Anda di halaman 1dari 11

KONSTITUSI Konstitusi pada umumnya bersifat kodifikasi yaitu sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu

organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). namun menurut para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi , Konstitusi bagi organisasi pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung pula arti konstitusi ekonomi Dewasa ini, istilah konstitusi sering di identikkan dengan suatu kodifikasi atas dokumen yang tertulis dan di Inggris memiliki konstitusi tidak dalam bentuk kodifikasi akan tetapi berdasarkan pada yurisprudensi dalam ketatanegaraan negara Inggris dan mana pula juga Konstitusi Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris yaitu Constitution dan berasal dari bahasa belanda constitue dalam bahasa latin (contitutio,constituere) dalam bahasa prancis yaitu constiture dalam bahsa jerman vertassung dalam ketatanegaraan RI diartikan sama dengan Undang undang dasar. Konstitusi / UUD dapat diartikan peraturan dasar dan yang memuat ketentuan ketentuan pokok dan menjadi satu sumber perundangundangan. Konstitusi adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakata negara A. pengertian konstitusi menurut para ahli 1) K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan suatu negara. 2) Herman heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan politis 3) Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara angkatan perang, partai politik dsb 4) L.j Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan tak tertulis 5) Koernimanto soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa latin cisme yang berarati bewrsama dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan secara bersama. 6) Carl schmitt membagi konstitusi dalam 4 pengertian yaitu: a) Konstitusi dalam arti absolut mempunyai 4 sub pengertian yaitu; o Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang mencakup hukum dan semua organisasi yang ada di dalam negara. o Konstitusi sebagai bentuk negara o Konstitusi sebagai faktor integrasi o Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum yang tertinggi di dalam negara b) Konstitusi dalam artoi relatif dibagi menjadi 2 pengertian yaitu konstitusi sebagai tuntyutan dari golongan borjuis agar haknya dapat dijamin oleh penguasa dan konstitusi sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil (konstitrusi dapat berupa terttulis) dan konstitusi dalam arti materiil (konstitusi yang dilihat dari segi isinya) c) konstitusi dalam arti positif adalah sebagai sebuah keputusan politik yang tertinggi sehingga mampu mengubah tatanan kehidupan kenegaraan d) konstitusi dalam arti ideal yaitu konstitusi yang memuat adanya jaminan atas hak asasi serta perlindungannya B. tujuan konstitusi yaitu: 1) Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang wenang maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan rakyat banyak 2) Melindungi Ham maksudnya setiap penguasa berhak menghormati Ham orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya. 3) Pedoman penyelengaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita tidak akan berdiri dengan kokoh.

