Anda di halaman 1dari 232

BAB I

KONSTITUSI DAN PENAFSIRAN KONSTITUSI


A. Ragam Istilah
Lazim dipahami bahwa salah satu sendi hukum ketatanegaraan yang
paling utama adalah konstitusi. Boleh dikatakan dewasa ini setiap negara di dunia
memiliki konstitusi. Konstitusi berasal dari Bahasa Latin, constitutio.1 Istilah ini
berkaitan dengan kata jus atau ius, yang berarti hukum atau prinsip.2 Saat ini,
bahasa yang biasa dijadikan rujukan istilah konstitusi adalah bahasa Inggris,
Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Portugis, dan Belanda. Menurut Jimly
Asshiddiqie, untuk pengertian constitution dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda
membedakan antara constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman
memebdakan antara verfassung dan gerundgesetz. Malah dalam bahasa Jerman
pengertian tentang konstitusi ini dibedakan pula antara gerundrecht dengan
gerundgesetz seperti antara grondrecht dengan grondwet dalam bahasa Belanda.
Gerundrecht (Jerman) dan grondrecht (Belanda) secara harfiah berarti hak dasar,
tetapi sering juga diartikan sebagai hak asasi manusia.3
Dalam bahasa Prancis, digunakan istilah Droit Constitutionel untuk
pengertian luas, sedangkan pengertian sempit, yaitu konstitusi yang tertulis
digunakan istilah Loi Constitutionnel. Droit Constitutionnel identik dengan
pengertian konstitusi, sedangkan Loi Constitutionnel identik dengan Undang-
Undang Dasar dalam bahasa Indonesia, yaitu dalam arti konstitusi tertulis.4

1
M. Solly Lubis menyebutkan kata konstitusi berasal dari kata dalam bahasa Prancis
constituer. Lihat M. Solly Lubis, 1978, Asas-asas Hukum Tata Negara, Cetakan 2, Bandung, Penerbit
Alumni, hlm. 44. Sementara Sri Soemantri menyebutkan bahwa asal usul istilah konstitusi adalah dari
bahasa Inggris constitution. Lihat dalam Sri Soemantri, 1982, Pengantar Perbandingan Antar Hukum
Tata Negara, Jakarta, Rajawali, hlm. 44.
2
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Jakarta,
Penerbit Konpress, hlm. 1.
3
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi, Jakarta, Penerbit Kompas, hlm. 3.
4
Ibid.

1
Dalam bahasa Italia, istilah yang dipakai untuk pengertian konstitusi
adalah Dirrito Constitutionale. Dalam bahasa Arab dipakai pula beberapa istilah
yang terkait dengan pengertian konstitusi itu, yaitu Masturiyah, Dustuur, atau
Qanun Asasi.5
Di Negeri Belanda, pada awalnya digunakan istilah staatsregeling untuk
menyebut konstitusi. Tetapi, atas prakarsa Gijbert Karel van Hogendorp pada
tahun 1813, istilah grondwet digunakan untuk menggantikan istilah staatsregeling
yang juga memiliki pengertian undang-undang dasar atau konstitusi.6 Menurut
Jimly Asshiddiqie, di berbagai negara di Eropa Kontinental, yang menganut tradisi
civil law, istilah konstitusi memang selalu dibedakan antara pengertian konstitusi
tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi yang tertulis itulah yang biasa
disebut dengan istilah-istilah grondwet (Belanda), gerundgesetz (Jerman), Loi
Constituionnel (Prancis). Sementara itu, kata constitutie, verfassung, gerundrecht,
grondrecht, Droit Constitutionnel, Dirrito Constitutionale, merupakan istilah-
istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang
digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian dalam arti sempit tersebut.
Tulisan ini memaknai konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi perlu
diperingatkan bahwa konstitusi hanya salah satu sumber hukum tata negara. Selain
konstitusi, ada berbagai kaidah-kaidah lain, baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, kebiasaan (konvensi), dan yurisprudensi, yang menjadi
sumber dan aturan-aturan hukum tata negara.8
Dalam penyusunan konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang
hidup dalam masyarakat dan dalam praktik penyelenggaraan negara turut

5
Ibid., hlm. 4.
6
Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Penerbit
Alumni, hlm. 1-2 dan 9-10.
7
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, hlm. 4.
8
Bagir Manan, “Kedudukan Hukum Memorandum DPR kepada (terhadap) Presiden”,
makalah Seminar Nasional, Jakarta, 28 Februari 20o1, hlm. 1.

2
mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar.
Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar
belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis, perumusan yuridis suatu
ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan saksama, untuk dapat
dimengerti sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar.
Sebagai contoh negara pada yang didasarkan atas prinsip demokrasi
misalnya, yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan ditentukan oleh
rakyat, aturan hukum tentang hubungan antara masyarakat dengan penguasa dan
antaranggota masyarakat sendiri, akan mencerminkan perwujudan setiap
kemugkinan dari pelaksanaan kekuasaan rakyat. Isi segenap pengaturan hukumnya
akan emnghidnari perumusan yang bisa berakibat pengekangan pelaksanaan
kekuasaan rakyat tadi. Arahnya bersifat membuka jalan dan memudahkan
(fasilitatif) penyaluran hasrat rakyat dalam pembentukan kebijaksanaan
pemerintahan. Jika prinsip kekuasaan di tangan rakyat menjadi patokan dasar
dalam mengatur kehidupan kenegaraan karena tercantum dalam konstitusi, maka
dapat dijelaskan misalnya, mengapa tidak dibolehkan munculnya aturan hukum
yang memuat kekangan terhadap hak menyatakan pendapat. Tidak lain karena
prinsip kekuasaan di tangan rakyat tidak mungkin diwujudkan tanpa didahului
dengan kemampuan rakyat untuk menyatakan apa yang ada dalam kalbunya,
menentukan mana yang baik dan tidak, memilih apa yang diinginkannya, dan apa
yang tidak disukainya.
Negara adalah satu organisasi. Negara modern merupakan satu organisasi
otoritas yang sasaran kegiatan dengan otoritasnya adalah mengatur satu
masyarakat yang ada secara keseluruhan. Pada dasarnya ketentuan yang
menyangkut organisasi, susunan, wewenangnya serta alat perlengkapan negara
dan hubungannya satu sama lain disusun dan ditetapkan oleh konstitusi, yang
berfungsi sebagai hukum tertinggi. Oleh karenanya mengubah kekuasaan atau
kewenangan suatu lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari
konstitusi, harus dilakukan dengan mengubah konstitusi. Pada umumnya konstitusi

3
menentukan struktur, komposisi, fungsi dan kekuasaan organ, hubungan organ
yang satu dengan yang lain, serta hubungan Negara dengan warganegaranya. Salah
satu muatan paling penting dari suatu Undang-Undang Dasar (konstitusi) adalah
bagaimana penyelenggaraan kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga negara
yang menjalankan kekuasaan itu. Semua lembaga negara merupakan subsistem
dari keseluruhan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Oleh karena itu,
sistem penyelenggaraan kekuasaan negara adalah menyangkut mekanisme dan tata
kerja antarlembaga negara tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh untuk
mejalankan kekuasaan negara. Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara
menggambarkan secara utuh cara bekerjanya lembaga-lembaga negara yang diberi
kekuasaan untuk mencapai tujuan negara.
Membangun kultur konstitusi yang berdasar akal sehat di antara lembaga
Negara dan semua warganegara, terutama mereka yang memiliki kewenangan
menafsirkan konstitusi untuk menjabarkannya dalam peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah, merupakan suatu keniscayaan. Diperlukan
pemahaman dan penghayatan yang dalam akan prinsip-prinsip yang berlaku secara
universal dalam kehidupan bernegara berdasar konstitusionalisme. Kemampuan
mengidentifikasi dan memberi makna secara tepat sumber keabsahan norma
konstitusi yang menjadi dasar pembentukan norma yang lebih rendah, untuk
menghindari uji materi yang dapat berakhir pada diktum norma yang dibentuk
inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, memaksa semua
pihak yang mempunyai kewenangan legislasi harus mengadopsi dan menggunakan
cara berfikir dan bekerja hakim (MK) dalam menilai dan menguji sendiri
konnstitusionalitas norma yang dicoba dirumuskannya. Kegagalan untuk
memahami terjadinya perubahan atau pergeseran paradigmatik terutama ketika
perubahan konstitusi terjadi secara bertahap, sehingga legislator memberi makna
suatu norma konstitusi dengan arti tertentu dan kemudian melakukan regulasi dan
merumuskan norma yang lebih rendah berdasar paradigma yang tidak sesuai
dengan pergeseran mendasar ketika terjadi perubahan UUD pada tahap berikut

4
yang membentuk paradigma baru, pastilah menjadi problematik dari sisi
konstitusionalitasnya. Konstitusi merupakan hukum tertinggi di satu negara. Tidak
boleh ada lembaga atau cabang kekuasaan negara melakukan kebijakan atau
merumuskan norma hukum yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum
tertinggi tersebut. Seluruh lembaga negara atau kekuasaan negara yang
memperoleh kewenangannya dari konstitusi, menjadi pelayan yang harus tunduk
pada konstitusi sebagai tuannya. Tidak boleh ada lembaga atau kekuasaan Negara
sebagai pelayan, melaksanakan kekuasaannya secara bertentangan dengan
konstitusi sebagai sumber kewenangannya yang menjadi tuan.
Sebaliknya, pada negara yang mendasarkan diri pada prinsip kedaulatan
negara sebagai norma konstitusi, juga terdapat patokan dasar yang ditaati dalam
menyusun aturan-aturan hukum selanjutnya, sebagaimana contoh negara
demokrasi tadi. Hanya saja sumber kekuasaannya adalah negara sendiri.
Sedangkan dalam negara demokrasi tadi sumbernya adalah kedaulatan rakyat.
Dalam prinsip kedualatan negara, arah hubungan rakyat dan penguasa akan
berlainan dengan dalam negara yang berkedaulatan rakyat. Bisa dimengeti di sini
jika tidak dibutuhkan aturan yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat oleh
rakyat, misalnya. Yang justru dijaga ialah agar tidak ada isi aturan hukum yang
akan berakibat merongrong atau mengurangi wibawa negara. Ini sering disamakan
dengan tidak merongrong atau mengurangi wibawa pemerintahnya, karena
pemerintah (kepala negara, raja, atau despot) adalah lambang konkretisasi negara.
Dari kedua contoh sederhana itu menunjukkan bahwa dasar pikiran yang
kemudian menjadi aturan-aturan dalam konstitusi, selanjutnya akan menentukan
bagaimana aturan-aturan hukum di negara itu akan dibuat. Asas kedaulatan rakyat
maupun asas kedaulatan negara sama-sama merupakan pikiran dasar mengenai
susunan negara, yang pada intinya merupakan konsep tentang negara, yang akan
menjadi pangkal dari pertumbuhan isi dan arah aturan hukum negara selanjutnya.
Menurut Marsilam Simanjuntak, konsep tentang negara (staatidee) adalah sumber

5
yang lebih awal dari kerangka yang disusun dalam sebuah konstitusi. 9 Diuraikan
lebih lanjut, bahwa konsep tentang negara di satu pihak akan mempunyai
konsekuensi pada hukum tata negara dan kehidupan negara pada umumnya. 10
Ketika perubahan UUD terjadi secara bertahap, dan satu konsep atau
norma yang dirumuskan dimasukkan kedalam struktur konstitusi yang sudah
terbentuk, maka makna awal yang diberi kepada norma tertentu yang
mengandung konsep tertentu, akan menerima pengaruh dari seluruh sistem dalam
konstitusi ketika dia memasuki struktur konstitusi. Norma baru harus mengalami
harmonisasi dengan keseluruhan struktur dan sistem dalam konstitusi, tetapi
sebaliknya juga norma yang sudah ada sebelumnya dalam konstitusi sebelum
perubahan, terutama yang berkaitan dengan konsepsi tertentu, akan menerima
pengaruh. Dalam hal demikian maka original intent pembentuk/pembaharu, hanya
merupakan salah satu jenis pemaknaan, yang tidak dapat digunakan secara berdiri
sendiri. Semua perubahan yang terjadi secara bertahap dan dalam waktu yang
berbeda, ketika masuk dalam struktur UUD 1945 tanpa analisis dampaknya secara
konsepsional, baik terhadap organisasi maupun mekanisme penyelengaraan
kekuasaan, dapat menyebabkan rnakna yang diperoleh berdasarkan tafsir yang
tekstual individual, menghasilkan norma yang dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah sebagai penjabaran UUD 1945 tidak
konsisten, karena perubahan yang terjadi belakangan tidak memperhitungkan
secara optimal dampaknya, baik secara konsepsional maupun struktural. Di India
dikenal adanya doctrine of eclipse, yang berbicara tentang dampak perubahan
konstitusi pada hukum secara keseluruhan. Perubahan konstitusi yang bertahap
juga membawa pengaruh pada konstitusi. Norma-norma yang lebih lama tersebut
"...will be regarded as having been 'eclipsed'. Meskipun sesungguhnya doktrin
ini dimaksudkan berpengaruh terhadap norma hukum dalam undangundang -
9
Marsilam Simanjuntak, 1994, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan
Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti, hlm. 4.
10
Ibid., hlm. 5.

6
hampir mati atau menemui ajal, namun tidak void ab initio. Perubahan UUD yang
datang kemudian secara parsial, akan seperti gerhana yang membawa bayangan,
sehingga norma hukum dalam Undang-Undang yang dirumuskan sebagai jabaran
norma konstitusi yang secara konsepsional dan structural terpengaruh oleh
perubahan konstitusi yang terjadi kemudian, akan sangat mungkin bertentangan
dengan konstitusi, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Hal tersebut
jugalah yang memperkuat kebutuhan mutlak dalam memandang konstitusi sebagai
satu struktur yang utuh, sehingga tidak boleh satu pasal tertentu ditafsir secara
terpisah lepas dari struktur yang utuh, yang boleh jadi secara gramatikal atau
tekstual sangat jelas sebagai penafsiran awal yang harus dilakukan, tetapi ketika
dilihat secara keseluruhan dalam satu struktur dan sistem konstitusi yang utuh,
norma tertentu mengalami pemaknaan tertentu yang berbeda, bahkan terkadang
sangat radikal. Merupakan hal yang niscaya jikalau terjadi interdependensi
antara teks dengan struktur konstitusi itu sendiri.
Konsep tentang negara itu dapat dikenali karena lazimnya dituangkan
dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi, tentu dengan catatan jika negara yang
bersangkutan mempunyai konstitusi sebagai dokumen tertulis. Hanya saja,
perumusan undang-undang dasar tidak selalu mengatur secara lengkap dan rinci
segala sesuatunya atau rumusannya masih mengandung makna ganda atau
ketidakpastian, sehingga sering dibutuhkan pedoman lain untuk menanggulangi
masalah yang timbul. Selain dari penjelasan resmi yang tersedia, pedoman ini
antara lain didapat melalui berbagai cara penafsiran atas rumusan yang terkandung
dalam konstitusi tadi.
Pada sisi lain, seperti dikatakan oleh Kusnu Goesniadhie, setiap kurun
waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang
membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan
medan pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan yang
berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap konstitusi dapat terus berkembang

7
dalam praktik di kemudian hari.11 Berkaitan dengan hal ini, maka penafsiran
terhadap konstitusi pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang,
memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya,
sehingga konstitusi tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak
oleh pihak manapun juga.12 Seperti yang dikatakan oleh Bagir Manan, tidaklah
cukup untuk memahami hukum ketatanegaraan suatu negara kalau hanya
menggantungkan atau mengukur segala sesuatu dengan asas atau aturan yang ada
dalam konstitusi.13
B. Pembatasan Kekuasaan
Menurut Moh. Mahfud M.D. keberadaan konstitusi pada awal
pertumbuhan negara-bangsa modern tidak lepas dari pengakuan adanya paham
demokrasi, yang pada intinya menyatakan bahwa kekuasaan negara yang tertinggi
berada di tangan rakyat.14 Dalam hal ini, negara terbentuk karena adanya “kontrak
sosial” antara individu-individu dengan penguasa di mana kepada sang penguasa
diberi mandat untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi
individu tersebut.
Tidak semua hak-hak asasi tadi diserahkan kepada penguasa, namun
sebatas apa yang tertuang di dalam “kontrak” pada saat pembentukan negara tadi.
Dalam khasanah peradaban modern, “kontrak” tersebut dituangkan dalam bentuk
konstitusi. Dengan demikian, maka konstitusi merupakan fungsi residual dari hak
asasi manusia dan bukan sebaliknya.15 Dengan tertib berpikir demikian, maka
dipahami bahwa konstitusi merupakan sarana untuk membatasi penguasa negara.
Penggunaan konstitusi sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan negara telah
11
Kusnu Goesniadhie S., 2009, Hukum Konstitusi dan Politik Negara Indonesia, Malang,
Penerbit Nasa Media, hlm. 32.
12
Ibid.
13
Bagir Manan, 2004, Perkembangan UUD 1945, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 5.
14
Moh. Mahfud M.D., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jogjakarta, Penerbit Ford
Foundation dan Gama Media, hlm. 18.
15
Ibid., hlm. 20.

8
menimbulkan paham konstitusionalisme. Di dalam gagasan konstitusionalisme
tersebut, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya merupakan suatu
dokumen yang mencerminkan pembagian kekuasaan (anatomy of a power
relationship) saja, tetapi dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi
khusus, yaitu di satu pihak untuk menentukan dan membatasi kekuasaan dan
dipihak lain untuk menjamin hak-hak asasi politik warga negaranya. Konstitusi
dipandang sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh
negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil “Government by laws,
not by men”.
Dengan demikian, pembuatan konstitusi didorong oleh kesadaran politik
yang tinggi mengenai keperluan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara
sebaik mungkin. Baik sebagai kaidah hukum maupun sebagai pernyataan prinsip
dan cita-cita, konstitusi sebagaimana juga perundang-undangan yang lain,
merupakan the resultan of a pralellogram of forces-political, economic, and social
of its adoption, kata Ni’matul Huda.16 Menurut James Bryce, sebagaimana dikutip
oleh Dahlan Thaib, dkk17, motif politik yang menonjol dalam penyusunan
konstitusi adalah, pertama, keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dan untuk
mengendalikan tingkah laku penguasa. Kedua, keinginan untuk menggambarkan
sistem pemerintahan yang ada di dalam rumusan yang jelas guna mencegah
kemungkinan perbuatan sewenang-wenang dari penguasa di masa depan. Ketiga,
hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau mengamankan
cara berlakunya pemerintahan dalam bentuk yang permanen dan yang dapat
dipahami oleh warganegara. Keempat, hasrat dari masyarakat-masyarakat yang
terpisah untuk menjamin aksi bersama yang efektif dan bersamaan dengan itu
berkeinginan tetap mempertahankan hak serta kepentingan sendiri-sendiri. Atas

16
Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, Jogjakarta,
Penerbit UII Press, hlm. 72-73.
17
Dahlan Thaib, dkk, 2003, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm.
64.

9
dasar hal-hal yang dikemukakan oleh Bryce di atas, dapat disimpulkan bahwa
konstitusi dibuat secara sadar sebagai perangkat kaidah fundamental yang
mempunyai nilai politik tinggi dari jenis kaidah lain karena menjadi dasar bagi
seluruh tatanan kehidupan negara. Dengan asumsi ini maka bagian-bagian lain dari
tata hukum harus sesuai atau tidak berlawanan dengan konstitusi.
Pada umumnya negara-negara mengakui supremasi konstitusi di atas
segala peraturan perundang-undangan yang lain, hal mana terbukti dari cara
merubahnya yang memerlukan prosedur yang lebih berat daripada pembuatan
undang-undang. Menurut K.C. Wheare, dengan menempatkan konstitusi pada
kedudukan yang tinggi (supreme) ada semacam jaminan bahwa konstitusi itu akan
diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi itu tidak akan dirusak dan
diubah begitu saja secara sembarangan.18 Perubahnnya harus dilakukan dengan
hikmat, penuh kesungguhan, dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini
dapat dilaksanakan dengan baik maka perubahannya pada umumnya mensyaratkan
adanya suatu proses dan prosedur yang sifatnya istimewa atau khusus.19
C. Konstitusi dan Norma Dasar
Secara akademik uraian di muka hendak menyatakan bahwa semua
konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan
itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya.
Menurut Ivo D. Duchacek, “pembatasan kekuasaan pada umumnya merupakan
corak umum materi konstitusi.”20 Secara filsafati, ada anggapan bahwa sebelum
sebuah aturan hukum dibentuk, termasuk konstitusi, selalu ada nilai yang dianggap
mengawali, lebih utama, dan mendasari [keberlakuan] serta dijadikan dasar untuk
memberi bentuk dan isi aturan-aturan hukum tersebut. Pertanyaannya adalah,
bagaimanakah nilai dasar itu dikenali dan diketemukan?

18
K.C. Wheare, 1975, Modern Constitution, London, Oxford University Press, hlm. 67.
19
Ibid., hlm. 68.
20
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, hlm. 6.

10
Untuk menjawab pertanyaan itu, dapat dianalisis menurut teori Hans
Kelsen mengenai norma dasar (basic norm, Grundnorm). Kelsen, seorang yang
beraliran positivis-analitis menolak hukum alam sebagai penjelasan mengenai
sumber hukum. Dia melihat hukum sebagai sesuatu yang murni formil, yang
merupakan susunan hierarkis dari hubungan-hubungan normatif. Norma, dalam
hal ini dibatasi dan selalu diartikan “norma hukum”, yang satu berhubungan
dengan norma lain yang mana yang pertama lebih tinggi tingkatannya daripada
yang kedua, dan demikian selanjutnya dari atas ke bawah. Artinya, isi nilai dari
norma yang di bawah, atau yang berikutnya, tidak boleh bertentangan atau tidak
bersesuain dengan norma yang sebelumnya, atau yang di aatsnya. Jadi, setiap
norma hukum memperoleh pengesahan dari norma yang di atasnya, dan pada
tingkat terakhir semua norma hukum memperoleh pengesahan dari norma
fundamental atau norma dasar. Sedangkan norma dasar ini tidak diturunkan dari
manapun. Ia dianggap sah dan diterima sebagai sesuatu yang sah tanpa harus
disesuaikan dengan norma lain. Menurut Marsilam Simanjuntak, norma dasar atau
Grundnorm tersebut diterima atau lebih diandaikan (diasumsikan) sebagai sesuatu
di mana segalanya dimulai.21 Dalam pandangan Kelsen, norma yang terkandung
dalam hukum positif menekankan soal ‘keharusan’ (ought), bukan nilai keadilan
atau kebenarannya.22 Fokus anjuran Kelsen dalam jurisprudence adalah rangkaian
norma hukum. Hal-hal di luar itu seperti soal ideologi, politik, sosiologi, sekalipun
ada kaitan dan pengaruhnya terhadap hukum, berada di luar cakupan teori hukum,
dan supaya pembahasan hukum dibebaskan dari pengaruh hal-hal tersebut. Urusan
ilmu hukum harus murni, bersih dari hal tersebut, sehingga konstruksi yang
muncul adalah “teori hukum yang murni” (the pure theory of law atau Reine
Rechtslehre).23 Kelsen juga menyatakan bahwa tidak usah memberikan penilaian

21
Op.cit., hlm. 26.
22
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, terj. Anders Wedberg (New York,
Russel & Russel, hlm. 35.
23
Ibid., hlm. 1.

11
mengenai baik-buruk terhadap Grundnorm tersebut, yang sekiranya penilaian itu
ada, tetapi beada di luar bidang hukum. Itu adalah urusan etika, agama, politik, dan
lain-lain.
Manfaat teori Kelsen itu memudahkan upaya untuk menemukan
kesesuaian antara norma hukum, baik ke arah atas maupun ke arah bawah.
Marsilam Simanjuntak memberikan contoh, jika ada aturan hukum hendak dibuat,
maka pedoman dalam menentukan batas-batasnya adalah apa yang terkandung
dalam aturan hukum yang tingkat hierarkinya lebih tinggi. Sebaliknya, jika
dibutuhkan penafsiran atas sebuah aturan hukum karena ada keraguan dalam
perumusannya, maka penjelasannya dicari di dalam maksud yang terkadung dalam
norma hukum di tingkat yang lebih atas. Demikian seterusnya, penafsiran akan
menelusuri hukum positif yang lebih tinggi lagi, sampai tiba pada hukum dasar
atau konstitusi suatu negara, sebagai sumber positif norma-norma perundang-
undangan itu.24 Jadi, konstitusi sampai pengertian ini merupakan norma dasar,
yang lahir karena pra-anggapan bahwa proses pembentukannya (law creating act)
adalah sah (valid). Hanya saja, teori Kelsen tidak memberikan tuntunan terhadap
problem, yaitu bagaimanakah jika konstitusi sebagai hukum positif tertinggi masih
memerlukan penafsiran di luar rumusan yang terbaca, sementara cara-cara
penafsiran lain tidak memuaskan? Kepada norma yang lebih tinggi mana lagi yang
harus dijadikan pijakan untuk mencari bantuan kejelasan?
Persoalan ini menjadi fokus sorotan karena seringkali dengan konstitusi
yang sama ternyata menghasilkan penafsiran yang berbeda mengenai hal-hal yang
menyangkut kenegaraan. Penafsiran konstitusi dengan kepentingan tertentu bukan
untuk menghasilkan pembatasan kekuasaan, akan tetapi mengkonsolidasikan
kekuasan demi kepentingan negara dan pemerintah.
D. Kasus Indonesia

24
Op.cit., hlm. 27.

12
Argumen pijakan konstitusi yang sama menghasilkan tafsir sistem politik
yang berbeda juga “menimpa” UUD 1945. Presiden Soekarno dan Presiden
Soeharto memanfaatkan UUD 1945, kemudian menciptakan sekian banyak
peraturan perundang-undangan yang mendukung rencana politik mereka. Presiden
Soekarno memanfaatkannya ketika ia hendak menerapkan suatu politik yang
sentralistis, melalui Demokrasi Terpimpin pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pasca pelaksanaan Pemilu tahun 1955 yang salah satu hasilnya adalah
pembentukan Konstituante, di mana lembaga ini bertugas menyusun konstitusi
baru pengganti UUD 1950 yang bersifat sementara, timbul krisis politik nasional
yang dianggap membahayakan kelangsungan negara. Hampir 3 (tiga) tahun
bersidang, 1956-1959, Konstituante belum mempunyai kesamaan pendapat untuk
menyatakan perbedaan ideologi yan gmenjadi penyebab pertentangan pendapat
sekitar falsafah negara yang akan dijadikan landasan konstitusi baru. Walaupun
sesungguhnya, seperti studi Adnan Buyung Nasution, konstitusi telah
menghasilkan hal-hal penting yang lebih praktis seperti organisasi negara dan
butir-butir vital mengenai perlindungan hak asasi manusia.25 Sementara itu, pada
akhir dasawarsa 1950-an, berbagai permasalahan di bidang ekonomi dan politik
makin berat hingga negara terperosok ke dalam krisis.
Pada tanggal 21 Februari 1957, Presiden Soekarno telah mengajukan usul
yang disebut Konsepsi Presiden, yang mengecam demokrasi liberal dan
mengusulkan Kabinet Gotong Royong yang terdiri atas menteri-menteri dari partai
politik dan golongan fungsional serta pembentukan Dewan Nasional. Karena
keadaan yang memburuk, sehingga dianggap perlu untuk menyelamatkan republik
ini dengan memberlakukan hukum darurat di seluruh wilayah Indonesia. Pasca
pengunduran diri Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Soekarno pada tanggal 9 April

25
Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti bekerja sama
dengan Eka Tjipta Foundation, Cetakan 3, hlm. 317.

13
1957 membentuk Kabinet Karya, sebagai suatu kabinet kerja darurat ekstra
parlementer yang dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda.
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno menyampaikan pidato di
hadapan Sidang Konstituante yang mendesak supaya Konstituante menerima UUD
1945 tanpa amandemen sebagai undang-undang dasar. Desakan ini dilakukan
dengan 4 (empat) alasan. Pertama, memberikan jalan keluar atas keadaan negara
yang genting. Kedua, menekankan makna simbolik UUD 1945 yang amat besar
karena berakar pada kebudayaan Indonesia dan merupakan perwujudan ideologi
yang sesungguhnya. Ketiga, struktur organisasi negara menurut UUD 1945 akan
memperlancar jalannya pemerintahan secara efektif. Keempat, kembali ke UUD
1945 merupakan langkah ke arah pembenaran hukum.26 Akan tetapi setelah
Konstituante membahas ajakan kembali ke UUD 1945 itu selama 3 (tiga)
persidangan berturut-turut yaitu tanggal 30 Mei 1959, 1 Juni 1959, dan 2 Juni
1959, dari pemungutan suara yang dilakukan usul Presiden itu “tidak mendapat
dukungan yang diperlukan.”
Hanya saja satu hari kemudian, Jenderal Nasution dalam kapasitas
sebagai Panglima Darurat Militer Pusat, mengeluarkan pengumuman yang
melarang semua kegiatan politik dan menangguhkan persidangan Konstituante.27
Kemudian, pada tanggal 5 Juli 1959, Kabinet mengadakan rapat di Bogor yang
juga dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung. Di sana tercapai kesepakatan supaya
UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali melalui Dekrit Presiden, dengan keadaan
darurat nasional sebagai pembenaran legal. Pada siang hari itu, Presiden Soekarno,
berbicara atas nama rakyat Indonesia, menyatakan berlakunya Dekrit Presiden 5
Juli 1959, yang berisi: (i) pembubaran Konstituante; (ii) keputusan untuk
memberlakukan kembali UUD 1945; (iii) penarikan kembali UUD 1950 dan

26
Ibid., hlm. 318.
27
Yahya Muhaimin, 1982, Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966,
Jogjakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press, hlm. 114.

14
dalam waktu sesingkat-singkatnya mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan
sesuai dengan UUD 1945.
Selanjutnya, Presiden Soekarno berhasil memadukan ideologi yang
berbeda-beda dari ketiga partai tersebut menjadi ideologi Nasionalis-Agama-
Komunis (Nasakom), suatu keinginan untuk menyatukan ketiga kelompok tersebut
sehingga dapat menjadi kekuatan inti dari kekuatan progrsif revolusioner. Bahkan,
Presiden Soekarno berharap agar percampuran ketiga sifat tersebut dalam diri
pribadi setiap orang Indonesia.28 Pada Juni 1960, Presiden Soekarno menetapkan
aturan yang memaksa setiap partai politik menerima UUD 1945, sekaligus
memberikan kontrol penuh bagi Pemerintah dalam memeriksa partai, keuangan
partai, dan sebagainya, termasuk membubarkan partai tersebut jika dianggap telah
merongrong kebijakan negara.
Selepas mengebiri kekuatan partai politik, Presiden Soekarno kemudian
berhasil menerapkan gagasannya tentang Demokrasi Terpimpin dalam lembaga
perwakilan. Presiden membentuk lembaga perwakilan menurut Demokrasi
Terpimpin melalui Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960 (24 Juni 1960) tentang
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Lalu dengan
ditetapkannya Keputusan Presiden No. 155/1960 dan Keputusan Presiden No.
156/1960, Presiden Soekarno berhasil memberhentikan para anggota lama DPR
dan mengangkat anggota DPR-GR, yang berjumlah sebanyak 238 orang, terdiri
dari 130 perwakilan golongan dan 153 perwakilan politik.29 Dengan praktik
semacam itu, khususnya dalam bidang politik, telah mempraktikkan politik
korporatis yang membentuk lembaga perwakilan fungsional dan pengaturan serba
tunggal tentang UUD 1945 dan Pancasila bagi setiap partai.

28
Hermawan Sulistyo, 2000, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang
Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 15-16.
29
Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah:
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta, Penerbit UI, hlm. 125.

15
Sementara, Presiden Soeharto menafaatkan legitimasi UUD 1945 juga
untuk mnyederhanakan sistem kepartaian dan memangkas demokrasi yang
pluralistik melalui mekanisme Demokrasi Pancasila. Politik demokratis hanya
sebentar saja pada awal Orde Baru dan kemudian rezim mengkonsolidasikan
dirinya menjadi otoriter. Kedudukan dan peranan pemerintah menguat akan tetapi
lembaga legislatif melemah.30 Terbitnya Ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/1966
telah mengesahkan pemerintah untuk merestrukturisasi partai politik. Selanjutnya,
bermacam-macam perundang-undangan disusun untuk mendukung kebijakan itu,
seperti UU No. 15/1969 dan UU No. 16/1969. Lebih jauh pemerintahan Soeharto
berhasil melakukan fusi paksa guna menyederhanakan partai politik dan juga
menerapkan asas tunggal Pancasila bagi semua partai dan organisasi
kemasyarakatan. Di samping itu, juga diterapkan adanya perwakilan fungsional
(golongan) dalam lembaga legislatif, khususnya MPR.
Berkat legitimasi Demokrasi Pancasila, Pemerintahan Soeharto berhasil
mengarahkan seluruh partisipasi politik rakyat bertujuan semata-mata untuk
pembangunan. Untuk itu rakyat harus dijauhkan dari kegiatan politik. Hubungan
rakyat dengan partai politik pun diputus, sehingga tercipta suatu politik masa
mengambang.31 Mulai saat itu, peranan partai politik dan masyarakat sipil
digantikan oleh militer berkat doktrin Dwi Fungsi ABRI, suatu kebijakan yang
sering disebut sebagai konsensus Orde Baru.32 Stabilitas nasional diperlukan
sebagai syarat utama berjalannya pembangunan nasional. Semua itu mulai efektif
sejak berjalannya Kabinet Pembangunan Nasional (1968).
Dari sekilas uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa, Demokrasi
Terpimpin dan Demokrasi Pancasila menjadi sumber penafsiran konstitusi

30
Moh. Mahfud M.D., 2007, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta,
Pustaka LP3ES, hlm. 72-73.
31
Ali Moertopo, 1992, Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta, CSIS, hlm. 95-99.
32
Nugroho Notosusanto, dkk, 1985, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, Jakarta,
Penerbit Balai Pustaka, hlm. 32.

16
sehingga mendukung upaya memanfaatkan kekuasaan masing-masing rezim.
Semua tindakan tadi diklaim mendasarkan diri kepada UUD 1945. Dengan
legitimasi yang demikian, kedua pemerintahan tersebut kemudian sama-sama
menjalankan praktik politik yang nondemokratis.
Pertanyaan selanjutnya, apabila klaim sandaran kepada UUD 1945 itu
diterima, dan selanjutnya menciptakan konfigurasi politik yang nondemokratis itu,
mempunyai pengertian bahwa semenjak awal UUD 1945, sebagai suatu norma
dasar, memang memberikan pengaturan hukum sebagai pijakan yuridisnya?
Bagaimana pendapat pendiri negara ketika merancang UUD 1945, adakah di
dalamnya mengandung gagasan-gagasan sebagai nilai yang mengandung potensi
untuk mendorong pemerintahan nondemokratis?
Sudah barang tentu, walaupun tidak akan dijawab dalam uraian dalam
bab ini, problematika dengan studi kasus UUD 1945 itu memberikan pandangan
bahwa memahami UUD tentu saja tidak dapat berhenti pada tataran dogmatis saja
semata, tetapi meluas kepada aspek teoritis maupun filosofis. Kemudian, juga
menunjukkan bahwa memahami UUD harus juga memahami “suasana kebatinan”
ketika UUD yang bersangkutan disusun untuk mendapatkan pegangan penafsiran
yang masuk akal.

17
BAB II
PARLEMEN BIKAMERAL
A. Perubahan UUD 1945
Salah satu perubahan UUD 1945 yang mendasar adalah perubahan Pasal
1 ayat (2) UUD 1945, yaitu perubahan dari “Kedaulatan adalah di tangan rakyat,
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, menjadi
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang
Dasar”. Perubahan tersebut membawa implikasi konstitusional yang mendalam
yang tercermin pada sistem penyelenggaraan kekuasaan negara setelah perubahan.
Jika kedaulatan rakyat sebelum perubahan dilakukan sepenuhnya oleh MPR maka
setelah perubahan, kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar
yang di dalamnya diatur mekanisme penyelenggaraan kedaulatan rakyat sesuai
dengan fungsi dan kewenangannya. Dalam hal ini, DPR, DPD, dan Presiden
menyelenggarakan kedaulatan rakyat di bidang legislasi sesuai dengan ketentuan
UUD 1945. Oleh karena seluruh aspek penyelenggaraan negara dalam bidang
legislasi berdasarkan kedaulatan rakyat harus merujuk ketentuan Undang-
Undang Dasar maka sistem yang hendak dibangun adalah sistem konstitusional,
yaitu sistem penyelenggaraan negara yang berdasarkan pada ketentuan konstitusi.
Sistem konstitusional yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan dimuat
dalam Penjelasan Umum “Sistem Pemerintahan Negara” angka II. Dalam
sistem konstitusional, kewenangan dan kekuasaan masing-masing lembaga negara
diatur dan dirinci sedemikian rupa dan saling mengimbangi dan membatasi antara
satu dan yang lainnya berdasar ketentuan Undang-Undang Dasar. Sistem demikian
membawa konsekuensi konstitusional pada tingkat penerapan dan
penyelenggaraan kekuasaan negara, antara lain, terhadap struktur, mekanisme,
dan hubungan tata kerja antarlembaga-lembaga negara.

18
Sebagaimana diketahui, perubahan terhadap UUD 1945 sebagai prasyarat
utama reformasi. Hal ini menyiratkan satu makna bahwa UUD 1945 dipandang
sebagai sumber atau paling tidak memberi dorongan menuju pemerintahan otoriter
di masa lalu.33 Wacana perubahan UUD 1945 di tahapan pratransisi tersebut
terpecah menjadi 2 (dua) kubu utama. Kubu pertama menghendaki disusunnya
suatu undang-undang dasar baru. Sementara, kubu kedua berpendapat perubahan
dilakukan dalam kerangka UUD 1945 dengan cara menambah, mengganti, atau
merumuskan ulang ketentuan-ketentuan yang ada. Prinsip utama kubu ini adalah
tidak melakukan perubahan terhadap materi yang dianggap cermin staatsidee
Indonesia merdeka, antara lain mencakup Pembukaan dan bentuk negara
kesatuan.34
Perubahan UUD 1945 dianggap penting untuk dilakukan karena materi
muatan di dalamnya sebagian besar tidak mampu menjawab kebutuhan yang lebih
kompleks akibat perkembangan yang terjadi. Bahkan dalam perjalannya UUD
1945 dijadikan sebagai sacred document dan pihak-pihak yang menentang
perubahan menciptakan apa yang dikatakan sebagai the myth of the constitution.35
Kelemahan UUD 1945, misalnya, tidak memuat ketentuan rinci yang justru
diperlukan untuk menjamin konstitusionalisme. Menurut Mark Brzezinskri (1998:
12-26), terdapat 3 (tiga) cara untuk melindungi konstitusionalisme, yaitu melalui
ajaran seperation of power, ajaran check and balances, dan ajaran pengujian
konstitusionalitas undang-undang (constitutional review).36

33
Bagir Manan, 2003, MPR, DPR, dan DPD Menurut UUD 1945 Baru, Jogjakarta,
Penerbit UII Press, hlm. iv. Lihat juga Moh. Mahfud M.D., 1999, “Amandemen UUD 1945 ditinjau
dari Kekuasaan Legislatif”.makalah seminar DPP Golkar, hlm. 1.
34
Bagir Manan, op.cit., hlm. iv-v.
35
Susi Dwi Haryanti, 2003, Implementasi Bikameralisme di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Rajawali, hlm. 250.
36
Mark Brzezinskri, 1998, The Struggle for Constitutionalism in Poland, London:
Macmillan Press Ltd, hlm. 12-26.

19
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan
mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan
Keempat pada tahun 2002. Perubahan-perubahan ituj juga meliputi materi yang
sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi muatan
asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka
setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945
seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya
UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah dapat
dikatakan merupakan Konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Menurut Bagir Manan,
dari 4 (empat) kali perubahan yang telah dilakukan, dapat dikelompokkan menjadi
7 (tujuh) sifat sebagai berikut. Pertama, perubahan yang bersifat peralihan
kekuasaan. Misalnya peralihan kekuasaan membentuk undang-undang. Menurut
naskah asli, kekuasaan membentuk undang-undang secara harfiah ada pada
Presiden. Sekarang kekuasaan membentuk undang-undang ada pada DPR.
Sifat yang kedua adalah perubahan yang bersifat penegasan pembatasan
kekuasaan. Misalnya, Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat memangku jabatan
paling lama dua kali masa jabatan berturut-turut dalam jabatan yang sama.
Selanjutnya, perubahan jenis ketiga adalah perubahan yang bersifat perimbangan
kekuasaan. Misalnya soal-soal yang berkaitan dengan pemberian amnesti, abolisi,
pengangkatan duta dan penerimaan perwakilan negara asing harus mengindahkan
pendapat DPR.
Perubahan jenis keempat adalah perubahan yang bersifat rincian atau
penegasan ketentuan yang sudah ada. Misalnya, semua anggota DPR dipilih
melalui pemilu. Prinsip itu telah ada dalam konstitusi tetapi selama ini tidak
dijalankan sebagaimana mestinya. Kemudian, sifat yang kelima adalah perubahan
yang bersifat tambahan sebagai sesuatu yang baru. Misalnya bab mengenai DPD,
pertahanan dan keamanan, pemilu, BPK, dan sebagainya. Selanjutnya, sifat yang

20
keenam adalah perubahan yang bersifat meniadakan hal-hal yang tidak perlu.
Misalnya, penghapusan penjelasan. Terakhir, sifat yang ketujuh adalah perubahan
yang bersifat membangun paradigma baru. Misalnya dalam pembentukan undang-
undang penyelenggaraan otonomi daerah.
Sehubungan dengan itu penting disadai bahwa sistem ketatanegaraan
Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 itu telah mengalami perubahan-
perubahan yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi
struktur dan mekanisme structural organ-organ negara Republik Indonesia yang
tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Banyak pokok-pokok
pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu. Empat
diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya citademokrasi dan nomokrasi secara
sekaligus dan saling melengkapi secara komplamenter; (b) pemisahan kekuasaan
dan prinsip “checks and balances’ (c) pemurnian sistem pemerintah presidential;
dan (d) penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Diantara efek reformasi konstitusi adalah lahirnya DPD. Pembentukan
DPD merupakan upaya konstitusional yang dimaksudkan untuk lebih
mengakomodasi suara daerah dengan memberi saluran, sekaligus peran kepada
daerah-daerah. Saluran dan peran tersebut dilakukan dengan memberikan tempat
bagi daerah-daerah untuk menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan tingkat
nasional untuk memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan-kepentingan
daerahnya sehingga akan memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
Perwakilan daerah dalam DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau
regional (regional representation) dari daerah, dalam hal ini provinsi. Dengan
demikian, keberadaan DPD tidak dapat dipisahkan dari adanya Utusan Daerah
sebagai salah satu unsur MPR. Dengan ditetapkannya bahwa seluruh anggota MPR
harus dipilih dalam Pemilihan Umum [vide Pasal 2 ayat (1) UUD 1945], maka
Utusan Daerah pun harus dipilih dalam Pemilihan Umum.

21
Dalam pembahasan mengenai pembentukan DPD, semula ada kelompok
anggota MPR yang tidak setuju adanya DPD dan menganggap sudah cukup
terwakili dalam Utusan Daerah yang berada di MPR seperti yang diatur dalam
UUD 1945 sebelum perubahan. Pada sisi lain, terdapat kelompok anggota lainnya
yang mengusulkan pembentukan DPD dengan posisi yang sama kuat dan
memiliki kewenangan yang sama dengan DPR. Setelah melalui
serangkaian pembahasan disepakatilah pembentukan DPD yang merupakan
peningkatan kedudukan Utusan Daerah di MPR dalam perubahan UUD 1945,
dengan peran dan kewenangan tertentu dalam bidang legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Hal itu dimaksudkan untuk memberi saluran dan peran kepada
daerah untuk ikut menentukan kebijakan nasional yang secara langsung terkait
dengan kepentingan daerah serta untuk memperkuat pilihan atas bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keterwakilan anggota DPR dan anggota
DPD yang sama-sama mewakili daerah di badan perwakilan tingkat nasional
mengandung perbedaan, antara lain, anggota DPR dipilih berdasarkan daerah-
daerah pemilihan dari seluruh Indonesia. Adapun anggota DPR dicalonkan dan
berasal dari partai politik peserta pemilihan umum, yang dalam posisinya sebagai
anggota DPR mewakili dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan partai politik
dan kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya. Pada sisi lain, anggota DPD
berasal dari perseorangan yang dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah
tersebut, sehingga anggota DPD hanya akan secara murni menyuarakan
kepentingan-kepentingan daerahnya, yaitu seluruh aspek yang terkait dengan
daerah yang diwakilinya. Berbeda dengan anggota DPR, yang oleh karena
mewakili partai politik tertentu sering dibebani misi partai politik yang
bersangkutan. Selain itu, wakil rakyat yang duduk di DPR yang berasal dari partai
politik dan terpilih dari suatu daerah pemilihan dapat saja berdomisili atau berasal
dari daerah lain yang bisa saja tidak begitu mengenal daerah yang diwakilinya. Hal
semacam itu sangat kecil kemungkinan terjadi bagi anggota DPD, karena mereka

22
dipilih secara perseorangan dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
di daerah yang bersangkutan.
Ketentuan UUD 1945 memberikan kewenangan tertentu kepada DPD
dalam fungsi legislasi, fungsi anggaran, serta fungsi pengawasan. Dalam fungsi
legislasi DPD berwenang untuk mengajukan dan ikut membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah [Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945]. Di samping itu,
DPD juga berwenang memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama [Pasal 22D ayat (2) UUD 1945]. Keterlibatan DPD untuk
memberikan pertimbangan tersebut dimaksudkan supaya DPD berkesempatan
menyampaikan pandangan dan pendapatnya atas RUU tersebut karena pandangan
dan pendapat tersebut pasti berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah.
Kewenangan bidang pengawasan yang diberikan kepada DPD terkait dengan
pelaksanaan Undang- Undang yang menyangkut jenis Undang-Undang yang ikut
dibahas dan/atau diberikan pertimbangan oleh DPD.
B. Formulasi Lembaga Perwakilan
Perkembangan perjalanan praktik demokrasi di Indonesia, telah muncul
koreksi atas sistem perwakilan politik. Pada tahun 1998, muncul koreksi dari
warga di daerah terhadap sistem perwakilan politik yang tidak memberi ruang
bagi aspirasi daerah. Aspirasi itu menginginkan hadirnya kebijakan nasional yang
juga mengakomodasi kepentingan daerah. Berpijak dari aspirasi itu dilakukan
reformasi pada sistem perwakilan politik dengan munculnya institusi Dewan
Perwakilan Daerah. Peningkatan peran "utusan daerah" dari sekedar utusan yang
dipilih oleh DPRD Provinsi menjadi "perwakilan" yang dipilih secara langsung
oleh rakyat di daerahnya masing-masing mempunyai tujuan untuk memperkuat
penyaluran aspirasi daerah di pusat. Hal ini diharapkan dapat menciptakan

23
keseimbangan ekonomi dan politik yang lebih adil dan egaliter antar pusat dan
daerah.
Dengan demikian, Perubahan UUD meletakan reformasi struktural
terhadap lembaga perwakilan; dimana lembaga perwakilan dibagi menjadi dua
kamar: DPR yang mewakili kepentingan partai-partai dengan DPD yang
mewakilia daerah yang diwakilinya. Kehadiran DPD sebagai lembaga
representasi alternatif juga memiliki pijakan akademis. Dalam studi-studi tentang
demokrasi, salah satu konsep utama yang digunakan adalah teori perwakilan atau
juga terkait dengan konsep mandat perwakilan. Yang dimaksud dengan
perwakilan (representation) adalah konsep dimana seseorang atau satu
kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak
atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Karena mempunyai kewajiban untuk
bicara dan bertindak atas nama yang diwakilinya maka seorang wakil dipilih oleh
yang diwakilinya dalam proses elektoral. Itu artinya karakteristik utama
lembaga perwakilan adalah memiliki mandat elektoral; dimana pihak-pihak yang
diwakili memberikan mandat pada yang mewakili melalui pemberian vote (suara)
dalam pemilu. Konsekuensi selanjutnya dengan duduknya seseorang di lembaga
perwakilan melalui pemilihan mengakibatkan timbulnya hubungan antara wakil
dengan diwakilinya. Gilbert Abcarian dan George Massanat (1970), menyatakan
bahwa ada beberapa tipe hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya: model
trustee, model delegate, model politicos, dan model partisan. Sedangkan
Hoogerwer (1985) menambahkan model kesatuan dan model penggolongan.
Yang dimaksud dengan Hoogerwer sebagai model penggolongan adalah
wakil menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi aspirasi dari kelompok
yang diwakilinya, balk dalam kategori territorial atau sosial-politik tertentu.
Dengan demikian, soal siapa mewakili siapa menjadi perdebatan yang
sangat penting dalam perumusan desain maupun praktik demokrasi
perwakilan.Pertanyaan yang paling mendasar dalam perdebatan ini adalah apakah
aspirasi rakyat bisa terepresentasikan dalam satu jenis perwakilan? Ataukah

24
dibutuhkan berbagai bentuk saluran perwakilan? Beranjak dari perdebatan itu
muncul 3 (tiga) jenis perwakilan. Pertama, perwakilan politik
(politica/representation). Dalam model ini, perwakilan berbasiskan keterwakilan
individu (konstituen) dan para wakil bersumberkan pada partai politik. Kedua,
perwakilan fungsional, yang merupakan bentuk perwakilan dari kelompok atau
asosiasi yang ada dalam masyarakat. Dan ketiga, perwakilan wilayah (territorial),
yang lebih didasarkan pada ketrwakilan warga yang mendiami sebuah wilayah
tertentu.
Dalam perkembangan selanjutnya, model perwakilan politik yang hanya
berbasis partai politik dianggap memiliki beberapa keterbatasan: Pertama, tidak
semua warga (citizen) berkehendak mengelompokan diri dan menyalurkan
aspiranya dalam partai politik. Warga menginginkan saluran lain di Iuar partai
politik. Kedua, keterbatasan sistem pemilu dalam perwakilan politik, baik distrik
dan proporsional, hanya menekankan suara (vote) sebagai sesuatu yang penting
untuk bisa dikonversi menjadi kursi. Dalam sistem plurality/majority, pemenang
akan mengambil semua (the winner take ails). Sedangkan sistem proporsional,
menekankan konversi suara ke kursi secara proporsional. Sehingga kedua sistem
itu hanya menguntungkan mayoritas (peraih suara terbanyak) dan dalam sistem
proporsional juga akan lebih menguntungkan daerah yang memiliki jumlah
pemberi suara (voters) terbesar. Lebih-lebih dalam sepuluh tahun terakhir ini di
Indonesia berlangsung redesain sistem pemilu kearah "pemurnian" sistem
proporsional. Pemurnian bertujuan meningkatkan derajat proporsionalitas yang
ukurannya adalah one man, one vote, one values. Semakin sesuai antara
proporsi perolehan suara pemilih dengan kursi maka semakin tinggi derajat
proporsionalitasnya. Sebaliknya apabila muncul ketidaksesuian kursi di parlemen
dengan suara pemilih maka akan meninggikan disporporsionalitas keterwakilan
politik dari sistem ini. Kosekuensi dari pemurnian sistem proporsional ini adalah
keterwakilan politik ditentukan oleh jumlah suara. Semakin besar jumlah pemberi
suara (penduduk) maka semakin besar kursi dalam lembaga perwakilan politik.

