedaan tersebut menjadi suatu persatuan tanpa harus
memaksakan adanya kesatuan. Jika tidak ada mampu
mengkamodasikan keragaman dalam satu ikatan bersama,
mustahil dapat diorganisasikan sebagai satu bangsa dan satu
negara. Akan muncul pertentangan antara satu budaya
dengan budaya lainnya atau antara satu agama dengan
agama lainnya.
Oleh karena itu gagasan negara bangsa (nation state)
yang dikemukakan para pendiri bangsa Indonesia bukanlah
konsep negara bangsa yang semata-mata mendasarkan diri
Mukti Ali, Butir-Butir Manusia Ditinjau dari Segi Agama, dalam
18
15
Proses dialog tersebut hanya dapat terlaksana jika antar
kelompok dalam masyarakat menjadikan kesepakatan bersama
untuk hidup sebagai satu bangsa dan satu negara sebagai titik
berangkat, bukan dari keyakinan kebenaran masing-masing. Oleh
karena itu, gagasan konstitusi sebagai kitab suci dari suatu agama
civil atau syari’at negara (civil religion) perlu ditransformasikan
dan dikembangkan lebih lanjut. Hal ini tentu tidak sekadar menjadi
tanggungjawab negara, tetapi tanggungjawab seluruh warga
negara, termasuk organisasi keagamaan yang memiliki otoritas
terhadap ummatnya.
DAFTAR PUSTAKA
16
Levinson, Sanford. Constitutional Faith. Princeton: Princeton
University Press, 1990.
McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism: Ancient and
Modern. Ithaca, New York: Cornell University Press,
1966.
Nurcholish Madjid. Indonesia Kita. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Universitas
Paramadina Jakarta dan Perkumpulan Membangun
Kembali Indonesia, 2003.
Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-
prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini. Cet. Kedua. Jakarta: Kencana, 2004.
Thomson, Brian. Textbook on Constitutional and
Administrative Law. Edisi ke-3. London: Blackstone
Press Ltd., 1997.
17