C. Nilai konstitusi yaitu: 1. Nilai normatif adalah suatu konstitusi yang resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efgektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. 2. Nilai nominal adalah suatu konstitusi yang menurut hukum berlaku, tetrapi tidak sempurna. Ketidak sempurnaan itu disebabkan pasal pasal tertentu tidak berlaku / tidsak seluruh pasal pasal yang terdapat dalam UUD itu berlaku bagi seluruh wilayah negara. 3. Nilai semantik adalah suatu konstitusi yang berlaku hanya untuk kepentingan penguasa saja. Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat untuk melaksanakan kekuasaan politik. Konstitusi tidak tertulis / konvensi(nondokumentary constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul. Adapun syarat syarat konvensi adalah: 1) Diakui dan dipergunakan berulang ulang dalam praktik penyelenggaraan negara. 2) Tidak bertentangan dengan UUD 1945 3) Memperhatikan pelaksanaan UUD 1945. 2) secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi: a) konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara. b) Konstitusi sosial adalah konstitusi yang mengandung cita cita sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa itu. 3) bedasarkan sifat dari konstitusi yaitu: 1) Flexible / luwes apabila konstitusi / undang undang dasar memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan. 2) Rigid / kaku apabila konstitusi / undang undang dasar jika sulit untuk diubah. 4) unsur /substansi sebuah konstitusi yaitu: a) Menurut sri sumantri konstitusi berisi 3 hal pokok yaitu: 1) Jaminan terhadap Ham dan warga negara 2) Susunan ketatanegaraan yang bersdifat fundamental 3) Pembagian dan poembatasan tugas ketatanegaraan b) Menurut Miriam budiarjo, konstitusi memuat tentang: Organisasi negara HAM Prosedur penyelesaian masalah pelanggaran hukum Cara perubahan konstitusi. c) Menurut koerniatmanto soetopawiro, konstitusi berisi tentang: 1) Pernyataan ideologis 2) Pembagian kekuasaan negara 3) Jaminan HAM (hak asasi manusia) 4) Perubahan konstitusi 5) Larangan perubahan konstitusi Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen constitution) adalah aturan aturan pokok dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam persekutuan hukum negara. D. Macam macam konstitusi 1) Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari: E. Syarat terjadinya konstitusi yaitu: Agar suatu bentuk pemerintahan dapat dijalankan secara demokrasi dengan memperhatikan kepentingan rakyat. Melinmdungi asas demokrasi Menciptakan kedaulatan tertinggi yang berada ditangan rakyat Untuk melaksanakan dasar negara Menentukan suatu hukum yang bersifat adil F. Kedudukan konstitusi (UUD) Dengan adanya UUD baik penguasa dapat mengetahui aturan / ketentuan pokok mendasar mengenai ketatanegaraan . Sebagai hukum dasar Sebagai hukum yang tertinggi G. perubahan konstitusi / UUD yaitu: Secara revolusi, pemerintahan baru terbentuk sebagai hasil revolusi ini yang kadang kadang membuat sesuatu UUD yang kemudian mendapat persetujuan rakyat. Secara evolusi, UUD/konstitusi berubah secara berangsur angsur yang dapat menimbulkan suatu UUD, secara otomatis UUD yang sama tidak berlaku lagi. H. keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi yaitu: keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi nampak pada gagasan dasar, cita cita dan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD suatu negara. Dasar negara sebagai pedoaman penyelenggaraan negara secara tertulis termuat dalam konstitusi suatu negara

I. Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu: Konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. Uud memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itui makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan

HAM HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia. Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia : 1. Hak asasi pribadi / personal Right - Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat - Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat - Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan - Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing 2. Hak asasi politik / Political Right - Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan - hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan - Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya - Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi 3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right - Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan - Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns - Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum 4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths - Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli - Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak - Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll

- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu - Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak 5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights - Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan - Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum. 6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right - Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan - Hak mendapatkan pengajaran - Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat Hak dan Kewajiban Warga Negara Hak dan Kewajiban Sebagai Warga Negara Indonesia Berikut ini adalah beberapa contoh hak dan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali. Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian hari. Namun biasanya bagi yang memiliki banyak uang atau tajir bisa memiliki tambahan hak dan pengurangan kewajiban sebagai warga negara kesatuan republik Indonesia. A. Contoh Hak Warga Negara Indonesia 1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum 2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak 3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan 4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masingmasing yang dipercayai 5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran 6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh 7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku B. Contoh Kewajiban Warga Negara Indonesia 1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh 2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) 3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya

4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara indonesia 5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik.