25
Kosekuensinya, tingkat keterwakilan yang penduduknya populasinya sedikit
akan lebih kecil dibandingkan penduduk yang padat. Dalam konteks Indonesia
hal ini memunculkan persoalan karena akan ditandai dengan tinggi tingkat
keterwakilan Jawa yang padat jumlah penduduknya dibandingkan beberapa
daerah di luar Jawa. Akibat berikutnya dari ketimpangan representasi ini adalah
berpulang untuk memunculkan bias kebijakan. Ketiga, lembaga perwakilan
politik yang bersandar pada partai politik seringkali menghadapi krisis
kepercayaan (distrust). Turunnya tingkat kepercayaan pada lembaga perwakilan
politik itu sebagai akibat dari adanya kesenjangan antara aspirasi warga dengan
agenda dari lembaga perwakilan.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan munculnya koreksi atas
perwakilan politik yang berbasis partai dengan menyediakan saluran alternatif
yang menyalurkan kepentingan kelompok- kelompok minoritas dalam proses
pengambilan kebijakan nasional. Representasi politik alternatif itu dibangun
untuk meningkatkan legitimasi dari sistem perwakilan politik secara keseluruhan.
Dan dari beberapa studi menunjukkan sistem representasi alternatif, baik
bikameral maupun tri Kameral bukan hanya diterapkan di negara federal
melainkan juga di negara kesatuan. Selain itu dari beberapa studi memperlihatkan
bahwa dari 10 negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, terdapat
delapan negara (80%) negara memilih sistem bikameral dan hanya dua negara
yang memilih model unikameral. Dengan demikian, sistem representasi alternatif
tidak selalu identik dengan bentuk negara atau sistem pemerintahan,
melainkan kebutuhan objektif sebuah negara-bangsa untuk meningkatkan kualitas
demokrasinya.
Berpijak pada keterbatasan sistem perwakilan politik maka muncul
model instusi representasi alternatif di luar DPR. Kehadiran lembaga representasi
alternatif ini penting karena: Pertama, warga negara, terutama di daerah- daerah
memiliki saluran aspirasi yang lebih lebar. Sehingga artikulasi dan agregasi bisa
disampaikan pada berbagai saluran. Kedua, membangun keseimbangan antara

26
keterwakilan politik yang ditentukan oleh jumlah pemilih (penduduk) dengan
keterwakilan territorial. Dalam konteks Indonesia yang beragam (plural),
perimbangan ini diperlukan untuk memastikan aspirasi daerah-daerah yang
sedikit jumlah penduduknya tersalurkan dalam proses pembuatan kebijakan
nasional. Ketiga, memperkuat check and balances diantara lembaga representasi,
sehingga kehadiran DPD menjadi penyeimbang dari DPR. Dengan cara itu maka
demokrasi perwakilan semakin bermutu (berkualitas). Dengan adanya dua majelis
(two-chambers) akan menjamin mutu semua produk legislatif karena dapat
diperiksa dua kali (double check).
Jabaran prinsip tersebut diterjemahkan secara konkrit, antara lain dalam
formulasi sistem perwakilan yang berbeda dengan ketentuan sebelum Perubahan
UUD 1945. Semula, Majelis Permusyawaratan Rakyat kita dirancang untuk
diubah menjadi nama “genus” dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen
Indonesia yang terdiri atas dua kamar dewan. Kamar pertama disebut Dewan
Perwakilan Rakyat, dan kamar kedua disebut Dewan Perwakilan Daerah. Sebagai
perbandingan, prinsip yang sama dapat kita temukan dalam konstitusi Amerika
Serikat yang mementukan bahwa semua kekuasaan legislatif ada di Kongres
yang terdiri atas “The House of Representatives and Senate”. Memang, anggota
senat bisa disebut Senator sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau
“House of Representatives” biasa disebut “Congressman.” Akan tetapi,
sesungguhnya, baik anggota Senat maupun anggota DPR Amerika Serikat itu
sama-sama merupakan anggota Kongres . Akan halnya nanti dengan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, pada
hakikatnya mereka adalah anggota MPR, tetapi secara sendiri-sendiri mereka
juga dapat dibedakan antara anggota DPR atau anggota DPD. Demikian pula
dalam konstitusi Kerajaan Belanda dikatakan bahwa kekuasaan legislatif berada
di “Staten Generaal” yang terdiri atas “Eerste Kamer en Tweede Kamer”.
Keanggotaan dalam masing-masing kamar parlemen Belanda ini tidaklah

27
mengurangi pengertian bahwa pada hakikatnya mereka juga anggota “Staten
Generaal.”
Namun demikian, setelah Perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan
MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah
mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap
ada. Perubahan-perubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia
itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan
keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan
Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional
representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR
hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan
prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah
(regional representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat
struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan
fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai “supreme body” yang
memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu
kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar.
Namun, seperti dikemukakan diatas, lembaga MPR pada pokoknya
menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan Keempat tetap berdiri sendiri di
samping DPR dan DPD. Banyak kritik dan ketidakpuasan mengenai pengaturan
UUD 1945 mengenai hal ini, tetapi dalam kenyataannya memang demikianlah
ketentuannya dalam UUD 1945 pasca Perubahan Keempat. Menurut ketentuan
pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat
(2) menyatakan dalam hal terjadinya kekosongan wakil presiden, selambat-
lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR bersidang untuk memilih wakil presiden
dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Sedangkan ayat (3) nya menyatakan
bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil presiden secara
bersamaan, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR bersidang untuk

28
memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon presiden yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan
Wapresnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu
sebelumnya. Menurut ketentuan pasal 3 ayat (3), pasal 7A dan 7B, MPR juga
berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud oleh
pasal 3 ayat (1) dan pasal 37 UUD 1945. Dengan adanya kewenangan yang
demikian itu maka dapat dipahami bahwa MPR itu adalah lembaga yang berdiri
sendiri disamping DPR dan DPD.
C. Problematika Praktik
Setelah pelaksanaan pemilu tahun 2004 hingga semester pertama tahun
2005, sekurang-kurangnya tercatat 4 (empat) peristiwa yang menunjukkan
problematika serius yang menjurus kepada “konflik eksistensi” antara Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Pertama, masalah komposisi pimpinan MajelisPermusyawaratan Rakyat
(MPR) yang terjadi pada Oktober 2004. Dalam Peraturan Tata Tertib buatan MPR
(1999-2004) diatur bahwa ada 4 (empat) pimpinan MPR yang dipilih dari anggota
dan dicalonkan dari DPD (3 orang) dan DPR (3 orang). Dalam pandangan DPD,
sebagai lembaga baru meminta agar 4 (empat) pimpinan MPR, 2 (dua)
diantaranya merupakan wakil DPD tanpa melalui proses pemilihan anggota MPR
seluruhnya. Akibat pandangan ini, sidang MPR yang membahas tata tertib sempat
molor. Di sisi lain, DPR keberatan jika komposisi pimpinan MPR diubah hanya
demi pemerataan DPR dan DPD. Komposisi pimpinan MPR tetap mengacu
kepada rasio jumlah anggota DPR dan DPD sebesar 3:1. Pada akhirnya,
komposisi pimpinan MPR terbentuk dengan susunan dari unsur DPD dan DPR
masing-masing 2 (dua) orang. Sistem pencalonannya tetap, yaitu seorang calon
ketua dan 3 (tiga) calon wakil ketua.37

37
Ketentuan terbaru, dalam UU No. 27/2009 mengatur bahwa komposisi pimpinan MPR
meliputi 4 dari unsur DPR dan 1 dari DPD. Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-
undang tersebut menolak menyatakan inkonstitusional regulasi tersebut.

29
Kedua, masalah pelantikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
pada bulan November 2004. Presiden Megawati telah menetapkan anggota dan
pimpinan BPK baru yang berdasarkan pertimbangan DPR (1999- 2004) melalui
Keputusan Presiden No. 185/M Tahun 2004. Kemudian, DPD mengusulkan
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunda pelantikan anggota
BPK sambil menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, DPD
mengajukan gugatan ke MK soal legalitas pengangkatan anggota BPK melalui
pertimbangan DPR periode sebelumnya. Pada akhirnya, MK memutuskan bahwa
permohonan DPD ditolak.
Ketiga, masalah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada bulan
Februari 2005. Pada awalnya Rapat Paripurna DPR menyetujui Prolegnas yang
akan membahas 284 rancangan undang-undang hingga tahun 2009. Dalam hal ini,
DPD menyatakan tidak mengakui Prolegnas versi DPR tersebut karena dinilai
sewenang-wenang tanpa melibatkan DPD. Tetapi DPR justru menyalahkan DPD
yang dianggap lamban dalam menyusun prolegnas. Pada akhirnya, prolegnas
akhirnya tetap disahkan oleh DPR.
Keempat, soal Pidato Nota Keuangan Presiden (Juli 2005). Pada
awalnya, DPR mengundang Presiden dalam pidato notakeuangan tanggal 17
Agustus 2005. Hal ini dikecam oleh DPD yang menginginkan hal tersebut
dilaksanakan dalam forum joint-session dengan DPR. Kemudian DPD akan
menyelenggarakan rapat secara terpisah dengan Presiden sehari lebih lebih awal
dari tanggal 15 Agustus 2005.38 Untuk meredam persoalan, sembari menolak
keinginan DPD itu, DPR mengundang seluruh anggota DPD untuk hadir dalam
rapat paripurna tersebut. Di sisi lain, Presiden, sebagaimana diungkapkan oleh
Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra waktu itu, keputusan
menyampaikan pidato RAPBN dan nota keuangan hanya kepada DPR bukanlah

38
Baru pada tanggal 16 Agustus 2010 penyampaian pidato Presiden dalam joint session
DPR dan DPD dapat terlaksana.

30
tanpa dasar. Yusril menunjuk sejumlah produk hukum, yaitu Pasal 23 ayat (2)
UUD 1945, Pasal 44 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 15 UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Pasal 137 Peraturan Tata Tertib DPR, dan Pasal 6 Peraturan
Tata Tertib DPD.
D. Profil Bikameral
Menurut Hans Kelsen39 pada awalnya, konsepsi tentang perwakilan
dipandang sebagai pantulan kehendak rakyat pemilih yang memilih wakil mereka
di dalam lembaga perwakilan dan karenanya wakil-wakil itu bertanggung jawab
kepada rakyat pemilih. Kajian hukum tata negara tidak berhenti kepada jenis
perwakilan belaka, tetapi juga dititikberatkan berapa banyak tempat yang harus
ada dalam parlemen. Dalam praktiknya, terbentuk 2 (dua) model watak parlemen,
yaitu sistem unikameral atau sistem bikameral. Menurut Jimly Asshidiqie40,
sistem unikameral terdiri dari satu kamar, sedangkan bikameral mempunyai dua
kamar yang masing- masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Selama berabad-
abad, kedua tipe watak parlemen itu yang biasa dikembangkan di mana-mana.
Parlemen yang berwatak unikameral tidak mengenal adanya 2 (dua)
badan yang terpisah seperti adanya DPR dan Senat atau Majelis Rendah dan
Majelis Tinggi. Akan tetapi, justru sistem unikameral inilah yang sesungguhnya
lebih populer karena sebagian besar negara dunia sekarang menganut sistem ini.
Di Asia misalnya, sistem ini dianut di Vietnam, Laos, Lebanon, Syiria, Kuwait,
dan sebagainya.
Menurut Jimly Asshidiqie41, fungsi Dewan atau Majelis Legislatif dalam
sistem unikameral ini terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur
negara. Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unikameral ini beragam

39
Hans Kelsen, General Theory of Law..., op.cit., hlm. 289-290.
40
Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen..., op.cit., hlm. 33.
41
Ibid., hlm. 36.

31
dan bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi pada pokoknya serupa bahwa
secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab
satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.
Parlemen bikameral adalah parlemen yang mempunyai 2 (dua) kamar
atau majelis yaitukamar pertama atau majelis rendah dan kamar kedua atau
majelis tinggi. Penamaan demikiantidak secara otomatis menunjukkan derajat
posisi atau tingkat kewenangan. Kamar pertama merupakan kamar perwakilan
rakyat yang dipilih secara langsung dan diwakilkan melalui partai politik dalam
parlemen, sedangkan kamar kedua merupakan perwakilan tertentu atau khusus,
yang biasanya digunakan untuk perwakilan teritorial, fungsional, kelas sosial,
etnis, dan sebagainya sesuai dengan kehendak konstitusi. Pada umumnya,
berbagai konstitusi negara di dunia memfungsikan kamar kedua sebagai suatu
kamar perwakilan wilayah dan banyak negara yang menamakannya sebagai
Senat.
Pembacaan watak parlemen, yaitu unikameral atau bikameral, pada
umumnya diasumsikan terkait dengan bangun negara. Dalam setiap konstitusi
modern, hal yang penting dan pertama kali dicantumkan adalah mengenai bangun
negara.42Mengenai bangun negara, di dunia saat ini dibagi ke dalam 2 (dua)
kelompok besar bentuk negara, yaitu negara yang berbentuk negara kesatuan dan
negara federal.43 Dalam pandangan Al Chaidar et.al., negara kesatuan
(Eeenheidstaat, unitary) adalah suatu negara yang berdaulat dengan satu
konstitusi.44 Konstitusi negara kesatuan menentukan batas-batas wewenang dan
kekuasaan daerah, sedangkan kekuasaan yang tidak diatur dianggap sebagai
kekuasaan milik pusat (residu power). Sementara itu, negara federal (Bondstaat)

42
C.F. Strong, 1963, Modern Political Constitution, London: Ludwigcs & SonsLtd, hlm.
63.
43
Ibid.
44
Al Chaidar, dkk, 2000, Telaah Awal Wacana Unitaris vs. Federalis Dalam Perspektif
Islam, Nasionalisme, dan Sosial Demokrasi. Jakarta: Madani Press, hlm. 61.

32
adalah sejumlah negara yang bergabung untuk tujuan bersama yang tertentu.45
Dalam negara federal, kekuasaan pusat atau kewenangan federal dibatasi oleh
kekuasaan tertentu yang menjamin negara-negara bagian yang bergabung untuk
tujuan bersama.
Parlemen unikameral pada umumnya dianut oleh negara kesatuan,
dengan pengecualian antara lain seperti Prancis, Inggris, Jepang, dan Belanda.
Semua negara federal memiliki parlemen bikameral, hal yang nampak antara lain
di Amerika Serikat, Jerman, dan Australia.
Pembicaraan dalam rubrik ini perlu ditambahkan dengan sifat parlemen
bikameral. Dikotomi yang paling sederhana adalah munculnya konsep bikameral
kuat (strong) dan bikameral lemah/lunak (weak/soft). Untuk ini, hendak diungkap
pendapat 2 (dua) orang sarjana, yaitu Arend Lijphart dan Andrew S. Ellis.
Menurut Arend Lijphart, pembagian bikameral kuat dan bikameral lemah diurai
dalam 3 (tiga) ciri. Adapun ciri pertama adalah kekuasaan yang diberikan secara
formal oleh konstitusi terhadap kedua kamar tersebut. Pola yang umum adalah
kamar kedua cenderung subordinat terhadap kamar pertama. Ciri yang kedua
adalah kepentingan politik yang sesungguhnya dari kamar kedua tidak hanya
tergantung dari kekuasaan formalnya, tetapi juga bagaimana metode seleksi
mereka. Secara lumrah, kamar pertama dipilih lewat pemilu, tetapi anggota kamar
kedua mayoritas dipilih secara tidak langsung (biasanya di bawah tingkatan dari
pemerintah nasional). Kamar kedua yang tidak dipilih secara langsung kurang
mempunyai legitimasi demokratis, sehingga pengaruh politik yang sebenarnya
diberikan kepada yang memilihnya (popular election). Sebaliknya, pemilihan
langsung kamar kedua mungkin akan mengimbangi beberapa tingkat untuk
kekuasaan yang dibatasi. Ciri yang ketiga ditunjukkan adanya perbedaan
menyolok antara 2 (dua) kamar dalam legislatif bikameral di mana kamar kedua

45
Ibid, hlm. 61.

33
mungkin dipilih dengan corak yang berbeda atau sebagai perwakilan minoritas
tertentu atau khusus.
Ciri yang pertama dan kedua, yaitu menyangkut kekuasaan formal dan
legitimasi demokratis dari kamar kedua, dapat menghasilkan sifat bikameral yang
simetris dan asimetris. Kamar yang simetris adalah jika kekuasaan yang diberikan
konstitusi sama atau hanya secara moderat tidak sama. Kamar yang asimetris
sangat tidak sama dalam hal ini. Sementara ciri yang ketiga memberikan
pengaruh kepada komposisi parlemen bikameral, yaitu congruent dan
incongruent.
Komposisi congruent menunjukkan adanya keanggotaan yang sama dari
parlemen, sementara yang lain menggambarkan susunan yang tidak sama,
misalnya kamar pertama dipilih melalui pemilihan langsung dan yang kedua
melalui pengangkatan, dan variasi perbedaan lain.
Model teori lain dibeberkan oleh Andrew S. Ellis (2001) yang
mengkualifikasi 2 (dua) bangun parlemen bikameral, yaitu bikameral kuat dan
bikameral lemah. Suatu parlemen bikameral kuat, pembuatan undang-undang
biasanya dimulai dari majelis manapun, dan harus dipertimbangkan oleh kedua
majelis dalam forum yang sama sebelum disahkan. Dalam sistem lunak, majelis
yang satu memiliki status yang lebih tinggi dari yang lain. Misalnya, majelis
pertama mungkin dapat mengesampingkan penolakan atau perubahan RUU yang
diajukan oleh majelis kedua. Hal ini jamak diatur melalui keputusan bersyarat,
misalnya mayoritas absolut dari anggota-anggota (seperti di Polandia), dua
pertiga mayoritas dari anggota yang hadir dan memberikan suara (seperti di
Jepang), atau larangan majelis kedua untuk mengubah RUU Keuangan (seperti di
Inggris).
Teori Andrew S. Ellis di atas cukup mudah dipahami karena hanya
ditinjau dari sisi legislasi belaka. Dari segi praktis akan timbul kesulitan untuk
menilai, jika seandainya konstitusi memberikan hak eksklusif kepada kamar
kedua dalam legislasi, misalnya RUU Keuangan dan budget, yang hak usul dan

34
vetonya dimiliki oleh kamar pertama. Atau untuk undang-undang yang berkaitan
dengan perjanjian internasional, yang biasanya merupakan hak eksklusif dari
kamar kedua, terutama dalam mengusulkan dan memveto (seperti di Amerika
Serikat).
Suatu premis umum perlu diajukan bahwa ketika suatu negara
membentuk lembaga, hal itu merupakan keinginan masing-masing negara untuk
membangun parlemen mereka. Selain kebutuhan, pemilihan model kamar kedua
biasanya dikaitkan dengan lingkungan ekonomi, sosial, sejarah, dan politik
masing-masing. Sebagai contoh diajukan kasus Venezuela, yang menurut
konstitusi 1961 mempunyai parlemen bikameral karena secara akademik
merupakan negara yang besar dan tingkat pluralitas penduduknya sangat tinggi.
Pada dekade 1980-1990, dengan alasan krisis ekonomi, konstitusi diubah.
Terakhir, dengan tujuan membabat praktik korupsi, pada 1999 parlemen diubah
menjadi unikameral. Alasan demikian juga membawa pengaruh kepada bentuk
parlemen bikameral, akankah mempunyai peran yang “kuat” atau peran yang
“lemah.” Takaran umum ini penting untuk menilai secara obyektif watak
bikameral parlemen suatu negara dan hal itu juga berlaku untuk Indonesia.
E. Pengalaman Indonesia
Cuplikan episode ketatanegaraan Indonesia membentangkan secuil fakta
normatif, bahwa dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(Konstitusi RIS) pada 27 Desember 1949-17 Agustus 1950, republik ini pernah
menganut bangun parlemen berwatak bikameral. Dalam konstitusi ini ditegaskan
bahwa dalam RIS merupakan negara hukum yang demokrasi dan berbentuk
federasi (Pasal 1 ayat (1)), di mana kedaulatan dilakukan oleh Pemerintah
bersama-sama dengan DPR dan Senat (Pasal 1 ayat (2)). Jadi, bangun parlemen
bikameral ditunjukkan dengan adanya DPR dan Senat.
Ditentukan juga bahwa senat RIS bukan senat yang dipilih melalui
pemilu tetapi dengan pengangkatan oleh pemerintah negara bagian, suatu corak
perwakilan teritorial. Dengan teori Arend Lijphart, maka bangun parlemen

35
bikameral di masa RIS mengandung 2 (dua) ciri sebagai berikut. Ciri yang pertama
menyangkut susunan. Kamar kedua cenderung lebih kecil daripada kamar pertama
(DPR RIS beranggotakan 146 orang dan Senat berjumlah 32 orang). Ciri yang
kedua, masa jabatan legislatif kamar kedua cenderung lebih lama daripada kamar
pertama. Konstitusi tak tegas mengatur berapa lama masa jabatan anggota Senat,
namun disebutkan bahwa “anggota-anggota senat senantiasa boleh meletakkan
jabatannya. Mereka memberitahukan hal itu dengan surat kepada ketua” (Pasal
84).
Kekuasaan Senat RIS sebagai pemegang kedaulatan bersama-sama
dengan Pemerintah dan DPR (Pasal 1 ayat (2)). Senat bertugas mewakili negara
bagian (Pasal 80 ayat (1)) dan menjalankan fungsi legislatif sejauh menyangkut
“hal-hal yang khusus mengenai satu, beberapa, atau semua daerah bagian atau
bagian-bagiannya, atau mengenai perhubungan antara RIS dan daerah-daerah
lainnya” (Pasal 127 sub a). Senat juga mempunyai kekuasaan lain: (a) bersama-
sama DPR memberi ijin pernyataan perang (Pasal 183); (b) memberi nasehat
kepada Pemerintah atas inisiatif sendiri (Pasal 123); (c) didengarkan suaranya
sejauh berhubungan dengan “urusan-urusan penting yang khusus mengenai satu,
beberapa atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannya, ataupun yang khusus
mengenai hubungan RIS dengan daerah-daerah” (Pasal 123); dan (d) meminta
keterangan kepada pemerintah (Pasal 124).
Dengan pijakan teori Arent Lijpart, Senat RIS termasuk “bikameral
kuat.” Hal ini dikarenakan konstitusi memberikan kekusaannya sejajar dengan
DPR karena Senat berhak mengajukan RUU (Pasal 128 ayat (2) dan berhak
menolak RUU dalam substansi tertentu (Pasal 136 ayat (2)). Senat RIS tidak
mempunyai legitimasi demokratis karena “ditunjuk oleh pemerintah daerah-daerah
bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan
yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi” (Pasal 81 ayat (1)). Masih dalam
teori Lijpart, parlemen RIS bercorak “simetris” karena kekuasaan kedua majelis

36
(DPR dan Senat) relatif sejajar, meski susunannya incongruent karena Senat
berfungsi sebagai kamar federal dari RIS.
Jika digunakan sudut pandang Andrew S.Ellis, maka parlemen RIS
termasuk bikamreal kuat karena konstitusi memberikan hak untuk mengusulkan
RUU (Pasal 128 ayat (2)) dan hak menolak RUU (Pasal 136 ayat (2) kepada Senat.
Perlu dicatat bahwa hak mengusulkan RUU itu sebatas proses legislasi yang
berkaitan dengan negara bagian saja (Pasal 127 huruf a). Namun dalam
pembuatankonstitusi baru, anggota Senat dapat memberikan “mufakat” atau
“keputusan” dalam pembuatan konstitusi (Pasal 188-189).
Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke bangun negara kesatuan,
yang diikuti dengan perubahan konstitusi sehingga yang berlaku kemudian adalah
Undang-Undang Dasar Sementara atau populer dengan sebutan UUDS 1950.
Dengan terbentuknya kembali negara kesatuan ini, berakhirlah seteru golongan
“republiken” yang menghendaki negara kesatuan dan golongan “federalis” yang
menghendaki negara serikat. Dengan dihapuskannya daerah-daerah bagian,
golongan federalis ikut terhapus dari percaturan politik.46 Dalam masa berlakunya
UUD S ini maka watak parlemen menjadi unikameral. Pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 (Dekrit
Presiden) yang antara lain menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai
undang-undang dasar nasional. Keberlakuan UUD 1945 menegaskan kembali
bangun negara dan desain ketatanegaraan pada masa proklamasi, yang terus
berlanjut selama Orde Lama (1959-1966), Orde Baru (1966 -1998), dan era
reformasi (1998-sekarang).
Desain parlemen di bawah UUD 1945 mengenal MPR dan DPR.
Mengenai MPR, dapat dinilai sebagai sebuah lembaga yang khas Indonesia, oleh
karena itu keberadaannya menarik untuk dicermati lebih lanjut. Keberadaan MPR
itu sendiri berkaitan dengan 5 (lima) fungsi penting, yaitu: (a) menetapkan UUD

46
Ali Chaidar, op.cit., hlm. 130.

37
(Pasal 3); (b) Perubahan UUD (Pasal 37); (c) menetapkan garis-garis besar halauan
negara dalam arti yang luas, tidak sekadar GBHN (Pasal 3); (d) memilih presiden
dan wakil presiden (Pasal 6); dan (e) meminta pertanggungjawaban presiden di
tengah masa jabatan karena dakwaan melalui persidangan istimewa (Pasal 8 jo
Penjelasan UUD 1945). Menarik dicermati bahwa MPR terdiri atas anggota DPR
ditambah utusan golongan dan utusan daerah (Pasal 2). Menurut Jimly Asshidiqie,
susunan MPR semacam itu telah mengokohkan pandangan bahwa eksistensi
lembaga ini sebagai elemen ketatanegaraan yang mengandung tradisi liberalisme
barat dan sosialisme timur.47 Unsur anggota DPR mencerminkan prinsip
demokrasi politik (political democracy) yang didasarkan atas prosedur perwakilan
politik (political represenatation), sedangkan utusan golongan mencerminkan
prinsip demokrasi ekonomi (economic democracy) yang didasarkan atas prosedur
perwakilan fungsional (functional representation) untuk mengatasi kelemehan
perwakilan politik. Sementara itu, utusan daerah diadakan untuk menjamin agar
kepentingan daerah-daerah tidak terabaikan hanya karena orientasi untuk
mengutamakan kepentingan nasional. Dengan demikian, keberadaan para anggota
Majelis ini benar-benar mencerminkan seluruh lapisan dan golongan rakyat,
sehingga tepat diberi kedudukan yang tertinggi (supreme). Gambaran demikian,
menurut Jimly Asshidiqie, melahirkan konsep MPR sebagai forum majelis
belaka.48
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama di bawah konfigurasi politik
Orde Baru (1966-1998), timbul upaya untuk menjadikan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara yang menjalankan fungsi sebagai wadah penjelmaan kedaulatan
rakyat. Dalam pandangan ini, MPR bukan hanya forum, tetapi lembaga tertinggi.
Hal ini tercermin antara lain dalam pelembagaan pimpinannya tersendiri
yang disertai sekretariat jenderal dan mekanisme kerja yang tersendiri pula.
47
Jimly Asshiddiqie, 2003, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan
Keempat UUD Tahun 1945”, makalah. Jakarta: BPHN, hlm. 135.
48
Ibid., hlm. 136.

38
Konfigurasi politik pada masa reformasi telah melahirkan 3 (tiga) paradigma yang
mempengaruhi fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yaitu, pertama,
pemisahan kekuasaan secara tegas dari cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Kedua, konsep dan pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung yang akan berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban Presiden
langsung kepada rakyat. Ketiga, restrukrisasi parlemen menjadi bikameral untuk
menampung aspirasi otonomi daerah yang semakin berkembang.
F. Posisi MPR-soft bicameral?
Dengan diterimanya paradigma perubahan ketatanegaraan yang
menghasilkan ketujuh sifat materi muatan dari Perubahan UUD 1945 di atas, maka
dalam pandangan ini MPR tidak dapat lagi dipertahankan sebagai lembaga
tertinggi, melainkan hanya akan berfungsi sebagai forum majelis dengan
kewenangan-kewenangan yang sudah ditentukan dalam UUD 1945. Menurut
Jimly Asshidiqie, dalam konteks ini maka prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi
diwujudkan dalam lembaga MPR yang akan membagikan kekuasaan itu secara
vertikal kepada lembaga yang ada di bawahnya.49 Dengan adanya perubahan itu,
maka pusat perhatian harus diarahkan kepada upaya memahai perwujudan
kedaulatan rakyat ke dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan utama, yaitu parlemen
(terdiri atas MPR, DPR, dan DPD) dan lembaga kepresidenan atau pemerintahan.
Aliran mandat kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat akan mengalir langsung dan
secara periodik kepada kedua cabang kekuasaan tersebut melalui proses pemilihan
umum yang diselenggarakan secara jujur dan berkeadilan. Sesudah Perubahan
UUD 1945 ada 2 (dua) pandangan mengenai kedudukan MPR. Pertama, MPR
sebagai lembaga permanen. Sifat permanen ini membawa MPR sebagai lembaga
yang akan memiliki perangkat penuh sebagai sebuah lingkungan jabatan, yaitu: (a)
kelengkapan administrasi dan organisasi anggota individu; (b) kesekretariatan
tersendiri dengan pengurusnya untuk menjalankan fungsi sebagai sebuah lembaga

49
Ibid., hlm. 137.

39
yang mandiri; (c) kode etik dan badan kehormatan sendiri; dan (d) sistem
penggajian anggota (anggaran). Kedua, MPR sebagai sidang gabungan (joint-
session). Pengertian MPR sebagai sidang gabuangan adalah MPR tidak lagi
merupakan sebuah lembaga yang bersifat mandiri. Ia hanya merupakan forum
pertemuan antara 2 (dua) lembaga, yaitu DPD dan DPR. Ketika sidang
berlangsung, baik anggota DPD maupun anggota DPR, tetap sebagai anggota DPD
dan DPR. Mereka tidak bergabung menjadi satu dalam sebuah lembaga lain
(MPR).
Timbul pertanyaan, berdasarkan kedua pandangan di atas,
bagaimanakah kedudukan MPR yang paling sesuai? Pertama-tama harus dilihat
kembali dalam UUD 1945. Sesudah Perubahan UUD 1945, MPR bukan lagi
pemegang kedaulatan rakyat lagi karena menurut Pasal 1 Perubahan Ketiga UUD
1945, kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Kemudian, Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan
bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Walaupun ketentuan ini
penting, tetapi hanya dilakukan secara temporal sehingga bukan tugas yang setiap
hari harus dilakukan karena mengubah konstitusi tidak sama denga mengubah
undang-undang. Fungsi ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Konstituante
pada masa Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950). Kewenangan MPR untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden hilang karena menurut Pasal 6 A dan Pasal
22 E Perubahan Ketiga UUD 1945 kewenangan itu sudah dikembalikan kepada
rakyat melalui pemilihan langsung. Selanjutnya, fungsi untuk melakukan
impeachment sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 A dan 7 B Perubahan Ketiga
UUD 1945 juga merupakan kejadian yang tidak selalu terjadi. Dalam sejarah
ketatanegaraandan politik di berbagai negara, tidak setiap tahun presiden
diberhentikan oleh parlemen. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi yang memeriksa
dan memutus dari gugatan yang diajukan oleh DPR. Jadi, untuk memberi
kepastian hukum dan kewibawaan dari kekuasaan kehakiman, MPR selayaknya
hanya mengeksekusi putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi.

40
Dengan tertib berpikir demikian, maka pandangan yang menyebut MPR
sebagai lembaga permanen dipandang terlalu berlebihan karena fungsi di atas
merupakan fungsi yang tidak bersifat rutin. Seandainya dijadikan agenda rutin,
hanya dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat
(2) UUD 1945 yang menetapkan minimal MPR bersidang sedikitnya sekali dalam
5 (lima) tahun.
Namun demikian, jika melihat pengaturan UUD 1945 yang dijabarkan
lebih lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD, maka pemaknaan MPR sebagai lembaga yang permanen
tak terbantahkan. Tidak berlebihan jika kondisi normatif tersebut menghasilkan
komposisi parlemen trikameral.50 Hal ini terjadi oleh karena beberapa hal:
Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945
disebutkan bahwa MPR adalah gabungan dari anggota-anggota DPR dan anggota-
anggota DPD, bukan terdiri atas lembaga DPR dan DPD sebagaimana konsep
lembaga perwakilan bikameral sesungguhnya. Kedua, sesuai dengan Pasal 22C
ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, anggota DPD dari setiap propinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga
anggota DPR. Di sini nampak adanya ketimpangan keseimbangan jumlah
keanggotaan. Secara politis, pengaturan yang demikian bertujuan untuk
mempertahankan dominasi DPR dalam memutuskan hal-hal yang krusial di MPR
dan menciptakan dominasi DPR di tengah kegagapan kepentingan daerah dalam
mengartikulasikan aspirasi mereka.
Ketiga, kualitas kewenangan kedua lembaga itu tidak sama. Hal ini
antara lain nampak dalam hal (a) usulan pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD hanya oleh DPR (Pasal 3 ayat (3)
jo Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945); (b) ketentuan larangan Presiden untuk
membekukan DPR, di mana hal itu tidak berlaku bagi DPD (Pasal 7C Perubahan

50
Ibid., hlm. 8-9.

41
Ketiga UUD 1945); (c) Pernyataan perang, perdamaian, dan perjanjian
internasional hanya melibatkan DPR dan Presiden (Pasal 11 ayat (1), (2), dan (3)
Perubahan Ketiga UUD 1945); (d) Pemberian abolisi dan amnesti hanya
melibatkan DPR (Pasal 14 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945); (e)
rekomendasi pengisian jabatan BPK hanya melibatkan DPR (Pasal 23F Perubahan
Keempat UUD 1945); (f) DPD tidak mempunyai peran yang signifikan dalam
proses pembentukan perundang-undangan karena hanya dapat ikut membahas
suatu RUU (Pasal 22D Perubahan Ketiga UUD 1945); dan (g) Peran legislasi DPD
terbatas sebagai pengusul pembentukan undang-undang tertentu saja (Pasal 22D
Perubahan Ketiga UUD 1945). Sebenarnya rekonstruksi menuju parlemen
bikameral. Itu berusaha memperjelas letak sistem perwakilan di Indonesia dalam
tipologi unikameral dan bikameral. Tetapi, rekonstruksi itu mengandung masalah
sejak awal. MPR tidak mempersoalkan the socio-poilitical of representation.
Dalam proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945, ada sebuah
semangat yang luar biasa yang disampaikan oleh para Perancang Undang- Undang
Dasar 1945 khususnya amandemen. Pada waktu itu tuntutan untuk membongkar
otoritarian, sentralistik, dan oligarkis menuju kepada demokrasi yang
disentralistik. Dalam konstruksi yang demikian itulah, maka kemunculan DPD
sebagai lembaga negara merupakan bersama-sama dengan konsep desentralisasi,
otonomi luas, dimana daerah dalam Pasal 18 itu diberi kewenangan yang sangat
luas. Oleh sebab itulah, maka harus ada perekat di dalam konteks sistem
ketatanegaraan kita khususnya dalam kerangka pengambilan kebijakan politik di
tingkat nasional yang harus juga memperhitungkan mengambil referensi dari
daerah, kepentingan- kepentingan daerah. Dalam konstruksi yang demikian itulah,
maka Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) kemudian dilakukan “penafsiran” oleh para
pembentuk Undang-Undang, yang dalam hal ini jelas merupakan kewenangan dari
DPR dan Presiden.
Peran DPD dalam konteks otonomi daerah sebagai lembaga politik dan
lembaga tinggi negara, DPD berusaha memastikan secara politik bahwa apa yang

42
dilakukan adalah penting di mata publik. Peran penting DPD-RI dalam konteks
otonomi daerah sangat jelas, yaitu merepresentasikan aspirasi daerah. Meskipun
belum maksimal, DPD relatif mampu membantu komunikasi antara pusat-daerah
berkenaan dengan masalah yang dihadapi daerah, baik melalui sinergi dan
partnership yang dilakukan dengan asosiasi-asosiasi pemerintah provinsi maupun
kabupaten/kota. Dengan keterbatasannya, sebagai lembaga legislatif, dimana DPD
tidak memiliki mekanisme yang memadai. Selama periode 2009 -2014, institusi ini
tetap berkinerja menyelesaikan tupoksinya (tugas, pokok, fungsinya). Hal ini bisa
dilihat dari kinerjanya dalam menghasilkan, merampungkan usulan RUU
sebanyak 15 buah pandangan yang berpandangan, dan pendapat 77 buah, juga
pertimbangan, pengawasan, pertimbangan terkait anggaran, dan juga usul
Prolegnas, serta rekomendasi DPD. Namun, tidak bisa ditutupi adanya masalah
kelembagaan yang akut dan tidak tuntas, khususnya tugas internal lembaga
legislatif.
Keberadaan DPD sebagai vertical balance mestinya difungsikan supaya
kewenangannya tidak bersifat konsultatif. Aspirasi dan kepentingan rakyat daerah
tidak boleh mandek dan harus diperjuangkan oleh DPD. Pertama, DPD sangat
mengharapkan dukungan publik dan kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam
mendorong penguatan lembaga DPD. DPD memerlukan payung hukum untuk
memperjelas jenis kelaminnya dan untuk melaksanakan fungsi dan perannya
secara maksimal. Apa artinya kata representasi kalau tidak bisa dikonkretkan, baik
secara institusi maupun individu, DPD akan menanggung beban politik yang luar
biasa bila terus-menerus tidak mampu membuktikan tupoksinya sebagai badan
legislatif yang berkewajiban mengakomodasi aspirasi dan kepentingan daerah
dalam bentuk legislasi. Sebagai perwakilan wilayah atau penyambung lidah rakyat
daerah, DPD hadir untuk menjaga keragaman daerah agar karakteristik dan
kekhasan yang dimiliki masing-masing daerah tetap menjadi kekayaan bagi
Indonesia. Karena itu, DPD juga dimaksudkan untuk memperkuat
kedudukan pemerintahan daerah dan rakyat daerah dalam proses dan produk

43
legislasi tingkat pusat. Menjaga keutuhan Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika
tidak semudah membalikkan tangan, perlu membangun saling rasa percaya, juga
membangun kelembagaan atau yang kita istilahkan dengan rasionalitas politik
untuk menghasilkan institusi politik yang berkualitas dan efektif. Karena itu
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sama-sama mengemban dan
melaksanakan amanat, mewujudkan kepentingan nasional yaitu menyejahterakan
rakyat. Oleh karena itu, sudah saatnya kita menyudahi realitas kecelakaan
perundang-undangan yang ada saat ini dengan menfungsikan DPD sebagai
lembaga legislatif yang efektif yang menjalankan mekanisme checks and balances
antara DPD dan DPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Implikasi dari tidak diberikannya kewenangan legislasi pada DPD
adalah sebagai berikut: Pertama, DPD menjadi lembaga perwakilan dengan
"mandat elektoral" namun tanpa memiliki kewenangan untuk mengusulkan dan
membahas kebijakan nasonal yang berkaitan dengan kepentingan daerah yang
diwakilinya. Itu artinya, UU MD3 telah menjadikan DPD sekedar lembaga
perwakilan "asesoris". Kedua, mengingkari harapan dan mandat yang telah
diberikan rakyat daerah ketika mereka memilih wakilnya di DPD dalam pemilihan
umum. Karena mereka berharap bisa mengartikulasi dan agregasi kepentingan
daerahnya dalam perumusan kebijakan nasional yang berkaitan dengan negara
dan daerah melalui wakilnya di DPD. Namun anggota DPD yang mewakilinya
tidak mempunyai kewenangan untuk mentransformasi aspirasi dan mandat tersebut
menjadi produk kebijakan nasional. Ketiga, pemangkasan kewenangan DPD akan
menyulitkan terbangunnya "check and balances" karena DPR tidak mempunyai
penyeimbang dalam menjalankan fungsinya. Akibatnya, produk kebijakan
nasional yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan politik menjadi kurang
berkualitas.
Melacak perdebatan yang terjadi dalam proses perubahan UUD 1945,
terutama terkait dengan kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD), secara
sederhana dapat dikatakan bahwa pengubah konstitusi secara nyata menhendaki

44
adanya kamar kedua selain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penolakan bahwa
model yang dihasilkan dalam perubahan UUD 1945 bukan merupakan lembaga
legislatif bercorak bikameral lebih banyak hadir sebagai argumentasi yang muncul
paska perubahan. Bahkan, apabila dilacak secara cermat risalah perubahan UUD
1945 sejumlah kekuatan politik di MPR saat itu hadir dengan gagasan model
legislasi yang dipraktikkan di AS, menawarkan model bikameral dengan adanya
hak veto Presiden. Namun, apapun basis argumentasi perdebatan itu, menjadi tidak
terbantahkan bahwa lembaga legislatif yang dihasilkan selama perubahan UUD
1945 bukan lagi lembaga legislatif berkamar tunggal (unicameral).
Merujuk hasil perubahan, Pasal 22D UUD 1945 memberikan wewenang
yang jauh lebih terbatas kepada DPD apabila dibandingkan dengan
wewenang DPR. Karena desain itu, hubungan DPR dan DPD tidak mungkln
menciptakan pola relasi antarkamar yang dapat saling mengecek satu sama ainnya.
Apalagi Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa fungsi
legislasi hanya dimiliki DPR. Dengan tidak adanya pengaturan yang menyatakan
DPD memiliki fungsi legislasi, Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 memunculkan DPR
heavy atas DPD dalam pembentukan undang-undang. Karenanya, banyak pendapat
mengatakan kehadiran Pasal 20A ayat (1) 1945 memberi garis demarkasi yang
amat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang menjadi monopoli DPR.
Secara historis, Pasal 20A ayat (1) dan ketentuan lainnya yang terkait
dengan fungsi legislasi DPR hadir lebih dulu dibandingkan Pasal 22D UUD
1945. Artinya, Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 telah disepakati dan
disahkan lebih dulu sebelum pembahasan, persetujuan, dan pengesahan Pasal 22D.
Dengan rentang waktu itu, menjadi tidak mungkin lagi menambahkan rumusan
baru bahwa DPD juga memiliki fungsi-fungsi sebagaimana termaktub dalam Pasal
20A ayat (1) UUD 1945. Apalagi, selama pembahasan menjadi "kesepakatan"
bersama antara anggota MPR untuk tak lagi mengubah/merevisi substansi yang
dihasikan pada perubahan sebelumnya.

45
Namun apabila dibaca dengan cermat, ketentuan Pasal 22D memberikan
fungsi yang sama juga kepada DPD. Paling tidak, fungsi tersebut dapat ditelusuri
dari frasa berikut: (i) "DPD dapat mengajukan rancangan undang- undang", (ii)
"DPD ikut membahas rancangan undang-undang", (iii) "DPD dapat melakukan
pengawasan", dan (iv) "DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR
atas RUU APBN". Artinya, sekiranya ada keinginan politik (political will)
memberikan peran untuk membangun checks and balances dengan DPR, Pasal
22D memberi ruang yang cukup kuat bagi DPD sehingga peran lembaga ini
benar-benar hadir sebagai representasi kepentingan daerah dalam proses
pengambilan keputusan di tingkat nasional.
Terkait kewenangan DPR, Pasal 20 ayat (1) menyebutkan memegang
“kekuasaan... ", yang berarti DPR berhak atau berwenang mengajukan Rancangan
Undang-Undang. Dengan demikian Pasal 20 ayat (1) menunjuk pada kekuasaan
DPR secara kelembagaan. Dalam arti, yang memiliki kekuasaan membentuk
undang-undang itu adalah DPR secara kelembagaan.
Di dalam kelembagaan DPR, secara personal setiap anggota DPR juga
diberi hak untuk mengajukan usul rancangan undang-undang. Usul dari anggota
DPR akan dibawa ke tingkat DPR. Apabila usul tersebut diterima, maka ia akan
menjadi rancangan Undang-Undang "milik" DPR secara kelembagaan. Jadi hak
anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang merupakan
bagian tidak terpisah dan hak DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang.
Berdasarkan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka Presiden dan
DPR secara kelembagaan sama-sama memiliki "hak" untuk mengajukan
Rancangan Undang-Undang.
Sementara itu, Pasal 22D ayat (1) menyebutkan "DPD dapat
mengajukan...", yang berarti DPD boleh mengajukan rancangan undang- undang.
Sebab, secara istilah, kata "dapat" sepadan dengan kata "mampu, sanggup, bisa,
boleh, mungkin". Dimana kata tersebut diartikan sebagai kesanggupan diri untuk
melakukan sesuatu. Dengan demikian, "dapat mengajukan" berarti boleh atau

46
boleh mengajukan Rancangan Undang-Undang sesuai dengan kemampuan atau
kesanggupannya. Sepanjang DPD sanggup menggajukan Rancangan Undang-
Undang terkait kewenangannya, maka selama itu pula hak itu dilaksanakan DPD
secara kelembagaan. Dengan demikian, istilah "dapat" juga bermakna sebagai hak
untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang.
Dalam perumusan UUD 1945, sebelum diubah, basis politik itu
mencerminkan usaha memantulkan secara lurus kemajemukan masyarakat
Indonesia dan perkembangan perwakilan politik pada tahun 1945. Aspek ini tidak
dipersoalkan secara matang dan terbuka selama berlangsung amandemen
konstitusi. Dengan menggunakan teori Lijphart di atas, sistem parlemen Indonesia
digolongkan sebagai medium-strength bicameralism dengan bangunan asimetris
dan incongruent. Bangun asimetris dalam hal ini nampak bahwa DPD mempunyai
kekuasaan yang subordinat dari kamar pertama/majelis rendah. Sesuai Pasal 22D
ayat (1), bahwa DPD hanya mempuyai fungsi untuk mengajukan rancangan
undang-undang selama itu berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan pusat dan daerah.
Selain itu, dapat ikut membahas dan melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22D ayat (1)
ditambah dengan pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama, serta
menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti (Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945). Dalam
kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945,
DPD tidak menggenggam hak veto dalam masalah legislasi, tetapi dia
masih mempunyai hak mengusulkan RUU. Sesungguhnya, para anggota DPD
memiliki legitimasi demokrasi yang kuat karena dipilih secara langsung melalui
pemilu setiap lima tahun (Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945). Dikatakan mempunyai
konstruksi incongruent karena kamar pertama beda dengan kamar kedua. Kamar

47
pertama merupakan perwakilan politik sementara DPD merupakan perwakilan
teritorial. Kesetaraan kewenangan merupakan hal penting untuk memberikan
kesempatan yang sama kepada kedua kamar dalam memperjuangkan kepentingan
yang diwakili. Cukup sudah apa yang dijalani DPD sebagai lembaga legislatif
yang tidak memiliki satu kewenangan untuk ikut sampai tuntas mengantarkan
aspirasi daerah. Fungsi legislasi DPD perlu diperkuat dalam rangka sistem checks
and balances intraparlemen, dan untuk meningkatkan kualitas representasi DPD
sebagai wakil daerah di tingkat nasional di tengah kompleksitas permasalahan
yang dihadapi daerah. Kehadiran DPD untuk ikut mengurangi permasalahan dan
memberikan jalan keluar serta mendorong kemajuan daerah sungguh sangat
mendesak relevan dan signifikan dilakukan saat ini.
Sementara itu, jika menggunakan teori Andrew S. Ellis, bentuk kamar
kedua dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikategorikan sebagai bikameral lunak.
Dalam hal ini DPD hanya berhak mengajukan RUU tertentu saja, tetapi tak
mempunyai hak veto. Sementara pandangan beranggapan, watak lunak parlemen
Indonesia tersebut “terlalu lunak.” Di Prancis, sebagai negara kesatuan dengan
sistem bikameral lunak, kamar kedua dinamakan senat yang seluruhnya berjumlah
321 di mana sepertiga dipilih secara tidak langsung tiap 3 (tiga) tahun sekali.
Kekuasaan Senat secara umum subordinat terhadap Majelis Nasional (Kamar
Pertama), tetapi agak lebih besar dalam mempengaruhi organic law dan financial
bills. Senat boleh mengusulkan RUU, tetapi kata putus ada di Majelis Nasional.
Selain itu, senat dapat mengadakan penyelidikan atasadministrasi negara, tetapi
tidak dapat memecat pejabat negara. Di Inggris, negara kesatuan dengan watak
bikameral lunak, kamar kedua disebut House of Lords yang secara eksklusif
berhak mengajukan RUU Keuangan. Meskipun demikian para Lords tidak berhak
mengubah dan sekali aturan itu memperoleh persetujuan House of Commons
(DPR), maka House of Lords hanya boleh “melawan” dengan menunda
persetujuan maksimal 1 (satu) tahun.Masih dalam bangun negara kesatuan,
Konstitusi Jepang (1946) mengatur bahwa Diet (Parlemen) berwatak bikameral

48
dengan susunan lembaga House of Representative atau Sanguin dan House of
Councillors atau Sangiin (Pasal 42). Kedua kamar dipilih langsung. Dalam proses
legislasi, House of Councillors berperan penting karena suatu undang-undang
harus memperoleh persetujuan kedua house. Selanjutnya, House of Councillors
dapat menunda APBN dalam 30 hari dan menunda RUU biasa selama 60 hari. Jika
hal ini terjadi, dibuat komisi gabungan atau mengabaikan keberatan House of
Councillors dengan syarat dukungan DPR duapertiga yang hadir .
Di Belanda kapasitas kedua kamar parlemen relatif sebanding. Parlemen
Belanda terdiri kamar pertama (Eerste Kamer) dan kamar kedua (Tweede Kamer).
Anggota kedua kamar dipilih dengan cara perwakilan proporsional terbatas untuk
4 (empat) tahun. Peran Eerste Kamer lebih banyak saat joint-session dan dalam
proses legislasi kamar ini yang akan memutuskan RUU yang dikirimkan oleh
Tweede Kamer. Di Thailand, negara dengan bangun kesatuan yang berbentuk
monarki, kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh Majelis Nasional (Rathasapha)
yang merupakan parlemen bikameral dan terdiri atas DPR (Sapha Phuthaen
Rotsaden) dan Senat (Wuthisapha). Senat mempunyai 200 anggota yang dipilih
oleh rakyat untuk 6 (enam) tahun. Dalam proses legislasi, Senat tidak mempunyak
hak mengajukan RUU, karena hal ini monopoli DPR. Tetapi, Senat mempunyai
hak veto dalammempertimbangkan suatu bills, meskipun dapat ditolak dengan
dukungan suaraduapertiga anggota DPR.
Dari perbandingan sederhana itu, terlihat bahwa DPD sebagai kamar
kedua parlemen Indonesia dengan basis perwakilan teritorial hanya mempunyai
kekuasaan untuk mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah atau
kepentingan daerah saja. Hal ini berbeda dengan kondisi di Prancis, di mana watak
parlemen bikameral lunak tidak menghalangi kamar kedua untuk mengajukan
setiap RUU. Fungsi yang lain cukup “mengkhawatirkan”, misalnya ikut membahas
RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 D ayat (2) UUD 1945, di mana tak ada
jaminan konstitusional seberapa besar pengaruh DPD dalam proses tersebut.
Demikian juga dengan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang

49
menurut Pasal 22 D ayat (3) UUD 1945, tak ada kepastian adanya tindaklanjut
DPR terhadap proses tersebut.
Dari perbandingan yang telah disebutkan di atas nampak sekali bahwa
DPD sebagai kamar kedua dalam sistem parlemen bikameral negara kesatuan
cenderung berkarakter konservatif, sangat lemah, dan sangat bergantung kepada
kepentingan politik DPR dan tentu juga kepada pihak eksekutif dalam proses
legislasi karena hanya kepada DPR Presideh berhak mengajukan RUU (Pasal 5
ayat (1) UUD 1945). Akibatnya, konflik kelembagaan yang terjadi selama ini tak
pernah menghasilkan konvensi ketatanegaraan yang melembaga, melainkan hanya
bersifat ad hoc semata.
Sesudah pemilu 2009, persoalan eksistensi DPD tidak terselesaikan.
Praktik fungsi legislasi yang berlangsung selama ini, menempatkan DPD benar-
benar menjadi sub-ordinat DPR. Misalnya, dengan mergemukakan satu contoh
saja, wewenang konstitusional DPD dalam "mengajukan rancangan undang-
undang" sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 kerap
diposisikan sejajar (bahkan boleh jadi lebih Iendah) dengan "usul rancangan
undang-undang yang disampaikan anggota DPR". Padahal, UUD 1945
memberikan konstruksi yang berbeda, bagi DPD Rancangan Undang-Undang,
sementara bags anggota DPD adalah usul Rancangan Undang-Undang. Lalu, alas
konstitusional apakah yang dipakai untuk mempersamakan (bahkan boleh jadi
lebih rendah) mempersamakan antara "Rancangan Undang-Undang" dari DPD
dengan "usul Rancangan Undang-Undang" dari anggota DPR?.
Sebetulnya, masih banyak contoh lain yang dapat dikemukakan kakan
betapa di tingkat pengaturan di bawah UUD 1945 terdapat pengebirian, secara
sitemstis terhadap fungsi legislasi DPD. Pengebirian tersebut terasa makin parah
apabila ditambah dengan praktik legislasi yang terjadi dalam hubungan antara
DPR dan DPD. Penyebab mendasar dan utama hal tesebut, tidak adanya
penafsiran yang objektif terhadap fungsi legislasi DPD. Kalaupun diturunkan ke
tingkat Undang-Undang, sejumlah Undang-Undang yang ada dan pernah ada (UU