HUBUNGAN SIPIL MILITER PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN SEKARANG Meski saat ini TNI sudah melakukan reformasi internal secara bertahap, namun beberapa kalangan masih menganggap ada yang kurang, terutama bila ditinjau dengan cara berpikir Barat yang cenderung Huntingtonian. Tulisan ini hanya sebagai pengantar bagi rekan pembaca sekalian untuk kiranya dapat memberi masukan yang pas tentang bagaimana seharusnya hubungan sipil-militer Indonesia di masa kini dan mendatang, di mana TNI sendiri ditantang untuk lebih profesional, namun pada saat yang sama, seringkali ditarik-tarik untuk memasuki ranah politik dan sosial lagi. Di masa lalu, dualisme ini dianggap telah membuat TNI -arguably- tidak profesional. Jangan lupa baca tulisan ini sambil rileks saja dan tidak perlu sampai mengerutkan dahi, karena tulisan ini dimaksudkan sebagai trigger saja. Di bagian akhir nanti, pembaca sekalian akan diminta memilih format yang tepat untuk hubungan sipil-militer kita dalam era yang kian demokratis ini, dan tentu tanpa mengorbankan profesionalisme militer itu sendiri. Sejarah Republik Indonesia dan Hubungan Sipil-Militer Sejak pemerintahan Soeharto berakhir di tahun 1998, turut berubah pula paradigma hubungan sipil-militer di negeri ini. Negeri kita sebelumnya amat didominasi oleh militer, dan memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, militer memiliki peran yang amat penting dalam revolusi fisik dan tidak mengakui kontrol sipil atas dirinya. Contohnya, Jenderal Soedirman menolak perintah Presiden Soekarno untuk melepaskan Syahrir pada 30 Juni 1946 setelah diumumkan negara dalam keadaan darurat. Meski Soekarno mengumumkan di radio bahwa penahanan Syahrir dapat membahayakan keutuhan nasional, Pak Dirman tetap menolak (Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since 1300, 1993, p.223). Penolakan perintah yang lain adalah pada saat Soekarno ditangkap Belanda pada saat Belanda menyerbu Yogyakarta, 19 Desember 1948. Setelah Soekarno ditahan sekian lama, Soekarno dan Soedirman tetap tidak mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata dengan Belanda. Soekarno menghendaki gencatan senjata. Soedirman menghendaki peperangan gerilya diteruskan sampai tujuannya tercapai. Akibatnya, Soedirman menawarkan untuk berhenti sebagai Panglima karena Soekarno tidak mau menarik ide gencatan senjata. Di mata Nasution, sikap Pak Dirman ini amat mengesankan. Alih-alih menyerah, malah memimpin perang gerilya dengan segala resiko dan kesulitan yang harus dihadapi. Disinilah kelemahan pimpinan sipil pada waktu itu yang telah dipandang membahayakan keutuhan nasional. Makanya, dikatakan bahwa satu-satunya milik Republik ini yang tetap utuh dan tidak akan berubah meski menghadapi segala macam ancaman, tantangan, halangan dan gangguan adalah Tentara Nasional Indonesia (Rinakit, The Indonesia Military after New Order, 2005, p.40). Dari titik tonggak sejarah inilah bisa kita runut hubungan sipil dan militer negeri kita yang dimulai sejak negeri kita berdiri. Sistem pemerintahan kita juga mempengaruhi hubungan ini. Pada awal berdirinya negara ini, kita mengadopsi gaya Demokrasi Liberal, mulai dari sistem pemerintahan yang presidensial, kemudian berubah menjadi parlementer dengan masih menggunakan satu konstitusi yang sama (bandingkan dengan Thailand yang hampir setiap terjadi kudeta ganti konstitusi). Gaya parlementer ini bertahan sekitar satu dekade, dan hasilnya banyak yang tidak puas sehingga berakhir dengan kegagalan. Nah, karena gagal berliberal-ria ini, maka dicobalah gaya yang lain. Muncul lah Demokrasi Terpimpin, tetap dibawah Presiden Soekarno pada tahun 1959. Pak Harto melabeli ini sebagai Orde Lama. Demokrasi Terpimpin ini memungkinkan Presiden mempunyai kekuasaan yang besar, ditambah aneka