50
Nomor 22/2003 dan UU Nomor 27/2009 begitu juga dan UU Nomor 10/2004 dan
UU Nomor 12/2011) tidak memiliki keinginan untuk menjadikan DPD sebagai
lembaga legislatif, terutama memberikan fungsi legislasi sebagai salah satu kamar
di lembaga legislatif yang dihasilkan dari perubahan UUD 1945.Kekacauan
konstruksi konstitusional di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang populer dikenal sebagai UU
MD3 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-undangan. Kekacauan konstitusional terjadi dari tahap awal, yaitu
perencanaan sampai dengan tahap akhir, tahap akhirnya sampai di mana
tergantung perspektif yang digunakan, kalau menggunakan perspektif yang dewasa
ini mengemukan di Eropa misalnya, legis prudence bisa sampai dengan
pembatalan. Kalau menggunakan perspektif dari Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 20 ayat (5) sampai dengan pengundangan. Tetapi sejumlah sarjana
membatasi hanya sampai dengan persetujuan bersama atau pengambilan keputusan
oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan Undang-Undang tersebut.
Ketentuan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan job
description, kompetensi yang ditentukan secara konstitusional; menuntut kesiapan
dan kinerja DPD; serta menyangkut proses, tahapan dan manajemen legislasi
antara DPD dengan DPR dan Presiden. Proses pembentukan Undang-Undang ini
sejak tahap perencanaan hingga pengambilan keputusan dan pengundangan. DPD
melaksanakan fungsi legislasi bersama DPR dan Presiden. Hal ini karena "Setiap
RUU dibahas oleh DPR dan Presiden" (anak kalimat pertama pada Pasal 20 ayat
(2) UUD 1945), sedangkan DPD dapat mengajukan RUU bidang tertentu dan ikut
membahas RUU bidang tertentu. Namun keputusan untuk menghasilkan "UU
tertentu" (Pasal 22D) ditentukan oleh 3 (tiga) macam penafsiran konstitusi.
Dua tafsir pertama disandarkan kepada pemahaman bahwa UUD 945
pada dasarnya menganut pola parlementer dalam proses legislasi hingga
pengambilan keputusan akhir untuk itu. Proses legislasi menggunakan model

51
parlementer karena legislasi merupakan "three-chamber" legislative process,
yaitu melibatkan "kamar" presiden-eksekutif dan dua kamar parlemen (DPR dan
DPD) untuk RUU tertentu (Pasal 22D UUD 1945).
Legislasi bermodel parlementer ini terdiri dari dua macam. Pertama,
tafsir tekstual dan executive heavy (atau bahkan otoritarian) yang menjadikan
keputusan untuk menghasilkan Undang-Undang hanya sebagai domain persetujuan
bersama Presiden dan DPR (anak kalimat kedua pada Pasal 20 ayat (2) UUD
1945). Akibatnya, bobot suara Presiden mengungguli bobot suara dua lembaga
perwakilan (DPR dan DPD). Kedua, tafsir parlementer. Karena Presiden adalah
eksekutif yang didukung koalisi di DPR maka keputusan menghasilkan legislasi
seharusnya jadi domain lembaga perwakilan (DPR-DPD) bersama presiden-
eksekutif dengan bobot suara sama di antara ketiga lembaga. Tafsir ketiga (ius
constituendum) adalah tafsir legislasi dalam presidensialisme di negara kesatuan.
Ciri pokok presidensialisme adalah keterpisahan eksekutif dari legislatif sehingga
bobot suara lembaga perwakilan pada model asymmetric bikameralisme, dengan
DPD sebagai pelembagaan keterwakilan daerah-daerah provinsi (Pasal 22C UUD
1945), seharusnya dimenangkan daripada bobot suara eksekutif; lebih-lebih
apabila legislasi itu mengenai kepentingan daerah-daerah (Pasal 22D ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945) yang merupakan faktor agregat pada negara kesatuan.
Pada tahap perencanaan, program legislasi nasional (Prolegnas) hanya
disusun oleh DPR dan Pemerintah. Penulis berpendapat bahwa perencanaan
legislasi, atau pembagian kerja antara DPR dan Pemerintah dalam Prolegnas
[sebagaimana diatur oleh Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU P3 2011] menjadi tidak
lengkap tanpa rencana legislasi dari DPD; namun hal ini tidak boleh menghalangi
kewenangan konstitusional DPD untuk mengajukan RUU tertentu [Pasal 22D
ayat (1) UUD 1945]. Untuk tahap penyusunan, RUU yang dimajukan oleh DPD
[Pasal 22D ayat (1) UUD 1945] tidak sama dengan "usul RUU" dari internal DPR
[Pasal 21 UUD 1945] yang masih membutuhkan pengharmonisasian, pembulatan,

52
dan pemantapan konsepsi. Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 menentukan
bahwa frasa "RUU dari DPR diajukan oleh DPD" yang memerlukan
"pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi" oleh Baleg DPR.
Ahli berpendapat bahwa Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 berarti
melangkahi Pasal 21 dan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU (Pasal 21). Pasal 102 ayat
(1) huruf d UU MD3 mengayur bahwa Badan Legislasi bertugas melakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU yang diajukan
anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum RUU tersebut
disampaikan kepada pimpinan DPR. Penulis berpendapat bahwa RUU yang
dimajukan oleh DPD tidak boleh disejajarkan dengan "usul RUU" dari internal
DPR yang membutuhkan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi oleh Baleg DPR. Pasal 102 ayat (1) huruf e UU MD3 mengatur bahwa
Badan Legislasi bertugas memberikan pertimbangan terhadap RUU yang
diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas RUU
tahun berjalan atau di luar RUU yang terdaftar dalam prolegnas. Amat logis jika
ada pembagian kerja antara DPR dan Pemerintah dalam Prolegnas tidak
boleh menghalangi kewenangan konstitusional DPD untuk mengajukan RUU
berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Jika dicermati, dalam hal inisiasi RUU oleh DPR, maka hal ini tidak
disebut dalam UUD 1945. Pasal 46 ayat (1) UU P3 mengatur bahwa RUU dari
DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. Menurut penulis, RUU
yang dimajukan oleh DPD tidak boleh disejajarkan dengan "usul RUU" dari
internal DPR yang masih membutuhkan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi oleh Baleg DPR. Frasa "RUU dari DPR diajukan oleh
anggota DPR atau DPD" mencampurkan dua lembaga negara (DPR, DPD),
bahkan DPR mengkooptasi DPD, sehingga melangkahi Pasal 21, Pasal 22C, Pasal
22D ayat (1) UUD 1945. Menurut ketentua Pasal 143 ayat (5) UU MD3, RUU

53
yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR
kepada Presiden. Kemudian Pasal 49 ayat (1) UU No. 12 Tahun2 011 mengatur
bahwa RUU dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.
Menurut penulis, RUU dalam bidang yang dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD
1945 semestinya dikirim oleh DPR kepada Presiden dan DPD.
Materi yang diajukan Presiden adalah rancangan undang-undang.
Sedangkan materi yang dapat diajukan DPD juga rancangan undangundang.
Sementara materi yang diajukan anggota DPR adalah usul Rancangan Undang-
Undang. Rancangan Undang-Undang jelas berbeda dengan usul Rancangan
Undang-Undang. Sebab sebuah usulan RUU tidak dapat disebut sebagai
Rancangan Undang-Undang sebelum ia disetujui oleh lembaga yang akan
mengajukannya.
Berdasarkan tafsir terhadap rumusan Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal
22D ayat (I) di atas, jelas bahwa posisi DPD setara dengan Presiden dalam
pengajuan rancangan undang-undang. Sama-sama sebagai institusi yang berhak
mengajukan rancangan undang-undang, bukan usul rancangan undang-undang.
Disamping itu, posisi DPD tidak dapat disetarakan dengan posisi anggota DPR
yang hanya diberi hak untuk mengajukan usul rancangan undang-undang.
Berdasarkan tertib berpikir di atas, meletakkan posisi DPD dalam konteks
pengajuan Rancangan Undang-Undang setara dengan anggota DPR merupakan
tindakan inkonstitusional. Sehingga setiap norma undang-undang yang
memosisikan DPD seperti demikian, secara jelas dan tegas adalah bertentangan
dengan UUD 1945.
Persoalan lain menyangkut makna “persetujaun bersama.” Dalam hal
ini, RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
[Pasal 20 ayat (2) UUD 1945]. Pada saat bersamaan, Pasal 22D ayat (2)
mengatur, "DPD ikut membahas rancangan undang-undang...''. Sekalipun dengan
menggunakan istilah "ikut membahas", DPD secara prinsip juga berhak untuk ikut
membahas Rancangan Undang-Undang. Secara istilah, kata "ikut" dipahami

54
sebagai "menyertai" atau melakukan sesuatu sebagaimana dikerjakan orang lain..
Pada konteks ini, konsep “DPR memegang kekuasaan membentuk UU untuk
mendapat persetujuan bersama dengan Presiden” adalah kebalikan sebelum
Perubahan UUD 1945, yaitu Presiden memegang kekuasaan membentuk UU
(gesetzgebung) dengan persetujuan DPR [Pasal 5 (1) UUD 1945 sebelum
perubahan]. Dikatakn sebagai kebalikan, karena amandemen UUD 1945 memberi
kekuasaan kepada Presiden untuk memutuskan hasil legislasi berupa UU
sebagaimana praktik Orde Baru; padahal UUD 1945 sebelum perubahan
mendudukkan hanya DPR sebagai pemegang kekuasaan menyetujui UU.
Sesuai pengertian tersebut, kata "ikut" tidak dapat dimaknai sebagai
sesuatu yang bersifat boleh atau tidak, dimana keikutsertaanya tidak
mempengaruhi. Melainkan dimaknai sebagai "hak" DPD untuk ikut dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat
(2). Selain itu, kata "ikut" juga tidak dapat dijadikan alasan untuk mensubordinasi
DPD di bawah DPR dalam pembahasan Rancangan Undang- undang. Sebab,
rumusan Pasal 22D ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2) merupakan dua ketentuan yang
bersenyawa. Dalam arti, apabila sebuah Rancangan Undang-Undang terkait
dengan otonomi daerah, dan lain sebagainya, maka Pasal 20 ayat (2) tidak dapat
berdiri sendiri. Melainkan hares bersamaan dan dipersandingkan dengan Pasal 22D
ayat (2).
Seiring dengan itu, pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang
untuk menjadi undang-undang sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) juga
meliputi pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2). Artinya Rancangan Undang-
undang terkait daerah juga menjadi bagian dari Rancangan Undang-Undang yang
mesti dibahas dan disahkan melalui mekanisme yang diatur dalam Pasal 20 ayat
(2). Dengan demikian, Pasal 22D ayat (2) yang mengatur keikursertaan
DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tidak dapat dipisahkan dari
ketentuan Pasal 20 ayat (2). Dalam arti, keikutsertaan DPD dalam pembahasan

55
RUU juga tunduk dan mengacu pada ketentuan Pasal 20 ayat (2). Oleh sebab itu,
hak DPD untuk membahas Rancangan Undang-Undang tidak dapat dibatasi hanya
untuk tahapan tertentu saja. Seperti hanya terlibat dalam pembahasan tingkat I
saja. Melain semua tahapan pembahasan sampai proses persetujuan (pengambilan
keputusan), DPD mesti terlibat. Sebab, persetujuan atas sebuah Rancangan
Undang-Undang merupakan bagian tidak terpisah dari tahap pembahasan.
Persetujuan merupakan akhir dari sebuah proses pembahasan.
Ketidakterpisahan antara pembahasan dan persetujuan tersebut dapat
dipahami secara tekstual dari ketentuan Pasal Pasal 20 ayat (2) menyatakan,
"...rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Rumusan tersebut
menunjukkan bahwa tujuan pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang
adalah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Selain itu, dirumuskannya
"pembahasan" dan "persetujuan bersama" dalam satu nafas Pasal 20 ayat (2)
membuktikan bahwa keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah.
Dalam konteks memosisikan DPD dalam pembentukan Undang-
Undang, materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tersebut persis sama dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
Dimana hak DPD sama dengan hak anggota DPR, komisi, gabungan komisi atau
alat kelengkapan DPR.
Interpretasi demikian jelas keliru dan tidak sesuai dengan maksud Pasal
22D ayat (1) UUD 1945. Seharusnya, hak DPD sebagaimana diatur dalam Pasal
22D ayat (1) diartikan sebagai hak yang sama dengan hak yang dimiliki Presiden
dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Sebab, apabila maksud Pasal 22D ayat (1)
UUD 1945 adalah seperti yang saat ini diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009
dan UU Nomor 12 Tahun 2011, maka tentunya Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 juga
dapat dipahami demikian. Dimana apabila Presiden mengajukan Rancangan
Undang-Undang, maka rancangan undangundang tersebut diposisikan sama

56
dengan Rancangan Undang-Undang yang diusulkan anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, dan alat kelengkapan DPR. Namun dalam kenyataannya
tidaklah demikian. Oleh karena itu, cara membaca Pasal 22D ayat (1) UUD 1945
semestinya sama dengan cara membaca Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya terkait dengan pembatasan terhadap keikutsertaan DPD
dalam pembahasan Undang-Undang hanya pada pembicaraan tingkat I
sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 juga menimbulkan persoalan terkait konsistensinya dengan ketentuan
Pasal 22D ayat (2) dalam kaitannya dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Dalam
Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan,
keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang- Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.
Sebagaimana telah diuraian sebelumnya, Pasal 22D ayat (2) terkait
keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang berkenaan
dengan daerah tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Sehingga pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan DPD dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga
harus sinkron dengan maksud ketentuan tersebut.
Dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, pembahasan dan proses
mendapatkan persetujuan bersama merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan.
Hal ini karena membahas sebuah Undang-Undang adalah untuk tujuan
mendapatkan persetujuan bersama antara lembaga-lembaga yang berwenang
membentuk Undang-Undang.
Dengan keterkaitan antara Pasal 22D ayat (2) dengan Pasal 20 ayat (2)
UUD 1945, maka pembatasan keterlibatan DPD hanya sebatas pada pembicaraan
tingkat I melalui UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak dapat dibenarkan. Setidaknya
dari sudut pandang tafsir sistematis terhadap UUD 1945 sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Ketentuan Undang-Undang ini jelas tidak sesuai dengan
maksud yang diinginkan Pasal 22D ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Agar

57
norma UUD 1945 dapat dilaksanakan secara konsisten, maka keterlibatan DPD
dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tertentu tidak perlu dibatasi hanya
sampai pembahasan tingkat I saja. Melainkan DPD berhak untuk terlibat pada
semua tahap pembentukan Undang-Undang, termasuk tahap pengambilan
keputusan atau persetujuan bersama.
Dengan penjelasan di atas, membatasi keterlibatan DPD dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang hanya sebatas pada tahap I dan tidak
melibatkan DPD dalam proses pengambilan keputusan (persetujuan bersama)
adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 22D dan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Secara konstitusional, Ada 3 (tiga) masalah yaitu (i) "persetujuan
bersama" menurut Pasal 20 ayat (2) terhadap RUU tertentu [di ranah Pasal 22D
ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945] dari Presiden atau DPR; (ii) "persetujuan
bersama" menurut Pasal 20 ayat (2) terhadap RUU tertentu (Pasal 22D ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945) dari Presiden atau DPR; dan (iii) "persetujuan bersama"
terhadap RUU dari DPD di ranah Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Makna "persetujuan bersama" menurut Pasal 20 ayat (2) terhadap RUU pada
umumnya dari Presiden atau DPR; "persetujuan bersama" menurut Pasal 20 ayat
(2) terhadap RUU tertentu (di ranah Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945)
dari Presiden atau DPR; dan "persetujuan bersama" terhadap RUU dari DPD di
ranah Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 151 ayat
(3) UU MD3 diatur bahwa dalam hal RUU [dari DPD] tidak mendapat persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden, RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu.
Pada tingkat undang-undang, pemaknaan "persetujuan bersama" sebatas
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tanpa korelasi dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2)
apabila mengenai RUU tertentu. Pasal 151 ayat (3) UU MD3 dapat hanya
memenangkan Presiden kalau tidak "membayangkan" bahwa DPR-DPD dapat
bersetuju terhadap RUU ex-Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Apabila DPR-DPD
bersetuju terhadap RUU eks-Pasal 22D ayat (1) maka RUU dari DPD bukan hanya

58
menjadi RUU dari DPR melainkan justru tidak boleh dikalahkan oleh penolakan
Presiden, dalam arti bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tidak berlaku. Dalam hal
ini, berdasarkan prinsip presidensialisme, yaitu eksekutif terpisah dari legislatif,
dan prinsip bahwa keterwakilan daerah tidak ditundukkan kepada presiden-
eksekutif yang seolah-olah jadi pemilik negara kesatuan maka kemungkinan (i)
yaitu DPD+DPR versus Presiden harus dimenangkan DPD+DPR; sedangkan
berdasarkan prinsip desentralisasi (atau menolak sentralisasi) maka kemungkinan
(ii) yaitu DPD+Presiden versus DPR harus dimenangkan DPD+Presiden.
Memberikan pemaknaan baru yang lebih progresif terhadap DPD dalam
proses legislasi sangat berpotensi menjawab keprihatinan kita terhadap produk
legislasi yang kian hari kian menurun kualitasnya. Tidak hanya kualitas,
secara kuantitas, jumlah Undang-Undang yang dihasilkan DPR (dan pemerintah)
juga kian menurun. Misainya, selama tahun 2010 hanya mampu menghasilkan 13
UU dan 2011 sebanyak 24 UU. Secara kuantitas, jumlah itu jauh lebih sedikit
apabila dibandingkan dengan tahun 2008 yang menghasilkan 56 UU dan tahun
2009 yang menghasilkan 52 UU. Dengan fakta itu, memberikan kewenangan
legislasi lebih dari apa yang dilakukan saat ini sangat berpotensi menghasilkan
jumlah Undang-Undang yang lebih banyak. Apalagi, fakta lain yang terbentang di
depan kita semua, anggota DPR lebih banyak menghabiskan waktu me reka pada
fungsi di luar fungsi legislasi.

59
BAB III
SISTEM HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Sistem Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa hukum pada umumnya dimaksudkan
sebagai keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam
kehidupan bersama. Sebagai suatu sistem, hukum merupakan tatanan, merupakan
suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang
saling berkaitan satu sama lain. Menurut Sudikno Mertokusumo, sistem terdapat
dalam berbagai tingkat. Dengan demikian terdapat sistem. Keseluruhan tatanan
hukum nasional dapat disebut sistem hukum nasional. Kemudian masih dikenal
sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum administrasi, dan
sebagainya.51 Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem hukum itu berkembang sesuai
perkembangan hukum. Pandangan tentang arti atau nilai bagian-bagian seperti
peraturan, pengertian, dan asas-asas hukum akan mempenagruhi perkembangan
sistem. Meskipun demikian karena struktur memberi ciri khas sistem, maka
sistem dapat bertahan sebagai satu kesatuan.52 Sudikno Mertokusumo juga
menegaskan bahwa sistem hukum berisi konsep-konsep fundamental, suatu
konsep dasar yang digunakan sebagai dasar konsep-konsep selanjutnya, seperti
hak, kewajiban, orang, sanksi, dan sebagainya. 53
Apakah yang dimaksud dengan hukum nasional? Menurut Moh. Mahfud
M.D., hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang
yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, daar, dan cita hukum
suatu negara.54 Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan

51
Sudikno Mertokusumo, 2004, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Jogjakarta, Penerbit
Liberty, hlm. 123.
52
Ibid., hlm. 125.
53
Ibid., hlm. 126.
54
Moh. Mahfud M.D., 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta,
Penerbit LP3ES, hlm. 21.

60
hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai tujuan
negara yang bersumber pada Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
1945.55 Lebih lanjut Moh. Mahfud M.D., mempertegas bahwa sistem hukum
nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang
meliputi semua unsur hukum yang antara yang satu dengan yang lain saling
bergantung dan bersumber pada Pembukaan dan Pasal-Pasal Undang-Undang
Dasar 1945.56
Secara keilmuan lazim diterima adanya identifikasi ke dalam pembagian
keberlakuan hukum, yaitu hukum yang dicita-citakan atau yang diinginkan, atau
hukum yang telah didapati dalam rumusan-rumusan hukum tetapi belum berlaku.
Ini yang dikenal sebagai ius constituendum. Di samping itu juga dikenal adanya
ius constitutum, yaitu hukum yang berlaku atau hukum positif. Menurut Bagir
Manan, hukum positif maksudnya adalah hukum yang sedang berlaku atau
sedang berjalan, tidak termasuk aturan di masa lalu.57 Diuraikan lebih lanjut,
bahwa ditinjau dari lingkungan teritorial sebagai tempat berlaku, di Indonesia ada
2 (dua) macam hukum positif yaitu hukum positif yang berlaku di sleuruh
wilayah Negara Indonesia (nasional), dan ada yang berlaku untuk daerah atau
lingkungan masyarakat hukum tertentu atau hukum positif lokal.58 Selanjutnya,
hukum positif lokal dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: (i) hukum positif yang lahir
atau dibuat dan berlaku dalam lingkungan pemerintahan otonomi berupa
Peraturan Daerah, atau keputusan-keputusan lainnya, termasuk juga peraturan
hukum yang dibuat pada tingkat nasional tetapi hanya berlaku untuk daerah atau
wilayah tertentu. Contoh untuk yang terakhir ini misalnya undang-undang tentang

55
Bandingkan: Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 64.
56
Op.cit., hlm. 21.
57
Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia Suatu Kajian Teoritis, Jogjakarta, Penerbit
UII Press.
58
Ibid., hlm. 11.

61
pembentukan daerah otonom, undang-undang otonomi khusus, dan sebagainya;
dan (ii) hukum adat yang berlaku lingkungan masyarakat hukum teritorial atau
genalogis tertentu.59 Perlu dicatat bahwa meskipun hukum positif nasional dan
apda dasarnya hanya berlaku dalam wilayah negara Indonesia, akan tetapi dalam
keadaan tertentu dapat berlaku di luar wilayah Indonesia. Misalnya aturan-aturan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, seperti: (i) ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana di atas kapal Indonesia yang sedang
berada di luar wilayah Indonesia (Pasal 3); dan (ii) Prinsip nasionalitas, yaitu
ketentuan-ketentuan pidana Indonesia (Pasal 160, Pasal 161, dan Pasal 249),
berlaku terhadap warganegara Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar
negeri (Pasal 5). Dalam pandangan Bagir Manan, hukum positif Indonesia juga
berlaku di mana Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat (sovereignrights) atas
wilayah yang tidak lagi masuk wilayah teritorial negara Indoensia seperti Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE).60
Pembicaraan selanjutnya hanya menyangkut hukum positif saja. Sebagai
catatan awal perlu disampaikan bahwa hukum positif ditinjau dari bentuknya
meliputi hukum positif tertulis dan hukum positif tidak tertulis. Hukum positif
tertulis dapat dipilah kembali menjadi hukum positif umum dan hukum positif
khusus.
Hukum positif yang tertulis dan berlaku umum meliputi peraturan
perundang-undangan, dan peraturan kebijakan (beleidsregel, pseudowetgeving,
policy rules). Sementara itu hukum tertulis yang berlaku khusus adalah ketetapan
atau keputusan administrasi negara yang bersifat konkrit, seperti keputusan tata
usaha negara (beschikking, decree), ketetapan atau keputusan konkrit badan
kenegaraan yang bertindak untuk dan atas nama negara bukan atas nama
pemerintah (Keputusan Kepala Negara), dan ketetapan atau keputusan suatu

59
Ibid., hlm. 12.
60
Ibid., hlm. 13.

62
lembaga negara yang berwenang megangkat atau memberhentikan pejabat
lembaga negara lainnya (misalnya Ketetapan MPR mengenai Pengangkatan
Presiden dan Wakil Presiden).
Sementara itu, hukum positif tidak tertulis meliputi hukum adat, hukum
keagamaan, hukum yurisprudensi, dan hukum positif tidak tertulis lainnya. Dua
bentuk hukum tidak tertulis yang cukup berpengaruh di Indonesia adalah hukum
adat dan hukum keagamaan, dalam hal ini adalah hukum Islam (lebih khusus lagi
yang menyangkut hukum kekeluargaan dan kekerabatan, termasuk waris).
B. Hukum Adat
Terlebih dahulu akan dikemukakan pengerti adat. Ratno Lukito menulis
bahwa dalam ucapan sehari-hari adat sering diterjemahkan sebagai suatu
kebiasaan (custom) atau hukum kebiasaan, utamanya dalam referensinya sebagai
suatu tradisi hukum.61 Namun M.B. Hooker menyatakan bahwa sesungguhnya
kata adat dapat diberikan pengertian ke dalam 3 (tiga) kerangka pemahaman
sebagai berikut.62
Pertama, adat berarti hukum, aturan, ajaran, moralitas, kebiasaan,
kesepakatan, tindakan yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat, dan sebagainya.
Namun secara umum, adat artinya tingkah laku yang dipandang benar dalam
kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan orang lain maupun dengan
alam sekitarnya.
Kedua, adat diartikan sebagai terma spesifik yang digunakan sehubungan
dengan praktik kebiasaan yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu, yang ini
mencakup area yang cukup luas mulai dari Thailand Selatan hingga Filipina
Selatan, melalui gugusan pulau Malaysia dan Indoensia, di mana masing-masing
tempat adatnya sendiri tergantung dari identitas kultur dan bahasanya.

61
Ratno Lukito, 2008, Tradisi Hukum Indonesia, Jogjakarta, Penerbit Teras, hlm. 5.
62
M.B. Hooeber, 1978, Adat Law in Modern Indonesia, Kuala Lumpur, Penerbit Oxford
University Press, hlm. 50-51.

63
Ketiga, adat berarti kumpulan besar literatur dari dan tentang adat yang
diproduksi oleh para ahli, administratur, maupun ahli hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum adat merupakan salah satu jenis
hukum kebiasaan.63 Hukum adat adalah terjemahan dari adatrecht yang untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh Snouck Hurgonje dalam buku de Atjhers
(1893) dan kemudian digunakan oleh van Vallenhoven yang dikenal sebagai
penemu hukum adat dan penulis buku “Het Adtrecht van Nederlands Indie.”
Sudikno Mertokusumo merumuskan pengertian hukum adat sebagai keseluruhan
aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain
dalam keadaan tidak dikodifikasikan, singkatnya hukum adat adalah adat
kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.64
Pendapat Sudikno Mertokusumo itu serupa dengan pendapat Kusumadi
Pudjosewojo, yang mencoba memahami istilah hukum adat dari perspetif perannya
yang lebih aktual dalam proses kreasi hukum yang berlangsung dalam masyarakat.
Berikut ini dikutipkan pendapat Kusumadi Pudjosewojo secara lengkap sebagai
berikut:
Sangat dimungkinkan bahwa pada mulanya suatu tindakan diikuti
oleh suatu kebiasaan yang kemudian berangsur-angsur tertanam
dalam masyarakat, yang karenanya memberikan perasaan kepatutan,
dan yang pada akhirnya tindakan tersebut menjadi adat.[Jadi] adat
pada dasarnya diturunkan dari rasa kepatutan, yang karenanya
masyarakat merasa wajib untuk menaatinya. 65

Berbeda dengan Pudjosewojo, Hazairin lebih mengkaji adat dari dimensi


etika. Menurut Hazairin, adat tidak lain adalah sedimen etika dalam suatu
masyarakat, sehingga adat mencakup juga berbagai nilai etika yang ada di dalam
masyarakat, meskipun tidak begitu jelas apakah nilai-nilai etika itu berbeda dari

63
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, hlm. 108.
64
Ibid.
65
Kusumadi Pudjosewojo, 1993, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika, hlm. 42.

64
kandungan normatif adat sebagaimana yang diungkapkan oleh Kusumadi
Pudjosewojo.66
Sementara itu, Ter Haar menerima adat sebagaimana yang diputuskan oleh
pemuka adat sebagai suatu institusi hukum. Jadi, adat merupakan hukum jika
sepanjang ia diekspresikan oleh fungsionaris dalam masyarakat yang memiliki
otoritas sehingga ia mendapatkan pengakuan yang formal.67 Menurut Soepomo,
adat adalah hukum yang merefleksikan rasa keadilan masyarakat dalam keseharian
mereka.68
Dari berbagai definisi oleh sementara sarjana di atas mengesankan tidak
ada definisi yang tunggal mengenai apa yang dimaksudkan dengan adat tersebut.
Selanjutnya, ada penggalan-penggalan pemahaman itu yang menunjukkan bahwad
diperlukan suatu ukuran, kapankan adat itu merupakan hukum atau tidak
merupakan hukum, dengan lain kata, ada adat yang merupakan hukum dan ada
juga adat yang merupakan kebiasaan belaka.
Djojodigoeno tidak mau terlibat dalam polemik semacam itu, tetapi hanya
menegaskan bahwa percakapan mengenai hukum adat harus dilandasi oleh
dimensi formal dan aspek material. Dalam dimensi formal, hukum adat adalah
hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang tidak diderivikasikan dari hukum tertulis.
Sedangkan dimensi materialnya, hukum adat adalah sistem norma yang
mengekspresikan keadilan dalam hubungan sosial masyarakat. Formalisasi hukum
adat juga menyangkut keputusan-keputusan dari para fungsionaris adat dalam
masyarakat, sementara sisi material hukum adat adalah apa yang secara dominan
ditemui dalam kebiasaan masyarakat itu sendiri.69

66
Hazairin, dalam Ratno Lukito, op.cit., hlm. 7.
67
Ter Haar, dalam Ibid., hlm. 15.
68
Soepomo, 2000, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, hlm.
3.
69
Djojodigoeno, 1958, Asas-Asas Hukum Adat (Catatan Kuliah), hlm. 7-8.

65
Selanjutnya timbul pertanyaan, bagaimanakah keterkaitan hukum adat
dengan hukum positif? Pengalaman penjajahan Belanda dengan antara lain
mewariskan tradisi hukum Barat, telah berhasil menanamkan model hukum dan
institusi hukum Eropa di tanah air. Pelestarian tradisi ini adalah akibat
kekhawatiran elit politik akan terjadinya kekosongan hukum jika hukum yang
berasal dari tradisi kolonial terlalu cepat dihapuskan. Karena itu tidaklah
mengherankanjik abanyak hukum Belanda masih tersisa dan mempunyai kekuatan
dalam alam Indonesia merdeka, meskipun semangat menasionalisasi institusi
hukum cukup mengemuka.
Kenyataan tersebut boleh jadi merupakan keputusan yang disengaja oleh
sebagian elit politik yang menganggap kekosongan di masa-masa awal
kemerdekaan akan mengundang kekacuan. Inilah sebabnya semenjak awal
konstitusi dirancang untuk memperkenankan “hukum status quo” selama masih
sesuai dengan hukum baru. Pola ini terus berlanjut, terlepas dari perubahan
konstitusi yang diharuskan karena perubahan sistem politik.
Berbagai konstitusi yang berlaku dan pernah berlaku, seperti Undang-
Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang-Undang
Dasar Sementara, memiliki rumusan yang sama terkait dengan perlunya mengacu
pada peraturan dan lembaga-lembaga sebelumnya selama undang-undang atau
regulasi baru belum ditetapkan.70 Ketika pada pertengahan abad 19 sampaipun
awal abad 20 ini pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memberlakukan
hukum perdata Belanda (yang telah dikodifikasikan menurut model hukum
kodifikasi Napoleon itu), reaksi-reaksi timbul dengan kerasnya dari beberapa
kalangan sarjana Belanda yang berwawasan sosiologik dan penganut madhab
historik. Van Vollenhoven mencanangkan pendiriannya yang berbunyi "geen
juristenrecht voor de Inlanders" (tidak akan ada hukum yang cuma bisa dimengerti

70
Lihatlah substansi ketentuan peralihan sebagaimana Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945, Pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, dan Pasal 142 Undang-Undang Dasar
Sementara 1950.

66
pakar-pakar hukum bisa diterapkan untuk rakyat pribumi yang dalam
kehidupannya sehari-hari telah memiliki tatacara hukumnya sendiri). Lebih
pantaslah kiranya apabila hukum rakyat (yang oleh Snouck-Hurgronje dan
diteruskan oleh van Vollenhoven disebut 'hukum adat') direkam dan dipelajari
terlebih dahulu sebelum dibentuk ke dalam hukum undang-undang dan kemudian
dikodifikasikan, guna memedomani tindakan-tindakan hukum rakyat itu sendiri.
Penerus Van Vollenhoven, ialah ter Haar dan para muridnya yang belajar
di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu bernama
Rechtshogeschool te Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-
kaidah sosial (adat) komunitas-komunitas dengan sanksi-sanksi. Hasil-hasil kerja
di lapangan itu dicatat dan diterbitkan dalam buku-buku dan majalah-majalah
hukum, dan acapkali (walaupun tidak diresmikan sebagai kodifikasi) dipakai
sebagai rujukan oleh hakim-hakim pengadilan negeri yang harus mengadili
perkara-perkara antara orang-orang pribumi. Berkat perjoangan Van Vollenhoven
dan ter Haar serta para penerusnya itu, pada jaman Hindia Belanda itu hukum
negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial pemerintah kolonial) menjadi
tidak -- atau tidak banyak -- menyimpang dari hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat.
Dari uraian-uraian yang dipaparkan di muka itu terkesanlah bahwa hukum
negara yang tertulis di kitab-kitab dan dokumen-dokumen -- yang dulu disebut
hukum kolonial dan yang kini disebut hukum nasional -- itu tidak selamanya
mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut rakyat setempat di dalam
kehidupan sehari-harinya. Tidak dipahami hukum negara oleh rakyat yang
berbagai-bagai itu terkadang bukan pula disebabkan oleh ketidaksadarannya
melainkan juga sering karena ketidaksediaannya. Kenyataan seperti itu
sesungguhnya mencerminkan pula telah terjadinya apa yang disebut cultural
gaps (bahkan mungkin juga cultural conflict). Isi kaidah yang terkandung dalam
hukum negara dan yang terkandung dalam hukum yang dianut rakyat tak hanya
tak bersesuaian satu sama lain melainkan juga acap bertentangan.

67
Pengalaman "mendamaikan" isi kandungan hukum antara hukum yang
diberi sanksi negara dengan hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah sosial
yang tersosialisasi dan diyakini oleh warga masyarakat-masyarakat lokal)
sebagaimana diperoleh pada jaman kolonial -- dan sedikit banyak boleh dibilang
sukses -- itu ternyata justru sulit dilaksanakan pada zaman kemerdekaan.
Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan
paham partikularisme pada zaman kolonial terkesan tidak hendak diteruskan pada
zaman kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk "menyatukan" Indonesia sebagai
satu kesatuan politik dan pemerintahan telah berkecenderungan untuk
mengabaikan fakta kemajemukan hukum rakyat yang berformat lokal. Alih-alih,
yang menguat adalah justru kebijakan unifikasi dan kodifikasi, dengan efek akan
digantikannya hukum rakyat yang beragam itu dengan hukum nasional yang satu,
yang berlaku dari Sabang sampai ke Merauke, dari Pulau Miangas sampai ke
Pulau Rote.
Di sini kebijakan hukum nasional ditantang untuk bisa merealisasi dengan
segera cita-cita untuk memfungsikan hukum nasional yang berformat sebagai
hukum undang-undang itu sebagai kekuatan pembaharu, yang secara efektif dapat
mendorong terjadinya perubahan kehidupan, dari wujud masyarakat-masyarakat
lokal yang berciri agraris dan berskala-skala lokal ke kehidupan-kehidupan baru
yang lebih berciri urban dan industrial, dalam format dan skalanya yang nasional
(dan bahkan kini juga global). Dari sini pulalah dianutnya doktrin baru untuk
memfungsikan hukum undang-undang sebagai sarana pembaharuan dalam rangka
pembangunan nasional, yang dipopulerkan Prof. Mochtar Kusumaatmadja sebagai
asas pragmatik kegunaan law as a tool of social engineering.
Karena perubahan cita-cita itu acapkali bermula dari cita-cita para
pemegang kendali kebijakan pemerintahan, sedangkan kesetiaan warga
masyarakat pada umumnya (khususnya dari lapisan bawah yang kurang terdidik
secara formal) lebih terlanjut ke nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang
dikukuhi secara konservatif di dalam komunitasnya, maka terjadilah di sini

68
tegangan -- yang terasa saling memaksa atau menekan -- antara pemerintah beserta
para elit pendukungnya dengan lapis-lapis masyarakat awam.
Pengendali kebijakan negara mencita-citakan perubahan ke arah pola
kehidupan yang baru, modern, industrial dan berkesetiaan nasional. Sementara itu
sedangkan masyarakat awam, lebih-lebih pada tahap-tahap awalnya, pada
dasarnya dan pada umumnya cenderung bersikap konservatif, untuk lebih suka dan
lebih banyak menyuarakan suara ragu akan manfaat dan kebajikan perubahan itu.
Soepomo, seorang doktor hukum lulusan Leiden dan tokoh yang
pemikirannya begitu mengemuka dalam kerangka penyusunan undang-undang
dasar pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia atau
BPUPKI, pernah mencoba mengusulkan cita bernegara yang berlandaskan adat
sebagai sumber untuk menyelaraskan sistem hukum dan karakter bangsa. Dia
menganjurkan genealogi hukum asli Indonesia untuk organisasi negara dan
struktur sosialnya. Baginya, prinsip adat yang komunal merupakan sesuatu yang
essensial, karena filosofi liberalisme dan komunisme Barat adalah hal yang asing
bagi struktur sosial komunitas adat pribumi. Oleh karena itu, cita bernegara,
falsafah bangsa, harus bercorak integralistik, yang mencakup segala hal, di mana
Indonesia digambarkan sebagai keluarga besar dengan segala unitnya (yaitu
keluarga-keluarga individual) yang bekerja untuk membentuk sebuah negara. 71
Tetapi Soepomo menolak porsi perimbangan yang lebih besar antara
pemerintah dengan masyarakat. Meskipun corak integralistik dalam pemikiran
yang ditawarkan sebagai dasar negara itu berlandaskan hukum adat, tetapi dengan
penolakan itu, Soepomo masih terpengaruh positivisme Barat, yang menempatkan
negara sebagai aktor tunggal pembentukan hukum. Hal ini dibuktikan dengan
kenyataan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) menempatkan
Presiden sebagai pemegang kekuasaan yang lebih besar dibandingkan badan-

71
Lihat Moh. Mahfud M.D., 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jogjakarta,
Penerbit Liberty, hlm. 38-40.

69
badan negara lainnya.72 Bahkan Hamid S. Attamimi menyebutkan Presiden
merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sehari-hari.73
Dengan adanya manajemen masa transisi melalui ketentuan peralihan
konstitusional sebagaimana dikemukakan di atas, maka pola pembentukan hukum
nasional pun berpijak kepada tradisi hukum negara. Ketika hukum negara menjadi
pedoman pembentukan hukum, semua tradisi yang ada dalam masyarakat harus
dipahami menurut kriteria negara. Dalam konteks demikian hukum adat dipaksa
tunduk kepada satu nilai yaitu hukum negara. Dengan kata lain, sekalipun hukum
adat menjadi salah satu sumber pembentukan hukum, tetapi hukum adat tidak bisa
terlibat dalam prinsip dan tujuan negara modern. Pada posisi semacam ini sifat
kemajemukan hukum adat yang terbuka terhadap berbagai intepretasi telah
tersingkirkan demi mendorong agar hukum adat bisa menyesuaikan diri dengan
ideologi keseragaman (unifikasi) hukum negara.
C. Hukum Keagamaan
Mempelajari hukum keagamaan sebagai hukum positif tidak tertulis di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari hukum adat. Banyak pandangan yang menilai
bahwa salah satu ciri hukum adat adalah kemampuannya untuk terbuka bagi
perubahan. Ciri tersebut menyebabkan hukum adat menerima dengan positif
tradisi hukum lain yang juga berpengaruh dalam masyarakat.
Hal ini terbukti terutama dalam kasus pertemuan hukum adat dengan
hukum keagamaan, khususnya Islam. Ratno Lukito melukiskan pertemuan itu ke
dalam paparan sebagai berikut74:
Semenjak datangnya hukum Islam ke Nusantara, hubungan antara
hukum adat dan hukum Islam bahkan dianggap sebagai sarana untuk

72
Bandingkan dengan Muhammad Ridwan Indra, 1998, Kedudukan Presiden Menurut
Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Penerbit C.V. Trisula.
73
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan
Negara, disertasi doktor ilmu hukum, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 57-
64.
74
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler..., op.cit., hlm. 69.

70
menyempurnakan adat itu sendiri. Bahkan ketika usaha Islam untuk
menarik pengiktu baru berada pada titik puncaknya, tidak ada
perlawanan institusional yang dilakukan pemangku adat atau
komunitas adat secara keseluruhan, sehingga hukum Islam malah
kemudian dianggap sebagai bagian dari hukum adat itu sendiri.

Pembicaraan hukum keagamaan dalam konteks hukum positif Indonesia


dikaitkan dengan tradisi hukum Islam. Bukankah di Indonesia juga diakui agama
lain selain Islam? Menurut Moh. Mahfud M.D., agama selain Islam memang telah
memiliki filsafat atau asas-asas hukum yang baik, tetapi belum pada tataran
norma sehingga tidak dapat dioperasionalisasikan di pengadilan.75 Walaupun
aspek hukum Islam sangat luas ditinjau dari segi substansinya, akan tetapi pada
umumnya dalam lapangan hukum kekeluargaan merupakan substansi yang
dianggap paling sakral.
Tetapi karena pijakan utama pembentukan hukum nasional adalah hukum
negara, melalui mekanisme peraturan perundang-undangan, maka hukum Islam
pun mengalami nasib yang mirip dengan hukum adat. Positivisasinya amat
tergantung kepada pemerintah. Seperti pendapat Bagir Manan, hukum keagamaan
menjadi hukum positif, jika diakui menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau berdasarkan kebijakan pemerintah.76
Meskipun demikian, dewasa ini telah lahir produk-produk hokum
nasional yang bernuansa Islami, seperti halnya:
a. Lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada pasal 1 ayat (12),
Pasal 6 huruf (u), pasal 7 huruf c, pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), pasal 11 ayat
(1) dan ayat (4a), dan pasal 13 ayat (1) huruf c.
b. Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang semakin
memperkuat kedudukan kegiatan ekonomi syari’ah di Indonesia.

75
Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, hlm. 365.
76
Bagir Manan, op.cit., hlm. 31.

71
c. Lahirnya UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji;
d. Lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
e. Lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam
yang memberi otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh untuk
menerapkan syari’at Islam, hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam
telah terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam.
f. Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 sebagai hasil amandemen terhadap UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memberikan
kewenangan baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Dalam
perjalanannya amandemen undang-undang ini tidak menemui hambatan
yang berarti dibandingkan dengan lahirnya undang-undang sebelumnya.
Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup
menguntungkan posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M
dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus
mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura,
merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam oleh pemerintah kolonial
Belanda. Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan
oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1927).
Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang
dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukum Islam-
lah yang berlaku baginya. Dengan adanya teori receptio in Complexu maka
hukum Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan
orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang
gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah
mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven
(1874-1933) dan C.S. Hurgronje (1857-1936) yang dikemas dalam konsep
Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie, menurut teori ini
hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi

72
hukum adat yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim provokatif
dan distorsif ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika
itu, oleh karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis”. 77
Dengan adanya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan
untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi
(usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad No. 116 Tahun 1937 yang berisi
pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah waris dan
lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kewenangannya kepada
Landraad (Pengadilan Negeri).78
Dalam hal ini sangat menarik untuk menyimak apa yang
dikemukakan oleh Bustanul Arifin bahwa prospek hukum Islam dalam
pembangunan hukum nasional sangat positif karena secara kultural, yuridis dan
sosiologis memiliki akar kuat. Menurutnya, Hukum Islam memiliki serta
menawarkan konsep hukum yang lebih universal dan mendasarkan pada
nilai-nilai esensial manusia sebagai khalifatullah, bukan sebagai homo
economicus.79
Demikianlah sekelumit pembahasan mengenai hukum adat dan hukum
keagamaan, terutama hukum perdata Islam, yang secara praksis memberikan
pengaruh terhadap sistem hukum nasional. Menurut Sudikno Mertokusumo,
sistem hukum merupakan sistem yang terbuka, dalam arti dipengaruhi dan
mempengaruhi sistem-sistem lain di luar hukum.80 Tidak mengherankan apabila

77
Suhartono, “Aktualisasi Hukum Islam dalam Masalah Perkawinan dan Kewarisan
di Indonesia (Suatu Perspektif Sosio Kultural Historis)”, Jurnal Mimbar Hukum No. 54 Thn XII,
Al-Hikmah, September-Oktober 2001, hal. 55.
78
Mahsun Fuad, 2005, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, LKiS, Yogyakarta, hal. 53.
79
Ichtijanto, 1994, Pengembangan Teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, dalam
Hukum Islam di Indonesia, Bandung, Penerbit Remaja Rosdakarya cet. ke-2, hIm. 16-17.
80
Op.cit., hlm. 124.

73
diantara sistem-sistem hukum itu terdapat persamaan sekaligus pembedaan. Ciri-
ciri yang sama inilah yangkemudian menjadi dasar pengklasifikasian sejumlah
sistem itu ke dalam suatu keluarga sistem hukum (parent legal system).
Dalam teori hukum umum disebut adanya 3 (tiga) keluarga sistem
hukum yaitu (i) civil law system; (ii) common law system; dan (iii) socialist law
system. Perlu dicatat bahwa sistem yang ketiga, yaitu socialist law system,
disinggung secara khusus dalam banyak tulisan karena dianggap merupakan akar
pada civil law system. Di luar kelompok itu ada kategori lain yang dianggap
khusus, yaitu sistem hukum bertradisi campuran. Tetapi Peter de Cruz
menganggap klasifikasi yang demikian itu terlalu oversimplified karena mengingat
sistem-sistem hukum yang mengisi bagian-bagiannya juga begitu banyak.81 Peter
de Cruz menyebut ada sekitar 42 sistem hukum yang mempunyai karakteristik
sendiri, yang berarti pengelompkkan ke dalam 3 (tiga) keluarga sistem hukum di
atas terlalu sedikit. Namun saya berpendapat, keluarga civi law system dan
keluarga common law system pada asasnya merupakan keluarga sistem hukum
yang paling sering dijumpai dalam kategori klasifikasi sistem hukum.
Ada banyak kriteria untuk menganalisis perbedaan dan persamaan civil
law system dan common law system. Tetapi dalam tulisan ini saya akan
menggunakan satu saja yang dianggap terkait dengan isu utama karya tulis ini,
yaitu dari sudut peran fungsionaris hukum. Sistem hukum Civil Law mulai
muncul pada abad ke t igabelas dan sejak saat itu senant iasa mengalami
perkembangan, perubahan atau dengan istilah lain menjalani suatu evolusi.
Selama evolusi ini ia mengalami penyempurnaan, yaitu menyesuaikan kepada
tuntutan dan keperluan masyarakatnya yang berubah.
Evolusi terhadap sistem hukum ini adalah sangat terkait dengan
perubahan masyarakat internasional, yaitu terjadinya hubungan antara negara

81
Peter de Cruz, 1995, Comparative Law in A Changing World, London: Cavendish
Publishing Ltd., hlm. 3.

74
yang lebih seimbang. Beberapa ciri pent ing yang menandai perkembangan ini
adalah :
1. Bangkitnya kesadaran masyarakat bangsa-bangsa akan makna kemerdekaan,
kesederajatan, dan ker ja sama antar bangsa. Ciri ini ditandai oleh
makna gerakan kemerdekaan kebanyakan negara dari penguasaan
kolonialisme. Pada tahun 1945, masyarakat internasional telah menjadi suatu
komunitas bangsa-bangsa yang merdeka. Ketika itu PBB telah dibangun
oleh 51 negara, yang pada tahun 1992 telah menjadi 166 negara.
2. Berubahnya orientasi masyarakat internasional dari perluasan kekuasaan
oleh negara-negara kolonial pada pra perang dunia II ke arah kerja
sama, pembangunan kesejahteraan, dan pembangunan ekonomi global.
Kegiatan perekonomian yang pada pra perang dunia II didominasi oleh
perusahaan-perusahaan perdagangan privat atau oleh kekuasaan
kolonialisme dan kekuatan militer, pada pasca perang dunia II telah
melibatkan perhatian dan kepentingan negara-negara berdaulat karena
lebih bersifat publik. Perkembangan ini ditandai oleh meluasnya
partisipan kegiatan ekonomi ke kawasan Asia Afrika dan Asia Pasifik,
yang sebelum perang dunia II lebih terpusat di kawasan Eropa Barat dan
Amerika Utara.82
Menurut Shidarta, sejalan dengan ditempatkannya undang-undang
sebagai sumber hukum utama dalam keluarga civil law, maka dengan sendirinya
pembentuk undang-undang mempunyai peranan penting untuk menteapkan corak
sistem hukum positif negara tersebut. Pada forum legislatif inilah semua konsep
hukum itu dibicarakan untuk kemudian digunakan sebagai panduan bagi para
hakim dalam memecahkan kasus-kasus konkrit di pengadilan. Dalam konteks ini
pembentuk undang-undang dituntut berpikir komprehensif agar semua kasus yang

82
I. B. Wyana Putra. 1993 , Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Penerbit
Remaja Rosdakarya, Hlm. 116.

75
dipersepsikan akan muncul di kemudian hari dapat tercakup dalam pengaturan
undang-undang itu. Dimensi nilai keadilan (Gerechtigkeit) dan kemanfaatan
(Zwegmatigkeit) dipersepsikan sudah diletakkan jauh-jauh hari tatkala undang-
undang itu dirumuskan oleh wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif.83
Selanjutnya Sidharta melukiskan, bahwa dalam sistem common law
keaktifan justru datang dari para hakim. Dalam pencarian sumber hukum,
perhatian mereka terutama bukan pada undang-undang tetapi lebih kepada
konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-udnang
yang menjadi sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan untuk menemukan
hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari pandangan
subyektifnya atas kasus yang dihadapi. Cara berpikir semacam ini mengarahkan
hakim untuk meletakkan nilai kemanfaatan (Zwekmagkeit) pada tempat pertama.
Kemanfaatan di sini tentu pertama-tama dilihat dari optik kepentingan para pihak
yang bersengketa, namun di konsep “pihak” di sini dapat saja diperluas, khususnya
dalam sengketa hukum publik.84
Sekalipun secara keilmuan, sistem hukum civil law dan sistem hukum
common law dapat ditelaah ciri-cirinya, tetapi dalam tataran praktis nampaknya
sudah terjadi pencangkokan satu sama lain. Moh. Mahfud M.D., ketika menelaah
Undang-Undang Dasar 1945, mengambil kesimpulan bahwa tradisi hukum, yang
terperi ke dalam konsep negara hukum, telah diwarnai campur aduk oleh kedua
konsep tersebut, yang secara spesifik bersintetis sebagai Negara Hukum
Pancasila.85
Sintesis yang demikian, sekalipun untuk lingkungan masyarakat
Indonesia merupakan kejamakan, tetapi bukannya tanpa risiko, antara lain dalam

83
Sidharta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan,
Bandung: Penerbit C.V. Utomo, hlm. 164-165.
84
Ibid., hlm. 165.
85
Moh. Mahfud M.D., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jogjakarta, Penerbit
Gama Media, hlm. 138.

76
latar persepsi para penegak hukum dalam penyelesaian perkara hukum konkrit.
Menurut Moh. Mahfud M.D., tidak jarang para penegak hukum yang sama
bersikap tidak konsisten dengan memilih yang berbeda-beda untuk kepentingan
perkara yang berbeda. Untuk satu kasus misalnya dia mengutamakan Undang-
Undang, sehingga kepastian hukum diutamakan karena dengan itu perkara dapat
diselesaikan. Tetapi untuk perkara yang lain, atas nama kemanfaatan dan keadilan,
yang bersangkutan menolak undang-undang yang masih berlaku karena dinilainya
tidak sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat.86 Sintesis yang demikian kiranya
amat berpengaruh dalam penyusunan sistem hukum nasional.
Apakah yang dimaksud dengan hukum nasional? Menurut Moh. Mahfud
M.D., hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang
yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, daar, dan cita hukum
suatu negara.87 Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan
hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai tujuan
negara yang bersumber pada Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
1945.88 Lebih lanjut Moh. Mahfud M.D., mempertegas bahwa sistem hukum
nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang
meliputi semua unsur hukum yang antara yang satu dengan yang lain saling
bergantung dan bersumber pada Pembukaan dan Pasal-Pasal Undang-Undang
Dasar 1945.89 Lebih lanjut diuraikan bahwa sejalan dengan Lawrence dalam
memandang politik hukum, yaitu sistem hukum akan berkembang dan berubah
sesuai dengan kemajuan bangsa dan negara, atau konstruksi politik negara. Moh.
Mahfud M.D. juga menunjukkan bahwa salah satu unsur penting dari konstruksi

86
Ibid., hlm. 139.
87
Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, op.cit., hlm.
21.
88
Bandingkan: Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 64.
89
Op.cit., hlm. 21.