hak prerogatif lainnya. Setelah tumbang, maka lahirlah Demokrasi Pancasila bersamaan dengan naiknya Pak Harto ke tampuk pimpinan negara kita, berlabel Orde Baru. Meski Pak Harto menjadi Presiden setelah membasmi komunisme (yang dianggap sebagai musuh kapitalisme barat), baik Orde Baru maupun Orde Lama sama-sama mencela Demokrasi Liberal. Dikatakan bahwa Demokrasi Liberal itu terlalu individualistis, terlalu bebas, sehingga tidak sesuai dengan kultur Indonesia yang bersifat kegotongroyongan, kekeluargaan dan kekerabatan. Jadi, mulai dari sudut pandang ini, Demokrasi Liberal sudah mendapatkan label negatif. Kata liberal pun dalam Bahasa Indonesia berkonotasi negatif. Orde Baru telah menetapkan bahwa pondasi negara adalah Pancasila, dan konstitusinya UUD 1945. Pak Harto mendefinisikan Orde Baru adalah sebagai koreksi total terhadap Orde Lama, yang dipandang korup dengan kekuasaannya yang bersifat absolut, bukan oleh lembaga perwakilan rakyat (DPR dan MPR) melainkan digenggam oleh sang Presiden itu sendiri. Tapi meskipun dimaksudkan sebagai koreksi rejim sebelumnya, ternyata dalam kenyataannya, tidak juga berbeda jauh dengan Orde Lama. Contohnya, Presiden melakukan dominasi terhadap lembaga legislatif melalui suatu sistem penunjukan langsung, dimana seluruh kandidat harus melalui serangkaian ujian dengan apa yang disebut sebagai "screening" sebelum dinominasikan. Eksekutif juga sering diprotes karena terlalu absolut, tidak ada kebebasan mengemukakan pendapat dan berkumpul. Pendek kata, masyarakat dibatasi gerak-geriknya. Salah-salah sedikit dicap anti pemerintah. Gaya pemerintahan pada masa itu benar benar "one man-rule", kekuasaan mutlak berada di tangan Presiden. Media yang berani menyiarkan tulisan yang tajam harus siap-siap dibredel. Yang suka usil siap-siap masuk bui. Yang suka bikin onar dan kriminal, selesai dengan petrus (penembak misterius) sebagai shock therapy (Schwarz, A Nation in Waiting, 2000, p.249). Kilas Balik Konsep Dwifungsi Peran militer diwujudkan dalam konsep Dwifungsi yang muncul pada periode awal kemerdekaan ini adalah sebagai akibat dari peran sosial politik oleh militer dan kristalisasi ideologi yang menopang tugas tersebut. Peran sospol militer diperlukan karena banyaknya kekosongan jabatan yang ditinggal pergi Belanda, antara lain pada perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi sebagai akibat Belanda menolak negosiasi soal Irian Barat. Nah, masuknya militer ke dalam bidang non-militer ini juga dilegalisir oleh aturan pada waktu itu. Djiwandono (Civil Military Relation in Indonesia, 1998) berargumen bahwa Dwifungsi ini merupakan evolusi dari ketidaksukaan terhadap Demokrasi Liberal. Ini merupakan bentuk perlawanan terhadap "civilian supremacy over the military". Jadi dari sudut pandang ini maka konsep Dwifungsi memang diformulasikan, dilaksanakan, dan dilembagakan sebagai peran ABRI sejak awal berdirinya Republik ini. Ide Dwifungsi memang berasal dari Pak AH Nasution pada saat beliau menjabat sebagai Menpangad, dimana beliau menyatakan bahwa TNI itu tidak sama seperti tentara di negara Barat, di mana posisinya hanya sebagai alat pemerintahan (di bawah kendali sipil), namun juga tidak seperti tentara di Amerika Latin yang memonopoli kekuasaan, melainkan TNI adalah tentara yang berjuang bahu membahu dengan rakyat. Oleh karena tampaknya ide Pak Nasution ini tidak Barat dan tidak Selatan maka dijuluki konsep "Jalan Tengah" (Aspinall, Opposing Soeharto, 2005, p.63). Kurun waktu itu baik Bung Karno maupun Pak Nasution kecewa dengan Demokrasi Parlementer. Pada saat militer sukses menumpas pemberontakan di beberapa wilayah tanah air, Bung Karno merasa mendapat angin untuk mengimplementasikan Demokrasi Terpimpin, sekaligus mempraktekkan ide "Jalan Tengah" Pak Nasution. Jadi, dari sini memang tampak bahwa akar dari Dwifungsi itu berawal pada masa Demokrasi Terpimpin. Namun di masa Orde Baru lah, Dwifungsi ini mendapatkan legalitasnya. Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI yang ditumpas oleh militer, menjadikan Dwifungsi semakin mendapatkan legitimasinya (Singh, Dwifungsi ABRI, 1995, p.74). Nah, inilah yang dianggap sebagai pangkal dari berbagai permasalahan di kemudian hari. Banyak ahli yang berpandangan bahwa Dwifungsi dapat dibenarkan bagi para pejuang kemerdekaan, atau setidaknya

pada awal perjuangan dulu. Namun, klaim sejarah ini menjadi kabur manakala dihadapkan kepada generasi pasca 1945. Memisahkan hal ini memang tidak mudah, peran ganda ini memasuki wilayah abuabu antara "pertahanan" dan "keamanan" yang juga berhubungan dengan Pemilu dan partai politik, legislasi dan hubungan antara masyarakat dan militer. Apalagi UU No.20/1982 menyatakan ABRI itu sebagai "dinamisator" dan "stabilisator", yang mana bersama-sama dengan unsur masyarakat lainnya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan kemakmukran bagi seluruh rakyat Indonesia. Di masa kini, akan tampak dalam praktek semisal TNI membantu petani tanam padi, karena masih ada petani yang tidak becus tanam padi, sehingga TNI merasa "terpanggil" untuk membantunya. Babak Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Meski tidak dapat disangkal lagi negeri kita sudah memasuki babak baru dalam kehidupan berdemokrasi di mana hubungan sipil-militer sudah menempatkan militer dalam kontrol sipil, namun, kenyataan yang masih sering terjadi adalah bahwa institusi sipil, atau lebih tepat di sini dikatakan sebagai pemimpin sipil masih ingin mencari partner militer manakala sipil dipandang tidak mempunyai expertise dalam military affairs, sehingga dicarilah tokoh militer untuk mendampinginya. Kontrol sipil terhadap militer memang lazimnya terjadi di negara Demokrasi Liberal, meski hal ini juga pernah terjadi di negara-negara yang berkultur komunis (Huntington, 1967). Contoh: Venezuela dalam kurun waktu 1959-1993, Argentina setelah tahun 1990, Ceko dan Polandia setelah berakhirnya Perang Dingin. Yang dimaksud sebagai "military domination" disini menurut Mares (Civil-Military Relation, 1998) tidak harus negara dipimpin oleh militer, tapi bisa juga dipimpin oleh sipil, namun sipil di sini hanya dalam posisi sebagai "puppet", sedangkan menteri kabinetnya banyak yang militer. Contohnya adalah Brazil, Argentina, Guatemala, dan tetangga dekat kita, Thailand. Semuanya adalah contoh realita politik negara yang sering didominasi oleh militer. Mares (p.6) disini membedakan bahwa seorang diktator yang militer tidak selalu mewakili dominasi militer dalam perpolitikan. Mares berargumen bahwa dominasi militer ini tidak serta merta bisa dilabelkan apabila suatu negara dipimpin oleh seorang militer, tetapi lebih kepada hubungan antara sipil dan militer, di mana militer yang dimaksud di sini adalah militer secara institusinya. Maksudnya adalah ketika pimpinan politik atau pemerintahan terdiri dari para perwira militer dan pemerintahan mempunyai ketergantungan politis kepada angkatan bersenjata secara institusi, inilah yang dikatakan sebagai "military-dominant". Namun, apabila kepemimpinan dalam pemerintahan terdiri dari para pensiunan atau sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan militer sebagai intitusi, dan kemampuan kepemimpinannya sudah tidak tergantung kepada militer, maka dapat dikatakan bahwa militer berada dalam posisi di bawah kekuasaan politik, sehingga bukan lagi disebut "military-dominant". Mares mencontohkan Chili (Jenderal Pinochet) dan Indonesia (Jenderal Soeharto), dua-duanya duduk di puncak pemerintahan yang kekuatan politiknya tidak diperoleh dari hirarki dalam tubuh institusi militer. Dalam konteks Chili dan Indonesia, hal ini menjadi menarik, baik Pinochet dan Soeharto memang disebut orang kuat. Dua-duanya mantan jenderal, dan pemerintahannya juga didukung oleh militer. Inilah yang disebut sebagai "a pact among equals". Ini memang ditemukan dalam hubungan yang menyatu (organic) dalam hubungan antara negara dan masyarakatnya, dimana secara prinsip antara politisi dan perwira militernya berperan sebagai bagian dari hubungan tersebut (agents). Jadi, "a pact among equals" dalam pengertian ini bermakna bahwa sipil dan militernya berkedudukan setara, tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Contoh, sejak tahun 1989, konstitusi Chili ditulis dalam alam diktator militer, dan militernya tetap menginginkan bahwa pemerintahan Chili tetap sipil, ini juga disebut sebagai "a pact among equals". Militernya tidak ingin terang-terangan mendominasi. Tetapi dalam konteks Indonesia, "a pact among equals"-nya itu masuk dalam konsep Dwifungsi ABRI dan tidak dalam konstitusi. Dalam konteks Indonesia, hubungan sipil-militer memang bisa dikatakan sebagai "a pact among equals". Sipil merasa legowo dan membiarkan militer memimpin, oleh karena dalam konteks Indonesia, militer