77
politik yang harus menjiwai sistem hukum adalah falsafah dasar negara dan
pandangan hidup bangsa.90 Dalam pandangan Prof. Notonagoro, Pembukaan UUD
1945 adalah landasan dasar atau staatsfundamentalnorms bagi sistem hukum
Indonesia, Bung Karno sebagai pencipta Pancasila bahkan menamakan dasar
negara tersebut sebagai weltanschaaung bagi bangsa Indonesia.
Dalam kerangka yang lebih makro, di Indonesia terdapat 3 (tiga) tradisi
hukum yaitu hukum adat pribumi, hukum Islam, dan hukum Barat (khususnya
pengaruh Belanda). Hukum adat pada dasarnya merupakan tradisi hukum yang
diikuti oleh masyarakat karena ia terbentuk berdasarkan nilai-nilai normatif yang
mengakar mendalam sejak dulu sesuai dengan rasa keadilan dan harmoni
masyarakat setempat. Di sisi lain, hukum Islam dan hukum Barat (lebih spesifik
dalam lapangan hukum perdata), adalah dua tradisi yang diimpor ke Nusantara
saat terjadinya penyebaran Islam dan kolonialisasi Belanda. Hukum Islam
dianggap hukum sakral karena berasal dari ajaran agama Islam, sementara Hukum
Barat merupakan tradisi Barat yang menancap pada masyarakat Indonesia,
sekalipun kolonialisasi sudah lewat.
Menurut Ratna Lukito, kesuksesan menanamkan tradisi hukum impor
itu sendiri adalah sebuah kesaksian atas proses asimilasi dan akulturasi yang lama
dan terus menerus dari norma-norma dan nilai-nilai asing dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat pribumi. Jadi, meskipun hukum adat sudah ada sejak manusia
datang ke kepulauan Nusantara ini, hukum Islam dan hukum Barat dengan cepat
beradaptasi dengan kondisi setempat, dan pluralisme hukum telah menjadi
kenyataan hidup semenjak lama sebelum terbentuknya negara Indonesia itu
sendiri.91
Tetapi Bagir Manan tidak mempersoalkan adanya pluralisme hukum
tersebut, karena meskipun hukum adat dan hukum Islam tetap diakui dan dalam
90
Ibid., khususnya Bab I sampai dengan Bab III.
91
Ratna Lukito, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan
Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka Alvabet, hlm. 9.

78
bidang-bidang tertentu masih diterima sebagai hukum positif yang dipertahankan
di dalam maupun di luar peradilan, tetapi dalam kerangka sistem hukum nasional
pengaruh sistem Hukum Barat, yang kentara pengaruh civil law system-nya,
menempati urutan utama. Sistem hukum di masa dpean akan lebih bertumpu pada
sistem hukum tertulis yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.92
Mengenai eksistensi hukum adat dan Hukum Islam, Bagir Manan menulis dalam
karangan lain sebagai berikut:
Asas-asas dan kaidah hukum adat dan hukum Islam secara berangsur-
angsur akan terserap ke dalam sistem hukum nasional yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan atau sekurang-
kurangnya ditetapkan sebagai bagian dari hukum positif oleh
berbagai peraturan perundang-undangan. Tetapi sama sekali tidak
berarti di masa depan tidak akan ada lagi kaidah-kaidah hukum tidak
tertulis. Hukum tidak tertulis akan tetapi hadir atau tumbuh baik
dalam bentuk hukum adat baru, penerimaan masyarakat atau Hukum
Islam, yang belum ditransformasikan ke dalam sistem hukum tertulis
serta berbagai hukum tidak tertulis yang bersumber pada
yurisprudensi.93

Dengan menyadari kedinamisan sifat dari sistem hukum, maka akan


mendorong untuk munculnya definisi ‘hukum’ yang lebih pon-ended, sehingga
bisa mencakup semua tatanan normatif yang berasal sumebr manapun. Dengan
begitu istilah hukum dengan sendirinya bisa diterapkan kepada bermacam-macam
norma sosial yang diproduksi oleh tatanan normatif, dan norma apapun yang
dipertahankan dalam bidang kehidupan masyarakat bisa dianggap mencerminkan
manifestasi hukum.

92
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, Penerbit Ind
Hill Co, hlm. 7.
93
Bagir Manan,”Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional”,
makalah yang disampaikan pada Pendidikan Singkat “Kajian Perundang-undangan: Pendekatan
Teoritis dan Praktek” untuk para pengajar Fakultas Hukum se-Sumatera di Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang, tanggal 11-18 Oktober 1993, hlm. 8.

79
D. Peraturan Perundang-undangan
Di dalam literatur maupun praktik, istilah peraturan perundang-
undangan digunakan secara beraneka ragam. Istilah perundang-undangan,
digunakan bergantian antara perundang-undangan dan peraturan perundangan.
Menurut Amiroedin Syarif, ada 2 (dua) alasan mengapa istilah-istilah itu
digunakan secara tidak konsisten, yaitu: (i) untuk menjelaskan konteks yang
berbeda-beda, termasuk di dalamnya untuk menejalskan beragam bentuk dan jenis
perundang-undangan; dan (ii) untuk menentukan tingkatan atau hierarki dari
perundang-undangan, dan juga untuk mengetahui proses pembentukannya. 94
Menurut Philipus M. Hadjon, istilah peraturan perundang-undangan
digunakan dalam pengertian yang sangat luas, meliputi Undang-Undang Dasar,
legislasi, dan regulasi (delegated regulation).95 Dalam pandangan Philipus M.
Hadjon, penyebutan istilah peraturan perundang-undangan dalam pengertian yang
begitu luas bukan baru pertama kali, seperti sudah dianut dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan.96 Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tidak memberikan
pengertian yang tegas mengenai peraturan perundang-undangan. Istilah
“peraturan” jelas merujuk pada aturan hukum, namun istilah perundang-undangan
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, jelas tidak merujuk istilah undang-
undang. Bagaimanapun, undang-undang dalam hukum tata negara Indonesia telah
digunakan secara khas sebagaiamana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang.

94
Amiroeddin Syarif, 1997, Perundang-undangan (Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya),
Bandung, Penerbit Rineka Cipta, hlm. 4-6.
95
Philipus M. Hadjon, “
96
Ibid., hlm. 3.

80
Oleh karena itu, istilah “peraturan perundang-undangan” dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ruang lingkupnya sangat luas. Hal ini
dapat dicermati dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (4). Ketentuan Pasal 7
ayat (1) mengatur jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, yang terdiri
dari: (i) Undang-Undang Dasar 1945; (ii) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden;
dan Peraturan Daerah (meliputi Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa). Sementara itu, ketentuan Pasal 7 ayat (4)
pada intinya menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan selain yang
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Oleh karena itu, seperti dituturkan oleh Philipus M. Hadjon,
judul Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dapat diganti dengan Undang-
Undang tentang Pembentukan Aturan Hukum. Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 sendiri mendefinisikan peraturan perundang-
undangan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004,
dimasukan berbagai jenis Keputusan Lembaga Negara dalam hierarki peraturan
perundang-undangan apabila diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.
Permasalahannya adalah, apakah ketentuan yang diperintahkan oleh sesuatu
yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang jelas-jelas tercantum
dalam hirarkhi? Pasal 54 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 berbunyi
“Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan
Pimpinan MPR dan Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD,
Keputusan Ketua MA, Keputusan Ketua MK, Keputusan Kepala/Ketua BPK,
Keputusan Gubernur BI, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan,
Lembaga atau Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD
Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau

81
yang setingkat, harus berpedoman pada teknik penyusunan dan atau bentuk
yang diatur dalam undang-undang ini “. Penjelasan Pasal 54 mengisyaratkan
“Ketentuan dalam pasal ini menyangkut ketentuan di bidang administrasi di
berbagai lembaga yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan dan
dikenal dengan keputusan yang bersifat tidak mengatur .”
Menurut Bagir Manan, peraturan perundang-undangan merupakan
keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah
laku yang bersifat dan mengikat secara umum. 97 Maksud bersifat dan berlaku
umum yaitu tidak mengidentifikasikan individu tertentu bagi setiap subyek hukum
yang memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai pola
tingkah laku tersebut. Dalam kenyataan, terdapat juga peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk kelompok orang tertentu, obyek tertentu, daerah dan
waktu tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian mengikat secara umum pada
saat ini sekadar menunjukkan tidak menentukan secara konkrit (nyata) identitas
individu atau obyeknya.
Mengutip P.J.P Tak, Bagir Manan dan Kuntana Magnar
menggambarkan bahwa unsur-unsur yang termuat dalam peraturan perundang-
undangan adalah sebagai berikut:98
1. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis;
2. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan
(badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku
umum atau mengikat umum (algemeen);
3. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tetapi tidak selalu
harus mengikat semua orang. Mengikat umum bermakna bahwa peraturan
perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkrit atau individu
tertentu.
97
Bagir Manan, Dasar-Dasar...., hlm. 24.
98
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara,
Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 125.

82
Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, peraturan perundang-undangan
adalah keseluruhan susunan hirarkis peraturan perundang-undangan yang
berbentuk undang-undang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan
peran lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun yang
melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam melaksanakan
produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama
dengan pemerintah menurut tingkatannya masing-masing.99 Di samping itu,
termasuk peraturan perundang-undangan adalah segala perangkat peraturan yang
tingkatannya di bawah undang-undang dan dimaksudkan untuk melaksanakan
ketentuan yang termuat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dianutnya ajaran pemisahan
kekuasaan legislatif dan eksekutif secara tegas, maka para pejabat yang dapat
dianggap memiliki kewenangan demikian adalah presiden, menteri, dan pejabat
setingkat menteri.100
Maria Farida Indrati Soeprapto menyebut peraturan perundang-
undangan dalam 2 (dua) istilah.101 Pertama, peraturan perundang-undangan
merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan
negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kedua, perundang-
undangana dalah segala peraturan peraturan negara, yang merupakan hasil
pembentukan peraturan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Dengan demikian kedua pengertian itu menempatkan peraturan perundang-
undangan dalam pengertian sebagai proses membentuk peraturan maupun macam-
macam peraturan yang ditetapkan dalam bentuk peraturan negara.

99
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta, Penerbit
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 326.
100
Ibid., hlm. 327.
101
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Jogjakarta, Penerbit
Kanisius, hlm. 14.

83
a. Bentuk Peraturan Perundang-undangan
Secara keilmuan, pembahasan mengenai bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konsep hirarki
norma hukum. Konsep ini menunjuk kepada pandangan Hans Kelsen yang
terkenal dengan sebutan teori hirarki norma hukum (stufenbau de rechts) atau
ada yang menyebut dengan stufenbau theorie. Menurut Yuliandri, teori
tentang hirarki norma hukum setidaknya akan dapat memberikan pemahaman
dan memudahkan dalam mengidentifikasi, serta melihat berbagai problematik
dalam sistem peraturan perundang-undangan.102
Teori tersebut mengandung ajaran- ajaran sebagai berikut:
1. Dasar berlakunya dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang ada
di atasnya (dari bawah ke atas), atau
2. Suatu norma yang menjadi dasar berlakunya dan legalitas norma yang ada
di bawahnya (dari atas ke bawah)
3. Secara acak, diambil dua norma saja, bisa dari bawah bisa dari atas
atau dari atas ke bawah seperti pada uraian pada huruf a dan b di
atas.
Hierarki Peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 secara terperinci
meliputi:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden; dan
5. Peraturan Daerah.

102
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada,
hlm.49.

84
Teori berjenjang ini kemudian menimbulkan asas hukum lex
supperiori derogat lex inferiori (hukum yang ada di bawah tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang di atasnya). Nampak jelas juga bahwa
ditetapkan jenis-jenis peraturan perundang undangan dengan tidak
memasukkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai peraturan
perundang-undangan dan Peraturan Daerah merupakan peraturan perundang
undangan yang paling bawah, sehingga keberadaannya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya.
Jika bertentangan, ia dapat dibatalkan demi hukum.
Harus juga dicatat bahwa senyatanya tidak ada satupun negara di
dunia yang secara khusus mengatur tata urutan peraturan perundang-
undangan, sebagaimana di Indonesia. Menurut Bagir Manan, kondisi tersebut
disebabkan karena secara hukum tidak ada larangan mengaturan tata urutan
peraturan perundang-undangan, karena sistem hukum itu tidak hanya terbatas
pada sistem peraturan perundang-undangan, karena pengaturan itu dapat
dilihat dari sudut tujuan yang hendak diraih (doelmatigeheid).103 Diuraikan
lebih lanjut, kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas, atau dalam
hal Undang-Undang Dasar terdapat ungkapan the supreme law of the land
seperti Pasal 6 Undang-Undang Dasar Amerika Serikat.104
Meskipun demikian, dalam pengkajian sistem hukum Indonesia,
untuk menjelaskan tentang bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan,
pada akhirnya harus memahami tata urutan peraturan perundang-undangan. Di
samping itu, bentuk peraturan perundang-undangan dilihat dari pelbagai
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang jenis dan bentuk peraturan
perundang-undangan.

103
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, op.cit., hlm. 208.
104
Ibid., hlm. 205-206.

85
Memahami bentuk aturan hukum yang berlaku dalam sistem
hukum positip Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari sejarah aturan hukum
pada masa penjajahan. Masih banyak aturan hukum yang sekarang berlaku,
merupakan alih rupa saja dari hukum positip yang berlaku di Belanda pada
masa penjajahan. Pada masa penjajahan, jika di Belanda dibentuk Wet
(UU), maka dinegara jajahan diberlakukan Ordonnantie (oleh penguasa
jajahan/Gubernur Jenderal). Hingga sekarang masih ada Ordonnantie yang
berlaku yaitu Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan) berdasar
Staatsblad Nomor 226 Tahun 1926 atau disingkat HO.
Meskipun terdapat kesalahan dalam pemahaman, karena Hinder
Ordonnantie banyak diterjemahkan menjadi UU Gangguan, namun
ketentuan tersebut belum pernah diganti. Bahkan oleh hampir semua
Kabupaten/Kota ketentuan HO ini menjadi dasar hukum pelaksanaan ijin
HO. Jika dipermasalahkan, maka akan dikemukakan hal “legalitas”, karena
HO mengandung sanksi dan memiliki karakter memaksa (dwingenrecht).
Sebagai aturan, HO memperoleh dukungan berlaku baik dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri dan berbagai
Peraturan Daerah pun telah dibentuk untuk melaksanakan ketentuan dalam
HO. Berbagai Wet (Undang-Undang) pun masih mempunyai kekuatan
hukum berlaku di Indonesia, seperti Wetboek van Strafrecht (WvS) yang
dikenal dengan sebutan KUHP (Kitab undang-undang Hukum Pidana)
dan Burgerlijk Wetboek (BW) atau dikenal KUH Perdata.
Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah penjajah juga
memberlakukan ketentuan ketatanegaraan di Negara jajahan dengan nama
Indische Staatsregeling (IS). Sebagai contoh adalah Pasal 163 IS dan
Pasal 131 IS yang membagi penduduk di wilayah jajahan menjadi tiga
kelompok dan terhadap mereka juga berlaku hukum yang berbeda.
Dibidang peraturan, diberlakukan Ketentuan Umum Perundang-undangan
di Negara jajahan yaitu Algemene Bepalingen van Wet Geving vor

86
Indonesie Indie (AB). Sebagai contoh Pasal 2 AB tentang undang-
undang dilarang berlaku surut. Oleh sebab itu, untuk melakukan revisi,
perubahan atau pun penggantian, harus dilakukan sesuai dengan tingkatan
kewenangan berdasar bentuk hukum dan materi muatannya.
Sejalan dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia, sejak
berdirinya negara Republik Indonesia sejarah perundang-undangan dapat
dikategorikan dalam beberapa periode, sebagai berikut:105
1. 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949;
2. 27 Desember 1949 sampai dengan 15 Agustus 1950;
3. 15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959;
4. 5 Juli 1959 sampai dengan 5 Juli 1966;
5. 5 Juli 1966 sampai dengan sekarang,
Agar lebih jelas dan mudah dipahami, pembagian sejarah
perundang-undangan dikelompokkan dalam tabel berikut ini:
No Tahap Perkembangan Jangka Bentuk Peraturan Perundang-
Waktu undangan

1 Di bawah UUD 1945 (18 5 tahun  Undang-Undang (Pasal 5 ayat (1)


Agustus 1945) sampai UUD)
dengan terbentuknya  Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat
Negara Republik (2) UUD)
Indonesia Serikat (27  Peraturan Pemerintah Pengganti
Desember 1949) Undang-Undang (Pasal 22 UUD)

2 Di bawah Konstitusi RIS 8 bulan  Undang-Undang (Pasal 127


(27 Desember 1949) Konstitusi RIS)

105
K. Wantjik Saleh, 1974, Perkembangan Perundang-Undangan 1966-1973,Jakarta,
Ichtiar Cet.1, hlm. 9.

87
sampai dengan  Peraturan Pemerintah (Pasal 141
ditetapkannya UUD Konstitusi RIS)
Sementara RI (15 Agustus  Undang-Undang Darurat (Pasal
1950) 139 Konstitusi RIS)

3 Di bawah UUD Sementara 9 tahun  Undang-Undang (Pasal 89 UUDS)


RI (15 Agustus 1950)  Peraturan Pemerintah (Pasal 98
sampai dengan Dekrit UUDS)
Presiden 5 Juli 1959  Undang-Undang Darurat (Pasal
196 UUDS)
Keterangan: Undang-Undang pertama kali yang disahkan setelah berlakunya UUD
1945 adalah Oendang-Oendang No. 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah
yang terdiri atas enam pasal (disahkan pada tanggal 23 November 1945).

Ketiga perkembangan di atas, merupakan perkembangan yang


“wajar” dan “jelas”, karena adanya perbedaan tiga UUD yang menjadi pokok
pangkalnya. Sedangkan perkembangan selanjutnya yaitu sejak tanggal 5 Juli
1959 sampai tanggal 5 Juli 1966 merupakan perkembangan yang ditandai oleh
kondisi “darurat” dan karenanya menjadi “tidak wajar,” sebagai akibat adanya
Dekrit Presiden dan munculnya suatu bentuk penyelewengan. Penyelewengan
dalam hal legislasi ini adalah dengan munculnya dua jenis peraturan
perundang-undangan yang baru yang menandai wewenang presiden yang
terlalu berlebihan dalam konteks Demokrasi Terpimpin pada masa
pemerintahan Soekarno. Kedua peraturan ini dikenal dengan nama Penetapan
Presiden (Surat Presiden RI tanggal 20 Agustus 1959 No. 2262/HK/59) dan
Peraturan Presiden (tanggal 22 september 1959 No. 2775/HK/59). Kedua
peraturan baru ini sama sekali tidak disebut dalam UUD 1945, namun
kedudukan dan perannya bahkan melebihi ketiga bentuk perundang-undangan
yang telah diatur sebelumnya dalam UUD 1945. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli
1959 sampai awal 1966, terdapat sekitar 76 buah Penetapan Presiden dan 174

88
buah Peraturan Presiden yang terdapat dalam lembaran negara. Secara yuridis
formal, perkembangan ini berakhir pada tanggal 5 Juli 1966 yaitu dengan
ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
XIX/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di
Luar Produk MPRS yang Tidak Sesuai Dengan UUD 1945.
Dalam hubungan dengan pengaturan peraturan perundang-
undangan, ketiga UUD yang pernah berlaku di negara kita mengaturnya
dalam jumlah pasal yang tidak sama, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945, hanya memuat 4 (empat) pasal yaitu Pasal 5,
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22);
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, hanya memuat 6 (enam) pasal
yaitu Bagian II Pasal 127 sampai dengan Pasal 143;
3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 memuat 12 (duabelas) pasal, yaitu
Bagian II dari Pasal 89 sampai dengan Pasal 100.
Berkaitan dengan proses penyusunan suatu rancangan undang-
undang, sejarah peraturan perundang-undangan mencatat paling tidak sejak
tanggal 29 Agustus 1970, semua menteri dan kepala Lembaga Pemerintahan
Non-Departemen (LPND) harus berpedoman kepada Instruksi Presiden
Republik Indonesia (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 Tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia. Pada saat itu, pertimbangan ditetapkannya
Instruksi Presiden tersebut adalah untuk menciptakan tertib hukum dan
peningkatan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi penyelenggaraan tugas
pemerintah.
Setelah melewati kurun waktu 20 tahun dan dipandang perlu adanya
penyempurnaan kembali tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang (RUU) dan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagaimana diarahkan
dalam Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970, maka diterbitkanlah

89
Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
Pasal 29 Keputusan Presiden No 188 Tahun 1998 mengamanatkan
Keputusan Presiden tersendiri yang mengatur bentuk Rancangan Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Keputusan Presiden
beserta pedoman teknis penyusunan peraturan perundang-undangan pada
umumnya. Kehadiran Keputusan Presiden No 44 Tahun 1999 tentang Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-
Undang. Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan
Presiden menjawab kebutuhan Pasal 29 Keputusan Presiden No 188 Tahun
1998 ini.
E. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Selain berbicara tentang teknik penyusunan dan mekanisme pembahasan
Rancangan Undang-Undang, sejarah peraturan perundang-undangan juga
mengupas tata urutan peraturan perundang-undangan. Dalam Sidang Umum
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000, Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
III/MPR/2000. Ketetapan ini mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/1978 tentang
Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/1973.
Ada dua hal penting dalam TAP No. III/MPR/2000, yaitu :
a. Sumber hukum nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat (Pasal 1 ayat (3)).
b. Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:

90
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden; dan
7. Peraturan Daerah.
Perkembangan selanjutnya dari sejarah peraturan perundang-undangan
adalah ditetapkannya Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang yang disetujui dalam Rapat
Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 24 Mei 2004 menjadi pegangan dan
standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan. Selain itu, kehadiran undang-undang ini diharapkan mampu
meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dibentuk untuk menyesuaikan
perubahan sistem ketatanegaran dalam proses legislasi yang sebelum amandemen
UUD didominasi oleh eksekutif. Penyesuaian melalui pembentukan undang-
undang ini sekaligus digunakan sebagai peluang untuk mengatur secara lengkap
dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan
perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan
penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat.
Implementasi beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 juga menuntut adanya pengaturan lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan di bawahnya. Pada 2005, pemerintah mengeluarkan dua
peraturan presiden yang mengatur lebih lanjut ketentuan tentang pengelolaan
Program Legislasi Nasional dan tata cara mempersiapkan peraturan perundang-
undangan. Peraturan Presiden Nomo 61 Tahun 2005 mengatur tentang tata cara
penyusunan dan pengelolaan Prolegnas . Perpres No 61 Tahun 2005 ini dibentuk

91
untuk melaksanakan ketentuan pasal 16 ayat (4) UU No 10 Tahun 2004.
Sementara itu, Peraturan Presiden No 68 Tahun 2005 mengatur tata cara
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan
Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 24 UU No 10 Tahun 2004.
Dewasa ini telah ditetapkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengantikan UU No. 10
Tahun 2004 di atas. Berdasarkan Pasal 8 undang-undang ini menetapkan bahwa,
“Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain
peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, Bank
Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi,
Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,Kepala Desa atau yang
setingkat”. Namun jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam
ketentuan Pasal 8, tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi.
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan
hierarki sebagaimana tersebut dalam Pasal 7 ayat (1). Sedang yang dimaksud
dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan
yang didasarkan asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan rumusan Pasal 8 tersebut dan melihat pada jenis peraturan perundang-
undangan dalam Pasal 7 ayat (1) , maka bentuk peraturan perundang-undangan
dalam ketentuan Pasal 7 tersebut berjumlah 25 bentuk, yang meliputi:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang;

92
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Peraturan Presiden;
7. Peraturan Daerah Provinsi;
8. Peraturan Daerah Kabupaten Kota;
9. Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
10. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat;
11. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah;
12. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan;
13. Peraturan Komisi Yudisial,
14. Peraturan Mahkamah Agung;
15. Peraturan Mahkamah Konstitusi;
16. Peraturan Bank Indonesia;
17. Peraturan Menteri;
18. Peraturan Kepala Badan;
19. Peraturan Lembaga;
20. Peraturan Komisi;
21. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;
22. Peraturan Gubernur;
23. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;
24. Peraturan Bupati/Walikota; dan
25. Peraturan Desa.
Dalam Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 maupun pada penjelasannya
terlihat bahwa bentuk peraturan perundang-undangan yang diatur dalam
kelompok-kelompok (kualifikasi) wewenang , baik dari lembaga yang berwenang
membentuknya maupun sumber wewenangnya. Hal ini sesuai dengan asas
peraturan perundang-undangan yaitu kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat yang diartikan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga /pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

93
berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Dalam BAB II, angka 198, UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur
bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan
kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah, dengan ketentuan bahwa harus menyebut dengan tegas
ruang lingkup materi muatan yang diatur dan jenis peraturan perundang-
undangannya.
Polanya mengandung beberapa alternatif yaitu materi yang
didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam peraturan
perundang-undangan yang telah mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur
hanya di dalam peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh
didelegasikan lebih lanjut ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
(subdelegasi). Atau pola yang lain pengaturan materi tersebut dibolehkan
didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi). Dalam asas pendelegasian juga dianut
bahwa sedapat mungkin dihindari adanya delegasi blanko, seperti pernyataan:
“Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Perlu mendapat perhatian bahwa kewenangan yang mendelegasikan
kepada suatu alat penyelenggaraan negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut
kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang
mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. Undang-
undang juga mengatur bahwa pendelegasian kewenangan dari Undang- Undang
kepada menteri, pimpinan lembaga pemerintah non kementerian, atau pejabat yang
setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis
administratif.
Di samping itu juga diatur bahwa supaya dihindari pendelegasian
kewenangan yang mengatur secara langsung dari Undang-Undang kepada direktur
jenderal atau pejabat yang setingkat. Pendelegasian langsung kepada direktur

94
jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang.
Prinsip subdelegasi ini banyak diperdebatkan. Pemikiran awal adalah
delegatus non potest delegare (the delegate may not delegate), maka subdelegasi
itu hanya boleh dilakukan jika kewenangan untuk melakukannya ditentukan secara
tegas dalam undang-undang yang memberikan delegasi pertama. Bagi pemikiran
doktrin pemisahan kekuasaan, membatasi eksekutif dari kebutuhan untuk
mengatur sendiri pelaksanaan tugas-tugasnya di bidang eksekutif, dianggap tidak
terlalu relevan.

95
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN
A. Pengantar
Salah satu kesepakatan dasar dalam kerangka Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis sebagai UUD
1945) dalam proses reformasi konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) kurun waktu 1999-2002 adalah mempertegas sistem pemerintahan
presidensial.106 Dalam penjelasannya BP MPR menguraikan ciri khas sistem
presidensial,yaitu:
1. Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang mempunyai hak
prerogatif yang tidak dapat diganggu gugat;
2. Fixed Term, bahwa Presiden menjalankan kekuasaannya selama lima tahun
tanpa terganggu dengan kewajiban memberi pertanggungjawaban kepada MPR
pada masa jabatannya;
3. Checks and balances yang kuat, bahwa hubungan Presiden dengan lembaga
negara lainnya diatur berdasarkan prinsip saling mengawasi dan saling
mengimbangi diantara lembaga-lembaga negara;
4. Impeachment, sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan UUD 1945, anggota
DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR,oleh karena itu DPR dapat
senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika DPR menganggap
bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh UUD 1945 atau oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk
persidangan istimewa agar dapat meminta pertanggungjawaban kepada
Presiden. Dengan demikian, dalam Sidang Istimewa, MPR dapat mencabut

106
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran ,
Jakarta, Penerbit Mizan, hlm. 337.

96
kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila
Presiden sungguh-sungguh melanggar garis-garis besar haluan negara dan/atau
UUD. Dalam penjelasan BP-MPR itu tampak kesepakatan dasar untuk
mempertahankan sistem pemerintahan presidensial tidak mengarah kepada
perubahan sistem pemerintahan menjadi sistem presidensial murni. Hal itu
terlihat dari pengertian impeachment yang mengaitkannya pada peran MPR
sesuai dengan Penjelasan UUD 1945. Bila konsisten dengan kesepakatan dasar
yang menghendaki dimasukannya Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal
normatif ke dalam batang tubuh, maka seharusnya ketentuan PenjelasaN UUD
1945 tentang “impeachment” dimasukkan ke dalam batang tubuh.
Terjadinya pergeseran paradigma itu memantulkan pula kepentingan
politik yang dominan berkenaan dengan Pemilu 2004. Hal itu terungkap lewat
pernyataanKetua MPR yang menyatakan bila amandemen UUD 1945 tidak selesai
padatahun 2002, maka akan terjadi krisis konstitusi. Pernyataan ini ditimpali oleh
Jimly Asshiddiqie dengan mengatakan, “Kalau tahun 2002 (amandemen
UUD1945) tidak tuntas, saya sungguh-sungguh khawatir, karen makin dekat ke
PemilU 2004.”
Sekalipun tidak dapat diambil kesimpulan secara langsung, tetapi
terdapat kesan amandemen UUD 1945 terkait dengan kepentingan Pemilu 2004.
Berdasarkan semua uraian itu, maka tak heran bila materi muatan amandemen
UUD 1945 menjadi tidak koheren satu sama lain karena sarat kepentingan politik.
Itulah pula yang menyebabkan MPR dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002
memutuskan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang pembentukan Komisi
Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang
Perubahan UUD 1945. Sekalipun dapat dipandang sebagai pemulas bibir belaka,
tetapi dengan pembentukan Komisi Konstitusi itu sesungguhnya MPR mengakui
terdapat kekurangan-kekurangan mendasar dalam amandemen UUD 1945.
Sayangnya, hasil kerja Komisi Konstitusi itu tenyata tak memperoleh respons
memadai dari MPR dan tak terdengar lagi.

97
Memperhatikan fakta tersebut maka capaian reformasi konstitusi terkait
dengan isu ini justru menghasilkan sejumlah norma konstitusional yang mengarah
kepada upaya mengurangi dominasi lembaga kepresidenan dalam
penyelenggaraan negara, seperti ditunjukkan terhadap isu-isu di bawah ini:107
1. Pemilihan langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan presiden dan wakil
presiden;
2. Pembatasan masa jabatan seorang presiden untuk dua kali masa jabatan;
3. Kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan berada pada DPR;
4. Perlindungan hak asasi manusia; dan
5. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD.
Capaian legal di atas bukanlah proses yang tunggal, akan tetapi didorong
oleh kenyataan akibat praktik politik masa-masa sebelumnya yang menyebabkan
UUD 1945 mendapatkan cap sebagai konstitusi yang “sarat eksekutif”. 108
Konstitusi ini memberikan begitu banyak kekuasaan kepada eksekutif tanpa
menyertakan sistem kontrol konstitusional yang memadai. Di bawah UUD 1945,
Presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara. Sebagai kepala
pemerintahan, Presiden memiliki kewenangan eksklusif atas menteri-menteri dan
pembentukan kabinet (Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2)). Sebagai kepala negara,
presiden memegang kekuasaan untuk: (i) menjadi Panglima Tertinggi Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; (ii) menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan menandatangani perjanjian dengan negara lain (Pasal 11); (iii)
menyatakan keadaan darurat (Pasal 12); (iv) mengangkat duta besar dan konsul;
dan menerima surat-surat kepercayaan data besar sahabat (Pasal 13); dan (v)
memberi gelar, tanda jasa, dan tanda-tanda kehormatan lainnya (Pasal 15).
Sistem UUD 1945 menjadi lebih “sarat eksekutif” karena di samping
kekuasaan-kekuasaan eksekutifnya yang sedemikian besar Presiden juga memiliki
107
Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum Demokrasi,
Bandung, Yrama Widya, hlm. 3.
108
Denny Indrayana, op.cit., hlm. 152-153.

98
kekuasaan legislatif. Dominasi kekuasaan Presiden itu disertai dengan tidak
adanya sistem check and balances yang tidak jelas.
Hal itu ditunjukkan adanya norma dalam naskah asli UUD 1945 yang
menyatakan MPR adalah lembaga tertinggi negara dan merupakan ”penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia”, yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ini
adalah konsep kedaulatan parlemen. Ini menunjukkan warna parlementer dalam
sistem pemerintahan negara. Tetapi di sisi lain, argumen corak konstitusi “sarat
eksekutif” itu menjadi indikasi kuat bahwa dalam praktiknya, Indonesia
menerapkan sistem presidensial. Praksis politik juga menunjukkan bahwa MPR
yang superior itu tidak kuat mengendalikan Presiden. Seperti dikatakan oleh
Muhammad Ridwan Indra, bahwa meskipun berdasarkan UUD 1945, MPR lebih
unggul sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi pada praktiknya, Presidenlah yang
lebih dominan.109 Dalam ranah teoritis kemudian sistem pemerintahan yang
dihasilkan adalah sistem pemerintahan yang remang-remang karena mengandung
baik segi-segi sistem parlementer dan sistem presidensial.110
Dengan didorong oleh faktor sejarah tersebut, menjadi nyata bahwa
kemudian dalam proses reformasi konstitusi walaupun disepakati tekad
mempertahankan sistem presidensial, akan tetapi disertai juga semangat untuk
mengatur kekuasaan Presiden. Momen itu dimulai pada Perubahan Pertama (1999)
yang mencabut kekuasaan untuk membuat undang-undang dari tangan Presiden
dan memberikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan Presiden untuk
mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi negara sudah diatur
dengan lebih baik. Ini disusul dengan diadopsinya mekanisme pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden “dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.
Ditentukan dalam konstitusi bahwa partai-partai politik atau koalisinya, yang
berpartisipasi dalam pemilu, mengusulkan calon-calon presiden dan wakil

109
Muhammad Ridwan Indra, 1990, Kedudukan Presiden Republik Indonesia, hlm. 45.
110
Bagir Manan, 2000, Lembaga Kepresidenan, Jogjakarta, Penerbit UII Press.

99
presiden. Pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% jumlah suara
dalam pemilu dengan minimal 20% suara di lebih dari setengah jumlah propinsi
yang ada di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Perubahan paradigma terjadi pada amandemen ketiga dan keempat yang
mengubah secara fundamental sistem pemerintahan yang berimplikasi
padakeududukan MPR dan asas kedaulatan rakyat. Dengan demikian, tampak
perubahan drastis antara amandemen pertama yang bertujuan melakukan
demokratisasi UUD 1945 dan amandemen ketiga yang mengubah sistem
pemerintahan. Demokratisasi jelas berbeda dengan perubahan sistem
pemerintahan,karena esensi demokrasi adalah persamaan dan kebebasan politik
yang tidak identik dengan sistem presidensial. Terbukti negara-negara di Eropa
yang menganut sistem parlementer adalah negara demokratis. Sebaliknya tidak
semua negara yang menganut sistem presidensial murni seperti di Amerika Latin
merupakan negara yang demokratis.
Sisi lain untuk meneguhkan sistem presidensial adalah prosedur untuk
memberhentikan Presiden menjadi jelas. Alasan-alasan untuk melakukan
impeachment meliputi: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat jabatannya. Kini, proses ini
tidak semata-mata merupakan proses politik yang melibatkan MPR dan Dewan
Perwakilan Rakyat, tetapi juga proses hukum yang mengikutsertakan Mahkamah
Konstitusi yang baru saja dibentuk.
Namun proses reformasi konstitusi luput mengatur mengenai
pertanggungjawaban presiden. Sebuah isu yang bukan saja secara teoritis sudah
dipersoalkan sejak dahulu, tetapi sebenarnya ini pararel dengan implikasi
diterapkannya sistem pemelihan presiden langsung. Konstitusi baru hanya
memerinci mekanisme pemberhentian Presiden seperti diatur di dalam Pasal 7A
dan 7B.

100
Menurut Firdaus, jika norma itu dianggap berkesejajaran dengan
pertanggungjawaban presiden, maka secara hukum mengandung sejumlah
persoalan.111 Pertama, manakah yang merupakan bentuk dan batasan-batasan
pertanggungjawaban Presiden. Kedua, apakah pemberhentian Presiden dalam
masa jabatannya oleh MPR termasuk bagian dari proses pertanggungjawaban
hukum secara politik ataukah secara hukum? Ketiga, bagaimanakah kedudukan
putusan MK yang menyatakan Presiden terbukti secara sah melakukan
pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi persyatatan jabatan di dalam
sidang MPR yang hendak mengambil putusan pemberhentian Presiden. Keempat,
apakah hanya sanksi pemberhenti bagi seorang Presiden atas pelanggaran hukum
yang dilakukan? Kelima, bagaimana sesungguhnya sistem pertanggungjawaban
Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD.
Penulis sepenuhnya setuju elaborasi persoalan hukum yang diuraikan oleh
Firdaus tersebut, akan tetapi meskipun sepakat bahwa isu pertanggungjawaban
tidaklah diatur di dalam UUD 1945, akan tetapi tidak seluruh isu itu menjadi
landasan persoalan dalam penelitian ini. Kajian ini akan membatasi kepada
persoalan bentuk pertanggungjawaban Presiden setelah Perubahan UUD 1945
yang secara teoritis merupakan derivatif dari persoalan diskripsi sistem
pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia.
B. Pertanggunngjawaban
Kiranya penting untuk dipahami bahwa percakapan mengenai
pertanggungjawaban dalam ranah hukum tata negara tidak dapat dipisahkan
dengan pemahaman demokrasi, karena ada prinsip geen macht zonder
veraantwoordelijkheid (tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban). Prinsip
tersebut dapat menggunakan logika terbalik yaitu apabila suatu kekuasaan tidak
ada mekanisme pertanggungjawaban yang berarti pemerintahan tersebut

111
Firdaus, op.cit., hlm. 5.

101
merupakan regim yang otoriter atau kediktatoran.112 Menurut Suwoto
Mulyosudarmo, kekuasaan pemerintahan harus dilaksanakan secara bertanggung
jawab karena kekuasaan itu lahir dari suatu kepercayaan rakyat. Kekuasaan yang
diperoleh dari suatu lembaga yang dibentuk secara demokratis adalah logis harus
dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Dengan demikian, pertanggungjawaban
merupakan syarat mutlak yang harus ada pada pemerintahan demokrasi. 113
Menurut Hendra Nurtjahjo, suatu pemerintahan maupun lembaga
perwakilan tidak akan mungkin berjalan efektif tanpa adanya legitimasi politik
yang penuh dari rakyat. Pemerintahan sebagai lembaga penataan yang memegang
kekuasaan politik utama harus memiliki pendasaran yang sah (legitimasi) atas
kekuasaan yang dijalankannya agar ia dapat efektif. Untuk menopang legitimasi
itu sudah tentu setiap langkah efektif atas dasar kekuasaan pemerintahan perlu
untuk dipertanggungjawabkan kepada rakyat.114
Ismail Sunny menguraikan bahwa dari segi hukum, pertanggungjawaban
mengandung 2 pengertian sebagai berikut. Pertama, pertanggungjawaban dalam
arti sempit yaitu tanggung jawab tanpa sanksi. Kedua, pertanggungjawaban dalam
arti luas, yaitu tanggung jawab dengan sanksi.115 Menurut Arifin P. Soeria
Atmadja, pertanggungjawaban merupakan suatu kebebasan bertindak untuk
melaksanakan tugas yang dibebankan, tetapi pada akhirnya tidak dapat
melepaskan diri dari resultante kebebasan bertindak, berupa penuntutan untuk
melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya.116 Diuraiakan lebih
lanjut oleh Suwoto Mulyosudarmo, bahwa pertanggungjawaban meliputi 2 aspek,

112
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 109.
113
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis
Nawaksara, Jakarta, Penebit Gramedia, hlm. 1.
114
Hendro Nurtjahyo, 2006, Filsafat Demokrasi, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 19.
115
Ismail Sunny, 1987, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Penerbit Bina Aksara,
hlm. 18.
116
Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara:
Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 43.

102
yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal yaitu pertanggungjawaban
yang diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan
oleh pimpinan dalam suatu instansi. Aspek eksternal yaitu pertanggungjawaban
kepada pihak ketiga, jika suatu tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain
atau dengan perkataan lain, berupa tanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkan
kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang diperbuat.117 Berkaitan dengan
konstruksi pemikiran timbulnya pertanggungjawaban, maka Suwoto
Mulyosudarmo menunjuk kepada bagaimana kekuasaan dibentuk dan diperoleh.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu formasi
yang disusun dari sistem pembentukan kekuasaan lembaga-lembaga negara,
sehingga konteks lahirnya pertanggungjawaban berada pada lingkup kekuasaan
negara.118
Dalam sistem pembagian kekuasaan berlaku suatu prinsip bahwa setiap
kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan. Karena itu, setiap pemberian kekuasaan
harus dipikirkan beban tanggung jawab bagi setiap penerima kekuasaan.
Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah
diterima pada waktu menerima kekuasaan. Beban tanggung jawab bentuknya
ditentukan oleh “cara-cara kekuasaan itu diperoleh” (Bevoegdheidsverkrijging).
Menurut Suwoto Mulyosudarmo, pada dasarnya pembentukan kekuasaan bisa
terjadi pada saat yang bersamaan dengan pembentukan lembaga yang memperoleh
kekuasaan dan bisa terjadi kemudian sesudah lahirnya lembaga atau badan.119
Selanjutnya, masalah keabsahan pembentukan kekuasaan sebelum adanya
organisasi negara sama dengan keabsahan suatu konstitusi dan dasar hukum

117
Op.cit., hlm. 42.
118
Ibid., hlm. 40-41.
119
Ibid., hlm. 39.

103
pembentukan kekuasaan oleh suatu badan sebeluma danya konstitusi pada
umumnya diberikan melalui konstitusi.120
C. Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD 1945
Maria Farida Indrati Soeprapto menambahkan bahwa setelah Perubahan
UUD 1945 sistem pemerintahan negara menunjukkan adanya pergeseran-
pergeseran yang meliputi hal-hal sebagai berikut:121
1. Konfigurasi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum, dan mempunyai wewenang untuk: (a) mengubah dan
menetapkan UUD; (b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; (c)
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD; (d) memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan; dan
(e) memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan.
2. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi, sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, dalam menjalankan
pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden,
yang mana berhubungan erat dengan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang
menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat.
3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD
1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang, namun dalam membentuk undang-undang, DPR
harus membahas bersama dengan Presiden dan mendapat persetujuan dari
Presiden sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut
Pasal 20A UUD 1945, DPR juga memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan, memiliki hak intepelasi, hak angket, dan menyatakan
120
Ibid., hlm. 40.
121
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan Jilid 1, Jogjakarta,
Penerbit Kanisius, hlm. 126-129.

104
pendapat, sedangkan anggota DPR juga mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Presiden seharusnya
bekerja sam dengan DPR. Meskipun demikian, Presiden tidak
bertanggungjawab kepada DPR, artinya kedudukan Presiden tidak bergantung
kepada DPR.
4. Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri tidak bertanggung jawab
kepada DPR. Dalam Pasal 17 UUD 1945 antara lain ditetapkan bahwa: (a)
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara; (b) menteri-menteri itu diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden; dan (c) setiap menteri membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan. Dengan demikian, menteri-menteri itu tidak
bertanggung jawab kepada Presiden, oleh karena Presiden yang mengangkat
dan memberhentikan menteri-menteri negara tersebut. Kedudukan menteri-
menteri tersebut tidak tergantung kepada DPR, akan tetapi tergantung Presiden,
karena menteri-menteri negara itu merupakan pembantu Presiden.
5. Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Meskipun Presiden tidak bertanggung
jawab kepada DPR, ia bukan “diktator”, artinya kekuasaannya tidak tak
terbatas. Kedudukan DPR adalah kuat. Dalam hal ini, DPR tidak bisa
dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer) sebagaimana
ketentuan Pasal 7C UUD 1945, yang menyatakan bahwa Presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan DPR. Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD
1945, anggota-anggota DPR dan DPD semuanya merangkap menjadi anggota
MPR. Sesuai ketentuan dalam Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 20A UUD 1945,
DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden, sehingga apabila
DPR menganganggp bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagai Presiden, yang telah ditetapkan oleh UUD, maka melalui putusan MK,
DPR dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden kepada PR. Seperti dalam
sistem pemerintahan negara sebelum Perubahan UUD 1945, maka menteri-

105
menteri negara bukan pegawai biasa. Meskipun kedudukan menteri negara
tergantung dari Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, oleh
karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah
(pouvoir executif) dalam praktik. Sebagai pemimpin departemen, menteri
mengetahui seluk-beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya.
Berhubung dengan itu, menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden
dalam menentukan politik negara yang mengenai departemennya. Untuk
menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan negara,
para menteri bekerja bersama-sama satu sama lain seerat-eratnya di bawah
pimpinan Presiden.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dengan mencermati ketentuan-ketentuan
UUD 1945 seperti diuraikan di atas, maka setelah Perubahan UUD 1945
Indonesia secara resmi telah menganut ajaran Trias Politica, yang mengacu
pada sistem pemisahan kekuasaan (separation of power atau scheiding van
machten).122 Akan tetapi, Maria Farida Indrati Soeprapto menolak argumen
tersebut dengan menyatakan bahwa kewenangan pembentukan undang-undang
dilaksanakan oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dengan
demikian, dapat disimpulkan pula bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan
pemerintahan dalam arti eksekutif dan kekuasaan membentuk Undang-Undang
(dalam arti legislatif) bersama DPR.123 (iuraikan lebih lanjut bahwa aplikasi
Perubahan UUD 1945 menempatkan Presiden tetap sebagai penyelenggara
tertinggi pemerintahan negara, yang menjalankan seluruh tugas dan fungsi
pemerintahan dalam arti luas yang menyangkut ketataprajaan,
keamanan/kepolisian, dan pengaturan.124

122
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan...., op.cit., hlm. 45.
123
Op.cit., hlm. 131.
124
Ibid.

106
Menurut pendapat penulis, pendapat Maria Farida Indrati Soeprapto
tersebut lebih mendekati kenyataan normatif, sebab penerapan ajaran
pemisahan kekuasaan seperti dimaksudkan oleh Jimly Asshiddiqie, tidak bisa
serta merta disimpulkan hanya dari aspek legislasi saja, di mana dulu kekuasaan
membentuk undang-undang dipegang oleh Presiden, akan tetapi kemudian
beralih kepada DPR. Jika hal ini pun diterima masih harus dicatat bahwa
ketentuan-ketentuan UUD 1945 juga masih mensyaratkan adanya hubungan
timbal balik antara Presiden dan DPR untuk menetapkan sebuah undang-
undang (lihatlah dalam Pasal 20 ayat (2), (3), dan (4)).
Walaupun secara normatif UUD 1945 tetap menempatkan presiden
sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara, akan tetapi di dalam
realisasinya Perubahan UUD 1945 juga menghasilkan pembatasan-pembatasan
terhadap kekuasaan Presiden. Belajar dari pengalaman masa kepresidenan
Soekarno dan Soeharto yang panjang, MPR menyisipkan ke dalam UUD 1945
satu jurus pelindung yang menhatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden bisa
dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya sebanyak satu masa jabatan lagi
(Pasal 7 setelah Perubahan UUD 1945). Hal ini berarti MPR menegaskan lagi
Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan
Presiden dan Wakil Presiden. Upaya membatasi masa jabatan Presiden
merupakan satu langkah reformasi yang penting karena menghilangkan satu
diantara karakteristik otoriter utama yang melekat pada UUD 1945. Jadi,
penulis memandang bahwa lebih dari yang manapun, perubahan masa jabatan
presiden ini telah memberikan arah yang jelas tentang transisi politik dari
otoritarianisme.
Perubahan UUD 1945 juga membatasi kekuasaan yudisial Presiden
dan memberi DPR lebih banyak pengaruh dalam masalah hukum dan
kehakiman. Perubahan Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa Presiden harus
mendengarkan saran-saran DPR sebelum memberikan amnesti dan abolisi.
Selain itu, amandemen Pasal 14 ayat (1) juga mengharuskan Presiden untuk

107
berkonsultasi terlebih dahulu dengan MA sebelum memberikan grasi dan
rehabilitasi. Pada sisi lain, Perubahan UUD 1945 juga membatasi kekuasaan
diplomatik Presiden, dan memberi DPR lebih banyak hak kontrol dalam
pengangkatan duta besar, konsul, dan dalam menerima duta besar negara-
negara asing. Kekuasaan Presiden ini harus juga digunakan dengan
memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945).
Perubahan lain yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya
adalah diubahnya aturan tentang upacara pengambilan sumpah jabatan Presiden
dan Wakil Presiden (Pasal 9). Perubahan ini diilhami oleh sumpah jabatan
Habibie, yang disaksikan oleh MA di Istana Merdeka, karena MPR saat itu
tidak bisa berkumpul. Perubahan yang membatasi kekuasaan Presiden untuk
memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda-tanda kehormatan lainnya (Pasal 5)
juga dipicu oleh tindakan Habibie yang membagi-bagikan tanda kehormatan
pada pendukung-pendukungnya pada bulan Agustus 1999.
Sementara itu, ada juga upaya-upaya untuk membatasi kekuasaan
Presdien dalam mengangkat anggota-anggota kabinet. Diusulkan agar dalam
mengangkat menteri-menteri, Presiden harus memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan DPR. Usulan ini gagal karena mayoritas anggota MPR waktu itu
sepakat bahwa untuk memperkuat sistem presidensial tidaklah lalu serta merta
mengubah UUD 1945 dari cap sarat eksekutif menjadi konstitusi yang sarat
legislatif.
Satu perubahan radikal lainnya adalah diadopsinya mekanisme
pemilihan Presiden langsung. Presiden dan Wakil Presiden dalam satu
pasangan secara langsung. Partai-partai politik atau koalisinya, yang
berpartisipasi dalam Pemilu, mengusulkan calon-calon Presiden dan Wakil
Presiden. Pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah
suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20% suara di lebih dari setengah jumlah
propinsi yang ada di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

108
Sasaran reformasi konstitusi secara minimalis telah mencapai
tujuannya dengan adanya peneguhan sistem presidensial yang antara lain
ditunjukkan oleh hal-hal: (a) Presiden dan Wakil Presiden merupakan institusi
penyelenggara kekuasaan eksekutif; (b) Pengisian jabatan Presiden dan Wakil
Presiden melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (direct
democracy); dan (c) Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR kecuali
jika ada tuntutan DPR kepada MK tentang adanya pelanggaran hukum dan
konstitusi yang dilakukan oleh Presiden. Apabila tuntutan tersebut dikuatkan
oleh MK dalam suatu keputusan, maka DPR dapat melanjutkan tuntutan
pemberhentian Presiden kepada MPR.
D. Pertanggungjawaban Presiden
Dasar hukum pertanggungjawaban Presiden erat kaitannya dengan proses
peralihan kekuasaan. Begitu pertanggungjawaban itu usai, mulailah perbincangan
tentang peralihan kekuasaan. Secara teoritis dasar hukum yang dapat menimbulkan
suatu kewajiban hukum terhadap subyek hukum dapat ditemukan melalui 2 (dua0
macam cara, yaitu, pertama, dari ketentuan hukum positif yang mengatur secara
jelas. Kedua, melalui interpretasi terhadap hukum positif yang tidak mengatur
dengan jelas
Menurut Suwoto Mulyosudarmo, dari 2 (dua) macam cara menentukan
dasar hukum tersebut, cara yang kedua sering menimbulkan permasalahan, sebab
penafsiran dapat mengakibatkan perubahanmakna ketentuan hukum positif
(Suwoto Mulyosudarmo, 1997: 77). Dalam praktik, penentukan dasar hukum yang
bersumber dari ketentuan hukum positif yang kurang jelas, dilakukan dengan 2
(dua) macam interpretasi, yaitu, pertama, menarik suatu kesimpulan secara a
contrario. Jelasnya adalah jika hukum positif tidak melarang, dapat ditafsirkan
bahwa hukum positif memperkenankan. Penafsiran isi peraturan secara a contrario
atau penggunaan asas argumentum a contrario, harus dikombinasikan dengan
penafsiran secara sistematis.