memang mempertahankan & mendukung politisi sipil, sedangkan politisi sipil pun masih mencoba mempolitisir militer, ketimbang mendorong profesionalisme militer secara mandiri. Mengapa ini dilakukan oleh politisi sipil? Seperti argumen Mares, tentu alasan utamanya adalah untuk memperoleh loyalitas & legitimasi dari pihak militer. Hal ini seringkali tidak disadari oleh militer sendiri, sehingga akibatnya militer abai terhadap bidang profesionalnya dan tenggelam dalam keasyikan di bidang sosial politik dengan alasan bahwa bidang ini juga masih dalam kerangka pengabdian kepada bangsa dan negara. Ini menjadi semakin rumit manakala soal contoh tanam padi tadi dianggap juga sebagai bagian dari membantu masyarakat yang membutuhkan. Apakah itikad baik ini harus disalahkan? Memang dilematis, manakala bandul profesionalisme militer tidak diarahkan ke arah yang tepat, dan menjadi rancu manakala itu juga dianggap bagian dari profesionalisme militer ala Indonesia. Jadi, apabila kita mengikuti alur pikir seperti ini, maka kita tidak bisa lagi menyalahkan militer yang masuk wilayah sosial, politik dan bahkan ekonomi, dengan alasan toh bidang-bidang non-militer ini bisa untuk memajukan bangsa, membuat rakyat makmur, negara kaya dan bisa beli alutsista yang canggih. Alur pikir semacam ini akan menjadikan militer bisa masuk lagi ke arena yang makin jauh dari tugas pertahanan (core business-nya), karena selalu ada pembenaran bahwa muaranya toh untuk negara ini. Jadi, amat mungkin prajurit yang masih aktif dapat merangkap jadi saudagar, petani, nelayan, bankir, dan segala macam profesi lainnya. Namun selalu ada saja yang perlu disyukuri, Indonesia meski militernya kuat secara politik pada masa lampau di bawah Orde Baru, namun pada saat Soeharto jatuh, militer tidak mempertahankan kejatuhannya itu dengan kekerasan. Bahkan pada era pemerintahan setelah itu pun (yang dipandang lemah), militernya tetap tidak tergoda untuk melakukan kudeta. Bayangkan apabila ini terjadi di negara tetangga kita maupun Amerika Latin sana, militernya selalu tergoda untuk kudeta dan mengambil alih kekuasaan manakala sipil dipandang tidak becus memegang kendali pemerintahan. Mengapa hal ini tidak terjadi di Indonesia? Thailand malah mempunyai prestasi yang spektakuler soal kudeta, sejak tahun 1932 sudah lusinan kali militernya melakukan kudeta. Lalu, gambaran hubungan sipil-militer saat ini di negeri kita seperti apa? Jelas, sejak 1998 paradigma hubungan sipil-militer sudah berubah. Namun, tampaknya tidak banyak tulisan yang diproduksi oleh perwira militer dalam isu ini. Oleh karena itulah, sengaja tulisan ini dipublikasikan untuk mendorong semua pihak yang terkait agar dapat kiranya berkontribusi dalam membangun format yang tepat tentang hubungan sipil-militer di negeri kita. Apabila mengacu kepada teori Huntington tentang konsep hubungan sipil-militer yang diistilahkan sebagai "objective civilian control", maka di dalam negara demokrasi yang sudah maju dan mapan (dan ini ditafsirkan sebagai Demokrasi Liberal / Barat), hubungan militer dan sipil digambarkan sebagai berikut: tercapainya tingkat profesionalisme militer yang handal namun juga mengetahui batasan kemampuan profesional yang dimilikinya, tunduknya militer pada pimpinan sipil sebagai pembuat keputusan khususnya dalam kebijakan luar negeri dan militer (pertahanan), mengakui dan menerima kepemimpinan (sipil) dalam bidang kemampuan profesionalnya, namun dalam hal ini militer juga mempunyai otonomi, oleh karenanya, campur tangan militer menjadi minimal dalam politik namun juga militer tidak dicampuri oleh politik (Huntington, In Civil-Military Relation and Democracy, Diamond, 1996, p.3). Gambaran di atas adalah lazimnya negara Demokrasi Liberal, dan tentu dalam alam otoritarian akan amat berbeda. Dalam alam otoritarian, pada hubungan sipil-militer, tidak ditemukan kontrol sipil terhadap militer sama sekali, dan bahkan pimpinan militer dan institusinya seringkali melakukan tugas yang tidak ada sangkutpautnya dengan lazimnya tugas militer (p.3). Dalam suatu negara yang mempunyai sistem satu partai (lihat RRC), militer digunakan sebagai alat dari partai tersebut, pimpinan militer juga masuk dalam jajaran partai, oleh karenanya organisasi ini menjadi paralel antara partai dan rantai komando militer, dan hal ini berujung pada loyalitas militer pada partai ketimbang kepada negara (rakyat di dalamnya). Huntington juga menyoroti organisasi TNI (terutama TNI-AD) yang mana struktur organisasi