109
Kedua, menarik suatu kesimpulan atas dasar pemikiran yang logis.
Misalnya, penyelenggaraan Pemilihan Umum tidak diatur dalam UUD 1945,
namun atas dasar pemikiran yang logis dasar hukumnya dapat dikaitkan dengan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Dalam naskah asli UUD 1945 tidak mengatur secara jelas pertanggung
jawaban Presiden. Menurut JCT Simorangkir, sekalipun tidak dinyatakan op de
man af, tetapi adanya kewajiban Presiden/Mandataris MPR untuk memberikan
pertanggungjawaban kepada MPR mengenai pelaksanaan halauan negara menurut
garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR itu adalah sesuatu yang masuk
akal dan bahkan merupakan sesuatu yang wajar jika tidak ingin menggunakan
istilah kewajiban.125 Pada ranah reformasi konstitusi seperti akan diuraikan di
bawah ini, maka nihilnya dasar hukum dan prosedur yuridis pertanggungjawaban
Presiden inilah yang nantinya akan menjadi faktor yang mendorong adanya
Perubahan UUD 1945.
Di samping pemetaan yang menghasilkan arsitektur lembaga
kepresidenan setelah Perubahan UUD 1945 dikaitkan dengan sistem pemerintahan
negara, maka salah satu paradigma yang banyak mendominasi pemikiran tentang
pertanggungjawaban Presiden adalah konsepsi mengenai jabatan Presiden.126
Menurut Jimly Asshiddiqie, setelah pemilihan perwakilan bergeser ke pmilihan
langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan Presiden, para pakar hukum tata
negara hampir memiliki pandangan yang sama bahwa MPR tidak dapat lagi
meminta pertanggungjawaban Presiden melainkan Presiden bertanggung jawab
langsung kepada rakyat yang memilihnya.127 Menurut pendapat penulis,
argumentasi atau pendapat itu cukup masuk akal dengan berangkat dari praktik

125
J.C.T. Simorangkir, 1984, Penetapan Undang-Undang Dasar, Jakarta, Penerbit BPHN,
hlm. 137.
126
Firdaus, 2007, op.cit., hlm. 149.
127
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan..., op.cit., hlm. 59.

110
pengisian jabatan Presiden selama ini yang dilakukan oleh MPR untuk sewaktu-
waktu dapat meminta pertanggungjawaban Presiden.
Konstruksi UUD 1945 sebelum Perubahan, sebagaimana termuat di
dalam Penjelasan UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden yang diangkat oleh
MPR bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Menurut Bagir Manan,
dalam praktik ketatanegaraan yang berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggung
jawab tersebut tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga
pemberhentian Presiden dari jabatannya seperti yang terjadi pada Presiden
Soekarno dan Presiden Wahid.128 Selanjutnya, kewenangan pemberhentian ini
diatur di dalam Ketetapan MPR Tentang Tata Tertib. Salah satu wewenang MPR
disebutkan “mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam masa
jabatannya apabila Presiden/Mandataris sungguh melanggar halauan negara
dan/atau UUD 1945.” Diuraikan oleh Bagir Manan, bahwa dalam kaitannya
dengan pertanggungjawaban disebutkan mengenai pelaksanaan GBHN dan
menilai pertanggungjawaban tersebut.129 Diuraikan lebih lanjut bahwa ketentuan
ini mempersempit lingkup pertanggungjawaban karena pelanggaran halauan
negara dan atau UUD tidak terbatas pada GBHN.
Apabila diterima argumen legal bahwa pergeseran pengisian jabatan
Presiden dari pemilihan perwakilan menjadi pemilihan langsung oleh rakyat
berpengaruh terhadap sifat pertanggungjawaban Presiden, maka akan
menimbulkan minimal 2 (dua) pertanyaan yang dapat diajukan secara kritis.
Pertama, apakah benar cara pengisian jabatan Presiden berpengaruh terhadap
pertanggungjawaban Presiden. Kedua, jika Presiden bertanggung jawab kepada
rakyat yang memilihnya, bagaimana seharusnya Presiden memberikan
pertanggungjawaban.

128
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, op.cit., hlm. 110.
129
Ibid., hlm. 110.

111
Terhadap pertanyaan pertama tersebut penulis memberikan analisis
sebagai berikut. Sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945, secara eksplisit cara
pengisian jabatan Presiden berpengaruh terhadap pertanggungjawaban Presiden.
Akan tetapi jika ditelaah lebih mendalam, maka permasalahannya tidaklah
sesederhana itu, tetapi lebih mengacu kepada pergeseran format kedaulatan rakyat
yang terlembaga dalam sistem ketatanegaraan.
Menurut Ni’matul Huda, sebelum Perubahan UUD 1945, Indonesia
menganut prinsip supremasi MPR sebagai salah satu bentuk varian sistem
supremasi parlemen yang dikenal di dunia.130 Oleh karena itu paham kedaulatan
rakyat yang dianut diorganisasikan melalui pelembagaan MPR yang
dikonstruksikan sebagai lembaga penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang
berdaulat yang disalurkan melalui prosedur perwakilan politik (political
representation) melalui DPR, perwakilan daerah (regional representation) melalui
Utusan Daerah, dan perwakilan fungsional (functional representation) melalui
Utusan Golongan. Menurut Jimly Asshiddiqie, desain tersebut dimaksudkan untuk
menjamin agar kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat benar-benar tercermin
dalam keanggotaan MPR, sehingga lembaga yang mempunyai kedudukan tertinggi
tersebut sah disebut sebagai penjelmaan seluruh rakyat.131
Sebagai organ negara atau lembaga yang diberi kedudukan tertinggi, ke
mana Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan negara diharuskan bertunduk dan
bertanggung jawab, lembaga MPR itu disebut sebagai pelaku tertinggi kedaulatan
rakyat atau bahkan dalam Pasal 1 ayat (2) naskah asli UUD 1945, dirumuskan
dengan kalimat Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Implikasi dari format kedaulatan seperti itu menyebabkan MPR memiliki
keduudkan lebih tinggi dan mengatasi lembaga negara lainnya. Di samping itu,
130
Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Transisi ke Demokrasi, Jogjakarta,
Penerbit UII Press, hlm. 92.
131
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, op.cit., hlm. 49-58.

112
MPR menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan menafsrikan
UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan kebijakan pembangunan
lima tahun dalam bentuk GBHN, dan menjadi kewajiban Presiden untuk
melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya kepada MPR. Sifat
pertanggungjawaban Presiden tidak saja karena dipilih oleh MPR, tetapi lebih dari
itu karena kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara pelaksana kedaulatan
rakyat yang meiliki wewenang menetapkan GBHN sebagai dasar penyelenggaraan
negara yang harus dipertanggungjawabkan oleh Presiden. Menurut Firdaus, desain
legal semacam ini menyebabkan sifat pertanggungjawaban Presiden kepada MPR
merupakan pertanggungjawaban politik dalam arti pertanggungjawaban (beleids)
Pemerintah.132 Tetapi Bagir Manan menyangkal argumentasi tersebut. Secara
legal, MPR merupakan lembaga perwakilan, tetapi tidak dapat serta merta
disimpulkan bahwa karena Presiden bertanggung jawab kepada MPR sebagai
badan perwakilan rakyat, maka sifat pertanggungjawaban merupakan
pertanggungjawaban politik lazimnya sistem parlementer.133 Diuraikan lebih lanjut
bahwa pertanggungjawaban Presiden kepada MPR terbatas kepada pelanggaraan
yaitu pelanggaran terhadap halauan negara dan atau UUD, sedangkan mengenai
kebijakan (beleids) tidak dapat menjadi dasar meminta pertanggungjawaban.
Kewajiban Presiden untuk bertanggung jawab kepada MPR yang
disimpulkan dari ketentuan Presiden dipilih oleh MPR menurut penulis tidak tepat.
Pendapat ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa Wakil Presiden juga dipilih
oleh MPR. Padahal tidak ada kewajiban bagi Wakil Presiden untuk bertanggung
jawab kepada lembaga yang memilih. Wakil Presiden mempunyai kekuasaan
umum yang sifatnya atributif, namun rincian kekuasaan umum itu diberikan oleh
Presiden dalam bentuk pelimpahan tugas. Hubungan Presiden dengan Wakil
Presiden sifatnya internal. Artinya, segala pelaksanaan atas kekuasaan yang

132
Op.cit., hlm. 149.
133
Op.cit., hlm. 114.

113
diperoleh karena pelimpahan dipertanggungjawabkan oleh Wakil Presiden
terhadap Presiden.
Lebih jauh Suwoto Mulyosudarmo berkeyakinan bahwa walaupun
Presiden bertanggung jawab kepada MPR, lebih didasarkan atas pertimbangan
bahwa Presiden wajib melaporkan kepada pemberi kuasa. Karena pemberia kuasa
dalam hal PPPKI sudah tidak ada lagi, maka logis jika laporan pelaksanaan kuasa
itu disampaikan kepada MPR.134 Selanjutnya ditekankan bahwa wajib lapor
Presiden terhadap MPR hanya sekadar hubungan solodaritas dari pihak yang diberi
kepercayaan terhadap pihak yang memberi kepercayaan dan dengan demikian,
kegunaan dari laporan Presiden adalah sebagai informasi bagi MPR dalam
menghadapi pihak ketiga, yang kemungkinkan akan melakukan gugatan terhadap
MPR selaku pemberi kuasa.135
Pada akhirnya, keyakinan bahwa cara pengisian jabatan Presiden tidak
sepenuhnya mempengaruhi sifat pertanggungjawaban Presiden, terbukti dari
ketentuan Perubahan UUD 1945 Pasal 8 ayat (3) yang menyatakan bahwa MPR
menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden jika kedua
jabatan itu kosong. Tentu saja, secara legal hal ini tidak berarti MPR dapat
meminta pertanggungjawaban Presiden sbegaai lembaga yang memilihnya, kecuali
apabila pernyataan DPR tentang pelanggaran hukum Presiden dibenarkan oleh
MK, dan selanjutnya diajukan DPR ke MPR untuk mengambil keputusan
pemberhentian Presiden.
Dari uraian tersebut, nampak bahwa sifat dan batasan bentuk
pertanggungjawaban Presiden sebelum Perubahan UUD 1945 ditetapkan sebagai
berikut:

134
Op.cit., hlm. 79.
135
Ibid., hlm. 80.

114
Pertama, sifat pertanggungjawaban Presiden di akhir masa jabatannya
wajib disampaikan kepada MPR. Pertanggungjawaban Presiden dalam fungsinya
selaku mandataris MPR sifatnya pertanggungjawaban internal.
Kedua, pertanggungjawaban Presiden selaku Mandataris MPR dalam
hhubungannya dengan pelaksanaan GBHN terbatas pada adanya perencaan Pelita,
karena pada hakekiatnya Pelita merupakan penjabaran dari GBHN.
Ketiga, sanksi pertanggungjawaban dapat berupa pemberhentian Presiden
dari jabatannya. Dalam fungsinya selaku mandataris, Presiden diberhentikan atas
inisiatif MPR, walaupun penarikan mandat oleh MPR tidak berakibat langsung
pemberhentian Presiden dalam fungsinya selaku Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan.
Setelah Perubahan UUD 1945, ketentuan Pasal 1 ayat (2) tersebut
rumusannya menjadi Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Menurut Ni’matul Huda, rumusan ini dimaksudkan untuk
mempertegas bahwa: (a) kedaulatan atau kekuasaan tertinggi itu berada dan
berasal atau bersumber dari rakyat seluruhnya; (b) kedaulatan rakyat tersebut harus
pula diselenggarakan atau dilaksanaan menurut ketentuan UUD itu sendiri; dan (c)
organ atau pelaksana prinsip kedaulatan rakyat itu tidak terbatas hanya MPR saja,
melainkan semua lembaga negara adalah juga pelaku langsung atau tidak langsung
kekausaan yang bersumber dari rakyat yang berdaulat tersebut.136 Menurut Bagir
Manan, gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga negara tertinggi
secara konseptual ingin menegaskan, MPR bukan satu-satunya lembaga yang
melaksanakan kedaulatan rakyat karena setiap lembaga yang mengemban tugas-
tugas politik negara dan pemerintahan merupakan pelaksana kedaulatan rakyat dan
harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat.137

136
Op.cit., hlm. 93.
137
Op.cit., hlm. 74.

115
Dari uraian itu tampak bahwa sifat pertanggungjawaban Presiden secara
substantif bukanlah karena adanya pergeseran pemilihan dari sistem perwakilan ke
sistem pemilihan langsung, akan tetapi lebih dekat kepada argumentasi legal
bahwa karena Presiden merupakan salah satu lembaga negara yang mengemban
tugas-tugas politik negara dan pemerintahan merupakan pelaksana kedaulatan
rakyat dan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Selanjutnya, akan dianalisis pertanyaan yang kedua, yaitu jika Presiden
bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya, bagaimana seharusnya
Presiden memberikan pertanggungjawaban. Telah dikemukakan dalam uraian
terdahulu bahwa Perubahan UUD 1945 telah menetapkan fixed term legislature
bagi DPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 7C UUD 1945 sehingga
mempertegas konstitusional mengenai kedudukan DPR sebagai salah satu fungsi
kekuasaan lembaga negara di bidang legislatif yang tidak dapat dibubarkan atau
dibekukan oleh Presiden. Pada sisi lain, normatifikasi Pasal 7C UUD 1945 tadi
juga mencerminkan peneguhan sistem presidensial dengan mana tertutup bagi
Presiden untuk mengintervesi dan mencampuri lembaga legislatif. Karakter politik
terhadap ketentuan-ketentuan UUD 1945 yang memperkuat fungsi dan hak-hak
DPR setelah Perubahan UUD 1945 dimaksudkan dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan bertanggung jawab dengan mana seluruh kebijakan pemerintahan
senantiasa berdasarkankepada kepentingan rakyat secara keseluruhan dengan
keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas perwakilan rakyat yang dipilih
secara bebas dan sederajat, sehingga semua bentuk tindakan pemerintah dalam hal
ini Presiden merupakan pelaksanaan dari kesepakatan antara DPR dan Presiden
seperti undang-undang. Pelaksanaannya senantiasa dalam pengawasan DPR.
Pengawasan dapat melingkupi mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan evaluasi.
Berdasarkan analisis tersebut, penulis mengajukan argumentasi bahwa
pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat secara angsung hanya bersifat moral
belaka, tetapi pertanggungjawaban yang sesungguhnya berada dalam setiap

116
pengawasan DPR dan sah dalam konsep demokrasi sebagai lembaga perwakilan
rakyat. Penulis tidak dapat menerima argumentasi bahwa karena dipilih langsung
oleh rakyat maka pertanggungjawaban Presiden secara politik adalah langsung
kepada rakyat, karena argumentasi semacam ini merupakan sesuatu yang abstrak
dan tidak masuk akal. Argumentasi itu dapat diterima secara terbatas yaitu apabila
pertanggungjawaban dimasukkan ke dalam kategori pengawasan rakyat secara
langsung untuk mengantisipasi kebijakan Presiden yang tidak populer, walaupun
dalam konteks ini pun rakyat tidak dapat memberhentikan Presiden sebelum masa
jabatannya kecuali melalui mekanisme UUD 1945 Pasal 7A dan Pasal 7B.
E. Impeachment terhadap Presiden
Ketentuan Pasal 7A dan Pasal 7B sesungguhnya mengatur mengenai
syarat dan tata cara pemberhentian Presiden. Alasan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan
konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-
kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusan MK menyatakan
bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi
syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR
apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang
dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak
apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang

117
dituduhkan (Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
Munculnya ketentuan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari
adanya keinginan untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan presidensial
yang merupakan salah satu kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR (MPR RI, 2003: 24-25). Penegasan sistem pemerintahan presidensial
tersebut mengandaikan adanya lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi
kuat yang dicirikan dengan (1) adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap
(fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan;
(3) adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and
balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment (MPR RI, 2003: 156).
Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan
pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan
normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi. Selain itu, proses
pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses
konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa,
mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya
kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan
disebut dengan istilah impeachment.
1. Pengertian Impeachment
Sebagaimana telah disebutkan, secara historis, impeachment berasal
dari abad ke-14 di Inggris. Parlemen menggunakan lembaga impeachment
untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang amat
powerful, yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan

118
merupakan kewenangan pengadilan biasa. Black's Law Dictionary
mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a
public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation
called ‘articles of impeachment”.138 Impeachment diartikan sebagai suatu
proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di
hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses
impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi
sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Jadi, artikel
impeachment adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan
dimulainya suatu proses impeachment.
Di Amerika Serikat, pengaturan impeachment terdapat dalam Article
2 Section 4 yang menyatakan, “The President, Vice President, and all civil
officers of the United States, shall be removed from office on impeachment for
and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”.
Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi negara lain dalam
pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945
yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Proses di Dewan Perwakilan Rakyat
UUD 1945 mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi yaitu fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan (Pasal 20A ayat (1) UUD
1945). Atas dasar pelaksanaan fungsi pengawasan ini maka DPR dapat

138
Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn.: West Group,
hal. 516.

119
mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B
ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat.”
Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dimulai dari hak menyatakan pendapat
yang dimiliki oleh setiap anggota DPR. Mekanisme pengajuan hak menyatakan
pendapat ini diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
3. Proses di Mahkamah Konstitusi
Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK
adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan
impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang
mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena
yang menjadi obyek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR.
MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas pendapat
tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna madalah lebih
bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk
melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas
pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.
DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki legal standing untuk
beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam pasal 80 ayat (1) bahwa
”Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah
siapakah yang akan mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah

120
DPR menunjuk kuasa hukum untuk mewakili kepentingannya di persidangan
MK? Dalam hal penunjukkan kuasa hukum, UU MK secara umum mengatur
bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang beracara di MK dapat
didampingi atau diwakili oleh kuasanya (Pasal 43 dan 44, UU Nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
Berarti DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment
di MK juga dapat menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya
dalam beracara di MK. Akan tetapi, dengan pertimbangan untuk memberikan
keterangan selengkap-lengkapnya kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih
baik bilamana DPR menunjuk anggota-anggotanya yang terlibat secara intens
dalam rapat-rapat di DPR ketika penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya
anggota-anggota yang mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun anggota
Panitia Khusus yang dibentuk untuk melakukan pembahasan tuduhan
impeachment di DPR.
Bagaimana dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam proses impeachment di MK? Dari seluruh ketentuan hukum acara
pelaksanaan kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam UU MK hanya
ada satu ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan MK yang secara
eksplisit menyebutkan adanya termohon yaitu kewenangan MK memutus
sengketa antar lembaga negara. Hal ini berarti bahwa selain kewenangan
memutus sengketa lembaga negara, seluruh pelaksanaan hukum acara
kewenangan dan kewajiban MK bersifat adversarial. Kehadiran atau
pemanggilan pihak-pihak selain pemohon dalam persidangan bukanlah untuk
saling berhadapan dengan pemohon namun untuk dimintai keterangan bagi
Majelis Hakim Konstitusi melakukan pemeriksaan silang (cross check) ataupun
memperkaya data-data yang dibutuhkan.
Dengan demikian, dalam proses impeachment di MK kehadiran
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukanlah sebagai
termohon. Dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan

121
MK adalah hak bukanlah kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil Presiden
yang mengalami tuduhan impeachment untuk memberikan keterangan dalam
persidangan MK menurut versinya bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden
menganggap bahwa pendapat maupun keterangan yang diberikan oleh DPR
dalam persidangan MK tidak benar. Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam
persidangan MK maka Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki hak
untuk didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum. Namun untuk mencegah
adanya distorsi akan lebih baik bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden
hadir dalam persidangan MK sebagaimana Presiden dan/atau Wakil Presiden
diwajibkan hadir untuk memberikan keterangan dalam rapat pembahasan
Panitia Khusus yang dibentuk oleh DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPR.
Yang menjadi obyek dalam perkara ini adalah pendapat DPR yang
menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan
pelanggaran hukum dan/atau diduga telah tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden. Kewajiban MK adalah untuk
memberi putusan atas pendapat DPR ini.
Oleh karena itu ada 3 (tiga) kemungkinan putusan yang dijatuhkan
MK atas perkara ini. Kemungkinan pertama adalah amar putusan MK
menyatakan permohonan tidak dapat diterima bilamana permohonan tidak
memenuhi persyaratan formil sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya atau
sebagaimana mengacu pada pasal 80 UU MK (lihat juga Pasal 83 ayat 1 UU
No. 24/2003).Kemungkinan kedua adalah apabila MK memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum
dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka amar putusan
MK menyatakan bahwa permohonan ditolak (Pasal 83 ayat (2) UU No.
24/2003).Kemungkinan ketiga adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau

122
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden maka amar putusan MK menyatakan membenarkan
pendapat DPR (Pasal 83 ayat (2) UU No. 24/2003).

4. Proses di MPR
Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka
DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR setelah
menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan
DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR
menerima usulan tersebut. Pimpinan MPR kemudian mengundang Anggota
MPR untuk mengikuti Rapat Paripurna yang mengagendakan memutus usulan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR.
Pimpinan MPR juga mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk
menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya
didalam rapat Paripurna Majelis.
Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan
penjelasan atas usul pemberhentiannya. Apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, maka Majelis tetap
mengambil putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Pengambilan Putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang diajukan DPR setelah adanya putusan MK dilaksanakan
melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak. Persyaratan pengambilan
suara terbanyak itu adalah diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya ¾ dari jumlah Anggota Majelis (kuorum), dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota yang hadir yang memenuhi
kuorum.

123
BAB V
BIROKRASI DALAM NEGARA KESEJAHTERAAN
A. Pengertian Birokrasi
Kata “birokrasi” secara leksikal mengandung pengertian: (a) Sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan; (b) Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban,
serta menurut tata aturan (adat, dsb) yang banyak liku-likunya, dan sebagainya.139
Menurut Blau dan Meyer, birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk
menangani tugas-tugas administrasi dalam skala besar serta mengkoordinasikan
pekerjaan orang banyak secara sistematis.140 Sementara itu, Bintoro
Tjokroamidjojo mengatakan bahwa birokrasi merupakan struktur sosial yang
terorganisir secara rasional dan formal. Jabatan-jabatan dalam organisasi
diitegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokrasi. Dengan demikian, birokrasi
disusun sebagai hirarki otoritas yang terelaborasi yang mengutamakan pembagian

139
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 120.
140
Peter Blau dan Marshall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta:
UI, hlm. 4.

124
kerja secara terperinci yang dilakukan sistem administrasi, khususnya oleh
aparatur pemerintah.141 Sehubungan dengan hal ini, Miftah Thoha mengatakan
bahwa birokrasi merupakan kepemimpinan yang diangkat oleh suatu jabatan yang
berwenang, dia menjadi pemimpin karena mengepalai suatu unit organisasi
tertentu. Kepemimpinan birokrasi selalu dimulai dari peran yang formal, yang
diwujudkan dalam hirarki kewenangan. Dalam hal ini, kewenangan birokrasi
merupakan kekuasaan legitimasi jika pimpinan mempunyai otoritas berarti efektif
kepeimpinannya.142
Eddhi Sudarto, yang mengutip Weber143,memberikan ciri-ciri birokrasi
sebagai berikut:
1. Kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi
didistribusikan melalui cara yang telah ditentukan, dan dianggap sebagai tugas
resmi;
2. Pengorganisasian kantor mengikuti prinsip hirarkis yaitu bahwa unit yang lebih
rendah dalam sebuah kantor berada di bawah pengawasan dan pembinaan yang
lebih tinggi;
3. Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan abstrak yang konsisten dan
mencakup penerapan aturan tersebut dalam kasus-kasus tertentu;
4. Seorang pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya tanpa perasaan-
perasaan dendam atau nafsu dan oleh karena itu, tanpa persaan-perasaan kasih
sayang atau auntianisme;
5. Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis didasarkan kepada kualifikasi teknis
dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan secara sepihak; dan

141
Bintoro Tjokroamidjojo, 1987, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES,
hlm. 65.
142
Miftah Thoha, 1987, Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-Dimensi Prima Ilmu
Administrasi Negara Jilid II, Jakarta: Rajawali, hlm. 144.
143
Eddhi Sutarto, op.cit., hlm. 139-140.

125
6. Pengalaman secara universal cenderung mengungkapkan bahwa tipe organisasi
administratif murni yang berciri birokratis dilihat dari sudut pandangan yang
semata-mata bersifat teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
Pencirian di atas dirangkum oleh Feisal Tamin, ketika mengatakan
bahwa birokrasi merupakan suatu struktur otoritas atau organisasi yang didasarkan
atas peraturan-peraturan yang jelas dan rasional serta posisi-posisi yang dipisahkan
dari orang yang mendudukinya.144 Selanjutnya, dengan mengutip pendapat
Denhard, Feisal Tamin145 mengemukakan bahwa birokrasi ditandai dengan kinerja
yang sarat dengan acuan sebagai berikut:
1. Komitmen terhadap nilai-nilai sosial politik yang telah disepakati bersama
(publicly defined societal values) dan tujuan politik (public purpose);
2. Implementasi nilai-nilai sosial politik yang berdasarkan etika dalam tatanan
manajemen publik (provide an ethical basis for public management);
3. Realisasi nilai-nilai sosial politik (exercising social political values);
4. Penekanan pada pekerjaan kebijakan publik dalam rangka pelaksanaan mandat
pemerintah (emphasis on public policy in carrying out mandate of government);
5. Keterlibatan dalam pelayanan publik (involvement overall quality of public
services); dan
6. Bekerja dalam rangka penanganan kepentingan umum (operate in public
interest).
Konsep birokrasi di atas dapat dikaitkan dengan 4 (empat) fungsi yang
diemban sebuah birokrasi negara, yaitu:146
1. Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan
publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan,
komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu;

144
Feisal Tamin, 2004, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara,
Jakarta: Belantika, hlm. 173.
145
Ibid., hlm. 64-65.
146
Ibid., 64.

126
2. Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan
profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan;
3. Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasiklannya di dalam
kebijaksanaan dan keputusan pemerintah; dan
4. Fungsi entrepreneurial, yaitu memberi insipirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif
dan non-rutin, megaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan
menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai tujuan.147
Menurut Mochtar Mas’oed148, birokrasi sebagai aparat negara
mempunyai 5 (lima) kelompok fungsi dengan derajat keaktifan yang berbeda.
Fungsi paling sederhana dengan tingkat keaktifan paling rendah adalah sekedar
melakukan administrasi. Ini adalah gambaran kaum liberal abad ke-18 mengenai
pemerintah yang pasif dan netral. Ia hanya melaksanakan pekerjaan secara
administratif, mencatat statistik, dan menyimpan arsip. Kadang-kadang ia
digambarkan seperti “tukang jaga malam.” Kalau masyarakat sibur bekerja, negara
tidak boleh ikut campur, tetapi kalau masyarakat tidur, negara harus menjaga
keamanan mereka. Ketika negara sedemikian aktifnya, ia melakukan fungsi
arbitrasi dan regulasi. Di sini, ia aktif menerapkan kekuasaan sebagai polisi dan
menyelesaikan sengketa antarberbagai kelompok masyarakat dan mencoba
mengendalikan kegiatan kelompok-kelompok masyarakat itu sehingga tidak
menimbulkan konflik yang terbuka.149

147
Penegasan ini menunjukkan bahwa dalam sistem ekonomi yang kompleks, para pelaku
ekonomi tidak terbatas swasta saja, melainkan pemerintah yang berperan dalam mengatur agar sistem
ekonomi berjalan dengan baik. Konsekuensi demikian muncul karena dalam statusnya sebagai aparatur
perekonomian negara atau organisasi ekonomi negara, negara mempunyai kekuasaan untuk mencapai
tujuan dari kegiatan yang dilakukannya, melakukan monopoli, dan menentukan bentuk sistem dan
produk pasar yang berlaku. Periksa: Didik J. Rachbini, “Posisi Pasar dan Negara”, Majalah Gatra, No.
17 Tahun 1, 11 Maret 1995, hlm. 5.
148
Mohtar Mas’oed, 2003, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hlm. 74.
149
Hal ini dapat mengantarkan kepada suatu analisis tentang usaha pemerintah mengontrol
oposisi serta mengembangkan strategi untuk mengaitkan kepentingan-kepentingan masyarakat sipil

127
Dalam tahap perkembangan berikut, negara menjadi lebih aktif dalam
kehidupan ekonomi dengen menerapkan pengendalian finansial, moneter, dan
fiskal.150 Pemerintah lebih aktif mempengaruhi pasar konsumen, volume uang
yang beredar dalam masyarakat, dan pasok kapital. Misalnya, memberi subsidi
suku bunga uang rendah agar investor tertarik melakukan investasi, menetapkan
anggaran belanja negara dengan tujuan merangsang produksi barang dalam negeri,
menetapkan pajak progresif demi pemerataan, dan sebagainya. Tindakan birokrasi
yang paling aktif adalah melakukan tindakan langsung. Dalam hal ini negara
menggunakan sumberdayanya untuk langsung menangani kegiatan ekonomi
maupun militer. Kalau suatu komiditi dinilai strategis bagi kepentingan nasional,
negara turun tangan langsung dalam bisnis komoditi itu.151 Kelima fungsi ini
berkembang menjadi instrumen kekuasaan pemerintah untuk mengintervensi
kegiatan masyarakat.

yang diorganisir menurut persekutuannya dengan struktur yang menentukan dari rezim. Strategi
semacam ini disebut sebagai “korporatisme” yaitu suatu strategi yang lebih berkaitan dengan
penyelenggaraan perwakilan kepentingan rakyat. Untuk itu negara mengatur dan menciptakan
kelompok-kelompok kepentingan dengan monopoli tertentu dan hak-hak istimewa dengan ciri-ciri: (1)
jumlahnya terbatas; (2) bersifat tunggal; (3) keanggotaan bersifat wajib; (4) tidak saling bersaing; (5)
diorganisasikan secara hierarkis; (6) masing-masing kelompok dibedakan berdasarkan fungsinya; (7)
memiliki monopoli dalam mewakilkan kepentingan menurut kategori masing-masing; (8) memperoleh
pengakuan, ijian atau bahkan diciptakan sendiri oleh pemerintah; dan (9) pemilihan kepemimpinan dan
cara mengajukan tuntutan dikendalikan oleh pemerintah. Dengan menunjuk kepada konfigurasi Orde
Baru, kelompok kepentingan dengan ciri-ciri semacam itu antara lain Korpri (PNS), PWI (wartawan),
dan sebagainya. Tentang hal ini periksa: Mohtar Mas’oed, “Hak-hak Politik dalam Negara
Hegemonik: Pokok-pokok Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta, 23 September 1984.
150
Ketika melantik menteri Kabinet Indonesia Bersatu hasil reshuffle terbatas pada tanggal
7 Desember 2005 yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan agar dalam bidang
perekonomian dapat direncanakan dan disusun kebijakan yang menyangkut: (1) mempertahankan dan
memperbaiki makro-ekonomi yang sehat dengan mengendalikan inflasi; (2) mempertahankan
kebijakan fiskal dan moneter; (3) arus barang berjalan baik; (4) mengupayakan lapangan kerja baru;
(5) meingkatkan pertumbuhan ekonomi; dan (6) meningkatkan neraca transaksi berjalan dan neraca
modal. Periksa: Kompas, 8 Desember 2005, hlm. 1. Penegasan ini mengkonfirmasi peran birokrasi
sebagaimana diuraikan di atas.
151
Hal ini menjadi latar belakang pragmatis kemunculan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Atas dasar keamanan nasional, sejumlah badan usaha yang terkait dengan pelayanan militer
diserahkan sepenuhnya kepada negara. Periksa: Erma Wahyuni dkk, 2003, Kebijakan dan Manajemen
Privatisasi BUMN/BUMD, Yogyakarta: YPAP, hlm. 4.

128
Konsep dan organisasi birokrasi modern muncul pertama kali di Etopa
pada akhir abad ke-18, yaitu pada masa Revolusi Industri dan Revolusi Prancis.
Sejarawan melihat bahwa birokrasi di Inggris tumbuh dari peristiwa sejarah yang
kebetulan. Karena faktor keturunan, raja-raja dari Hannover di Jerman waktu itu
menjadi Raja Inggris. Kerajaan yang mereka tinggalkan kemudian diperintah oleh
para birokrat. Kendati demikian, ada beberapa sejarawan yang berpendapat bahwa
birokrasi modern Eropa terinspirasi oleh Kekaisaran Chi’ing dengan mandarin-
mandarinnya, yang melakukan tugas atas dasar filsafat Konfusius. Kekaisaran ini
memang memiliki sistem ujian yang ketat bagi calon pegawainya, hal yang juga
diterapkan di dalam birokrasi modern.
Konsep negara dan birokrasi modern di Indonesia dibawa oleh
Marsekal Herman William Daendels, yang melihat dirinya sebagai Napoleon kecil
yang harus menciptakan negara model Napoleon di koloni Hindia Belanda. Secara
tegas di amenciptakan pembagian fungsi, daerah, dan hirarki kekuasaan baik di
kalangan penguasa Belanda (Eropa) maupun bumiputera. Kendati demikian pada
masa pemerintahan Deandels banyak peraturan yang hanya di atas kertas, karena
pertimbangan politik antara penguasa bumi putera dan Belanda belum banyak
berubah.152
B. Negara Kesejahteraan
Menurut Kranenburg, sebagaimana dikutip oleh Muchsan 153, negara
pada hakekatnya merupakan suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh
sekelompok manusia yang disebut bangsa. Dalam pandangan ini, causa prima
terjadinya negara adalah sekelompok manusia yang disebut bangsa yang
berkesadaran untuk mendirikan suatu organisasi. Pendirian organisasi tersebut
dengan tujuan pokok memelihara kepentingan dari sekelompok manusia tersebut.

152
Ong Hok Ham, 2002, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis
Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 19-20.
153
Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hlm. 2.

129
Nampak dengan jelas, bahwa fungsi negara adalah menyelenggarakan kepentingan
bersama dari anggota kelompok yang disebut bangsa.154
Upaya memahami perkembangan peranan negara dapat ditelaah dari
perspektif negara hukum atau teori demokrasi konstitusional. Menurut Moh.
Mahfud M.D., pemunculan kembali prinsip demokrasi sebagai prinsip
fundamental kehidupan bernegara telah mengantarkan timbulnya demokrasi
konstitusional yang memberikan lingkup peranan negara secara berlainan. 155
Demokrasi konstitusional yang hidup pada abad ke-19 dan dikenal
dengan “negara hukum formal” telah memberikan batasan yang sempit bagi
negara untuk memainkan perannya. Dalam demokrasi dengan negara hukum
formal ini, pemerintah bersikap pasif, hanya menjadi panitia kecil pelaksana
keinginan masyarakat yang diperjuangkan secara liberal sehingga negara atau
pemerintah lebih diberi sifat sebagai penjaga malam (nachtmachterstaat) karena
penan yang kecil dan kedudukannya yang berada di bawah pengaruh rakyat
(pluralisme liberal). Pembatasan terhadap fungsi negara “penjaga malam” itu pada
akhirnya berkembang tidak hanya meliputi bidang politik tetapi juga bidan
ekonomi. Dalam bidang yang terakhir ini, paham serupa juga berkembang secara
bersamaan, yaitu paham laizzes faires yang mendalilkan bahwa negara harus
membiarkan atau membebaskan warganya untuk mengurus kepentingan ekonomi
masing-masing agar keadaan ekonomi dalam negarta itu menjadi sehat. Tetapi
keadaan ini berubah dengan munculnya paham demokrasi konstitusional pada
abad ke-20 yang merupakan reaksi terhadap paham negara hukum formal.
Bersamaan dengan berkembangnya konsep negara “jaga malam” itu muncul juga
gejala kapitalisme di lapangan perekonomian yang secara perlahan-lahan
menyebabkan terjadinya kepincangan dalam pembagian sumber-sumber
kemakmuran bersama. Akibatnya, timbul jurang kemiskinan yang kian

154
Ibid.
155
Moh. Mahfud M.D. Demokrasi dan Konstitusi, op.cit., , hlm. 131.

130
menunjukkan kecenderungan yang semakin tajam dan sulit dipecahkan oleh
negara yang difungsikan secara minimal itu. Kenyataan itu, mendorong
munculnya kesadaran baru mengenai pentingnya keterlibatan negara dalam
menangani dan mengatasi masalah ketimpangan ini. Negara dianggap tidak dapat
melepaskan tanggung jawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Negara perlu turut campur dalam mengatur sumber-sumber kemakmuran agar
tidak dikuasai oleh segelintir orang. Bersamaan dengan itu muncul juga aliran
sosialisme yang sangat menentang individualisme dan liberalisme yang dianggap
menyebabkan munculnya kapitalisme dan melahirkan penindasan terhadap rakyat
miskin serta bahkan menciptakan kemiskinan itu sendiri. Karena itu, atas pengaruh
sosialisme ini, muncul konsepsi baru mengenai demokrasi dan negara sejak
permulaan abad ke-20 yang dikenal juga sebagai “negara hukum material” atau
negara kesejahteraan (Welfare state).
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh birokrasi sekarang ini adalah
bahwa birokrasi pemerintahan tidak berprakarsa dan tidak inovatif dan terlalu
sering menggunakan kemampuan mereka untuk menghancurkan gagasan-gagasan
baru, termasuk perubahan.156 Kesulitan utama dalam membuat perubahan karena
ada gap yang besar diantara harapan warganegara, persepsi, dan realitas. Dalam
konteks ini, kebijakan baru dan perubahan organisasi perlu untuk membangun
akuntabilitas yang lebih jelas, memberikan visibilitas terhadap suatu program baru,
mengurangi duplikasi, atau mengkonsolidasikan semuanya untuk memperbaiki
pelaksanaan pemerintahan. Untuk menilai sejauh mana daya tanggap birokrasi
terhadap perubahan dan kebutuhan, maka dewasa ini diperkenalkan konsep
“kinerja sektor publik.”
Menurut Rue dan Byars, sebagaimana dikutip oleh Chaizi Nasucha157
menyatakan bahwa kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi.

156
Paimin Napitupulu, op.cit., hlm. 140.
157
Chaizi Nasucha, 2004, Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktik, Jakarta:
Grasindo, hlm. 24.

131
Diuraiakan lebih lanjut, bahwa kinerja bagi setiap organisasi merupakan kegiatan
yang sangat penting terutama penilaian ukuran keberhasilan suatu organisasi
dalam batas waktu tertentu. Singkatnya, kinerja berhubungan dengan prestasi
kerja.158 Sementara itu, konsep produktivitas sektor publik didasarkan kepada
asumsi-asumsi normatif yang menyatakanbahwa organisasi publik tidak
sepenuhnya otonom, akan tetapi dikuasai oleh faktor-faktor eksternal. Organisasi
publik secara hukum diadakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
dan tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan organisasi publik lainnya.
Kesehatan suatu organisasi publik diukur berdasarkan konstribusinya terhadap
tujuan politik dan kemampuannya mencapai hasil yang maksimal dengan sumber
daya yang tersedia. Produktivitas organisasi dalam sektor publik diukur dari segi
kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, terutama sejauh mana hasil
tersebut dapat dicapai dengan standar yang diinginkan.159 Berkaitan dengan hal ini,
kinerja sektor publik memerlukan pengukuran, bertujuan untuk membantu manajer
publik dalam menilai suatu pencapaian strategi melalui instrumen finansial dan
nonfinansial. Menurut Mardiasmo160, pengukuran kinerja sektor publik
mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Membantu memperbaiki kinerja pemerintahan agar kegiatan pemerintah
terfokus kepada tujuan dan sasaran program unit kerja;
2. Pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan; dan
3. Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi
kelembagaan.
Berkaitan dengan kinerja birokrasi, di Indonesia ternyata kualitasnya
masih buruk. Dengan mengambil fokus kepada birokrasi investasi, survei The
158
Prajudi Atmosudirjo, “Membangun Visi dan Reorientasi Kinerja Aparatur Daerah,
Menjawab Tantangan Masyarakat Indonesia Baru”, Manajemen Pembangunan, No. 19 Tahun V,
April, Jakarta: Bappenas, hlm. 11.
159
Azhar Kasim, “Reformasi Adminiostrasi Negara sebagai Prasyarat Upaya Peningkatan
Daya Saing Nasional”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FISIP UI, Jakarta, 1998, hlm. 19-20.
160
Mardiasmo, 2001, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 121.

132
Political and Economic Risk Consultancy Ltd yang mengambil 1.000 responden
ekspatriat di Asia, Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk. Dalam survei
tersebut, digunakan skala penilaian 0 sampai dengan 10. Semakin mendekati
angka 10, maka sistem birokrasi negara tersebut semakin buruk.161 Dalam laporan
itu, antara lain dikatakan bahwa birokrasi “hidup” sangat baik di Asia, tidak peduli
dengan apa pun bentuk sistem politik di negara tersebut. Pemerintah yang
seharusnya memberikan pelayanan publik sepertinya lebih bertindak sebagai
penguasa dan bukan pelayan. Kebijakan yang dikeluarkan sepertinya bukan
mempermudah, melainkan mempersulit investor. Dengan tingginya biaya formal
yang harus dikeluarkan, para pengusaha akhirnya lebih memilih jalur formal.
Tidak heran, jika negara yang buruk birokrasinya memiliki korelasi yang besar
dalam hal tingkat korupsi tinggi.
Survei sejenis pernah dilakukan oleh Bank Dunia yang menunjukkan
bahwa untuk mulai investasi di Indonesia pengusaha harus melewati 12 prosedur
yang memerlukan waktu 151 hari. Dalam hal biaya, prosedur panjang ini setara
dengan 130,7% dari pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Para investor juga
menaruh uangnya minimal 125,7% dari pendapatan per kapita di bank untuk
memperoleh ijin berusaha. Untuk menutup usaha membutuhkan waktu 6 (enam)
tahun dan melewati sebanyak 34 prosedur. Berikut ini disajikan tabel kinerja
prosedur dan birokrasi di Indonesia:
Tabel 1
Perbandingan Pendirian Usaha
Fokus Indonesia Rata-rata regional
Jumlah prosedur 12 8
Waktu (hari) 151 51
Rasio biaya terhadap 130,7 48,3
pendapatan per kapita (%)
Sumber: Kompas, 2 Juli 2005

161
Kompas, 2 Juli 2005.

133
Tabel 2
Penilaian Birokrasi di Asia
Negara Nilai
Singapura 2,2
Hongkong 1,1
Jepang 4,6
Korea Selatan 4,9
Taiwan 5,5
Thailand 5,6
Filipina 6,2
Malaysia 6,45
China 7,3
Vietnam 7,63
Indonesia 8,2
India 8,92
Sumber: Kompas, 2 Juli 2005
Sehubungan dengan masalah tersebut, maka Siti Zahro dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)162 menyatakan bahwa untuk memperbaiki
kinerja birokrasi perlu dilakukan reformasi seluruh sistem birokrasi melalui
reformasi hukum yang mendukungnya. Hal itu dilakukan dengan 3 (tiga) cara,
pertama, pola pikir abdi negara yang mengabdi kepada penguasa atau partai
politik yang berkuasa harus diubah menjadi mengabdi kepada rakyat 163. Kedua,
bagaimana menjadikan birokrat profesional164 dengan orientasi kerja yang optimal

162
“Saatnya Birokrasi direformasi”, Kompas, 10 Desember 2005, hlm. 4.
163
Sebagai contoh dewasa ini adalah kebijakan impor beras. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menegaskan bahwa negara harus melindungi petani. Mereka tidak boleh menderita karena
sebuah kebijakan. Lihat: “Impor Beras: Petani Jangan Jadi Korban Kebijakan”, Kompas, 10 Desember
2005, hlm. 1.
164
Arah kebijakan penataan menuju birokrasi yang profesional ditegaskan dalam Butir ke-8
Penjelasan Umum UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian, yaitu,”Undnag-Undang ini
menegaskan bahwa untuk menjamin manajemen dan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil (PNS),
maka jabatan yang ada dalam organisasi pemerintahan, baik jabatan struktural maupun jabatan
fungsional, merupakan jabatan karier yang hanya dapat diisi atau diduki oleh PNS dan/atau Pegawi
Negeri yang telah beralih status sebagai PNS.” Tuntutan profesionalisme pegawai negeri semakin
diperkokoh dengan keberadaan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

134
dan tidak bekerja suatu kewajiban linear165. Ketiga, mendekatkan birokrasi dengan
rakyat166. Dengan reformasi tersebut, maka diharapkan peran birokrasi akan selalu
inovatif dan bisa “menembus ortodoksi kebijakan publik.” 167 Pada titik ini
diharapkan akan terbentuk kepercayaan rakyat kepada sistem birokrasi yang ada.
Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah diwujudkan antara lain
dalam bentuk respon masyarakat terhadap kebijakan publik. Dalam hal ini perlu
dipahami bahwa operasionalisasi kewenangan birokrasi selalu berbentuk tindakan
hukum berupa kebijakan publik. Dalam hal ini, kebijakan publik mewrupakan isi
atau materi dsari keputusan-keputusan publik yang dibuat dan diimplementasikan
oleh pemerintah, baik untuk berbuat sesuatu maupun untuk tidak berbuat sesuatu.
Berbicara tentang respons masyarakat terhadap kebijakan publik berarti berbicara
partisipasi masyarakat dalam proses politik karena respon merupakan wujud dari
bentuk partisipasi politik di dalam kehidupan bernegara.
Paling tidak sejak awal 1980-an, di kalangan pelajar dan ilmuwan
politik berkembang 2 (dua) asumsi. Pertama, bahwa kebijakan berperan penting.
Artinya, pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah menentukan keberhasilan

165
Atas hal ini dapat memunculkan netralitas birokrasi sehingga birokrasi dapat beridiri di
atas semua golongan dan politik. Meskipun demikian, sebagai warganegara, aparatur birokrasi tetap
mempunyai hak memilih dan hak dipilih, tidak buta politik, dan senatiasa mengikuti perkembangan
politik supaya tidak mudah dipermainkan oleh tarik menarik kepentingan politik yang ada. Periksa:
Feisal Tamin, op.cit., hlm. 155.
166
Sehubungan dengan hal ini adalah bagaimana mendekatkan birokrasi dengan rakyat
melalui komunikasi yang baik sehingga program pembangunan dapat diterima oleh masyarakat.
Sebagai contoh, kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi D.I. Jogjakarta untuk membangun lahan parkir
bawah tanah di Alun-Alun Utara Yogyakarta ternyata menimbulkan kontroversi antara
mempertahankan kebudayaan dengan realitas kebutuhan penataan kota. Menurut Sri Sultan
Hamengkubuwono X, Gubernur sekaligus raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, para pihak yang
mengkritiknya “…terkesan melupakan realita yang kita hadapi sehari-hari tentang parkir ‘di atas’
Alun-alun yang kumuh dan kotor…Bahwa pembangunan ‘parkir bawah tanah’ akan mengurangi
bahkan menghilangkan makna kesakralan poros filosofi imajiner Kraton-Tugu. Sebaliknya, terhadap
keberadaan Alun-alun Utara yang kumuh dan kotor sekarang ini, mereka lupa melihatnya sebagai hal
yang mengganggu kesakralan itu. Selengkapnya, lihat Sultan Hamengkubuwonoo X, “Alun-Alun
Utara Yogyakarta: Antara Wacana dan Realita”, Kompas, 9 Desember 2005, hlm. 68.
167
Purwo Santoso (Ed.), 2005, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik, Yogyakarta:
FISIP UGM.

135
atau kegagalan pembangunan. Kedua, keberhasilan atau kegagalan pembangunan
disebabkan oleh kegagalan pemerintah (atau lembaga non-pasar) untuk
menyesuaian mekanisme kerjanya terhadap dinamika pasar. Argumen terakhir
inilah yang kemudian mendorong terjadinya reformasi birokrasi.168
Dalam hal ini, kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan publik, yaitu
pilihan yang dilakukan oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye
menyebutkan bahwa hal-hal yang ditetapkan untuk tidak dilakukan oleh
pemerintah adalah termasuk juga kebijakan publik karena sesuatu yang tidak
dilaksanakan oleh pemerintah itu akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama
besarnya dengan sesuatu yang dilakukannya. 169 Menurut Mifthah Thoha170,
kebijakan pemerintah merupakan alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat
sehingga semua yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan
adalah hasil alokasi nilai-nilai. Jika diuraiakan secara rinci, kebijakan itu
meliputi171:
1. Rancangan tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program pemerintah yang
berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi oleh masyarakat;
2. Apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan; dan
3. Masalah-masalah kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, kebijakan publik
mempunyai implikasi sebagai berikut:172
1. Kebijakan publik itu dalam bentuk perdananya merupakan penetapan tindakan-
tindakan pemerintah;

168
Mochtar Mas’oed, op.cit., hlm. 53-54.
169
Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Eanglewood Cliffs: Prentice Hall
Inc., hlm. 3.
170
Mifthah Toha, 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 60.
171
M. Irfan Islammy, 1984, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta:
Bina Aksara, hlm. 26.
172
Ibid., hlm. 26-27.

136
2. Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam
bentuk yang nyata;
3. Kebijakan publik itu baik yang untuk melakukan sesuatu maupun untuk tidak
melakukan sesuatu dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; dan
4. Kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh
anggota masyarakat.

Menurut Shafritz dan Hyde173kewenangan dalam pengambilan suatu


kebijakan terkait dengan peran pemerintah sebagai agen pembuat peraturan publik
dan sekaligus sebagai agen pendorong hubungan sosial. Pemerintah sebagai agen
pembuat peraturan publik mempunyai kewenangan untuk membuat suatu
kebijakan yang dituangkan dalam perangkat peraturan hukum. Peran pemerintah
sebagai agen pendorong hubungan sosial adalah menyerap dinamika sosial dalam
masyarakat yang akan dijadikan acuan pengambilan suatu kebijakan agar terdapat
tata hubungan sosial yang harmonis. Menurut Bambang Sunggono174, terdapat 10
(sepuluh) pengertian kebijakan publik, yaitu:
1. Kebijakan sebagai merek suatu bidang kegiatan tertentu;
2. Kebijakan sebagai pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang
dikehendaki;
3. Kebijakan sebagai suatu usulan-usulan khusus;
4. Kebijakan sebagai keputusan pemerintah;
5. Kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal;
6. Kebijakan sebagai program;
7. Kebijakan sebagai keluaran;
8. Kebijakan sebagai hasil akhir;
9. Kebijakan sebagai teori atau model; dan

173
Sharifritz dan Hyede, 1978, Classic of Public Administration, California: Brooks/Cole
Publishing Co., hlm. 60.
174
Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.
15-20.

137
10. Kebijakan sebagai proses.
Dari sepuluh pengertian tersebut, maka kebijakan publik lebih
mengacu kepada pengertian keempat dan keenam, yaitu bahwa kebijakan publik
merupakan keputusan pemerintah dan juga sebagai sebuah program. Dengan
demikian, kebijakan publik merupakan keputusan (formal) pemerintah yang berisi
program-program pembangunan sebagai realisasi dari fungsi atau tugas negara
serta dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Menurut Mackenzie175 kebijakan publik tidak selalu identik dengan
hukum. Hukum merupakan petunjuk bagi kebijakan publik atau suatu pernyataan
yang diharapkan oleh pembentuk hukum menjadi kebijakan. Di samping itu,
peranan pelaksana dalam perumusan hukum tidak sebesar peranan pelaksana
dalam perumusan kebijakan publik. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan
filosofi dalam penyusunan aturan hukum dan kebijakan publik. Aturan hukum
lebih banyak didasarkan kepada nilai-nilai normatif yang relatif universal, seperti
baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak boleh, dan sebagainya, sementara kebijakan
publik lebih bersifat politik, di mana terlibat berbagai kelompok kepentingan yang
berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan.
Partisipasi politik mempunyai arti sangat penting di negara-negara
demokrasi, karena tingkat partisipasi politik masyarakat dapat menunjukkan
tingkat dukungan masyarakat terhadap kebijaksanaan pemerintah. Bahkan dapat
dikatakan bahwa tingkat partisipasi politik akan menentukan apakah suatu
pemerintah legitimated atau tidak. Besarnya partisipasi masyarakat ini akan sangat
dipengaruhi oleh tingkat kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat
dalam suatu negara.176

175
G. Calvin Mackenzie, 1986, American Government: Politicsa and Public Policy, New
York: Random House, hlm. 3-4.
176
Ibid., hlm. 218-219.

138
Menurut Graham K.A. dan S.D. Philips, sebagaimana dikutip oleh Leo
177
Sutanto partisipasi masyarakat dapat dikatakan sebagai the continued active
involvement if citizens in making the policies which effect them. Pada dasarnya
tujuan partisipasi masyarakat sangatlah beragam, meliputi berbagi informasi,
akuntabilitas, legitimasi, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, hingga berbagi
kekuasaan secara nyata. Partisipasi ini dapat berlangsung di beberapa arena, yaitu
pertama, praktik operasional yang menyangkut perilaku dan kinerja pegawai
dalam institusi publik, keterandalan dan keteraturan pelayanan, fasilitas bagi
pengguna jasa dengan kebutuhan tertentu, dan lain sebagainya. Kedua, keputusan
pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang didelegasikan. Ketiga,
pembuatan kebijaksanaan yang menyangkut tujuan-tujuan strategis bagi
pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu serta prioritas pembelanjaan dan
keputusan alokasi sumber daya lainnya.178
Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders yaitu
mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan. Policy
stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah,
maupun dari lingkungan publik (bukan pemerintah) seperti partai politik,
kelompok kepentingan, pengusaha, dan sebagainya. Proses untuk mempengaruhi
kebijakan publik inilah yang pada hakikatnya merupakan proses politik. 179
Menurut James E. Anderson180 menyebut adanya 6 (enam) faktor yang
mendorong kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan negara, yaitu:
1. Adanya respek terhadap otoritas dan keputusan badan pemerintah. Jika
pemerintah telah terdidik untuk mengakui otoritas tersebut, mereka akan malu

177
Leo Sutanto, “Partisipasi Publik dalam Proses Menuju Indonesia Baru: Evaluasi
Perkembangan Pemerintahan”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005, hlm. 81.
178
Ibid., hlm. 82.
179
Tri Widodo Utomo, “Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah
Menurut Hukum Administrasi Negara”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005, hlm. 34.
180
James E. Anderson, 1966, Cases in Public Policy Making, New York: Praeger
Publisher, hlm. 114-117.

139
untuk melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap keputusan-keputusan
pemerintah;
2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijaksanaan yaitu penerimaan secara
logis bahwa kebijaksanaan tersebut memang diperlukan oleh pemerintah untuk
kepentingan warganya;
3. Adanya keyakinan bahwa kebijaksanaan itu dibuat secara sah dan
konstitusional oleh organ yang berwenang sehingga masyarakat bersedia untuk
mematuhinya;
4. Adanya kepentingan pribadi yaitu kesesuaian antara kebijaksanaan publik
dengan kenginan pribadi-pribadi anggota masyarakat;
5. Adanya ancaman sanksi bagi yang tidak mematuhi kebijaksanaan publik
tersebut serta adanya keinginan untuk tidak dicap sebagai tukang melanggar
hukum; dan
6. Karena lampaunya waktu sehingga masalah yang dulu ditolak atau
kontroversial pada saatnya, setelah lampau waktu tertentu, dapat diterima
secara wajar dan ditaati.
Sementara itu, Anderson181 juga mencatat adanya 5 (lima) faktor yang
menyebabkan masyarakat tidak mentaati suatu kebijaksanaan negara, yaitu:
1. Karena bertentangan dengan sistem nilai masyarakat seperti bertentangan
dengan ajaran agama yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan182;

181
Ibid., hlm. 117-119.
182
Dalam hal ini, salah satu faktor yang menentukan adalah relasi agama-negara. Penulis
ingin memberikan contoh bagaimana hubungan antara negara dan agama Islam. Menurut
Abdurrahman Wahid, ada 4 (empat) pola hubungan antara Islam dan negara. Pola pertama adalah
tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam dari kampung-kampung kecil. Artinya kampung kecil yang
penduduknya muslim lambat laun berkembang menjadi kota dan akhirnya pusat-pusat kerjaan, seperti
Parelak, Samuderai Pasai di Aceh, di mana hukum negara adalah hukum agama. Tidak ada konflik
antara hukum agama dan hukum adat karena memang tidak dikenal atau tidak ada hukum adat. Pola
yang kedua adalah sebagaimana terjadi di Sumatera Barat, di mana agama Islam menghadapi hukum
adat karena tidak ada pusat kekuasaan atau kerajaan besar yang bisa memenangkan adat atau syariah.
Akhirnya, yang menyelesaikan adalah Belanda pada tahun 1836, sekaligus menyudahi Perang Paderi,
di mana secara formal keduanya diakui yaitu dalam kata-kata adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi
Kitabullah. Itu artinya, eksistensi hukum adat diakakui asal tidak bertentangan dengan syariat Islam.

140
2. Karena ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, yaitu patuh secara ketat
terhadap bidang hukum tertentu, tetapi tidak patuh terhadap bidang hukum yang
lain.183 Misalnya, kepatuhan terhadap hukum pidana lebih ketat dibandingkan
kepatuhan terhadap hukum agama;
3. Karena keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok yang ide-idenya kadang-
kadang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum atau keinginan
pemerintah184;
4. Karena ada kecenderungan untuk mencari untung dengan cepat sehingga
menimbulkan tingkah laku suka menerobos atau melanggar hukum dan
ketentuan-ketentuan yang dilakukan oleh pemerintah185; dan

Pola yang ketiga adalah pola kerajaan Gowa yang sekarang diteruskan oleh kerajaan Semenanjung
Malaysia. Pada awalnya ada kerajaan kuat yang menganut adat istiadat pra- Islam. Kemudian, lewat
perdagangan, perkawinan, dan aliansi-aliansi ekonomi antara kalangan istana dan orang Islam.
Berangsung-angsur memunculkan kerajaan yang di satu sisi menganut ajaran Islam, tetapi adat istiadat
sebelumnya tidak ditolak. Selanjutnya, pola keempat adalah sebagaimana terjadi di Jawa, terutama
semenjak berdirinya Kerajaan Mataram (Islam) di bawah Panembahan Senopati. Ada agama bayangan
(tradisi pra-Islam dan Hindu) dan agama formal (Islam) yang melahirkan budaya Kraton. Ada
kebebasan bagi rakyat, asalkan ada kepatuhan mutlak terhadap raja. Periksa: Abdurrahman Wahid,
1999, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo, hlm. 107-108.
183
Sebagai contoh penolakan masyarakat, antara lain pemogokan oleh guru negeri,
terhadap Perda Kabupaten Lombok Timur No. 9 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Zakat. Perda itu
ditindaklanjuti oleh Bupati Ali bin Dahlan yang menetapkan kewajiban PNS untuk menyetor 2,5% dari
gajinya sebagai zakat profesi. Inti persoalan dimulai dari syariah Islam, di mana mengenai penetapan
golongan yang layak dan mampu membayar zakat (muzakki). Di dalam UU No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, dikatakan bahwa setiap warganegara yang mampu wajib mengeluarkan
zakat, termasuk penghasilan tiap bulan yang diterima PNS. Masalahnya, nishab (batas minimum) gaji
yang harus dizakati tidak diatur jelas. Jika menggunakan nishab emas, maka beratnya adalah 92 gram
atau setara 815 kg beras. Dengan patokan ini, maka gaji PNS yang terkena nishab adalah gaji minimal
Rp 1 juta. Sementara itu, Pemda Kabupaten Lombok Timur menggunakan ukuran gaji kotor, padahal
dalam praktik, banyak PNS yang hanya menikmati gaji ratusan ribu saja karena dipotong gajinya atas
berbagai pengeluaran. Reportase masalah ini, periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm. 52-53.
184
Sebagai contoh dapat dilihat pada Gerakan Intifadah di Palestina sejak tahun 1987, yang
terlihat semakin radikal dalam peningkatan konflik dan kekerasan melawan Israel. Gerakan ini sering
diasosiakan dengan kelompok Hamas (Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah, atau gerakan
perlawanan Islam), Jihad Islam, dan kelompok-kelompok Islam lain. Periksa: Azyumardi Arza,
“Dilema Negara Yahudi”, Kata Pengantar dalam Musthafa Abd. Rahman, 2002, Dilema Israel:
Antara Krisis Politik dan Perdamaian, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. xxii-xxiii.
185
Di Jepang, untuk mengendalikan birokrasi agar tidak berperilaku menerabas, misalnya
menerima suap, maka pada tahun 2000 telah ditetapkan UU tentang Dewan Etika Pegawai Negeri
Nasional. Dewan ini terdiri atas 5 (lima) orang, termasuk seorang ketua yang diangkat dari pensiunan

141
5. Karena adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan ukuran kebijaksanaan
yang satu dan lainnya saling bertentangan. Di samping itu, ada perbedaan
pandangan dan kepentingan sering pula menjadi faktor penyebab tidak
ditaatinya suatu kebijaksanaan publik karena timbulnya penafsiran yang
berbeda-beda.186
Partisipasi masyarakat, yang dalam aspek yang lain adalah pemberian
kesempatan kepada rakyat untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan
pemerintah, merupakan salah satu faktor struktural yang bersifat pelembagaan
politik agar birokrasi tidak berlaku korup. 187 Di sebagian besar negara, birokrasi
cenderung lebih kuat dibandingkan lembaga-lembaga yang lain sehingga
seringkali ia lepas dari kontrol masyarakat.188 Lebih dari itu, terutama di negara

hakim. Unsur keanggotaan yang lain, yaitu akademisi, buruh, pengusaha, dan wartawan. Dewan
dilengkapi dengan sekretariat dan hampir 80 orang staf, termasuk penyelidik. Tugas utama dewan
adalah menyusun kode etik PNS, melakukan riset dan penelitian untuk memelihara perilaku beretika
tinggi pegawai negeri, mengkoordinasikan pelatihan etika bagi PNS, memeriksa kinerja PNS,
menyusun dan menyempurnakan aturan dan sanksi terhadap dugaan pelanggaran atura dan etika, dan
memberikan petunjuk dan usulan kepada setiap departemen dalam menyelenggarakan disiplin dan
etika masing-masing.
186
Di Indonesia, dewasa ini berkembang isu dwifungsi politisi, sebuah istilah yang
digelorakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunjuk adanya fenomena banyaknya
pejabat yang berasal dari pengusaha. Untuk mencegah konflik kepentingan, maka Presiden akan
mengeluarkan Inpres yang mengatur praktik bisnis pejabat. Ada 2 (dua) hal yang akan diatur yaitu (1)
keikutsertaan pejabat negara secara langsung atau tidak langsung dalam proyek pemerintah yang
dibiayai oleh anggaran negara; dan (2) aturan-aturan untuk memastikan agar tidak ada pejabat atau
anggota keluarga pejabat yang memetik keuntungan dari informasi yang mereka ketahui. Menurut
Romli Atmasasmita, sebenarnya produk hukum itu tidak perlu mengingat untuk hal sejenis sudah ada
sederet aturan, namun “mati” dalam pelaksanaan. Misalnya PP No. 6 Tahun 1974. Peraturan ini jelas-
jelas melarang PNS Gol. IV/a ke atas, anggota ABRI berpangkat Letnan Dua keatas, pejabat, serta
isteri pejabat eselon I dan perwira tinggi ABRI untuk berbisnis dan memiliki atau mengawasi
perusahaan swasta. Selain itu ada aturan pelaporan kekayaan pejabat negara (UU No. 28 Tahun 1999),
larangan penyelnggara negara menerima hadiah/gratifikasi (UU No. 20 Tahun 2001), dan sumpah
jabatan yang membatasi ruang gerak pejabat dalam berbinis. Periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm.
8.
187
Mohtar Mas’oed, op.cit., hlm. 174.
188
Korupsi, terutama di lingkungan birokrasi, merupakan “musuh” umat manusia, jadi
tidak tergantung ideologi atau sistem politik. Bahkan di negara yang libnertarian pun, korupsi menjadi
sesuatu yang amat dibenci. Sebagai contoh, di Kanada dewasa ini, di mana partai oposisi (Konservatif,
Demokratik Baru, dan Block Quebecois), menumbangkan pemerintahan Perdana Menteri Paul Martin
dari Partai Liberal (yang sudah berjaya selama 12 tahun) melalui mosi tidak percaya karena korupsi

142
yang sedang membangun, birokrasi berposisi sangat sentral karena dalam proses
itu ia bukan bertanggung jawab merencanakan pembangunan saja, tetapi juga
dalam mencari dana invetsasi, menetapkan arah investasi, bahkan ia sendiri
menjadi investor atau entrpreneru dengan mendirikan perusahaan negara. Dalam
kaitan ini, pemerintah juga merupakan sumber pekerjaan bagi banyak perusahaan
yang menggantungkan kepada kontrak pemerintah, selain juga memberi lapangan
kerja bagi mereka yang ingin menjadi pegawai negeri.
Untuk membuka partisipasi masyarakat tersebut, maka diperlukan
prasyarat yang terbuka, antara lain lewat proteksi hukum terhadap hak masyarakat
untuk aktif dalam berekspresi, mengakses informasi, dan mendistribusikannya.
Kebebasan mengakses informasim erupakan modal sosial untuk mewujudkan
transparansi kebijakan, akuntabilitas pemerintahan, peraturan hukum yang kuat,
suara rakyat, dan kesampatan yang setara untuk beraktualisasi.
Di Indonesia, hak masyarakat atas informasi telah mendapatkan
pengakuan di dalam Pasal 28F UUD 1945. Beberapa undang-undang sektoral juga
mengakui hak publik atas informasi. Misalnya, UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih KKN, dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Ada sekitar 17 undang-undang sektoral
yang telah menegaskan ha masyarakat atas informasi. Meski demikian, berbagai
peraturan perundang-undangan tersebut tak cukup kuat sebagai landasan hukum
bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dikelola lembaga publik.
Klausul tentang kebebasan informasi dalam peraturan perundang-undangan
sektoral tersebut bersifat umum dan sebatas mengakui hak masyarakat. Peraturan
perundang-undangan itu tidak berbicara tentang mekanisme yang baku dan jelas

sebesar Can$ 250 juta (setara Rp 2,1 trilyun) dan dilakukan oleh Perdana Menteri sebelumnya, Jean
Chretien pada 1997-2001. Periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm. 135.

143
tentang informasi yang dapat diperoleh oleh masyarakat, bagaimana prosedur
untuk memperolehnya, lembaga mana yang dapat memberi informasi, dan apakah
sanksinya jika lembaga atau pejabat publik tidak melayani permintaan informasi
dari masyarakat. Bagaimana mekanisme hukum dari masyarakat yang tidak
mendapatkan informasi secara baik.
Peran yang demikian besar mendorong pertumbuhan birokrasi
pemerintah. Dikaitkan dengan welfare state, birokrasi ialah yang mengatur cara
mencari nafkah, mengolah sumber-sumber ekonomi, dan sekaligus menjamin
tingkat kemakmuran semua warga.189Dengan kata lain, fungsi “zorgen” membawa
akibat kekuasaan pemerintah seolah-olah tidak terbatas asalkan kekuasaan tersebut
ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kenyataannya,
pengertian dan makna kesejahteraan masyarakat ini diidentikkan dengan
kepentingan umum. Demi kepentingan umum, pemerintah dapat berbuat apa saja.
Kepentingan umum menghalalkan segala cara.190 Hal inilah yang menjadi
pertimbangan perlunya pembentukan pemerintahan yang bertanggung jawab.
Sejak dulu kursi kekuasaan bukanlah sesuatu yang bersih. Mereka
yang duduk di sana selalu berlomba dengan melakukan persekongkolan dan
kelicikan, agar tumbuh cepat menjadi kelompok istimewa. Hal ini sejalan dengan
pendapat Lord Acton, sebagaimana dikutip oleh Sjachran Basah191, bahwa setiap
kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Dalam melaksanakan
tindakannya pemerintah memerlukan keleluasaan dan kekuasaan dalam
menentukan kebijakan-kebijakannya. Akan tetapi, dalam suatu negara hukum192,

189
Ong Hok Ham, op.cit., hlm. 19.
190
Muchsan, 1998, “Pembatasan Kekuasan dalam Negara Kesejahteraan”, dalam Dahlan
Thaib dan Mila Karmila Adi (Eds.), Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: FH UII, hlm. 106.
191
Sjahran Basah., 1986, “Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi
Negara” Orasi Ilmiah, Bandung: UNPAD, hlm. 2.
192
Dalam pembicaraan negara hukum di Indonesia di kalangan ahli muncul 2 sikap.
Pertama, ahli yang tidak mempersoalkan padanan kata istilah negara hukum, seperti Ismail Sunny dan
Sunaryati Hartono yang menyamakan istilah “negara hukum” dengan the rule of law. Periksa dalam:
Ismail Sunny, 1982, Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 123; Sunaryati Hartono, 1976,

144
merupakan suatu syarat bahwa setiap tindakan pemerintah itu haruslah dapat
dipertanggungjawabkan.193
Kerangka rasional utama pemerintahan dewasa ini adalah demokrasi.
Menurut Deliar Noer194 demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya
memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan
dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam
menilai kebijaksanaan pemerintahan negara oleh karena kebijaksanaan itu
menentukan kehidupan rakyat. Dalam suatu pemerintahan yang demokratis, inti
persoalan utama adalah membuat pemerintah tunduk kepada masyarakat yang
diperintah. Menurut Rosen195 ada 4 (empat) hal yang harus dilakukan untuk
membentuk pemerintahan yang bertanggung jawab, yaitu menciptakan efektivitas
hukum, melaksanakan diskresi administratif yang adil, melakukan perubahan
dalam kebijakan dan program, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah. Di sini hanya akan dibahas satu hal saja yang amat dengan hukum tata
negara yaitu diskresi administratif.
C. Diskresi Administratif
Pertumbuhan dan perkembangan peran pemerintah di atas harus
berhadapan dengan kenyataan bahwa karena sedemikian luas aspek kehidupan
sosial dan kesejahteraan masyarakat yang digeluti itu, maka sudah barang tentu
tidak setiap permasalahan yang dihadapi dan tindakan yang akan diambil oleh
birokrasi telah tersedia aturannya. Dalam keadaan seperti ini membawa birokrasi
kepada suatu konsekuensi khusus yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas

Apakah the Rule of Law, Bandung: Alumni, hlm. 35. Kedua, ahli yang mempermasalahkan
penggunaan istilah “negara hukum” dan istilah asing tersebut, yaitu Phillipus M. Hadjon, yang
menyebut “negara hukum” merupakan konsep dan tidak terjemahan dari Rechsstaat dan the Rule of
Law. Periksa: Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya:
Bina Ilmu, hlm. 71-74.
193
Bernard Roosen, 1998, Holding Government Bureacracies Accountable, USA: Praeger
Publsher Westport, hlm. 1.
194
Deliar Noer, 1982, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, hlm. 207.
195
Loc.cit.

145
inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal
genting yang timbul mendadak dan peraturan penyelesaiannya belum ada.
Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaan sendiri ini dalam hukum
administrasi negara disebut sebagai freies Ermessen.
Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan
dari kata frei dan freise yang artinya bebas, merdeka, tidak terikat, lepas, dan
orang bebas. Kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai,
menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi, secara etimologis, freies
Ermessen dapat diartikan sebagai “orang yang bebas mempertimbangkan, bebas
menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.” 196
Selain itu, freis Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair, yang
artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti menurut wewenang
atau kekuasaan yang tidak atau tidak seharusnya terikat pada undang-undang.197
Menurut Prajudi Atmosudirjo198, asas diskresi (discretie; freis Ermessen) artinya,
pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan ‘tidak
ada peraturannya’ dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil
keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yurisdiktas dan
asas legalitas199. Senada dengan pendapat itu, Sjacran Basah,200 mengatakan

196
Adolf Heuken SJ, 1987, Kamus Jerman-Indonesia, Jakarta: Gramedia.
197
Fockema-Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum (Terjemahan Saleh Adiwinata, dkk),
Bandung: Bina Cipta, hlm. 145 dan 98.
198
Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
hlm. 85.
199
Menurut Bambang Poernomo, asas legalitas merupakan salah satu ciri atau asas negara
hukum yang mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu dilihat dari aspek formal dan aspek material.
Aspek formal menunjuk kepada jaminan hak asasi manusia dan pengaturan kepentingan rakyat harus
diatur di dalam undang-undang. Sementara itu, aspek material merupakan perkembangan berikutnya,
di mana jaminan hak asasi manusia dan kepentingan rakyat itu tidak hanya diatur dalam undang-
undang, akan tetapi berdasarkan juga hukum tidak tertulis, kepatutan, dan keadilan hukum bagi semua
kewenangan atau tindakan penguasa maupun dalam menentukan adanya pelanggaran hukum. Periksa:
Bambang Poernomo, op.cit., hlm. 28-31.
200
Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 151.

146
bahwa diperlukannya freies Ermessen oleh birokrasi itu dimungkinkan oleh
hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian
persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba. Dengan demikian,
pemerintah terpaksa bertindak cepat membuat penyelesaian. Namun, keputusan-
keputusan yang diambil untuk menyelesaiakan masalah itu harus dapat
dipertanggungjawabkan.

BAB VI
DESENTRALISASI DAN OTONOMI DESA
A.Desa dan Struktur Kenegaraan
Jauh sebelum republik Indonesia terbentuk, pada dirinya sudah melekat
tradisi kedaulatan rakyat, suatu konsep politik yang dilawankan dengan kedaulatan
raja atau kedaulatan kraton. menarik untuk dicermati, bahwa dalam kerangka
penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah badan transisional untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia bentukan Pemerintahan Balatentara
Jepang, ide untuk menarik tradisi kedaulatan rakyat ke dalam sistem pemerintahan
negara cukup mengemuka. Bahkan, seperti diselidiki oleh A. Hamid S. Attamimi,
tradisi kedaulatan rakyat tadi menjelma ke dalam Cita Negara Indonesia, yang
melahirkan hakekat negara Republik Indonesia sebagai “Republik Desa.” 201
Dalam konteks ini, pandangan Soepomo sangat berpengaruh, yang kemudian
dikenal sebagai pandangan menurut dasar “teori integralistik.”
Soepomo, saat berbicara mengenai Cita Negara Indonesia, menunjuk
kepada cita negara yang terdapat pada paguyuban masyarakat desa, di mana para
pemimpinnya bersatu jiwa dengan rakyatnya dan senantiasa memegang teguh

201
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan
Negara, Disertasi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 101.

147
persatuan dan keseimbangan dalam masyarakat.202 Menurut Yusril Ihza Mahendra,
konsep persatuan antara pemimpin dan rakyat itu digambarkan oleh Soepomo
sebagai persatuan antara kawula dan gusti, yaitu persatuan antara dunia luar dan
dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos. Dalam pandangan yang
demikian, Soepomo berpendapat bahwa tidaklah menjadi soal, apakah negara
Indonesia merdeka itu akan menjadi republik atau monarki. Yang penting, kepala
negara menyatu dengan rakyatnya sesuai paham mistik tradisional tersebut.203
Lebih lanjut, atas dasar kontruksi pemikiran semacam itu maka: 204
Negara Republik Indonesia yang akan menggantikan Hindia
Belanda, [merupakan] negara yang strukturnya disesuaikan dengan
sociale structuur masyarakat Indonesia yang asli pada masa
sekarang, yaitu desa, disesuaikan pula dengan panggilan zaman.
Soepomo menunjuk kepada perlunya tiap negara mempunyai
keistimewaan sendiri yang berhubungan dengan riwayat dan corak
masyarakatnya, sebagaimana terlihat dalam kehidupan desa.
Soepomo juga berbicara mengenai tujuan negara yang berdasar
persatuan, seperti halnya Desa, dengan tujuan negara yang
“bersatu dan adil”, “untuk kepentingan rakyat seluruhnya”, atau
dengan kata lain bersatu, adil, dan makmur.

Menurut Logemann, pengalihan sistem pemerintahan “Republik Desa” ke


dalam sistem pemeritahan negara Indonesia yang modern itu dengan
memindahtanamkan (overplanting) dari desa yang memenuhi kebutuhannya
sendiri (autarke dorp) kepada Negara Modern (moderne staat), meskipun dalam
menyatakan itu ia menyangsikan keberhasilannya. 205 Namun, A. Hamid S.
Attamimi justru mendukung tesis Soepomo di atas sebab kajiannya menunjukkan
sistem pemerintahah negara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945

202
Ibid., hlm. 102.
203
Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Jakarta, Penerbit Gema Insani Press,
hlm. 9.
204
A. Hamid S. Attamimi, Ibid., hlm. 102-103.
205
J.H.A. Logemann, 1982, Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya Undang-
Undang Dasar Hindia Belanda, Malang, Penerbit Laboratorium Pancasila IKIP Malang, hlm. 18.

148
mengadopsi dasar ketatanegaraan dalam sistem pemerintahan desa. Hal itu terbukti
seperti “kepala negara dipersamakan dengan kepala desa yang bukan hanya
memimpin masyarakat melainkan juga sesepuhnya. Kepala desa mewujudkan rasa
keadilan rakyat dan cita-citanya. Seperti halnya kepala desa yang senantiasa
bermusyawarah dengan warga desa atau dengan kepala-kepala keluarga dalam
desa, kepala negara dan kepala lembaga-lembaganya juga merupakan pemimpin
yang sejati, pemimpin yang diidamkan oleh rakyat.”206
Namun dengan dianutnya ketetapan bahwa Indonesia adalah negara
kesatuan yang berbentuk republik (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945),
maka dengan sendirinya idealisasi “Republik Desa” tinggal menjadi gagasan
belaka. Seperti yang dipaparkan oleh Yusril Ihza Mahendra, idealisasi “Republik
Desa” yang berpijak kepada cita negara integralistik versi Soepomo merupakan
hasil reduksi yang abstrak karena:207
1. Cenderung mengabaikan kelemahan-kelemahan yang mungkin dimiliki oleh
seorang kepala desa;
2. Mengabaikan faktor kekuasaan yang lebih tinggi, yang cenderung eksploitatif
terhadap desa melalui kepala desa;
3. Mengabaikan kemungkinan timbulnya kekuatan oposisi terhadap kepaal desa
yang juga mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi tertentu; dan
4. Dalam tataran praksis, pemilihan langsung kepala desa misalnya, apakah
benar-benar mengesampingkan segala macam kepentingan?
Lebih lanjut diuraikan oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa: 208
Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, adalah konstitusi
negara modern yang disusun dengan mempertemukan aliran-aliran
pemikiran para penyusunnya. Konsep tentang presiden di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tidak semata-mata menggambarkan
konsep “manunggaling kawula lan gusti, tetapi merupakan konsep

206
Ibid., hlm. 104.
207
Yusril Ihza Mahendra, op.cit., hlm. 11.
208
Ibid.

149
yang rasional dengan batas-batas kekuasaan serta tugas dan
wewenang yang jelas, juga pengawasan dari lembaga-lembaga
kenegaraan modern, serta bertanggung jawab kepada suatu lembaga
pula. Mekanisme demikian sama sekali tidak dikenal dalam konsep
kepemimpinan tradisional masyarakat pedesaan Indonesia.

Kritik tersebut mengkonfirmasi apa yang “dikhawatirkan” Logemann di


atas, yaitu “apakah mungkin memindahkan struktur agraris dan untuk sebagian
besar autarkis (memenuhi kebutuhan sendiri) dari desa ke negara modern?”209
Seperti juga Mohammad Hatta, walaupun secara konsisten memandang kedaulatan
rakyat yang aslia dalah yang dipraktikkan di desa-desa, tetapi tetap terbuka
problem analisis “bagaimana menyesuaikan dasar mufakat di kampung atau di
nagari kepada pemerintahan Indonesia yang begitu luas daerahnya dan begitu
besar urusannya?”210
Lepas dari perdebatan intelektual yang begitu berharga berkaitan dengan
dasar ketatanegaraan Indonesia, yang menempatkan desa sebagai locus
argumentasi, dan tidaklah menjadi fokus uraian dalam buku untuk membuktikan,
apakah benar hal tersebut teradopsi dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak,
tetapi merupakan satu hal yang pasti: para pendiri negara umumnya sepakat bahwa
kedaulatan rakyat merupakan tabiat asli masyarakat Indonesia. Justru dengan tidak
jelasnya, problem analisisi karakter dan kelembagaan desa, seperti terekam dalam
uraian-uraian sebelumnya, maka pada masa-masa selanjutnya desa tetap akan
menjadi salah satu persoalan, khususnya terkait dengan kerangka hubungan
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Secara historis juga, pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas
lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan
mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut
dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat

209
J.H.A. Logemann, loc.cit.
210
Dalam Miriam Budiardjo (Editor), Masalah Kenegaraan, op.cit., hlm. 51.

150
hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya
mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan
hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di Sumatera Barat,
misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan
sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community).
Pengakuan dan penghormatan negara terhadap Desa dalam konstitusi sebenarnya
nampak jelas dalam penjelasan Pasal 18 disebutkan bahwa: Dalam territoir
Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan
volksgemenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai
susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa. Kalimat ini menegaskan bahwa republik harus mengakui keberadaan
Desa-Desa di Indonesia yang bersifat beragam.
Konsep zelfbesturende landchappen identik dengan Desa otonom (local
self government) yaitu Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan
berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan konsep
volksgetneenschappen identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat atau
menurut orang Bali disebut dengan “Desa adat” atau self governing community.
Zelfbesturende landchappen akan mengikuti azas desentralisasi (pemberian) dan
volksgetneenschappen akan mengikuti azas rekognisi/pengakuan (meski azas ini
tidak dikenal dalam semesta teori desentralisasi).
Namun keragaman dan pembedaan zelfbesturende landchappen (Desa
otonom) dan volksgetneenschappen (Desa adat) itu lama kelamaan menghilang,
apalagi pada masa Orde Baru dilakukan penyeragaman dengan model Desa
administratif, yang bukan Desa otonom dan bukan Desa adat. Lebih
memprihatinkan lagi, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 malah
menghilangkan istilah Desa. Pasal 18 ayat (1) menegasakan: “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota

151
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Juga
pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Meskipun istilah Desa hilang dalam Perubahan UUD 1945, tetapi klausul
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya…” berarti mengharuskan negara melakukan
rekognisi terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, yang di dalamnya
mencakup Desa, nagari, mukim, huta, sosor, kampung, marga, negeri, parangiu,
pakraman, lembang dan seterusnya. Dalam skala yang lebih luas, konsep
zelfbestuurende lanschappen sesungguhnya menunjuk kepada daerah swapraja,
sedangkan volksgemenschappen atau indlandshe gemeente menujuk kepada
kesatuan masyarakat hukum adat seperti Desa, nagari, mukim, huta, sosor,
kampung, marga, negeri, parangiu, pakraman, lembang dan seterusnya.
B. Otonomi Desa
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti
“sendiri” dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu, secara harafiah
otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya
berkembang menjadi pemerintahan sendiri.211 Selanjutnya diuraikan bahwa
otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari pemerintah
yang lebih atas kepada pemeritnah di bawahnya, dan sebaliknya, pemerintah di
bawahnya yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu
melaksanakannya.212
Menurut Bagir Manan, otonomi merupakan sebuah tatanan
ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan bukan bukan sekedar tatanan admistrasi
211
Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai,
dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm. 81.
212
Ibid., hlm. 82.

152
negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan ketatanegaraan, otonomi
berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.213
Selanjutnya, Ateng Syarifudin menunjuk makna otonomi sebagai kebebasan atau
kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheic).
Dalam pemberian tanggung jawab terkandung 2 (dua) unsur, yaitu:
1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta
kewenangan untuk melaksanakannya;
2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan
menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.214
Pada bagian lain Bagir Manan menyatakan bahwa otonomi adalah
kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) dari satuan
pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan
pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan idurus secara bebas dan
mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan
yang lebih rendah itu. Artinya kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi
otonomi.215
Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama,
komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai
komponen yang mengacu kepada konsep “pemerintahan” yang terdapat dalam
pengertian otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang
mengacu pada kata-kata “oleh, dari, dan untuk rakyat.” Kemandirian tersebut
diterjemahkan oleh Mohammad Hatta sebagai mendorong tumbuhnya prakarsa
dan aktivitas sendiri.216 Jadi, dari bermacam-macam pengertian itu otonomi dalam

213
Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., op.cit., hlm. 24.
214
Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies Natalis Universitas
Parahiyangan, Bandung, 1983.
215
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA.
216
Bhenyamin Hossein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi
Daerah Tingkat II Suatu Kajian Dsentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi
Negara, disertasi Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 9.

153
konteks pemerintahan mengandung 2 (dua) segi utama yaitu komponen wewenang
menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan komponen kemandirian.
Menurut Sutoro Eko217, pembicaraan tentang kewenangan desa
sebenarnya sangat relevan dilakukan dalam konteks desa sebagai local self
government, atau setidaknya pembicaraan itu akan mengarah pada pengembangan
desa menuju local self government. Selanjutnya diuraikan bahwa dari sisi historis
dan legal-formal, desa mempunyai 4 (empat) jenis kewenangan. 218 Pertama,
kewenangan generik atau kewenangan asli, yang sering disebut hak atau
kewenangan asal-usul yang melekat pada desa (atau nama lain) sebagai kesatuan
masyarakat hukum. Kedua, kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang harus
ada atau melekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-
self government), meski desa belum diakui sebagai daerah otonom seperti
kabupaten/kota. Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola
urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh
pemerintah kepada desa. Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas
pembantuan.
Untuk kewenangan yang pertama, yaitu kewenangan generik, sering pula
disebut sebagai property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri atau yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli. Ada
beberapa jenis kewenangan generik yang sering dibicarakan, yaitu (i) Kewenangan
membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; (ii) Kewenangan
mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan
adat, dll); (iii) Kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat; (iv)
Kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk adat-
istiadat); dan (v) Kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community
justice system), misalnya dalam hal penyelesaian konflik lokal. Di Sumatera Barat,

217
Ibid.
218
Ibid.

154
misalnya, terdapat lembaga Kerapatan Adat Nagari yang mempunyai kewenangan
dalam menjalankan peradilan, terutama penyelesaian sengketa pusako. Di Jawa,
dulu, ada dewan morokaki, sebuah wadah para tetua desa yang memberikan
pertimbangan kepada lurah desa, sekaligus menjalankan fungsi penyelesaian
sengketa lokal.
Untuk kewenangan yang kedua, yaitu kewenangan devolutif, yaitu
kewenangan yang harus ada atau melekat kepada desa karena posisinya sebagai
pemerintahan lokal (local-self government), meski desa belum diakui sebagai
daerah otonom seperti kabupaten/kota. Sebagai contoh, ada sejumlah kewenangan
desa yang bisa dikategorikan sebagai kewenangan devolutif, yaitu:
1. Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa;
2. Pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa;
3. Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan perangkat desa;
4. Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat;
5. Penetapan dan pembentukan Baadan Permusyawaratan Desa;
6. Pencalonan, pemilihan dan penetapan anggota Badan Permusyawaratan Desa;
7. Penyusunan dan penetapan anggaran desa;
8. Penetapan peraturan desa;
9. Penetapan kerja sama antar desa; dan
10. Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa.
Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola urusan
(bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh pemerintah
kepada desa. Menurut hukum positif dewasa ini, seperti Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan distributif ini disebut
sebagai “kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yang dalam pratiknya sering
dikritik sebagai “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan sisa”
karena desa hanya menerima kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambil
kabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa. Bagaimana bentuk-bentuk

155
kewenangan distributif? Kabupaten Solok, misalnya, sudah melakukan distribusi
sejumlah 111 urusan kepada nagari, yang hal itu bisa disebut sebagai kewenangan
distributif. Demikian juga dengan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat
Desa Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2001 sudah pernah menyiapkan
Manual Pemerintahan Desa, yang salah satu isinya adalah positive list tentang
kewenangan desa berdasarkan bidang-bidang pemerintahan dan pembangunan.
Daftar kewenangan itu dapat disebut kewenangan distributif, yang perlu dicermati
kembali dan dilembagakan menjadi kebijakan dan regulasi resmi.
Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Ini
sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan
hanya sekadar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan
prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Titik
kewenangannya justru bersifat “negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas
pembantuan bila tidak disertai pendukungnya.
Dalam pandangan Syamsuddin Haris,219 kita tidak mungkin otonomi desa
merupakan turunan dari otonomi daerah, esensi kedua otonomi ini tidak sama.
Pada tingkat kabupaten/kota basisnya desentralisasi oleh pusat, sementara basis
otonomi desa adalah kepercayaan masyarakat. Masalahnya adalah apakah desa di
masa depan akan didesain sebagaimana yang dilakukan oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga desa seolah-olah menjadi
eksperimen, menjadi ujicoba yang tidak ada habis-habisnya, padahal desa telah
mempunyai otonomi asli.

219
Syamsuddin Haris, “Otonomi Desa, Perlukah Diatur?”, dalam www.forumdesa.com.,
diakses di Sukoharjo pada tanggal 22 April 2010, pukul 21.33 WIB.

156
Dalam hal ini, self governing community tetap bisa menjadi basis
mengembangkan otonomi desa dan demokrasi desa. Tidak semua desa harus
dipaksakan memiliki badan permusywaratan karena ada desa yang telah memiliki
hal-hal seperti itu, ada yang sifatnya sebagai adat atau agama, sehingga dapat
kembali ke semangat keanekaragaman. 220
Perjalanan pemerintahan desa selama enam dasawarsa dalam sistem
birokrasi pemerintahan Indonesia menurut para pakar telah sengaja didesain serta
dikondisikan sebagai unit pemerintahan palsu. Kekeliruan atas konsep
pemerintahan desa menjadikan desa hanya sebagai pemerintahan semu. Saat ini
Negara telah melakukan redistribusi sumberdaya serta memberikan mandat
kewenangan dan pembangunan kepada desa yang didahului dengan sebuah
pengakuan dan penghormatan secara penuh sebagaimana tersurat di dalam UU No.
6 tahun 2014 tentang Desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi Republik Indonesia menyambut lahirnya undang-undang
tersebut sebagai titik tolak atas lahirnya (kembali) desa baru, sekaligus menjadi
momentum untuk membungkus serta membuang jauh-jauh paradigma desa lama.
Reaksi atas lahirnya UU Desa memang beragam, sebagian kecil
akademisi ada yang menilai terlalu ambisius. Di ujung yang berbeda, terdapat
banyak sekali pemimpin desa, masyarakat desa, pegiat pemberdayaan dan
organisasi-organisasi keagamaan besar, justru mengapresiasi kelahiran UU Desa
dengan sangat luar biasa. Sikap positifnya ditunjukkan dengan cara melakukan
sosialisasi, bedah undang-undang yang melibatkan banyak pihak secara mandiri.
Mereka juga dengan sadar telah secara bertahap menyiapkan diri untuk mengawal
implementasi UU Desa supaya dapat berjalan sesuai dengan ruh dan semangat
dasarnya.

220
Ibid.

157
BAB VI
KOMISI YUDISIAL: DINAMIKA DALAM KETATANEGARAAN

A. Prinsip Negara Hukum


Dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia, impelemntasi demokrasi
tidak dapat dilepaskan dari hukum, karena demokrasi tanpa hukum tidak akan
terbangun dengan baik, sebaliknya, hukum tanpa sistem politik yang demokratis,
hanya menjadi hukum yang elitis dan represif. 221 Berangkat dari dua hal tersebut
itulah kemudian muncul gagasan tentang pembatasan kekuasaan pemerintah
melalui konstitusi, agar praktik-praktik kewenangannya tidak melanggar hak-hak
asasi manusia, atau yang disebut sebagai demokrasi konstitusional, yang pada abad
ke-19 dan permulaan abad ke-20 ditandai dengan pemberian istilah rechtstaat
atau the rule of law, yang di Indonesia diterjemahkan dengan “Negara Hukum”.222
Menurut F.J Stahl, sebagaimana dikutip oleh Padmo Wahyono 223, dari
kalangan hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri negara hukum
(rechtstaat) sebagai berikut: (a) Pengakuan terhadap hak-hak azazi manusia; (b)
Pemisahan kekuasaan Negara; (c) Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang; (d)
Adanya peradilan administrasi. Sementara, A.V.Dicey, sebagaimana ditulis oleh
Moh. Mahfud M.D., dari kalangan Anglo Saxon, memberikan ciri-ciri Negara
hukum (the rule of law) sebagai berikut: (a) Supremasi hukum, dalam arti tidak
boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika

221
Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, op.cit., hlm. 1.
222
Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
hlm. 57.
223
Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit Ind Hill Co,
hlm. 30.

158
melanggar hukum; (b) Kedudukan yang sama didepan hukum, baik bagi rakyat
biasa maupun bagi pejabat; (c) Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-
undang dan keputusan-keputusan peradilan.224Perumusan ciri-ciri Negara hukum
yang dilakukan oleh F.J Stahl dan A.V. Dicey kemudian ditinjau ulang oleh
“International Comission of Jurists” pada konferensinya di Bangkok pada tahun
1965 yang memberikan ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, perlindungan
Konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula
menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin; Kedua, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; Ketiga,
pemilihan umum yang bebas; Keempat, kebebasan menyatakan pendapat; Kelima,
kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; Keenam, pendidikan
kewarganegaraan.225
Dari apa yang telah diuraikan diatas, nyata bahwa adanya kekuasaan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak, tidak dapat dilepaskan dari ide negara
hukum, karena gagasan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman (yudikatif)
lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum. Dengan
demikian, maka salah satu posisi strategis dalam kerangka terselenggaranya
pemerintahan yang demokratis adalah keberadaan badan-badan kehakiman yang
bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunal). Pasal 10
Declaration of Human Rights memandang bahwa kebebasan dan tidak
memihaknya badan-badan pengadilan (independent and impartial tribunal) di
dalam tiap-tiap negara sebagai hal yang esensial. Badan Yudikatif yang bebas
adalah syarat mutlak di dalam suatu masyarakat yang bebas di bawah rule of law.
Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif,
legislatif ataupun masyarakat umum, di dalam menjalankan tugas yudikatifnya. Ini
dimaksudkan agar supaya badan yudikatif itu dapat berfungsi secara sewajarnya

224
Moh. Mahfud M.D., Demokrasi dan Konstitusi, op.cit., hlm. 27-28.
225
Ibid.

159
demi penegakan hukum dan keadilan, serta menjamin hak-hak asasi manusia. Oleh
karena itu, hadirnya sistem peradilan yang bersih sangat diperlukan dalam rangka
menunjang konsistensi Negara Hukum.
B. Harapan Reformasi Peradilan
Hadirnya Komisi Yudisial diharapkan mampu membawa perubahan
bagi dunia peradilan di Indonesia kearah yang lebih baik lagi. Di mana Komisi
Yudisial hadir dalam krisis kepercayaan atau apatisme masyarakat Indonesia
akan penegak hukum dan produk hukum itu sendiri yang jarang sekali
memberikan rasa keadilan dan persamaan didepan hukum dengan diskriminasi
bagi pencari keadilan. Oleh karena itulah komisi ini hadir dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Secara makro, reformasi hukum di Indonesia dinilai belum berhasil.
Alih-alih semakin mandiri dan berintegritas, sejumlah persoalan krusial seperti
mafia peradilan dan korupsi terus terjadi dan melibatkan aparat penegak hukum
negeri ini. Mentalitas positif dan komitmen teguh menjadi kunci perbaikan yang
belum digarap optimal hingga saat ini. Hingga hari ini (2016), hampir dua
dekade sejak reformasi bergulir, kinerja aparat penegak hukum, dalam hal ini
adalah kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dinilai belum optimal. Sejumlah
kasus hasil operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
yang ternyata melibatkan aparat penegak hukum, mengindikasikan masih
kuatnya mafia peradilan di negeri ini. Sejumlah kasus yang menjerat polisi,
jaksa, dan hakim masih terus terjadi. Kasus terakhir yang melibatkan aparat
penegak hukum adalah kasus jaksa Devianti dan Fahri. Keduanya ditangkap pada
11 April lalu karena diduga menerima suap untuk penanganan perkara
penyalahgunaan anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Subang,
Jawa Barat. Catatan keterlibatan penegak hukum, baik hakim, jaksa, maupun
polisi, bisa panjang jika dirinci. Hal ini semua menguatkan tudingan publik
bahwa istilah ”mafia peradilan” memang masih ada dalam institusi peradilan
kita. Pekerjaan mengurai dan menuntaskan permasalahan di bidang hukum

160
bukanlah perkara sederhana. Masalah bisa timbul mulai dari hadirnya
kepentingan pihak tertentu dalam penyusunan peraturan perundang-undangan,
lemahnya penerapan aturan hukum, hingga buruknya penegakan hukum oleh
aparat. Dari rangkaian hasil jajak pendapat dan survei tatap muka Litbang
Kompas (19 April 2016) terungkap bahwa mayoritas publik negeri ini menilai
aparat penegak hukum di Indonesia belum independen dan bebas dari mafia
peradilan.
Sinyalemen terjadinya permainan dan jual beli perkara oleh aparat
penegak hukum terjadi mulai pengadilan tingkat pertama hingga tingkat banding
di berbagai daerah. Merebaknya penyuapan terhadap hakim kian mengokohkan
citra negatif peradilan, sekaligus menunjukkan betapa susahnya mencari dan
menemukan keadilan hukum yang benar-benar bersih dan obyektif dalam sistem
peradilan Indonesia. Sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan hakim
membuat banyak pihak mempertanyakan lemahnya fungsi pengawasan internal
yang dilakukan Mahkamah Agung. Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal
terhadap hakim pun diharapkan dapat diperkuat kewenangannya. Dengan
demikian, fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dapat berjalan efektif.
Masih banyaknya mafia hukum yang merusak citra peradilan Indonesia
memunculkan wacana perlu penguatan Komisi Yudisial (KY). Sebagai lembaga
pengawas eksternal hakim, penguatan pada fungsi pengawasan diharapkan dapat
berjalan lebih optimal dan efektif.
Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera mengatakan,
reformasi di sektor yudisial sudah dilakukan sejak tahun 1999. Namun,
kenyataannya tidak berdampak positif dalam membasmi maraknya mafia hukum
di lembaga peradilan. Bivitri menjelaskan, ada 5 (lima) modus yang kerap
terjadi di dalam lingkup pengadilan. Dalam tahap prapersidangan, calo perkara
membangun hubungan baik dengan hakim atau pegawai pengadilan dengan
memberikan hadiah atau fasilitas. Tujuannya, menciptakan hutang budi ketika
berperkara. Pada tahap pendaftaran perkara pun sering ditemui adanya pungutan

161
liar di luar ketentuan saat pendaftaran perkara dan menawarkan penggunaan jasa
advokat tertentu. Biasanya oknum tersebut akan mengaku bisa mempercepat atau
memperlambat pemeriksaan perkara. Modus lain yang biasa terjadi, calo perkara
kerap meminta pihak tertentu untuk mengatur majelis hakim pada saat penetapan
majelis hakim. Sedangkan dalam proses persidangan biasanya muncul upaya
merekayasa persidangan dengan mengatur saksi, pengadaan barang bukti sampai
pada mengatur putusan pengadilan. Modus terakhir, yakni pungutan liar yang
diminta oleh oknum tertentu guna mempercepat atau memperlambat minutasi
putusan.
Beberapa waktu yang lalu, Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK),
Mahfud MD, menyerukan perlu dibuatnya perppu untuk menyelamatkan kondisi
peradilan Indonesia. Hal ini menyusul terungkapnya kasus dugaan suap yang
melibatkan panitera PN Jakarta Pusat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) beberapa waktu lalu. Dalam perkembangan kasus tersebut, KPK
mengindikasikan ada keterlibatan sejumlah orang dalam MA.
Akan tetapi, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko
Ginting mengatakan, wacana mengenai penerbitan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang terkait mafia peradilan dinilai tidak akan menjawab
permasalahan peradilan. Miko mengatakan, persoalan mafia peradilan harus
dipecahkan melalui langkah-langkah yang tepat, terutama oleh Mahkamah
Agung. Capaian reformasi dan kewibawaan peradilan memang bergantung pada
langkah-langkah yang diambil pimpinan MA. Selama ini, menurut Miko, wacana
penerbitan perppu muncul mengingat sikap pimpinan MA yang pasif dan
tertutup. Selain itu, Miko juga menilai bahwa MA selama ini belum mampu
memperkuat sistem pengawasan, baik secara internal maupun eksternal. Dari segi
internal, penempatan Badan Pengawas MA yang bertanggung jawab melalukan
pengawasan internal harus diperkuat. Sedangkan dari segi eksternal, terkait
dengan etik dan perilaku hakim dapat diperkuat dengan optimalisasi peran
Komisi Yudisial (KY).

162
Dibentuknya Komisi Yudisial di Indonesia merupakan reaksi terhadap
kegagalan sistem peradilan utnuk menciptakan peradilan yang lebih baik.
Kegagalan sistem peradilan tersebut menyangkut banyak aspek mulai dari aspek
kelembagaan, aspek substansi dan aspek budaya hukum. Aspek kelembagaan
antara lain mencakup sub aspek pengawasan baik pengawasan administrasi,
teknis yudisial maupun prilaku hakim. Dibentuknya Komisi Yudisial disebabkan
oleh tidak efektifnya pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya keadaan ini,
antara lain: (i) Kualitas dan integritas pengawas yang kurang memadai. (ii)
Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan. (iii) Belum adanya
kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan,
memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses). (iv) Semangat membela
sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman
menjadi tidak seimbang dengan perbuatan yang dilakukan. (v) Tidak adanya
kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga peradilan terendah sampai dengan
tertinggi untuk menindaklanjuti hasil pengawasan. 226
Kegagalan sistem pengawasan tersebutlah yang kelihatannya belum
dapat diatasi oleh Mahkamah Agung, namun dilain pihak pada waktu yang
bersamaan juga dilaksanakan konsep peradilan satu atap yang justru
menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan di Mahkamah
Agung227, karena dunia peradilan kita menjadi tidak dapat tersentuh oleh
lambaga lain. Situasi dan kekhawatiran tersebut mendorong lahirnya gagasan ke

226
Bulletin Komisi Yudisial, Volume I No. 5 April 2007: 24.
227
Terutama sepanjang Orde Baru, UU No. 14 Tahun 1970 menempatkan hakim di
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer,
sepanjang menyangkut urusan teknis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung, namun untuk
karier dan promosi berada di bawah eksekutif, yaitu Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan
Departemen Pertahanan dan Keamanan. Sejak undang-undang itu diubah lewat UU No. 35 Tahun
1999, kedudukan para hakim dan sistem peradilan seluruhnya berada di bawah kendali Mahkamah
Agung. Seterusnya UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 47 Tahun 2009 meneruskan tradisi itu.

163
arah pembentukan lembaga independen yang berada diluar Mahkamah agung,
yang dapat mengimbangi agar tidak terjadi monopoli kekuasaan pada lembaga
tersebut. Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut, maka dibentuklah
Komisi Yudisial yang diharapkan menjadi “external auditor”, yang dapat
mengimbangi pelaksana kekuasaan kehakiman.
Adanya sistem pengawasan yang saling imbang dalam sistem kekuasaan
kehakiman tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya peradilan yang
lebih baik. Komisi Yudisial sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial di mana
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam
pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan
lainnya. Dalam melaksanakan tugasnya menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta prilaku hakim, Komisi Yudisial selama masa
perjalanannya telah menerima banyak sekali laporan pengaduan dari masyarakat
yang melaporkan para hakim yang dinilai telah berprilaku melanggar kode etik,
tidak profesional dan melanggar prinsip imparsialitas dalam menjalankan
tugasnya. Tetapi seiring berjalannya waktu peran Komisi Yudisial dalam
memberantas mafia peradilan228 serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang
merugikan bagi pencari keadilan terjadi perbedaan pandangan yang sangat
signifikan sekali dalam menginterpretasikan Undang-undang khususnya dalam
pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap para hakim.
Berangkat dari persoalan ini timbullah konflik antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial dengan dimohonkannya permohonan Uji Materiil terhadap UU
Komisi Yudisial.

228
Istilah mafia peradilan biasa digunakan untuk menyebutkan bermacam-macam praktik
kolusi, korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi di dalam praktik sistem peradilan sejak
dari penanganan perkara di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sementara istilah tersebut belum
pernah dirumuskan dalam sistem regulasi.

164
Konflik antara MA dan Komisi Yudisial, dilatarbelakangi oleh keegoan
MA yang merasa fungsi pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial tidak
termasuk dalam lingkup pengawasan terhadap lembaga mereka. Mahkamah
Agung berasumsi bahwa Hakim Agung tidak boleh diawasi oleh Komisi
Yudisial, dan yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial hanyalah hakim
pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang merupakan hakim karir.
Sedangkan hakim agung merupakan hakim independen, yang tidak boleh
diawasi. Demikianlah alasan yang disampaikan oleh MA beserta dengan alasan-
alasan lainnya. Pada hari Rabu tanggal 23 Agustus 2006 Mahkamah Konstitusi
telah memutuskan permohonan pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Para pemohon adalah 31 (tiga puluh satu) hakim agung. Mereka mengajukan
permohonan pada 10 Maret 2006. Amar putusan 005/PUU-IV/2006 menyatakan
bahwa Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah
Konstitusi”, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal
23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, serta Pasal 24 ayat (3)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
bertentangan dengan UUD 19945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Peran Komisi Yudisial setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut antara
lain dihapuskannya fungsi pengawasan Komisi Yudisial (KY) tersebut. Secara
konstitusional, fungsi Komisi Yudisial pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 adalah hanya sebagai pengusul
pengangkatan Hakim Agung kepada DPR. Dengan kata lain Komisi Yudisial
hanya menjalankan fungsi pengawasan yang bersifat preventif saja, sedangkan
pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak ada lagi.
Artinya, pengawasan yang bersifat represif sudah dibatalkan dengan putusan

165
tersebut yang menyangkut juga perihal pengusulan sanksi kepada pimpinan MA
atau MK setelah memberikan keterangan di depan Majelis Kehormatan.
Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur
secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak serta-merta
menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya
setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang
diucapkan pada 23 Agustus 2006. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu,
keberadaan Komisi Yudisial pun menjadi tidak terlalu relevan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya hanya mengusulkan pengangkatan
hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebuah “wewenang sumir” yang
seyogianya hanya boleh diperankan oleh panitia yang dibuat secara khusus dan
bersifat sementara (ad hoc committee), bukan oleh lembaga negara permanen
yang wewenangnya bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based
power).
Meskipun demikian, Komisi Yudisial masih terselamatkan oleh
hadirnya dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang mengatur pengawasan Komisi Yudisial.
C. Anatomi Fungsi dan Peran Komisi Yudisial
Pengaturan tentang Komisi Yudisial sendiri diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pada Pasal 24B, serta diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No.
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang merupakan pelaksana ketentuan
dari UUD 1945. Rekrutmen Hakim Agung telah mendapatkan perubahan yang
cukup signifikan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, di mana
Presiden hanya mengangkat hakim agung yang diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. Para calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial yang memang
bertugas untuk mengusulkan nama-nama calon hakim agung kepada Dewan

166
Perwakilan Rakyat untuk dipilih melalui mekanisme fit and proper test, yang
dilakukan dihadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.229
Dengan keberadaan Komisi Yudisial diharapkan dapat memberikan angin
segar dalam dunia kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yang memiliki
wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim, terutama bagi mereka pencari keadilan. Dengan
Komisi Yudisial diharapkan pada masa yang akan datang peradilan di Indonesia
bisa terwujud peradilan yang berwibawa dan bermartabat serta bebas dari praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Pada awal sejarahnya, Komisi Yudisial didirikan dengan kesadaran
bahwa Mahkamah Agung itu harus diawasi oleh lembaga yang independen, yang
namanya Komisi Yudisial, agar bisa menjadi penangkal ‘Abuse of Power’ atau
kesewenang-wenangan dari MA serta ikut menengakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Ada kelemahan dasar dari UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yaitu bahwa Komisi Yudisial hanya
bisa memberikan rekomendasi sanksi terhadap hakim yang diputuskan melanggar
kehormatan dan keluhuran martabatnya oleh Komisi Yudisial, tapi kita tidak tahu
sampai sejauh mana rekomendai sanksi Komisi Yudisial itu harus dilaksanakan
oleh Mahkmah Agung. Tentunya tidak hanya itu saja, masih banyak kelemahan-
kelemahan lain yang harus diperbaiki seperti tidak adanya batasan yang jelas

229
Dalam aturan hukum sebelumnya, yaitu Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, disebutkan bahwa (1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara
dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Daftar nama calon
sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden
selaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan rakyat mendengar pendapat Mahkamah Agung dan
Pemerintah. Sehubungan dengan aturan ini, Meskipun secara yuridis disebutkan nama calon Hakim
Agung diajukan Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi nama Hakim Agung baru sudah dapat diketahui,
apabila Presiden sudah menentukan namanya sendiri. Tentunya proses ini tidak baik karena berkaitan
dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang independen. Hal ini terjadi karena selama ini
rekruitmen Hakim Agung dilakukan secara tertutup. Masyarakat kurang mempunyai akses informasi
mengenai berapa jumlah kebutuhan Hakim Agung Dan jika proses ini dibiarkan berlanjut artinya
pemerintah (Presiden sebagai Kepala Negara) dibiarkan menentukan sendiri calonnya walaupun sudah
ada aturannya, maka secara psikologis akan mempengaruhi Hakim Agung yang terpilih menjadi ketua
Mahkamah Agung.

167
sampai sejauh mana campur tangan Komisi Yudisial mengawasi dan menjaga
keluhuran serta martabat hakim.
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, Komisi Yudisial
dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Buku Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat menggarisbawahi, Pasal
24B Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 ini hadir karena didasari pemikiran
bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan
figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan
keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam
susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran
martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk
mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham
Indonesia adalah negara hukum. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan
dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus
dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan
hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.
Pengaturan Komisi Yudisial di dalam konstitusi ini dianggap tepat oleh
beberapa kalangan, mengingat ide dasar dari pembentukan Komisi Yudisial adalah
bahwa pengadilan telah menjadi lembaga yang diyakini sangat korup (judicial
corruption) dan penuh dengan praktik-praktik yang sangat mencederai nilai-nilai
keadilan, seperti memperdagangkan perkara yang telah terjadi secara sistematis,
sehingga muncul istilah “mafia peradilan”. Praktik-praktik tersebut semakin

168
menggejala ketika pengawasan internal tidak mampu mengendalikannya dengan
semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Komisi Yudisial kemudian dibentuk
dengan semangat untuk mengembangkan sistem pengawasan eksternal.
Sebagai pengawas eksternal, Komisi Yudisial menjalankan wewenang
dan tugasnya berupa pengawasan preventif dalam bentuk seleksi hakim agung
sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang berupa mengusulkan
pengangkatan hakim agung. Selain berupa pengawasan preventif, Komisi Yudisial
juga memiliki wewenang dan tugas pengawasan represif sebagai wewenang dan
tugas konstitusional yang muncul dari frasa “... mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim” sebagaimana didesain oleh Pasal 24B. Dengan latar belakang demikian,
pengaturan Komisi Yudisial dalam UUDTahun 1945 sudah tepat dan cukup,
sehingga sebenarnya UUDNRI Tahun 1945 telah memberikan landasan
konstitusional yang cukup bagi efektivitas kinerja sebuah lembaga yang diidealkan
akan menjadi pengawas eksternal.
Dalam sebuah penelitian yang diselenggaran Komisi Hukum Nasional
pada tahun 2008, salah satu hal yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi
besar adalah perihal apakah frasa “... wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” berarti juga
memperbolehkan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan untuk melakukan
pemeriksaan terhadap putusan-putusan yang dibuat oleh hakim. Dalam praktiknya,
Komisi Yudisial telah melakukan penelitian putusan hakim di sejumlah daerah
bekerja sama dengan kalangan perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan
lembaga swadaya masyarakat. Mantan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas
menyatakan bahwa pemeriksaan atau penelitian putusan hakim itu dapat dilakukan
Komisi Yudisial dengan alasan bahwa menurut hukum acara putusan hakim yang
telah diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum menjadi hak publik
(public right), sehingga publik mempunyai hak untuk menelaah putusan tersebut,

169
bukan mengubah putusan. Pemeriksaan putusan oleh Komisi Yudisial merupakan
entry point untuk mengetahui apakah hakim melanggar kode etik atau tidak.
Kalangan hakim merasa keberatan dengan pemeriksaan putusan ini. Hal
ini mengingat pengawasan Komisi Yudisial tidak boleh masuk ke dalam teknis
yudisial. Akan tetapi, ada juga yang berpandangan bahwa Komisi Yudisial dapat
memeriksa putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht
van gewijsde).
Aktivitas melakukan pemeriksaan terhadap putusan-putusan yang dibuat
oleh hakim semacam ini, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, sudah keluar
dari pengertian pengawasan yang harus diartikan hanya sebagai pengawasan etik.
Menurut Mahkamah Konstitusi, frasa "dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, yang seharusnya hanya
memberikan sebagian kewenangan pengawasan etik kepada Komisi Yudisial,
secara sadar ataupun tidak, telah ditafsirkan dan dipraktikkan sebagai pengawasan
teknis justisial dengan cara memeriksa putusan. Padahal, norma pengawasan yang
berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan
pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain
kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen) sesuai dengan hukum acara.
Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan sebagai pengawasan di luar
mekanisme hukum acara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res
judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang telah diputus oleh hakim harus
dianggap sebagai benar (de inhoud van hetvonnis geld als waard). Sehingga,
apabila suatu putusan hakim dianggap mengandung sesuatu kekeliruan maka
pengawasan yang dilakukan dengan cara penilaian ataupun koreksi terhadap hal
itu harus melalui upaya hukum (rechtsmidellen) menurut ketentuan hukum acara
yang berlaku. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas tidak mengurangi hak warga
negara, khususnya para ahli hukum, untuk menilai putusan hakim melalui kegiatan
ilmiah dalam forum atau media ilmiah, seperti seminar, ulasan dalam jurnal
hukum (law review), atau kegiatan ilmiah lainnya.

170
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, kalaupun misalnya Komisi
Yudisial diberi tugas untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim,
sebaiknya kewenangan ini tidak dikaitkan dengan wewenang Komisi Yudisial
berupa ”wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, melainkan dikaitkan dengan ”Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung”. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial untuk memeriksa
putusan yang telah dibuat oleh hakim semata-mata untuk melihat apakah rekam
jejak putusan yang pernah dibuat dapat mendukung kariernya ke depan, sehingga
Komisi Yudisial memiliki preferensi untuk mengusulkannya menjadi hakim
agung. Jadi, pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial tidak ada sangkut
pautnya dengan teknis justisial, karena memang putusan pengadilan tidak boleh
dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen).
Tegasnya, tugas Komisi Yudisial untuk memeriksa putusan yang telah
dibuat oleh hakim sebaiknya diarahkan untuk tujuan yang berupa menggali
informasi sebanyak mungkin rekam jejak seorang hakim. Segala logika hukum
yang dibangun oleh seorang hakim dalam sebuah putusan dan dissenting opinion
seyogianya menjadi salah satu aspek penting bagi Komisi Yudisial untuk
menjaring hakim tertentu yang akan diusulkannya menjadi hakim agung kepada
DPR. Patut dipertimbangkan pula, misalnya, putusan hakim yang menangani
perkara yang kurang lebih berlatar belakang dan berkonstruksi hukum yang sama,
tetapi putusan yang dijatuhkan berbeda. Dalam perkara pidana, misalnya, sering
dijumpai adanya penjatuhan hukuman kepada pelaku kejahatan yang kurang lebih
sama, namun pidana yang dijatuhkan oleh seorang hakim mempunyai selisih yang
signifikan. Hal ini lazim disebut dengan “disparitas pidana” (sentencing disparity).

171
Aaron J. Rappaport menyatakan bahwa “... sentencing disparity ... occurred when
similarly situated offenders received disparate sentences.”230
Menurut Muladi, disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah
penerapan sanksi pidana yang berbeda-beda tanpa alasan rasional (unwarranted),
baik terhadap tindak pidana yang sama maupun tindak pidana yang kurang lebih
sama ancaman pidananya. Disparitas pidana menimbulkan sikap tidak puas bagi
terpidana, keluarganya, dan bagi praktik penegakan hukum serta pendidikan
hukum. Disparitas pidana ini bertentangan dengan salah satu prinsip supremasi
hukum, yakni penerapan hukum harus menjunjung tinggi equality, justice, dan
certainty. Selain itu, di berbagai negara, disparitas pidana selalau dikaitkan dengan
diskriminasi yang diartikan sebagai preferential treatment of a person or a group
of people based on certain characteristics such as religion, race, gender, political
opinion, property, status, colour, etc.231
Di beberapa negara, terjadinya “disparitas pidana” ini meresahkan para
pencari keadilan, karena sangat mengganggu kepastian hukum dan dapat merusak
kredibilitas lembaga peradilan. Untuk mengurangi terjadinya “disparitas pidana”
ini, beberapa negara membentuk lembaga semacam sentencing commission untuk
mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” dalam putusan hakim. Di negara
lain, untuk mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” ini, dibentuk judicial
service commission.
Dengan demikian, tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi
Yudisial sebaiknya tidak dikaitkan dengan aspek pengawasan Komisi Yudisial,
melainkan aspek rekrutmen hakim. Jadi, hakim yang dalam putusannya

230
Aaron J. Rappaport, “Unprincipled Punishment: The U.S. Sentencing Commission’s Troubling
Silence about the Purposes of Punishment”, Buffalo Criminal Law Review, Vol. 6:1043, January 22,
2004, hlm. 8.
231
Muladi, “Disparitas Pidana (Disparity of Sentencing)”, (makalah disampaikan dalam Kuliah Umum
Peserta Pendidikan dan Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan
Angkatan II, diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan Hak
Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, di Gedung Lembaga
Ketahanan Nasional, Jakarta, 5 Juni 2008), hlm. 1.

172
mengandung “disparitas pidana”, misalnya, dan dinilai mencederai nilai-nilai
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, akan menjadi catatan Komisi
Yudisial apabila ia memiliki peluang untuk dicalonkan menjadi hakim agung.
Tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial yang dikaitkan dengan
aspek pengawasan Komisi Yudisial hanya akan menuai resistensi dari kalangan
hakim dan telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “sudah keluar dari
pengertian pengawasan etik”.
Akan tetapi, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi
Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.”
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mutasi”
dalam ketentuan ini meliputi juga promosi dan demosi. Penulis khawatir bahwa
ketentuan ini akan rawan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi karena dapat
disimpulkan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa pemeriksaan putusan sudah keluar dari pengertian pengawasan etik.
Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur
secara eksplisit dalam UUDNRI Tahun 1945, namun tidak serta-merta menjadi
sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah
adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan
23 Agustus 2006. Hal ini, diakui ataupun tidak, merupakan akibat dari tidak
maksimalnya penormaan pada tingkat undang-undang yang merupakan atribusi
langsung dari Pasal 24B UUD Tahun 1945
D. Pembatalan Eksistensi
Dalam perkembangannya UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dirasa belum mengakomodir secara maksimal wewenang Komisi
Yudisial berdasarkan UUD 1945, sehingga wewenang pengawasan Komisi
Yudisial tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Wewenang Pengawasan Komisi

173
Yudisial terhadap Hakim Agung, Hakim dan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur
dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial telah dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
dan tidak dapat dilaksanakannya wewenang pengawasan oleh Komisi Yudisial.
Pasca dikabulkannya permohonan pengujian undang-undang (judicial
review) yang diajukan 31 orang Hakim Agung oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
telah membawa implikasi yang luar biasa terhadap eksistensi Komisi Yudisial
dalam sistem peradilan di Indonesia. Dengan dikeluarkannya putusan ini tentunya
secara yuridis, Pasal-Pasal yang mengatur tentang fungsi pengawasan Komisi
Yudisial terhadap hakim dinyatakan tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan
hukum lagi karena dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.232 Keputusan ini
tentunya akan berdampak buruk terhadap dunia peradilan yang selama ini dikenal
dengan bobroknya sistem yang ada dilingkungan tersebut, di mana mafia peradilan
yang sudah menjadi rahasia umum.
Ada tujuh Pasal dalam Undang-Undang Komisi Yudisial dan satu
Pasal dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang dimohonkan uji
materilnya oleh ke 31 Hakim Agung itu, yaitu di Undang-Undang Komisi Yudisial
pada Pasal I angka 5, Pasal 20, Pasal 21 Pasal 22 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 23
ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4),
serta Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 34 ayat (3). Alasan-alasan
yang diajukan oleh pemohon bahwa Pasal-Pasal pada Undang-Undang Komisi
Yudisial dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut inkonstutsional
adalah: Pertama, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

232
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan antara lain bahwa “segala
ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid).”

174
pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim", oleh para
pemohon dimaknai hanya dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi
Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung saja. Kedua,
kewenangan Komisi Yudisial yang lain tidak menjangkau Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi, melainkan hanya hakim dari lingkungan badan-badan peradilan
di bawah MA, dengan alasan untuk menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi
tidak seluruhnya berasal dari dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding. Demikian
juga Hakim Ad Hoc. Menurut pemohon, ketentuan itu diperkuat oleh Pasal 25
UUD 1945. Ketiga, perluasan makna "hakim" menurut para pemohon yang
terdapat pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 oleh Pasal 1 angka 5 dan Pasal-Pasal
UU Komisi Yudisial lainnya yang terkait, serta Pasal 34 UU Kekuasaan
Kehakiman bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal,
yaitu: lex certa, lex stricta, dan lex superiors derogat legi inferiori. Keempat,
pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap para Hakim Agung dengan memanggil
mereka atas beberapa kasus yang telah diadilinya, menurut pemohon bertentangan
dengan prinsip independensi peradilan dari para Hakim Agung yang dijamin oleh
UUD 1945. Kelima, secara universal, menurut pemohon kewenangan pengawasan
Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung karena Komisi Yudisial adalah
mitra MA dalam pengawasan terhadap para hakim pada lingkungan di bawah
MA, sehingga Pasal 20 Undang - Undang Komisi Yudisial bertentangan dengan
UUD 1945. Keenam, dalam usul pemberhentian Hakim Agung, menurut pemohon,
UU MA telah mengaturnya. Demikian juga usul pemberhentian para hakim MK
telah diatur Undang-Undang MK sehingga tidak memerlukan campur tangan
Komisi Yudisial. Ketujuh, oleh karena itu, para pemohon dalam petitum-nya
memohon agar MK menyatakan Pasal-Pasal Undang-Undang Komisi Yudisial dan
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang disebutkan di atas bertentangan
dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

175
Adapun pembatalan tersebut dikarenakan perbedaan penafsiran
pengertian hakim oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi yang
versi MA dan MK, pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial tidak termasuk
Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Padahal, jika kita mereview dan
melihat historis nya saat pengusulan Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial
hampir sebagian RUU tentang Komisi Yudisial rumusan serta pendapat dari
Mahkamah Agung yang dikenal dengan versi MA. Tetapi sungguh sangat
mengherankan dan diluar dugaan ketika 31 Hakim Agung mengajukan judicial
review tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
kepada Mahkamah Konstitusi dan disambut positif serta momen ini dimanfaatkan
oleh Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal-Pasal yang berkenaan
dengan lembaganya di dalam UU tersebut yang tidak pernah ada termuat dalam isi
permohonan oleh pemohon (31 Hakim Agung). 233
Dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) Komisi Yudisial juga mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim. Kata hakim pada Pasal 24 (1) tersebut memakai
huruf kecil bukan menggunakan huruf besar pada pada huruf h nya. Ini
menunjukkan bahwa secara linguistik penggunaan huruf h kecil untuk kata hakim
bukan untuk hakim tertentu (Hakim Agung) melainkan untuk sernua hakim
termasuk Hakim, Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Kemudian Pasal I
butir 5 UU No.22 Tahun 2004 menyatakan: " Hakim adalah Hakim Agung dan
hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi".
Adapun Pasal-Pasal yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi
dalam putusan Mahkamah Konstitusi adalah: Pertama, Pasal 1 butir 5, Hakim

233
Dari 9 hakim Mahkamah Konstitusi, tidak ada satu pun yang mengajukan dissentinng
opinion (pendapat berbeda). Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, yang dalam
banyak tulisan dalam buku-bukunya berharap agar hakim konstitusi dapat menjadi obyek pengawasan
KY, ternyata juga ikut mendukung putusan pembatalan itu.

176
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak termasuk dalam pengertian hakim. 234 Kedua,
pasal 20, Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi hakim. Ketiga, pasal 21,
Komisi Yudisial tidak berwenang lagi mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap
hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung (MA) dan atau Mahkamah Konstitusi
(MK). Keempat, pasal 22 huruf e, Komisi Yudisial tidak dapat lagi membuat
laporan basil pemeriksaan yang berupa rekomendasi. Kelima, pasal 22 ayat (5).
Komisi Yudisial tidak dapat meminta MA dan MK mengeluarkan penerapan paksa
jika hakim tidak bersedia memberi keterangan atau data yang diminta Kornisi
Yudisial. Keenam, pasal 23 ayat (2), usulan penjatuhan sanksi berupa teguran
tertulis yang semula mengikat MA dan MK, kini tidak lagi mengikat MA dan MK.
Ketujuh, pasal 23 ayat (3), Komisi Yudisial tidak bisa mengusulkan penjatuhan
sanksi berupa pemberitahuan sementara dan pemberhentian.
Kedelapan, pasal 23 ayat (5), mekanisme pengusulan pemberhentian
hakim oleh MA dan MK ke Presiden jika pembelaan diri hakim ditolak.
Kesembilan, pasal 24 ayat (1), Komisi Yudisial tidak berhak lagi mengusulkan
penghargaan terhadap hakim kepada MK. Kesepuluh, pasal 25 ayat (3) dan ayat
(4), rapat pleno Komisi Yudisial mengenai usul penjatuhan sanksi untuk hakim
MK dibatalkan. Kesebelas, pasal 34 (3) UU Kekuasan Kehakiman, pengawasan
perilaku hakim dan hakim agung yang dilakukan Komisi Yudisial dibatalkan.
Selain pembatalan terhadap sebagian dari pasal dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi juga membatalkan
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang menyangkut
pengawasan perilaku hakim dan Hakim Agung yang dilakukan Komisi Yudisial
dibatalkan. Dengan dihapuskannya fungsi pengawasan Komisi Yudisial (KY)

234
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa susunan pengaturan dalam UUD 1945 adalah
MA, KY, dan baru Mahkamah Konstitusi, sehingga dari sistematika itu hakim konstitusi semenjak
awal bukanlah obyek pengawasan KY. Padahal kesaksian perumus Perubahan UUD 1945 menyatakan
bahwa sistematika demikian tidaklah berarti hakim konstitusi bebas dari pengawasan KY. Lain
daripada itu, sesungguhnya “tidak ada hakim yang adil terhadap perkaranya sendiri”, jadi substansi
putusan tersebut amat kental conflict of interest-nya dengan hakim konstitusi.

177
tersebut. secara konstitusional, fungsi Komisi Yudisial pasca dikeluarkannya
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 adalah hanya sebagai
pengusul pengangkatan Hakim Agung kepada DPR. Dengan kata lain Komisi
Yudisial hanya menjalankan fungsi pengawasan yang bersifat preventif saja,
sedangkan pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
tidak ada lagi. Artinya, pengawasan yang bersifat represif sudah dibatalkan dengan
putusan tersebut yang menyangkut juga perihal pengusulan sanksi kepada
pimpinan MA atau MK setelah memberikan keterangan di depan Majelis
Kehormatan. Praktis, eksistensi KY sebenarnya sudah di ujung tanduk.
Dalam bahasa putusan Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi
peradilan melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan
dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan
independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat,
dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan
hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang
berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara
langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan
karena kepentingan politik atau ekonomi tertentudari pemerintah atau kekuatan
politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji
imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.
Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap
imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.
Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau
imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang
tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur
dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam
menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda.
Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain

178
untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas
justisialnya.
Masih menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut
tidak pernah diartikan mengandung sifat yang mutlak, karena dibatasi oleh hukum
dan keadilan. Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak
istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau
inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari
warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair
trial). Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi
peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi
personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif.
E. Implikasi
Dengan adanya Putusan MK itu maka revisi terhadap UU No. 22
Tahun 2004 perlu dilakukan. Jika hal ini tidak dilakukan sama dengan
membiarkan Komisi Yudisial tanpa memiliki fungsi pengawasan terhadap hakim
tentunya merupakan pilihan yang salah dan keliru, karena yang menjadi dasar
dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk melakukan monitoring secara intensif
terhadap penyelenggara kekuasaan kehakiman dan meningkatkan efesiensi dan
efektifitas menyangkut rekruitmen hakim agung serta menjaga kualitas dan
konsistensi putusan lembaga peradilan yang senantiasa diawasi secara intensif oleh
lembaga yang benar-benar independen. Hal lain juga akan membuat hakim dalam
membuat keputusan yang sewenang-wenang dan tidak bersikap adil dan hanya
bertindak berdasarkan kepentingan semata, apalagi yang menyangkut perkara
besar dan orang-orang penting serta merugikan keuangan negara yang begitu
besar. Jika hal ini terjadi maka kehancuran hukum di Indonesia hanya tinggal
menunggu waktu dan cita-cita penegakan hukum hanya sebatas harapan yang tidak
akan terwujud. Upaya revisi terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial adalah langkah yang konstruktif untuk memperbaiki kelemahan-
kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut, semua upaya tersebut

179
tentunya tidak semudah yang dibayangkan, namun hal itu perlu dilakukan jika
ingin benar-benar menerapkan law enforcement di negara ini. Kita tentunya tidak
ingin lagi mendengar adanya praktek mafia peradilan (judicial corruption). Kita
juga tidak ingin kasus penyuapan tehadap Hakim Agung oleh Pengacara
Probosutedjo terulang kembali, dan masih banyak lagi hal-hal serupa yang telah
mencoreng muka peradilan di negeri ini. Menurut penulis, hal-hal semacam ini
rasanya sudah cukup dan lebih untuk dijadikan dasar mengembalikan fungsi
pengawasan Komisi Yudisial. Kita tidak perlu lagi memperdebatkan mengenai
alasan ketidaktepatan menerapkan checks and balances antara Komisi Yudisial
dengan Mahkamah Agung, kita tidak perlu lagi mengkait-kaitkan permasalahan
ini dengan teori-teori, tapi jadikan esensi dan subtansi serta harapan yang kuat dari
masyarakat untuk mengembalikan fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap
hakim, baik hakim pada Pengadilan Negeri. hakim pada Pengadilan Tinggi, dan
hakim pada Mahkamah Agung, karena keadilan rakyat hanya ada pada tangan
mereka.
Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial hendaknya
mengatur secara rinci hal-hal yang menyangkut tugas dan,wewenang Komisi
Yudisial agar bisa mewujudkan reformasi hukum dan checks and balance
terhadap pelaku kekuasaan kehakiman. Latar belakang inilah mengapa Mahkamah
Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi diatur dalam satu Bab dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Salah
satu bentuknya adalah adanya tugas yang paling fundamental dari Komisi Yudisial
untuk mengawasi pelaku kekuasaan kehakiman itu sendiri, termasuk juga Hakim
Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Sebelum melakukan revisi
terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,
hendaknya ketiga lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial membuat nota kesepahaman
menyangkut pengawasan hakim oleh KY maupun kewenangan yang lain yang
dianggap oleh kedua lembaga tersebut bertentangan dengan Undang-Undang

180
Dasar 1945 karena nota kesepahaman ini dilakukan sama sekali tidak bertentangan
dengan prinsip ideologi Pancasila yang mengenal atau memakai asas musyawarah
untuk mufakat. Hal ini diperlukan agar setelah dikembalikan fungsi pengawasan
hakim oleh Komisi Yudisial terhadap masalah yang sama tidak terulang kembali
yaitu judicial review.
Dalam perspektif hukum tata negara, secara kelembagaan, Komisi
Yudisial dapat dikatakan sebagai komisi yang memiliki keunikan jika
dibandingkan dengan komisi lain. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain,
kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945,
yaitu Pasal 24B. Memang, komisi pemilihan umum juga mempunyai kewenangan
yang diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945, yaitu Pasal 22E ayat (5),
tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan sebuah
nama definit. Buktinya penulisannya tidak dengan huruf kapital, yang
menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum apa pun nama lembaganya. Selain itu, berbeda dengan komisi-
komisi yang lain, Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa keraguan merupakan
bagian dari kekuasaan kehakiman meskipun bukan dalam pengertian sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan
Kehakiman yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Pengaturan Komisi Yudisial dalam UUDNRI Tahun 1945 itu tidak
terlepas dari adanya upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari dianutnya
paham negara hukum yang salah satunya diwujudkan dengan cara menjamin
perekrutan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang
bertugas di lapangan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya
sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak
tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Dalam
kerangka inilah Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada

181
tanggal 9 November 2001 hadir dan mengamanatkan terbentuknya lembaga yang
disebut Komisi Yudisial.
F. Pengaturan Jabatan Hakim
Hakim memiliki kedudukan sentral dalam sistem peradilan. Mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
status hakim adalah pejabat negara yang melakukan fungsi kekuasaan kehakiman.
Status sebagai pejabat negara makin dikukuhkan dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Namun, hingga saat ini
belum ada undang-undang yang mengatur spesifik tentang jabatan hakim.
Sehingga, pola pengangkatan hakim, jenjang karir, hak keuangan dan fasilitas
yang melekat masih menggunakan standar pegawai negeri sipil (PNS). Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012, misalnya, ditetapkan hakim
memperoleh tunjangan jabatan, namun gaji pokoknya masih merujuk pada standar
PNS.
Karena itu, kerja legislasi DPR yang sedang membahas Rancangan
Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim menjadi angin surga bagi kalangan hakim
dan masyarakat luas. RUU Jabatan Hakim sangat urgen diprioritaskan untuk
memperkuat kedudukan hakim dengan segala turunannya. Kerangka dasar RUU
Jabatan Hakim hendaknya berpedoman kepada nomenklatur hakim sebagai pejabat
negara. Harmonisasi berbagai aturan tentang hakim yang masih kontradiktif juga
penting dilakukan di Badan Legislasi (Baleg) DPR agar tak terjadi tumpang tindih.
Pada Februari 2016, Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR telah
menyerahkan draft RUU Jabatan Hakim kepada Komisi III. Uuslan resmi sudah
diserahkan ke Badan Legislatif (Baleg) untuk diharmonisasi dengan usulan dari
KY, FDHI, Balitbang Diklat Kumdil MA, dan IKAHI. Nantinya, RUU Jabatan
Hakim menjadi usul inisiatif DPR yang masuk Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2015-2019. Intinya, semua RUU Jabatan Hakim memiliki semangat
dan arah yang sama yakni adanya pengaturan komprehensif terkait jaminan
perlindungan, keamanan, dan kesejahteraan bagi hakim. Termasuk pengaturan

182
pola rekrutmen calon hakim serta hakim ad hoc dan pola pembinaan atau jenjang
karier profesi hakim sebagai pejabat negara yang berbeda dengan pegawai negeri
sipil (CPNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN).
Saat ini krisis hakim tengah mengancam. Sudah hampir lima tahun
proses rekrutmen tidak dilakukan karena pembahasan peralihan status hakim
sebagai pejabat negara berikut turunannya belum menghasilkan kesepakatan.
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No 43/PUU-XIII/2015 menyatakan,
proses seleksi (rekrutmen) hakim pengadilan tingkat pertama merupakan
kewenangan tunggal Mahkamah Agung tanpa harus melibatkan Komisi Yudisial.
Sebelum putusan MK itu pada perubahan atas paket UU No 49 Tahun 2009, UU
No 50 Tahun 2009, dan UU No 51 Tahun 2009 mengamanatkan agar proses
seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama dilakukan secara
"bersama" oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Putusan MK ini semakin
memangkas kewenangan Komisi Yudisial. Eksistensi UU No 18 Tahun 2011
sebagai upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga
negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang
kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
semakin sulit ditegakkan.
Memang masih tersedia tugas dan wewenang bagi Komisi Yudisial.
Misalnya, melakukan seleksi pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung,
melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan
langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan bekerja sama dengan
aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi. Selain
itu, wewenang Komisi Yudisial adalah fungsi pengawasan eksternal terhadap
Mahkamah Agung. Pengawasan adalah kata kunci yang menjadikan peran Komisi
Yudisial amat strategis dalam menyukseskan agenda reformasi peradilan. Ketika
Komisi Yudisial mampu melaksanakan hak dan wewenang ini dengan baik, maka

183
kualitas para hakim yang merupakan "wakil Tuhan" untuk memutus suatu perkara
benar-benar terjamin.
Persoalan utamanya dalam paket UU Peradilan yang dikeluarkan
tahun 2009 telah meniadakan syarat pengangkatan hakim harus PNS. Aturan ini
berimplikasi pada banyak hal khususnya status kepegawaian dan mekanisme
penggajian. Selama ini perekrutan calon hakim karirnya dimulai dari status calon
pegawai negeri sipil/calon hakim. Sehingga selama menjalani pendidikan calon
hakim masih bisa menerima gaji dari negara. Ketika calon hakim dinyatakan lulus
pendidikan maka akan diberhentikan dengan hormat sebagai PNS untuk diangkat
sebagai hakim. Berbeda jika calon hakim langsung ditetapkan sebagai pejabat
negara maka hal ini berdampak kepada banyak hal, termasuk di antaranya negara
akan mengalami kerugian apabila ada calon hakim yang tidak lulus pendidikan.
Di samping itu, terjadi problem apakah calon hakim yang tidak lulus tersebut
secara otomatis bisa dijadikan sebagai PNS di lingkungan MA. Jika demikian
pilihannya maka MA dan kementerian terkait perlu terus koordinasi agar
perekrutan hakim tidak terganjal. Kini yang menjadi harapan utama adalah ketika
diangkat sebagai hakim maka atribut kepegawaian, penetapan jenjang
kepangkatan, penggajian, protokoler, serta fasilitas lainnya harus menyesuaikan
dengan UU Jabatan Hakim. Jenjang kepangkatan yang selama ini masih mengikuti
pola PNS dan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2002
Tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim harus pula ditinjau kembali.
Komisioner KY Farid Wajdi memperkirakan ada 3 (tiga) hal penting
yang bakal menjadi pembahasan krusial dalam RUU Jabatan Hakim yang telah
disusun KY. Pertama, kejelasan status profesi hakim sebagai pejabat negara
dengan beragam jenis dan tingkatan hakim. Kedua, perlu ada pengelolaan atau
manajemen jabatan hakim mulai dari proses rekrutmen, pendidikan pelatihan,
mutasi-promosi hakim, hingga masa pensiun. Sebagai bentuk akuntabilitas, proses
rekrutmen dan mutasi-promosi hakim perlu keterlibatan lembaga lain atau
partisipasi publik. mutasi-promosi hakim perlu dibangun melalui mekanisme

184
partisipasi publik dan pelibatan lembaga lain. Misalnya, mekanisme dibukanya
laporan/masukan masyarakat terhadap hakim yang ingin dipromosikan atau
dimutasikan, sebagai salah satu masukan utama. Di dalamnya, ada periodeisasi
penilaian kinerja secara berkala yang ditentukan per 3 tahunan, 5 tahunan, atau 7
tahunan. Hal ini bentuk evaluasi menyeluruh seorang hakim sebagai dasar mutasi-
promosi hakim atau penjatuhan sanksi bagi hakim. Sistem ini diterapkan di Peru,
di mana hakim per 7 tahun sekali dievaluasi dan sangat mungkin diberhentikan
apabila memiliki kinerja yang buruk. Ketiga, penguatan pengawasan MA dan KY
dengan merumuskan kembali sistem pengawasan yang lebih efektif agar tidak
overlapping. Perhatian terhadap efektivitas pengawasan berguna untuk
menghindari gesekan yang selama ini sering terjadi terutama menyangkut wilayah
teknis yudisial dan etika.
Isu pengawasan MA dan KY dalam RUU Jabatan Hakim mesti
diperjelas kewenangan masing-masing lembaga termasuk kekuatan mengikat
rekomendasi sanksi dari KY yang diajukan ke MA. Sebab, seringkali rekomendasi
sanksi ringan dan sedang yang diajukan KY tidak direspon oleh MA. Pengawasan
hakim juga penting diatur. Sebab, selama ini standar pengawasan telah memasuki
ranah teknis yudisial dan cenderung mengais kesalahan hakim. Sedangkan upaya
peventif dan proaktif untuk mencegah pelanggaran etik masih minim. Hakim
menangis saat baca putusan dijadikan persoalan. Hakim memutus perkara tidak
sesuai opini publik diperiksa. Seolah-olah peradilan opini jauh lebih tinggi
kedudukannya daripada putusan hakim.
Persoalan lain yang perlu diatur dalam RUU Jabatan Hakim adalah
masalah pembinaan hakim. Pembinaan meliputi penempatan, peningkatan
kapasitas, penilaian kinerja, mutasi, dan promosi. Penempatan hakim di samping
memperhatikan kebutuhan lembaga juga harus bermuara pada kesejahteraan
hakim. Sejak awal KY telah memberikan masukan agar pola mutasi
mempertimbangkan aspek keluarga. KY menyatakan sejumlah hakim yang

185
menjadi pesakitan di Majelis Kehormatan Hakim (MKH) salah satu faktornya
karena berselingkuh.
Hakim di Indonesia pasti tak mengiginkan karirnya harus berakhir
dengan cacat di hadapan persidangan etik MKH. Apalagi, untuk meraih jabatan
hakim harus melewati persaingan ketat dan proses tidak mudah. Bahkan, kini
jabatan hakim menjadi primadona bagi lulusan perguruan tinggi hukum karena
dianggap profesi mentereng dan hak keuangannya lebih terjamin. Karenanya, pola
mutasi perlu memiliki keterhubungan nilai dengan upaya menjaga martabat dan
keluhuran hakim.
Dalam tatanan hukum, otoritas non-yudisial tidak bisa mengintervensi
apalagi merevisi putusan pengadilan. Ketidakpuasan terhadap putusan hakim
hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum banding, kasasi atau PK. Karena itu,
RUU Jabatan Hakim perlu tegas memuat ketentuan bahwa dalam menjaga
keluhuran dan martabat hakim terbatas pada dimensi non-teknis seperti dugaan
menerima suap, bertemu pihak berperkara dan pelanggaran etik lainnya.
Dalam dunia hukum dikenal asas "res judicata pro varitate habetur"
yang maknanya setiap putusan hakim harus dianggap benar dan dihormati. Bentuk
penghormatan terhadap putusan hakim adalah menerimanya atau jika tidak puas
tempuh upaya hukum. Bukan mencelanya hingga putusan hakim jadi bulan-
bulanan publik. Tapi kini norma universal ini mulai jarang ditaati. Putusan hakim
dibawa ke meja perdebatan publik yang tidak jelas ujungnya. Akhirnya putusan
hakim jadi bahan olok-olokan yang muaranya jabatan hakim juga jadi bahan olok-
olokan. Padahal kerja profesional hakim tidak bisa dilakukan sembarang orang.
Hakim adalah manusia pilihan yang bekerja bersama nurani dalam kesunyian dan
putusannya akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Berijtihad benar
dapat dua pahala, keliru pun dapat satu pahala. Kalaupun masyarakat getir atas
fakta adanya hakim yang melanggar etik dan melakukan perbuatan pidana seperti
menerima suap, maka hal itu jangan digeneralisir. Sebab masih banyak hakim
yang punya nurani, bangun tengah malam meminta petunjuk kepada Tuhan agar

186
dalam memutus tidak keliru, dan menyadari di sebelah kanan dan kirinya ada
malaikat yang mengawasi. Sosok seperti mereka ini tidak banyak diekspos media
sehingga yang muncul ke permukaan hanyalah hakim nakal. Sehingga seolah
dikesankan mental semua hakim sudah bobrok.
Problem selanjutnya yang perlu diakomodir adalah perlindungan
hakim yang sangat minim di samping pengaturan sanksi tegas perbuatan
penghinaan pengadilan. Seperti menyerang imparsialitas dan tidak menaati
perintah pengadilan, berperilaku tercela dan tidak pantas, menghalang-halangi
jalannya penyelenggaraan pengadilan, serta penghinaan yang dilakukan dengan
publikasi atau pemberitahuan.
Penjelasan umum butir 4 UU Nomor 14/1985 yang telah diubah
dengan UU Nomor 3/2009 tentang Mahkamah Agung menegaskan bahwa untuk
lebih menjamin terciptanya suasana yang baik bagi penyelenggaraan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, perlu dibuat suatu
undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap
dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat,
dan kehormatan badan peradilan. Norma hukum tentang contempt of court selama
ini masih menyebar di beberapa bab dalam KUHP. Karena itu, DPR hendaknya
memprioritaskan pengesahan RUU jabatan hakim dan RUU contempt of court
karena sifatnya genting dan memaksa.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak
Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA)
sejatinya mengatur banyak hal terkait hak keuangan hakim. Beberapa di antaranya
mencakup gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi,
jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan
protokol, penghasilan pensiun dan tunjangan lain.
Namun ada beberapa amanat pasal yang hingga sekarang belum
sepenuhnya bisa ditunaikan. Pasal 5 dan 6, misalnya, disebutkan bahwa hakim
diberikan hak menempati rumah negara dan menggunakan fasilitas transportasi

187
selama menjalankan tugasnya. Dalam hal rumah negara dan atau sarana
transportasi belum tersedia, hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan
transportasi sesuai kemampuan keuangan negara. Penggunaan frasa "dapat"
mengandung penafsiran sebagai kata tidak bergegas. Apalagi digantungkan pada
suatu keadaan, yakni jika negara mampu, tentu realisasinya bersinggungan erat
dengan politik keuangan. Makanya hingga saat ini hak-hak keuangan hakim belum
sepenuhnya ditunaikan oleh negara.
Namun, di balik peningkatan kesejahteraan hakim harus ada
konsekuensi tanggungjawab profesionalisme yang harus pula ditunaikan oleh
hakim. Kenaikan penghasilan terselip sejuta harapan dari seluruh masyarakat
Indonesia agar keadilan benar-benar ditegakkan. Hakim adalah simbol puncak
kearifan, luasnya pengetahuan dan penjaga keadilan. Sehingga, bhakti dan kerja
profesionalnya sangat dibutuhkan untuk membumikan keadilan dalam dunia nyata.
Tuntutan untuk bersikap adil dan independen senyatanya bukan disandarkan pada
besar-kecilnya penghasilan. Sejak hakim disumpah atas nama Tuhan maka sejak
itu pula tugas dan kewajibannya sebagai hakim melekat. Sifat adil, arif, bijaksana,
rendah hati, bertanggungjawab, dan sebagainya harus melekat dalam
karakter/struktur mentalitasnya.
Sebagai penutup, RUU Jabatan Hakim adalah hajat semua lapisan
masyarakat yang harus dikawal dinamika pembahasannya. Hal ini bertujuan agar
hakim semakin memiliki kedudukan yang kuat dalam menjalankan tugas-tugas
peradilan dengan tetap berpegang teguh pada nilai etik dan menjunjung tinggi
keluhuran martabat hakim. Hingga hari ini, profesi hakim menjadi satu-satunya
aparat penegak hukum yang belum memiliki UU sendiri. Seperti polisi yang
memiliki UU Nomor 2/2002 tentang Polri, jaksa memiliki UU No 16/2004
Kejaksaan, pengacara memiliki UU Nomor 18/2003 tentang Advokat, notaris
memiliki UU Nomor 2 Tahun 2014 dan militer memiliki UU No 34/2004 tentang
TNI.

188
BAB VII
POLITIK HUKUM HAK ASASI MANUSIA
A. Teorisasi Politik Hukum
Para ilmuan hukum memberikan pengertian yang berbeda terhadap
konsepsi tentang politik hukum. LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar
Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.235 Pengertian
yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum
dianggap identik dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui
juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh Undang-undang.236 Politik hukum juga
dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum. 237
Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai
pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah
suatu negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.238
Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda
Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik
pembangunan hukum.239
Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh
Moh. Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal
policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah
Indonesia. Legal policy ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang

235
LJ. van Appeldoorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo),
Jakarta, Pradnya Paramitha, cet. Ke-18, hlm. 390.
236
A.S.S. Tambunan, 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis
Publishers, hlm. 9.
237
David Kairsy (ed)., 1990, The Politics of Law, A Progressive Critique, New York:
Pantheon Books, hlm. xi.
238
Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember
1973, hlm. 4.
239
Lihat dalam A.S.S. Tambunan, ibid.

189
berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaanketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.240
Berdasar pengertian tersebut menurut Moh. Mahfud terlihat politik
hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat
menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum dibangun dan ditegakkan. 241
Pengertian lain tentang politik hukum yang aplikatif juga disampaikan oleh
Hikmahanto Juwono. Menurutnya, peraturan perundang-undangan (legislation)
merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara.
Oleh karena itu pembuatan dari peraturan perundang-undangan tersebut memiliki
tujuan dan alasan tertentu yang dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan
alasan yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan ini disebut
dengan politik hukum.242
Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Pertama adalah
politik hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya peraturan perundang-
undangan. Dimensi yang pertama disebut dengan “kebijakan dasar” atau
basic policy. Dimensi yang kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik
pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Dimensi yang kedua ini disebut
dengan kebijakan pemberlakuan atau enactment policy.243
Dalam tulisan ini, optik analisis politik hukum terletak kepada
pemahaman (begrip) mengani berbagai tujuan dan alasan yang menjadi dasar
diaturnya hak asasi manusia yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana
hukum dibangun dan ditegakkan.

240
Moh. Mahfud MD, 2001, Politik Hukum di Indonesia,Cet. Kedua, Jakarta: LP3ES.
Lihat referensi aslinya dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah
pada Kerja latihan bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.
241
Ibid.
242
Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di
Indonesia”. Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.
243
Ibid.

190
B. Konseptualisasi HAM
Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM) berarti membicarakan
dimensi kehidupan manusia. Seperti dituturkan oleh Majda El-Muhtaj244, HAM
ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia,
kata Franz Magnis Suseno245, menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup
adalah ciptaan Tuhan Yang Mahaka Kuasa dan patut memperoleh apresiasi secara
positif. Dari perspektif lainHak Asasi Manusia (HAM) secara normatif bertujuan
mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau membatasi
penggunaan sarana kursif negara. Menurut Rhoda E. Howard246, HAM mutlak
diperlukan dunia modern di manapun orang tinggal dan apapun nilai-nilai
pribadinya. Dengan demikian HAM pertama-tama dimaksudkan untuk melindungi
individu terhadap negara dan semua kekuatan kursif yang menyelinap ke mana-
mana yang biasa dilakukan banyak negara modern. Singkatnya, seperti dikatakan
oleh Philipus M. Hadjon, HAM adalah klaim yang dimiliki dan dipertahankan
individu tanpa bermaksud mengurangi jenis-jenis hak kolektif tertentu, misalnya:
hak untuk terbebas dari diskriminasi rasial, apartheid atau genosida, dan hak untuk
menentukan nasib sendiri terhadap negaranya, yang telah pula diakui dalam
hukum internasional terlepas dari fakta apakah penguasa menerima atau
menyangkalnya.247

244
Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi di Indonesia Dari UUD
1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta: Kencana, hlm. 1.
245
Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 121.
246
Rhoda E. Howard, 2000, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, hlm. 11-12. Bandingkan: Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983,
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN UI, hlm. 317-318.
247
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, op.cit., hlm 38-41.
Bandingkan: Jack Donnelly, ”Apakah Hak-hak Asasi Manusia Itu?”, dalam George Clack dan
Kathleen Hug (Eds.), 1998, HAM: Suatu Pengantar, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 2-3 dan 34.

191
Konsep hak (right) dengan ajektif manusia (human) menurut Peter R.
248
Baehr mempunyai implikasi instrinsik bahwa hak-hak itu dimiliki oleh laki-laki
maupun perempuan (men and women) secara sama; seluruh manusia di manapun
dan kapanpun karena kemanusiaannya (humanity) tanpa memandang jenis
kelamin, ras, usia, kelas sosial, kewarganegaraan, etnis atau afiliasi kesukuan,
kekayaan, jabatan, keahlian, agama, ideologi, dan komitmen-komitmen lainnya.
Karena merupakan implikasi dari kemanusiaan seseorang, maka hak ini
bersifat inalienable, tidak dapat dialihkan, dirampas, atau diganggu gugat; dan
imprescriptible, tidak dapat hilang, betapapun telah digerogoti atau gagal dalam
pemenuhannya. Ajektif fundamental untuk menjelaskan konsep human rights
seringkali dilakukan untk menunjukkan pentingnya hak-hak ini bahwa kehidupan
martabat dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya bergantung kepadanya. Meskipun
demikian, tidak berarti bahwa hak-hak ini absolut. Dalam situasi, waktu, dan cara-
cara tertentu, hak-hak tertentu dapat dikenakan pembatasan. Oleh karena itu, hak-
hak ini disebut prima factie.249 Dengan keseluruhan pemikiran di atas, maka tepat
yang dikatakan oleh Todung Mulya Lubis, bahwa menelaah HAM sesungguhnya
adalah menelaah totalitas kehidupan, sejauh mana kehidupan kita memberi tempat
yang wajar kepada kemanusiaan.250
Oleh sebab itu, HAM kemudian dianggap melekat pada ”setiap orang.”
Penggunaan kata ”setiap orang” menunjukkan maksud untuk menjamin dan
melindungi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi warga negara asing
untuk hidup. Adalah dapat dimengerti dan diterima apabila, misalnya, warga
negara asing di suatu negara memiliki hak yang berbeda dalam hal pemerintahan
negara tersebut. Misalnya, ia tidak memiliki hak untuk menjadi calon presiden
248
Peter R. Baehr, 1998, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, hlm. 10.
249
Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM
di Indonesia, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, hlm. 13-15.
250
Todung Mulya Lubis, 1984, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Jakarta:
LP3ES, hlm. 14.

192
negara tersebut atau tidak memiliki hak suara dalam pemilihan umum di
negara tersebut. Akan tetapi sulit ditemukan alasan (rationale) yang dapat
menjelaskan mengapa warga negara asing memiliki hak yang lebih rendah atau
lebih terbatas daripada warga negara dalam hal hak untuk hidup serta hak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Sudah menjadi ketentuan umum dalam traktat-traktat hak asasi manusia
(human rights treaties) bahwa dalam keadaan darurat negara dapat mengurangi
kewajibannya (untuk memajukan atau melindungi hak asasi) yang diatur
berdasarkan traktat-traktat tersebut. Namun hal ini tidak dapat diterapkan pada
semua jenis hak asasi. Ada sejumlah hak asasi yang sangat penting yang tidak
diizinkan dilakukan pengurangan kewajiban walaupun negara dalam keadaan
darurat sekalipun. Hak-hak asasi tersebut dikenal dengan istilah nonderogable
rights. Dalam UUD 1945, non-derogable rights diatur dalam Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun. Pasal ini menggunakan frasa “hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” sebagai terjemahan
dari non-derogable rights. Pada ICCPR, non-derogable rights diatur dalam
Pasal 4 ayat (2). Sehubungan dengan “hak untuk hidup” misalnya, yang diatur
dalam Pasal 28I ayat (1), Mahkamah Konstitusi dengan suara bulat berpendapat
bahwa “hak untuk hidup” merupakan hak asasi manusia yang sangat penting,
“sehingga Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai
salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. 251

251
Mahkamah berpendapat bahwa hak asasi manusia mengakui hak-hak yang penting bagi kehidupan
manusia. Dapat dikatakan bahwa di antara hak asasi yang lain, hak untuk hidup, hak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupan merupakan hak yang sangat penting. Demikian pentingnya hak
untuk hidup dimaksud, sehingga Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai
salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Lihat: Putusan Nomor 019-

193
Keberadaan frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”
merupakan indikasi yang sangat kuat bahwa UUD 1945 tidak menghendaki
pembatasan atas hak-hak asasi manusia yang disebutkan secara spesifik dalam
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pada prinsipnya, jikalau dikehendaki adanya
pembatasan atas hak asasi manusia maka konstitusi akan menyatakannya secara
tegas di dalam konstitusi itu sendiri. Karena Pasal 28I ayat (1) secara tegas
menyatakan bahwa ketujuh hak asasi manusia tersebut “tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun”, maka logikanya adalah bahwa UUD 1945 tidak
menghendaki adanya pembatasan terhadap hak untuk hidup dan hak-hak asasi
manusia lainnya yang disebutkan secara spesifik pada Pasal 28I ayat (1).
Di dalam praktik, agak sulit untuk mengindentifikasi karakter dari non
derogable rights berdasarkan satu pemahaman yang bersifat unitaris atau satu
pemahaman yang tunggal, misalnya ketika ingin mengindentifikasi non derogable
rights dari perspektif ius cogent bahwa dia adalah norma yang memiliki status ius
cogent di dalam International Customary Law, maka akan sangat sulit menerima
konsekuensi logisnya terhadap satu hak yang diakui sebagai non derogable rights
di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, yaitu hak untuk
bebas dari hukuman dalam perkara hutang piutang dan agak sulit bagi negara-
negara yang tergabung dalam PBB untuk menerima konsekuensi bahwa hak
tersebut memiliki status ius cogen.
Dalam American Convention of Human Rights, ada jenis hak yang
disebut hak untuk mendapatkan nama, hak untuk berkeluarga, dan hak untuk
partisipasi, di mana ketiga hak tersebut tidak ada dalam International Covenant on
Civil and Political Rights. Hal Ini memperlihatkan bahwa di dalam pendefinisian
non derogable rights ada aspek history background dari setiap negara berdasarkan
pengalaman yang khas dalam sejarah peradabannya, kemudian urutan pengalaman

020/PUU- III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, hlm. 106.

194
buruk yang di dalam sejarah peradaban negara tersebut selanjutnya memastikan
tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan apa yang dianggap sangat penting
untuk dihindari dan tidak boleh terulang di masa depan.
Penambahan non derogable rights dapat dilakukan akan tetapi tidak dapat
mengurangi apa yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai the
core of rights dari non derogable rights, di mana ada 4 (empat) hal yaitu hak
untuk hidup (right to life), hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan martabat, hak untuk tidak dianiaya, dan hak untuk tidak diadili oleh
hukum yang berlaku surut (post facto law). Keempat hak tersebut adalah inti dari
hukum Humanitarian International atau dapat dikatakan bahwa seluruh hukum
Humanitarian International bersifat non derogable rights. Kemudian dalam
hukum internasional ada 4 (empat) jenis hak asasi manusia yang sama sekali tidak
boleh dikurangi di dalam keadaan apapun termasuk dalam keadaan perang adalah
empat hak untuk hidup (right to life), hak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat, hak untuk tidak dianiaya, dan hak untuk
tidak diadili oleh hukum yang berlaku surut (post facto law).
Terhadap hak-hak yang dikualifikasikan sebagai non derogable rights
tidak dapat dilakukan pembatasan. Di dalam Universal Declaration of Human
Right memang ada semacam pernyataan umum yang menyatakan bahwa hak-hak
tersebut dapat ditunda pemenuhannya di dalam keadaan tertentu, namun harus
berdasarkan kebutuhan dari penanganan keadaan tersebut, seperti right to freedom
of traveling dan right to freedom of expression, dalam suatu keadaan bencana alam
yang dalam penanganannya telah direalisasikan semacam keadaan darurat maka
hak tersebut dapat ditunda. Kedua hak tersebut dapat ditunda karena tidak
termasuk di dalam non derogable. Namun terhadap non derogable rights hal itu
tidak dapat dilakukan. Dalam International Covenant on Civil and Political
Rights —seperti yang dikatakan oleh Prof. Philip Alston ada semacam—
bukan dispensasi—tetapi masih ada ketegangan di beberapa negara tetap tidak
dapat menerima, sehingga di dalam klausa Internastional Covenant on Civil and

195
Political Rights tidak secara tegas mengatakan bahwa hukuman mati harus
dibantah, tetapi pada dasarnya non derogable rights tidak dapat ditunda sama
sekali pemenuhannya dan tidak bisa dikurangi sama sekali berdasarkan kehendak
dari gerakan hak asasi manusia internasional di PBB.
Tetapi konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan
kebudayaan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini mutlak sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa
Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang
berasaskan kekeluargaan denga tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil,
moralitas komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang secara
proporsioanl. Manusia di sini dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial
dan dipandang sebagai warganegara. Jadi, konsep HAM di Indonesia bukan saja
terhadap hak-hak mendasar tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai
warganegara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis,
menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum internasional
mengenai HAM yang diterima bangsa Indonesia, juga wajib membela terhadap
negara. Sementara itu, kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional HAM yang diterima oleh
Indonesia.
Hal itu tercantum dalam TAP MPR Nomor VXII/MPR/1998, tentang
sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, dan
juga terangkat dalam UUD 1945 Pasal 28A yang menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Maka
sebagai Hukum Dasar Tertinggi (Grundnorm), itu haruslah menjadi pedoman
bagi segenap aturan hukum dibawahnya. Di samping itu berdasarkan Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk hidup (Right to Life)
menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak untuk hidup dan mendapat
perlindungan hukum dan tiada yang dapat mecabut hak itu”. Maka dengan

196
demikian, hukuman mati jelas-jelas bertentangan dengan Kovenan Internasional
tersebut, yang seharusnya segera diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai
bentuk kewajiban negara dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-
hak asasi terhadap segenap warga negara sebagaimana telah diadopsi dalam Pasal
28A UUD 1945. Selanjutnya dikatakan, bahwa bentuk-bentuk pemidanaan tidak
terlepas dari tujuan pemidanaan, yaitu pembalasan dan pencegahan. Yang
dimaksudkan dengan pembalasan yaitu pemberian hukuman yang seimbang
dengan penderitaan korban, sementara pencegahan dimaksudkan lebih pada agar
orang lain jera untuk melakukan kejahatan.
Implementasi dari penerimaan kerangka berpikir ini antara lain dalam
mekanisme penjatuhan pidana terhadap setiap orang yang dianggap memenuhi
syarat untuk dipersalahkan oleh pengadilan. Bangsa Indonesia yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya adalah hak-hak para terpidana.
Berkaitan dengan hak-hak terpidana, timbul pemikiran-pemikiran baru mengenai
fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar menekankan pada aspek pembalasan
(retributive), akan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi
sosial bagi pelaku tindak pidana. Sistem pemidanaan yang sangat menekankan
pada unsur “balas dendam” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu
sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi
sosial. Konsep ini bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi
berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga
masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Hal
ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan yang menekankan bahwa narapidana bukan saja objek melainkan
juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat
melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak
harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat
menyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan

197
pidana. Dengan demikian, pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan
Narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga
masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai- nilai moral,
sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib
dan damai.
Ajaran pembalasan yang modern bertolak dari pandangan bahwa
perbuatan yang mewujudkan peristiwa pidana itu dapat dipersalahkan kepada
seorang pribadi yang bebas yang dapat dinyatakan bertanggung jawab atas
peristiwa tersebut. Hukuman itu mengandaikan kebebasan bertindak pada pelaku
dan pertanggung jawaban untuk perbuatan yang dilakukan dalam kebebasannya.
Jadi, jika negara menghukum seseorang berarti bahwa negara mengakui orang
tersebut sebagai manusia yang bebas dan bertanggung-jawab. Pertanggungjawaban
tersebut sejalan dengan derajat kebebasan pada saat perbuatan terkait dilakukan.
Jadi, hukuman itu pantas dijatuhkan kepada orang untuk perbuatan yang telah
dilakukannya dalam kebebasan. Jika perbuatan tersebut tidak dilakukan dalam
kebebasan, maka yang layak dijatuhkan adalah bukan hukuman sebagai
pembalasan, melainkan tindakan pendidikan dan tindakan perlindungan. Ajaran
pembalasan mendekati masalah sanksi pidana dengan perspektif keadilan.
Bagi Indonesia, pemikiran kefilsafatan itu relevan sekali
berhubung Indonesia tengah membina tata hukum nasionalnya, yakni meletakkan
dasar-dasar dan menyusun sistem hukum nasional termasuk Hukum Pidana
dengan stelsel pidananya. Pemikiran kefilsafatan yang dapat menghasilkan sikap
yang fundamental terhadap hukuman mati kiranya akan menjauhkan kita dari
keterombang-ambingan oleh pengaruh dari luar Indonesia. Kesulitannya adalah
bahwa dalam pemikiran kefilsafatan itu sendiri terdapat bermacam ragam aliran
yang bersimpang siur. Tetapi bagi kita tidaklah terlalu sulit untuk menentukan
pilihan. Sebab, para pendiri negara Republik Indonesia sudah memberikan
“patokan” atau “pedoman”-nya, yakni dengan menetapkan Pancasila sebagai
landasan atau asas dalam menyelenggarakan kehidupan bersama dalam kerangka

198
organisasi negara; singkatnya: menetapkan Pancasila sebagai asas negara. Dengan
demikian, wajarlah jika Pancasila ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan bagi
pembinaan dan penyelenggaraan hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa Pancasila
adalah norma kritik untuk membina dan menyelenggarakan hukum di Indonesia.
Jika Pancasila dipandang sebagai suatu kesatuan dari lima sila yang saling
berkaitan, yang di dalamnya sila-sila itu saling membatasi dan saling memperkaya
makna masing-masing sila, dan kemudian memaparkannya sebagai suatu
keutuhan, maka kita akan memperoleh suatu gambaran tentang eksistensi manusia.
Pandangan Hidup Pancasila berpangkal pada kenyataan bahwa alam semesta
dengan segala hal yang ada di dalamnya yang merupakan suatu keseluruhan yang
terjalin secara harmonius diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tidak sesuatu
pun yang ada di dalam alam semesta yang berdiri sendiri terlepas dari
perkaitannya dengan isi alam semesta yang lainnya. Setiap realitas yang ada
adalah suatu bagian dari realitas yang lebih besar dan yang meliputinya, dan pada
gilirannya juga merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar lagi,
dan demikian seterusnya ad infinitum. Realitas yang ada adalah unik, tetapi hanya
mempunyai makna dalam kaitannya dengan hal-hal lainnya yang masing-masing
juga unik. Tiap realitas mempunyai kedudukan tertentu di dalam kerangka suatu
kelompok realitas dan dalam keseluruhan ralitas. Karena itu, asas dari
eksistensinya adalah kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan.
Dari segi hukum positif HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.252 Artinya, yang dimaksud
sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi

252
Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

199
manusia. Karena itu, hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari
pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Namun, karena hak asasi
manusia itu telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga juga telah
resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara atau “constitutional rights”.
Pengertian-pengertian mengenai hak warga negara juga harus dibedakan
pula antara hak konstitusional dan hak legal. Hak konstitutional (constitutional
rights) adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan
hak-hak hukum (legal rights) timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations). Setelah
ketentuan tentang hak asasi manusia diadopsikan secara lengkap dalam UUD
1945,253 pengertian tentang hak asasi manusia dan hak asasi warga negara dapat
dikaitkan dengan pengertian “constitutional rights” yang dijamin dalam UUD
1945. Selain itu, setiap warga negara Indonesia memiliki juga hak-hak hukum
yang lebih rinci dan operasional yang diatur dengan undang-undang ataupun
peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah. Hak-hak yang lahir dari
peraturan di luar undang-undang dasar disebut hak-hak hukum (legal rights),
bukan hak konstitusional (constitutional rights).Bercakap-cakap soal Hak Asasi
Manusia (HAM), suka atau tidak suka akan selalu terkait dengan Negara. Analisis
teoritis konsep HAM menunjukkan korelasinya yang erat dengan pengertian
Negara sebagai organisasi kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, Negara
senantiasa menjadi ancaman bagi keselamatan atau keamanan setiap manusia di
bawah yurisdiksinya karena tidak seorang pun terbebas dari kekuasaan
kursifnya.254 Oleh karena pemahaman semacam ini, maka Rhoda E. Howard
berujar bahwa konsep HAM secara normative bertujuan mencegah kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau membatasi penggunaan sarana

253
Lihat Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000.
254
Miriam Budiardjo, 1997, Dasart-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
hlm. 40-41.

200
kekuasaan kursif Negara.255 Jelasnya, seperti dikatakan oleh Jack Donnelly, HAM
merupakan klaim yang dimiliki dan dipertahankan individu tanpa bermaksud
mengurangi jenis-jenis hak kolektif tertentu, misalnya hak untuk terbebas dari
diskriminasi rasial, apartheid atau genosida, dan hak untuk menentukan nasib
sendiri terhadap negaranya, yang telah pula diakui dalam hokum internasional
terlepas dari fakta apakah penguasa menerima atau tidak.256 Dalam cakupan yang
positif, Scott Davidsons menunjuk Negara hanyalah sebagai alat untuk
mewujudkan tujuan rakyat yang mendirikannya, yaitu untuk melindungi
kehidupan, kebebasan, dan seluruh harta milik rakyat. 257 Sehubungan dengan hal
ini, John Locke menunjuk adanya justifikasi teoritis prinsip pertanggungjawaban
Negara (pemerintah) melanggar atau menyalahgunakan kepercayaan yang ada
padanya.258
Tetapi, Jimly Asshiddiqie259 menolak jika kaitan HAM dengan Negara
sebagai organisasi kekuasaan dipandang sebagai konsep tunggal. Apa yang sudah
dikemukakan di muka baru HAM generasi pertama, yaitu HAM yang dipahami
dalam konteks hubungan kekuasaan yang vertical antara rakyat dengan
pemerintahan dalam suatu Negara. Ada 3 (tiga) varian konsep HAM dalam barisan
generasi ini yaitu (i) HAM yang mencakup prinsip integritas manusia, kebutuhan
dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik; (ii) Konsepsi HAM yang
mencakup upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan
ekonomi, social, kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk

255
Rhoda E. Howard, 2000, op.cit, hlm. 11-12. Lihat juga soal asal-usul HAM ini dalam
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 317-318.
256
Jack Donnelly, “Apakah Hak-Hak Asasi Manusia Itu?”, dalam Geogre Clark dan
Kathleen Hugs (Eds.), 1998, HAM; Suatu Pengantar, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 2-3 dan 34.
257
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm. 38.
258
John Locke, 2002, Kuasa Itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya,
Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil (Terjemahan), Yogyakarta: Kanisius, hlm. 26
dan hlm 164-165.
259
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, op.cit., hlm. 220-
228.

201
menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam pertemuan-pertemuan
ilmiah, dan lain sebagainya; dan (iii) Konsepsi HAM yang mencakup pengertian
mengenai hak untuk pembangunan (rights to development) seperti hak untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan, hak untuk menikmati hasil-hasil
pembangunan, menikmati hasil perkembangan ekonomi, social, dan budaya, dan
sebagainya. Dalam tahap berikutnya, konsep HAM tidak cukup hanya dipahami
dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertical, tetapi mencakup pula
hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antarkelompok
masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antarsatu
kelompok masyarakat di suatu Negara dengan kelompok masyarakat di Negara
lain.
Juga manusia diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir kehidupannya
adalah untuk kembali kepada sumber asalnya, yakni Tuhan. Tiap manusia
individual dilengkapi dengan akal budi dan nurani yang memungkinkan manusia
untuk membedakan yang baik dari yang buruk, yang adil dari yang tidak adil, yang
manusiawi dari yang tidak manusiawi, yang perlu dari yang tidak perlu, yang
harus dan yang tidak harus dilakukan, yang boleh dan yang dilarang, dan dengan
itu manusia individual memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menentukan
sendiri pilihan tindakan yang (akan) dilakukannya serta kehidupan yang ingin
dijalaninya. Karena itu, tiap manusia individual bertanggung-jawab untuk
perbuatan yang telah atau akan dilakukannya. Adanya akalbudi dan nurani itu
menjadi landasan dari kebermartabatan manusia. Artinya, karena akal budi dan
nuraninya itu maka di satu pihak manusia individual bertanggung jawab untuk
perbuatan apapun yang ia lakukan dalam kebebasannya, dan di lain pihak manusia
memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri. Pada sisi lain, manusia juga
diciptakan dengan kondrat dalam kebersamaan dengan sesamanya di dalam
perkaitan dengan isi alam semesta lainnya sebagai suatu keseluruhan.
Dalam kebersamaannya itu, tiap manusia memiliki kepribadian yang unik yang
membedakan yang satu dari yang lainnya. Keseluruhan pribadi-pribadi dengan

202
keunikannya masing-masing itu mewujudkan suatu kesatuan, yakni kemanusiaan.
Karena itu, keseluruhannya disebut umat manusia. Dalam masing-masing pribadi
yang unik itu terjalin kemanusiaan. Karena itu, kehadiran manusia dalam
kebersamaannya memperlihatkan kodrat adanya kesatuan atau kesamaan (yakni:
kemanusiaan) di dalam pribadi-pribadi yang unik (yang berbeda). Jadi, kesatuan
dalam perbedaan. Sebaliknya, kebersamaan itu memperlihatkan kodrat
kepribadian yang unik (perbedaan) di dalam kesatuan kemanusiaan; jadi,
perbedaan dalam kesatuan. Kodrat “Kesatuan dalam Perbedaan” dan
“Perbedaan dalam Kesatuan” dari eksistensi manusia itu dirumuskan
(terungkapkan) dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai masyarakat
manusia yang berkemanusiaan, maka masyarakat harus mengakui dan memelihara
serta melindungi kepribadian masing-masing warganya, yakni manusia-manusia in
konkreto melalui siapa kemanusiaan diwujudkan (direalisasikan).
Jadi, masyarakat sebagai suatu kesatuan berkewajiban menciptakan dan
memelihara kondisi yang memungkinkan setiap manusia merealisasikan diri.
Sebaliknya hal itu tidak berarti bahwa masing-masing individu manusialah
yang terpenting, dan karena itu kepentingan tiap manusia secara bersendiri
harus didahulukan dari masyarakat (seperti pada individualisme). Sebab, terbawa
oleh kodrat kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan sesamanya, manusia
hanya dapat merealisasikan dirinya secara otentik (utuh) dalam masyarakat yang
ke dalamnya setiap manusia menjadi warga atau anggotanya. Dengan demikian
penyelenggaraan kehidupan manusia atau proses merealisasikan diri dari setiap
manusia berlangsung di dalam kebersamaannya itu, yakni di dalam masyarakat.
Untuk dapat merealisasikan dirinya secara wajar, manusia memerlukan adanya
ketertiban dan keteraturan (berekenbaarheid, prediktabilitas, hal dapat
diperhitungkan terlebih dahulu) di dalam kebersamaannya itu. Ketertiban
diwujudkan dalam perilaku manusia. Untuk mewujudkan ketertiban itu, manusia
memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang

203
dirumuskan dalam bentuk kaidah hukum. Kaidah hukum menetapkan bahwa jika
terjadi situasi tertentu, maka subjek tertentu dalam hubungannya dengan subjek
lain harus bertindak (melakukan perilaku) dengan cara tertentu. Jadi, pada
hakikatnya kaidah hukum menetapkan hubungan antara syarat dan apa yang
seharusnya terjadi jika syarat itu dipenuhi. Jika apa yang diharuskan itu dalam
kenyataan ditaati (dilaksanakan) maka akan terwujudlah ketertiban di dalam
masyarakat.
Di dalam Pembukaan UUD 1945 dirumuskan terlehih dahulu pikiran-
pikiran dasar, karakter-karakter dasar (preambule) yang menjadikan ketentuan-
ketentuan yang dibentuk kemudian mengikuti pikiran-pikiran dasar ataupun
karakter dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu itu. Penentuan aturan-aturan
saja tidak berarti apa-apa, selain memiliki karakter, pikiran sebagai arah, jalur,
jalan bagi dilaksanakannya aturan-aturan tersebut.
Dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-nilai moral dan etika yang
terutama dirumuskan dalam Pancasila. yang disebut kemudian sebagai dasar
negara. Dalam lingkup pernikiran hukum, apa yang disebut sebagai dasar negara
ini adalah juga pikiran dasar, karakter dasar, arah dan jalur bagi dilaksanakannya
aturan-aturan yang ada di dalam Batang Tubuh UUD 1945. Pikiran dasar, karakter
dasar, arah dan jalur tersebut berkaitan erat dengan nilai nilai moral dan etika.
Mengartikan makna dan nilai moral dan etika dalam Pembukaan UUD
1945 senantiasa bersifat tetap tetapi menghadapi fakta yang berbeda dengan fakta
pada masa-masa perjuangan membebaskan diri dari penjajahan pada masa lampau.
Dengan kata lain, fakta-fakta yang dihadapi bisa berbeda, tetapi nilai moral dan
etika yang diberikan terhadap fakta adalah tetap.
Butir-butir Pancasila yang dipertegas dalam Alinea IV Pembukaan
UUD 1945, sudah mulai tampak sejak Alinea I yakni butir tentang "kemerdekaan",
"hak segala bangsa". "perikemanusiaan" dan "perikeadilan". Arti dari nilai moral
dan etika tentang "kemerdekaan" pada masa kini memperoleh arti tidak semata-
mata pada fakta kemerdekaan politik suatu bangsa, agar bebas dari kolonialisme,

204
kemudian membentuk diri dalam satu negara. Tetapi nilai dan etika
"kemerdekaan" saat ini harus diartikan sehagai keadaan yang bebas dari pengaruh
dan campur tangan pihak luar, termasuk keadan yang bebas untuk menentukan
berlaku atau tidak berlakunya ilmu hukum, teori hukum, maupun ketentuan
ketentuan hukum yang berasal dari luar. Sekaligus dalam nilai
kemerdekaan ini adalah "kemerdekaan memiliki nilai moral dan etika milik
bangsa Indonesia sendiri", termasuk kebebasan untuk menyerap atau menolak nilai
moral dan etika yang berasal dari luar bangsa Indonesia.
Kemerdekaan sebagai nilai moral clan etika terwujud juga dalam arti
kemerdekaan dari rasa takut, kemerdekaan dari ancaman bahaya, kemerdekaan
menikmati hidup dan kehidupan, bahkan juga kemerdekaan dari ancaman
kematian. Ke arah inilah tujuan kemerdekaan itu mengandung makna yakni
"melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia", yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan.
Nilai moral dan etika tentang "kemerdekaan" berkaitan dengan "hak
segala bangsa". Menurut pendapat ahli, hak adalah kemauan dan kemampuan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dibenarkan (terutama)
oleh HUKUM. Merupakan sesuatu yang bermoral dan beretika untuk memberikan
hak kepada setiap bangsa dalam satu kesatuan, maupun individu dari bangsa
apapun. Dalam pola ini, adalah beretika dan bermoral untuk memberikan hak
hidup, menikmati hidup dan kehidupan, oleh karena hak hidup, hak menikmati
hidup dan kehidupan adalah hak-hak yang herpangkal pada hukum. Artinya, hak
ini adalah hak yang secara universal diakui sebagai hak yang dikaruniai oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa, yang secara kodrati melekat pada manusia.
Meskipun tidak sepenuhnya benar, tetapi pada faktanya kemudian konsep
HAM dalam generasi pertama yang lebih mengemuka di mana kemudian dijumpai
fakta bahwa puncak perkembangan dalam kurun waktu tersebut adalah
dibentuknya Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International
Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Kovenan Internasional Hak-

205
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau International Covenan on Economic,
Social, and Cultural Rights (ICESCR). Pada tanggal 28 Oktober 2005,
Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan pengesahan atau ratifikasi atas
dua instrument HAM tersebut, masing-masing dengan UU No. 11 Tahun 2005
(ICESCR) dan UU No. 12 Tahun 2005 (ICCPR). Jika dicermati, hamper semua isi
kovenan itu sudah masuk di dalam berbagai undang-undang di Indonesia. Bahkan,
UUD 1945 (hasil empat kali perubahan atau amandemen) memperkuat landasan
perlindungan HAM itu dengan memasukkan materi HAM secara lebih detail di
dalamnya.260 Namun, politik hokum Indonesia tetap memprogramkan ratifikasi
atas berbagai kovenan internasional tentang HAM. Dengan ratifikasi itu, maka
Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian dan bersedia diawasi secara
internasional.
Dilihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia,
sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni
UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945
sesudah Perubahan, juga tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan
hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal- hal tertentu, atas perintah
konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang, sebagai
berikut:
1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan
lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk
hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut
sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan
beradab”;
2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang
pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai
berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan

260
Lihat Pasal 28A – Pasal 28J UUD 1945.

206
kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan
menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh
tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi syarat- syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan
kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi;
3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-
kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi
dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta
kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang
adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu
masyarakat yang demokratis”; dan
4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan faham
konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi-konstitusi Indonesia
sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia.
Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang hak
asasi manusia ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih
lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan
sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah
berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi
manusia. Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 selain memuat “Pandangan dan
Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama,
nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada
Pancasila dan UUD 1945, dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat
ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya

207
juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup
sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.”
Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam
Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4
ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun Penjelasan Pasal 9
UU menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam
hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan
putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU juga memuat ketentuan mengenai
pembatasan terhadap hak asasi manusia.
C. Politik Hukum Hak Asasi Manusia
Dalam Pembukaan UUD 1945 tidak disebutkan secara ekplisit tentang
HAM, terkecuali tentang hak asasi bangsa. Namun bila dianalisis lebih dalam akan
terlihat, bahwa masalah hak asasi manusia terangkum dan terjelma di dalam hak
asasi bangsa sebagaimana terlihat di dalam alinea pertama Pembukaan UUD
1945 yang mengatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa…” Kata kunci dari kalimat ini adalah bangsa dan kemerdekaan.
Esensinya dari kata kunci itu adalah kemerdekaan sebagai hak.261 Sebelum
amandeman Undang-undang Dasar 1945 pernyataan secara eksplisit perlindungan
HAM hanya termuat di dalam Pasal 17, 28, dan Pasal 29 UUD 1945. Tiga pasal
tersebut berisi kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan berfikir,
hak bekerja dan hidup, dan kemerdekaan agama. Sedikitnya pengaturan HAM

261
Zulfirman, “Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Makalah, 2005.

208
dalam UUD 1945 sebelum amandeman dapat dimaklumi, karena latar
belakang pemikiran pembentukan UUD 1945 waktu itu dipengaruhi sejarah
lahirnya negara Indonesia, bahwa negara Indonesia lahir oleh perjuangan
rakyat, jadi berlatar belakang pemikiran lebih menitikberatkan pada
perjuangan komunal dan meminimalisasi perjuangan individu. Perjuangan
komunal lahir akibat perlawanan terhadap kekuatan komunal pula, yaitu oleh
bangsa lain; secara ringkas dapat dikatakan perlawanan antara bangsa yang
satu dengan bangsa lain.
Diawali dengan adanya Tap MPR Nomor XVII Tahun 1998 dalam
Sidang Istimewa MPR pada bulan November tahun 1998 beberapa saat setelah
lahirnya reformasi, maka tuntutan terhadap perlunya pengaturan yang lebih
menyeluruh terhadap jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia perlu
diatur dalam wadah hukum kita. Itulah mengapa kemudian tuntutan tersebut
diadopsi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Istimewanya pada
tahun 1998 dengan melahirkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia. Tetap ini terdiri dari tujuh pasal yang memuat dua hal mendasar,
yaitu pertama, berkaitan dengan pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap
hak asasi manusia dan yang kedua berkaitan dengan Piagam Hak Asasi
Manusia itu sendiri. Dalam dua naskah yang tidak terpisahkan dengan Ketetapan
MPR No. XVII/MPR/1998 dimaksud maka pada bagian pertama menyangkut
pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia pada
pendahuluan, pada draft terakhirnya dinyatakan bahwa bangsa Indonesia bertekad
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial yang pada hakikatnya merupakan kewajiban setiap bangsa,
sehingga bangsa Indonesia berpandangan bahwa hak asasi manusia tidak
terpisahkan dengan kewajibannya.
Berangkat dari Tap XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut,
kemudian pada tahun 1999 lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang itu juga dinyatakan beberapa hal

209
substansinya senapas dan sejalan Tap XVII/MPR/1998. Pasal 73 Bab VI
menyangkut pembatasan dan larangan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 dinyatakan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini
hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan
bangsa. Dalam Penjelasan Pasal 73 menyatakan bahwa pembatasan yang
dimaksud dalam pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam tanda kurung (non derogable rights).
Penjelasan Pasal 4 mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan dalam
keadaan apapun termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan keadaan
darurat. Sementara penjelasan Pasal 9 ayat (1) menyatakan, bahwa setiap orang
berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf
kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum
lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar
biasa, yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan
putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana
mati dalam hal atau kondisi tersebut masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal
tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. pelaksanaan hak dan kebebasan
orang lain dan undang-undang itupun dalam memberikan batasan-batasan
terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan orang lain harus untuk memenuhi salah
satu dari dua hal yang menjadi syarat dari adanya pembatasan itu. Pertama
adalah semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan kedua, semata-mata untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum, dengan demikian jelas HAM yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Setelah amandemen, perlindungan tentang HAM di Indonesia terlihat
dalam Pasal 2 amandeman dan Pasal 3 Amandeman UUD 1945. Dalam
perlindungan HAM ada tiga nilai yang esensi, yaitu universalitas, jaminan, dan

210
democratie.262 Dalam hal ini peranan hukum merupakan hal yang pokok untuk
menjaga dan melindungi HAM dan peranan itu menjadi kewajiban bagi negara.
Oleh karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka salah satu fungsi
negara hukum adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Dengan demikian, Negara hukum adalah ditujukan untuk menjamin
atas hak-hak asasi. Jaminan itu harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi
yang berlaku dalam suatu negara, atau setidak-tidaknya termaklumi dari praktek
hukum dan ketatanegaraan sehari-hari.
Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 dapat dikatakan tidak
mencantumkan secara tegas mengenai jaminan hak asasi manusia. Kalaupun dapat
dianggap bahwa UUD 1945 juga mengandung beberapa aspek ide tentang HAM,
maka yang dirumuskan dalam UUD 1945 sangatlah sumir sifatnya. Setelah
Perubahan UUD 1945, terutama perubahan kedua pada 2000, ketentuan mengenai
hak asasi manusia dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat
mendasar.
Materi yang semula hanya berisi tujuh butir ketentuan yang juga tidak
sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan hak asasi manusia, saat ini telah
bertambah secara signifikan, sehingga perumusannya menjadi lengkap dan
menjadikan UUD 1945 merupakan salah satu undang-undang dasar yang paling
lengkap memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan disahkannya
Perubahan Kedua UUD 1945 pada 2000, materi baru ketentuan dasar tentang hak
asasi manusia itu dalam UUD 1945 dimuat dalam Pasal 28A ayat (1) sampai
dengan Pasal 28J ayat (2), yaitu sebagai berikut:
1. Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya
[Pasal 28A];

262
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1997, Deklarasi Viena Program Aksi, Konferensi
Dunia Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm.10.

211
2. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah [Pasal 28B ayat (1)]
3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi [Pasal 28B ayat (2)];
4. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia [Pasal 28C ayat (1)];
5. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya [Pasal
28C ayat (2)]
6. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [Pasal 28D ayat
(1)]
7. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja [Pasal 28D ayat (2)];
8. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan [Pasal 28D ayat (3)];
9. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan [Pasal 28D ayat (4)];
10. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali [Pasal 28E ayat (1)];
11. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya [Pasal 28E ayat (2)];
12. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, dan
kebebasan mengeluarkan pendapat[Pasal 28E ayat (3)];
13. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

212
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia [Pasal
28F];
14. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi [Pasal 28G ayat (1)];
15. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik
dari negara lain [Pasal 28G ayat (2)];
16. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan [Pasal 28H ayat (1)];
17. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan [Pasal 28H ayat (2)];
18. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat [Pasal 28H ayat (3)];
19. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun [Pasal 28H
ayat (3)];
20. Setiap orang berhak untuk hidup, untuk tidak disiksa, berhak atas
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut [Pasal 28I ayat (1)];
dan
21. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu [Pasal 28I ayat (2)].

213
Dalam rangka menegakkan butir-butir ketentuan hak asasi tersebut di
atas, ketentuan di dalam UUD 1945 mengatur pula mengenai kewajiban orang lain
untuk menghormati hak asasi orang lain serta tanggungjawab negara atas tegaknya
hak asasi manusia itu, yaitu:
1. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
[Pasal 29 ayat (2)];
2. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban [Pasal 28I ayat (3)];
3. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggungjawab negara, terutama pemerintah [Pasal 28I ayat (4)];
4. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 28I ayat
(5)] ;
5. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara [Pasal 28J ayat (1)];
6. Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

214
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis [Pasal 28J ayat (2)];
Selain itu, dalam rumusan UUD 1945 pasca perubahan, terdapat pula
pasal-pasal selain Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J yang juga memuat
ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Di samping Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28J tersebut, ketentuan yang dapat dikaitkan dengan hak asasi manusia
terdapat pula dalam Pasal 29 ayat (2), yaitu “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal inilah yang sebenarnya paling
memenuhi syarat untuk disebut sebagai pasal hak asasi manusia yang diwarisi dari
naskah asli UUD 1945. Sedangkan ketentuan lainnya, seperti Pasal 27 ayat (1) dan
(2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2)
bukanlah ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam arti yang
sebenarnya, melainkan hanya berkaitan dengan pengertian hak warga negara.
Penduduk Indonesia, apakah berstatus sebagai Warga Negara Indonesia
atau bukan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak dasar yang diakui
universal. Prinsip-prinsip hak asasi manusia itu berlaku pula bagi setiap individu
Warga Negara Indonesia. Bahkan, di samping jaminan hak asasi manusia itu,
setiap Warga Negara Indonesia juga diberikan jaminan hak konstitusional dalam
UUD 1945. Di samping itu, terdapat pula ketentuan mengenai jaminan hak asasi
manusia tertentu yang hanya berlaku bagi Warga Negara atau setidaknya bagi
Warga Negara diberikan kekhususan atau keutamaan-keutamaan tertentu,
misalnya, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan dan lain-lain yang secara
bertimbal balik menimbulkan kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak-hak itu
khusus bagi Warga Negara Indonesia. Artinya, negara Republik Indonesia tidak
wajib memenuhi tuntutan warga negara asing untuk bekerja di Indonesia ataupun
untuk mendapatkan pendidikan gratis di Indonesia.
Hak-hak tertentu yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional
Warga Negara adalah:

215
1. Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak konstitusional bagi
Warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak yang tercantum dalam Pasal
28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap Warga Negara berhak atas
kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27 ayat (2)
menyatakan, “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi, “Setiap Warga
Negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara”; (iv) Pasal 30
ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara”; (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan,
“Setiap Warga Negara berhak mendapat pendidikan”; Ketentuan-ketentuan
tersebut khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi setiap orang
yang berada di Indonesia.
2. Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap orang, akan
tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga Negara Indonesia berlaku
keutamaan-keutamaan tertentu. Misalnya, (i) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
menentukan, “Setiap orang berhak untuk bekerja.....”. Namun, negara dapat
membatasi hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing
dilarang memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan penghidupan atau
imbalan dengan cara bekerja di Indonesia selama masa kunjungannya itu; (ii)
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun
ketentuan ini bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang
berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia tidak mungkin
dipersamakan haknya. Orang asing tidak berhak ikut campur dalam urusan
dalam negeri Indonesia, misalnya, secara bebas menyatakan pendapat yang
dapat menimbulkan ketegangan sosial tertentu. Demikian pula orang warga
negara asing tidak berhak mendirikan partai politik di Indonesia untuk tujuan
mempengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii) Pasal 28H ayat (2)
menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan

216
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”. Hal ini juga diutamakan bagi Warga Negara
Indonesia, bukan bagi orang asing yang merupakan tanggungjawab negara
asalnya sendiri untuk memberikan perlakuan khusus itu;
3. Hak Warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi melalui
prosedur pemilihan (elected officials), seperti Presiden dan Wakil Presiden,
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil
Walikota, Kepala Desa, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, anggota Badan
Pemeriksa Keuangan, anggota lembaga permusyawaratan dan perwakilan yaitu
MPR, DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Dewan
Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi negara, dan jabatan-jabatan
lain yang diisi melalui prosedur pemilihan, baik secara langsung atau secara
tidak langsung oleh rakyat;
4. Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau menggugat
keputusan-keputusan negara yang dinilai merugikan hak konstitusional Warga
Negara yang bersangkutan. Upaya hukum dimaksud dapat dilakukan (i)
terhadap keputusan administrasi negara (beschikkingsdaad van de
administratie), (ii) terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat
orgaan), baik materiil maupun formil, dengan cara melakukan substantive
judicial review (materiile toetsing) atau procedural judicial review (formele
toestsing), atau pun (iii) terhadap putusan hakim (vonnis) dengan cara
mengajukannya ke lembaga pengadilan yang lebih tinggi, yaitu tingkat banding,
kasasi, atau peninjauan kembali.
Senyampang dianutnya hak-hak asasi dalam UUD 1945, Negara tetap
mempunyai kewajiban untuk memelihara hak asasi setiap orang. Hak hidup dan
kehidupan yang disuarakan Hak Asasi Manusia, khususnya dalam Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), justru tidak bertentangan dengan
nilai-nilai dan moral yang dianut negara dan bangsa Indonesia, yang bersumber
pada Pancasila. Karena itu pula negara memiliki kewajiban untuk menaruh

217
penghargaan, melindungi dan mengisi kewajiban untuk memelihara hak hidup
dan kehidupan. Negara memiliki generic obligation yakni kewajiban untuk
menghargai (obligation to respect), kewajiban untuk melindungi (obligation to
protect) dan kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill). Kewajiban ini
adalah kewajiban mutlak (absolute obligation) yang dikarakterkan oleh nilai moral
dan etika yang disebutkan di atas. Makna Pasal 28J UUD 1945 tidak merupakan
eksepsi terhadap Pasal 28A maupun Pasal 281 UUD 1945.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan pernyataan eksplisit
mengenai eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, dan
berdaulat. Pancasila sebagaimana tercanturn dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan kepribadian, tujuan, dan pandangan hidup bangsa,
yang lebih terkenal sebagai landasan ideologi dan konstitusional dalam
pengembangan bangsa dan negara Indonesia. Memperjuangkan kelestarian bangsa
dan negara perlu adanya perspektif masa depan merupakan suatu keharusan yang
amat panting. Secara sadar perlu pemikiran dan rencana masa depan sehingga
terlaksana suatu kemajuan dan pertumbuhan bangsa dan negara dalam suasana
kestabilan masyarakat yang didukung oleh ketertiban, keamanan, dan keadilan
sosial. Ledakan kependudukan, tingkat pendidikan yang setiap tahun tumbuh
persoalan, pertumbuhan kemakmuran ekonomi yang belum maju secara seimbang,
dan permasalahan yang dihadapi secara komplek itu turut berpengaruh sebagai
faktor penghambat yang menentukan keberhasilan atau tidaknya pengembangan
bangsa dan negara.
Perlu dicatat, frasa dalam Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi:"...setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang..." hanya boleh diartikan sedemikian rupa pada perbuatan-perbuatan yang
dilarang undang-undang. Tetapi sanksi berupa hukuman mati tidak dapat
dikenakan. Memahami arti kaidah menurut Antony Allot yaitu sebagai pernyataan
hukum yang terdiri dari dua ruas, yaitu ruas pertama berupa ruas apodosis yang
berisi pernyataan tentang kejadian atau peristiwa tertentu yang tidak dikehendaki

218
(sebagai misal sebuah rumusan "Jika mencuri. ...") yang berfungsi sebagai syarat,
diikuti dengan pernyataan tentang tindakan hukum yang dikehendaki, yang
terbentuk dalam pernyataan yang merupakan akibat (sebagai misal sebuah
rumusan ".... dihukum ...). Sanksi adalah sesuatu yang dikehendaki oleh manusia.
oleh karena itu. sanksi berupa pengenaan hukuman mati akibat adanya perbuatan
tertentu bukanlah tindakan yang menunjukkan keluhuran harkat dan martabat
suatu bangsa. Pemahaman sedemikian didasarkan pada pendapat yang umum
bahwa setiap ketentuan, ataupun nilai-nilai, bahkan teori senantiasa beranjak dari
filosofi tentang manusia dan kemanusiaan. Teori-teori hukum pidana seperti
retributive, pembalasan, utilitis, penjeraan dan sebagainya memiliki pangkal
filosofi sendiri-sendiri. Sebaliknya, nilai-nilai di dalam filsafat tentang hidup dan
kehidupan manusia menentukan sistem hukum dan teori-teori hukurn.
Dengan demikian, dilihat dari perspektif original intent pembentuk UUD
1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945
keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh
penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur
tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara
penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang
diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada
pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan
mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika
pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga
menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup,
yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms,
everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely
for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and
freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order
and the general welfare in a democratic society.”

219
Sebagai imbangan terhadap adanya jaminan hak konstitusional warga
negara tersebut di atas, UUD 1945 juga mengatur dan menentukan adanya
kewajiban konstitusional setiap warga negara. Serupa dengan hak-hak, kewajiban-
kewajiban dimaksud juga terdiri atas (i) kewajiban sebagai manusia atau
kewajiban asasi manusia, dan (ii) kewajiban sebagai warga negara. Bahkan, jika
dibedakan lagi antara hak dan kewajiban asasi manusia dengan hak dan kewajiban
konstitusional warga negara, maka kewajiban-kewajiban dimaksud juga dapat
dibedakan antara (i) kewajiban asasi manusia, (ii) kewajiban asasi warga negara,
dan (iii) kewajiban konstitusional warga negara.
Subyek kedua macam kewajiban pertama tersebut di atas adalah “setiap
orang”. Karena itu, kedua kewajiban pertama di atas adalah kewajiban asasi
manusia atau kewajiban setiap orang, terlepas dari apakah ia berstatus sebagai
warga negara Indonesia atau bukan. Kedua kewajiban itu, berlaku juga bagi setiap
warga negara Indonesia, sehingga oleh karenanya dapat sekaligus disebut sebagai
kewajiban konstitusional warga negara Indonesia. Namun, di samping kedua
kewajiban di atas, setiap warga negara dan juga orang asing dibebani pula
kewajiban lain yang secara implisit lahir karena adanya kekuatan negara untuk
memaksakan kehendaknya melalui instrumen pajak dan pungutan lain
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 23A UUD 1945. Pasal ini menentukan,
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang”. Kekuatan negara untuk memaksa itu melahirkan
kewajiban kepada setiap subyek wajib pajak dan subyek pungutan non-pajak
berupa retribusi untuk membayarkannya kepada negara. Oleh karena itu,
kewajiban membayar pajak dan pungutan lainnya merupakan kewajiban asasi
setiap orang yang hidup di Indonesia dan sekaligus merupakan kewajiban
konstitusional setiap warga negara Indonesia.

220
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, 1999, Mengurai Hubungan Agama dan Negara,
Jakarta: Grasindo.

Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di


Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit Pustaka
Utama Grafiti bekerja sama dengan Eka Tjipta Foundation, Cetakan 3.

Adolf Heuken SJ, 1987, Kamus Jerman-Indonesia, Jakarta: Gramedia.

A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam


Penyelenggaraan Negara, disertasi doktor ilmu hukum, Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta.

Al Chaidar, dkk, 2000, Telaah Awal Wacana Unitaris vs. Federalis Dalam
Perspektif Islam, Nasionalisme, dan Sosial Demokrasi. Jakarta: Madani Press.

Ali Moertopo, 1992, Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta, CSIS.

Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, Mekanisme Pertanggungjawaban


Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

A.S.S. Tambunan, 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta:


Puporis Publishers.

Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies Natalis


Universitas Parahiyangan, Bandung, 1983.

Azhar Kasim, “Reformasi Adminiostrasi Negara sebagai Prasyarat Upaya


Peningkatan Daya Saing Nasional”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FISIP
UI, Jakarta, 1998.

Azyumardi Arza, “Dilema Negara Yahudi”, Kata Pengantar dalam


Musthafa Abd. Rahman, 2002, Dilema Israel: Antara Krisis Politik dan Perdamaian,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. xxii-xxiii.

Bagir Manan, “Kedudukan Hukum Memorandum DPR kepada (terhadap)


Presiden”, makalah Seminar Nasional, Jakarta, 28 Februari 20o1.

Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta,


Penerbit Ind Hill Co.

221
Bagir Manan,”Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan
Nasional”, makalah yang disampaikan pada Pendidikan Singkat “Kajian Perundang-
undangan: Pendekatan Teoritis dan Praktek” untuk para pengajar Fakultas Hukum se-
Sumatera di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, tanggal 11-18 Oktober
1993.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara, Bandung, Penerbit Alumni.

Bagir Manan, 2000, Lembaga Kepresidenan, Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Bagir Manan, 2003, MPR, DPR, dan DPD Menurut UUD 1945 Baru,
Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Bagir Manan, 2004, Perkembangan UUD 1945, Jogjakarta, Penerbit UII


Press.

Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia Suatu Kajian Teoritis,


Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta: Sinar


Grafika.

Bayu Seto, 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Bandung,


Penerbit Alumni.

Bernard Roosen, 1998, Holding Government Bureacracies Accountable,


USA: Praeger Publsher Westport.

Bhenyamin Hossein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya


Otonomi Daerah Tingkat II Suatu Kajian Dsentralisasi dan Otonomi Daerah dari
Segi Ilmu Administrasi Negara, disertasi Fakultas Pascasarjana, Universitas
Indonesia, Jakarta.

B. Hestu Cipto Handoyo, 2002, Hukum Tata Negara, Jogjakarta, Penerbit


Unirsitas Atmadjaya.

222
Bintoro Tjokroamidjojo, 1987, Pengantar Administrasi Pembangunan,
Jakarta: LP3ES.

C.F. Strong, 1963, Modern Political Constitution, London: Ludwigcs &


SonsLtd.

Chaizi Nasucha, 2004, Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktik,


Jakarta: Grasindo.

Dahlan Thaib, dkk, 2003, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Penerbit
Rajawali.

David Kairsy (ed)., 1990, The Politics of Law, A Progressive Critique, New
York: Pantheon Books.

Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif


Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit Djambatan.

Deliar Noer, 1982, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali.

Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan


Pembongkaran , Jakarta, Penerbit Mizan.

Didik J. Rachbini, “Posisi Pasar dan Negara”, Majalah Gatra, No. 17 Tahun
1, 11 Maret 1995.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Erma Wahyuni dkk, 2003, Kebijakan dan Manajemen Privatisasi


BUMN/BUMD, Yogyakarta: YPAP.

Feisal Tamin, 2004, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan


Aparatur Negara, Jakarta: Belantika.

Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum


Demokrasi, Bandung, Yrama Widya.

Fockema-Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum (Terjemahan Saleh


Adiwinata, dkk), Bandung: Bina Cipta.

Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

223
G. Calvin Mackenzie, 1986, American Government: Politicsa and Public
Policy, New York: Random House.

Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, terj. Anders Wedberg
(New York, Russel & Russel.

Hermawan Sulistyo, 2000, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian


Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Jakarta, Kepustakaan Populer
Gramedia.

Hendro Nurtjahyo, 2006, Filsafat Demokrasi, Jakarta, Penerbit Rajawali.

Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary: Definitions of the


Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern,
St. Paul, Minn.: West Group.

Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi


di Indonesia”. Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor
(S3) UII.

I. B. Wyana Putra. 1993 , Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung,


Penerbit Remaja Rosdakarya.

Ichtijanto, 1994, Pengembangan Teori berlakunya hukum Islam di


Indonesia, dalam Hukum Islam di Indonesia, Bandung, Penerbit Remaja
Rosdakarya cet. ke-2.

Ismail Sunny, 1987, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Penerbit


Bina Aksara.

Jack Donnelly, ”Apakah Hak-hak Asasi Manusia Itu?”, dalam George Clack
dan Kathleen Hug (Eds.), 1998, HAM: Suatu Pengantar, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

James E. Anderson, 1966, Cases in Public Policy Making, New York:


Praeger Publisher.

J.C.T. Simorangkir, 1984, Penetapan Undang-Undang Dasar, Jakarta,


Penerbit BPHN.

J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Grasindo.

224
J.H.A. Logemann, 1982, Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya
Undang-Undang Dasar Hindia Belanda, Malang, Penerbit Laboratorium Pancasila
IKIP Malang.

Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen


dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta, Penerbit
UI.

Jimly Asshiddiqie, 2003, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah


Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”, makalah. Jakarta: BPHN.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia,


Jakarta, Penerbit Konpress.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,
Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia.

Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi, Jakarta, Penerbit Kompas.

John Locke, 2002, Kuasa Itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula
Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil
(Terjemahan), Yogyakarta: Kanisius.

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit Alumni.

K.C. Wheare, 1975, Modern Constitution, London, Oxford University Press.

K. Wantjik Saleh, 1974, Perkembangan Perundang-Undangan 1966-1973,


Jakarta, Ichtiar Baru.

Kusnu Goesniadhie S., 2009, Hukum Konstitusi dan Politik Negara


Indonesia, Malang, Penerbit Nasa Media.

Kusumadi Pudjosewojo, 1993, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia,


Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.

Leo Sutanto, “Partisipasi Publik dalam Proses Menuju Indonesia Baru:


Evaluasi Perkembangan Pemerintahan”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005.

LJ. van Appeldoorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan


Supomo), Jakarta, Pradnya Paramitha, cet. Ke-18.

225
Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi di Indonesia
Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta,
Kencana.

Mahsun Fuad, 2005, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris


Hingga Emansipatoris, LKiS, Yogyakarta.

Mardiasmo, 2001, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit Andi.

Mark Brzezinskri, 1998, The Struggle for Constitutionalism in Poland,


London: Macmillan Press Ltd.

Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan,


Jogjakarta, Penerbit Kanisius.

Marsilam Simanjuntak, 1994, Pandangan Negara Integralistik: Sumber,


Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Jakarta, Penerbit Pustaka
Utama Grafiti.

M.B. Hooeber, 1978, Adat Law in Modern Indonesia, Kuala Lumpur,


Penerbit Oxford University Press.

Miftah Thoha, 1987, Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-Dimensi Prima


Ilmu Administrasi Negara Jilid II, Jakarta: Rajawali.
Mifthah Toha, 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta: Rajawali Press.

M. Irfan Islammy, 1984, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan


Negara, Jakarta: Bina Aksara.

Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia


Pustaka Utama.

Mohtar Mas’oed, “Hak-hak Politik dalam Negara Hegemonik: Pokok-


pokok Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta, 23 September 1984.

Mohtar Mas’oed, 2003, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata


Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN UI.

Moh. Mahfud M.D., 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,


Jogjakarta, Penerbit Liberty.

226
Moh. Mahfud M.D., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jogjakarta,
Penerbit Ford Foundation dan Gama Media.

Moh. Mahfud M.D., 1999, “Amandemen UUD 1945 ditinjau dari


Kekuasaan Legislatif”.makalah seminar DPP Golkar.

Moh. Mahfud MD, 2001, Politik Hukum di Indonesia,Cet. Kedua,


Jakarta: LP3ES.

Moh. Mahfud M.D., 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan


Konstitusi, Jakarta, Penerbit LP3ES.

Moh. Mahfud M.D., 2007, Membangun Politik Hukum, Menegakkan


Konstitusi, Jakarta, Pustaka LP3ES.

M. Solly Lubis, 1978, Asas-asas Hukum Tata Negara, Cetakan 2, Bandung,


Penerbit Alumni.

Muchsan, 1998, “Pembatasan Kekuasan dalam Negara Kesejahteraan”,


dalam Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi (Eds.), Hukum dan Kekuasaan,
Yogyakarta: FH UII.

Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat


Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty.

Muhammad Ridwan Indra, 1998, Kedudukan Presiden Menurut Undang-


Undang Dasar 1945, Jakarta, Penerbit C.V. Trisula.

Muhammad Yamin, 1982, Proklamasi dan Konstitusi, Jakarta, Penerbit


Djambatan.

Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review,


Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Transisi ke Demokrasi,


Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Nugroho Notosusanto, dkk, 1985, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-


1969, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka.

Ong Hok Ham, 2002, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi
Historis Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

227
Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit
Ind Hill Co.

Peter Blau dan Marshall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam Masyarakat


Modern, Jakarta: UI.

Peter de Cruz, 1995, Comparative Law in A Changing World, London:


Cavendish Publishing Ltd.

Peter R. Baehr, 1998, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia,


Surabaya: Bina Ilmu.

Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Prajudi Atmosudirjo, “Membangun Visi dan Reorientasi Kinerja Aparatur


Daerah, Menjawab Tantangan Masyarakat Indonesia Baru”, Manajemen
Pembangunan, No. 19 Tahun V, April 1997, Jakarta: Bappenas.

Purwo Santoso (Ed.), 2005, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik,


Yogyakarta: FISIP UGM.

Rhoda E. Howard, 2000, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,


Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Ratna Lukito, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang
Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka
Alvabet.

Ratno Lukito, 2008, Tradisi Hukum Indonesia, Jogjakarta, Penerbit Teras.

Sharifritz dan Hyede, 1978, Classic of Public Administration, California:


Brooks/Cole Publishing Co.

Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan


Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni.

Sjahran Basah., 1986, “Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak


Administrasi Negara” Orasi Ilmiah, Bandung: UNPAD.

228
Sidharta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks
Keindonesiaan, Bandung: Penerbit C.V. Utomo.

Soepomo, 2000, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbit Pradnya


Paramita.

Soetandyo Wignyo Subroto, 2002. Hukum, Paradigma, dan Metode. Jakarta


: Huma.

Sri Soemantri, 1982, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,


Jakarta, Rajawali.

Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung,


Penerbit Alumni.

Sudikno Mertokusumo, 2004, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,


Jogjakarta, Penerbit Liberty.

Suhartono, “Aktualisasi Hukum Islam dalam Masalah Perkawinan dan


Kewarisan di Indonesia (Suatu Perspektif Sosio Kultural Historis)”, Jurnal
Mimbar Hukum No. 54 Thn XII, Al-Hikmah, September-Oktober 2001.

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum


Nasional, Bandung, Penerbit Alumni.

Susi Dwi Haryanti, 2003, Implementasi Bikameralisme di Indonesia,


Jakarta, Penerbit Rajawali.

Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan


Yuridis Nawaksara, Jakarta, Penebit Gramedia.

Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II,


Desember 1973.

Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi (Reparation) terhadap Korban


Pelanggaran HAM di Indonesia, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti.

Todung Mulya Lubis, 1984, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural,


Jakarta: LP3ES.

Tri Widodo Utomo, “Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan


Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005.

229
Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Eanglewood Cliffs:
Prentice Hall Inc.

Yahya Muhaimin, 1982, Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia


1945-1966, Jogjakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Penerbit
RajaGrafindo Persada.

Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi


Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Jakarta,
Penerbit Gema Insani Press.

230
231

Anda mungkin juga menyukai