dalam level Kodam paralel dengan organisasi Pemerintah Daerah. Dalam masa Orde Baru, militer banyak yang juga masuk Golkar, dan (bahkan) petinggi TNI-AD ikut kampanye untuk Golkar pada Pemilu 1977 (KPU, Laporan Penyelengaraan Pemilu tahun 1999, p.276). Struktur organisasinya tergambar paralel dengan Pemerintah Daerah, seperti hubungan Lurah-Babinsa, Camat-Danramil, Bupati-Dandim, dan Gubernur-Danrem. Tugas dalam level ini dipandang amat jauh dari profesionalisme militer. Militer bertugas tidak lagi mendekati bidang profesionalnya (pertahanan) tetapi cenderung menjauh dari misi profesionalnya. Oleh karena itulah, mengapa pada era awal reformasi bergulir, tuntutan terhadap reformasi dalam tubuh TNI amat gencar disuarakan oleh banyak pihak khususnya mereka yang belajar & mengerti tentang teori hubungan sipil-militer, terutama dalam kaitannya dengan profesionalisme militer menurut Huntington ini. TNI merespon hal ini dengan melakukan reformasi internal, hasilnya antara lain pemisahan TNI dan Polri, dan implikasinya, Polri mengurusi bidang keamanan sementara TNI fokus pada bidang pertahanan negara. Tetapi hal ini tidak serta merta menghilangkan peran sosial-politik (Habib, Posisi dan Peranan Militer, 2001, p.85). TNI masih memerlukan waktu untuk melanjutkan reformasi internal guna mengembalikan kepercayaan masyarakat setelah sekian lama hidup dalam alam represi (p.77). Nyman (Mikaela Nyman, Democratising Indonesia, 2006) melihat bahwa proses reformasi ini terhambat gara gara munculnya Global War on Terror (GWOT), dan menjadi isu kontroversi setelah munculnya Undang-Undang Anti Terorisme tahun 2003. Pada awalnya UU ini diprotes oleh aktivis HAM dan kalangan pro-demokrasi, namun, belakangan UU ini dipuji oleh Barat, karena dianggap mampu menggulung terrorisme, terutama dalam kaitannya dengan Jemaah Islamiyah pasca Bom Bali, meski pada awalnya dikatakan bergaya Draconian, karena memungkinkan aparat keamanan untuk memeriksa secara langsung tersangka yang terlibat terorisme. Di dalam kurun waktu ini juga, Undang-Undang Darurat Perang memberikan lampu hijau bagi operasi militer di Aceh pada Mei 2003. Darurat militer pada masa Megawati ini juga menjadi kontroversi yang ramai, karena pada masa itu pengerahan kekuatan militer dalam keadaan darurat bisa tanpa menunggu ijin dari Presiden dan Legislatif. Suatu hal yang tentu amat sulit dilakukan dalam konteks Demokrasi Liberal, di mana militer dalam kontrol sipil penuh. Tulisan Huntington memang memberi penekanan pada kendali sipil atas militer. Banyak analis yang menginginkan TNI melakukan reformasi internal, tanpa lagi mengingat romantisme masa lalu di mana TNI memang amat berjasa dalam menjaga tetap tegaknya NKRI. Namun, banyak yang percaya bahwa TNI akan lebih positif dan mendukung pemimpin sipil manakala dipandang punya kemampuan dalam mengendalikan situasi, terutama dalam menjaga integritas NKRI KEWARGANEGARAAN Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya. Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (bahasa Inggris: citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagaiwarga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya. Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris: nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara

dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara. Di bawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya. Dari dasar pemikiran ini muncul mata pelajaran Kewarganegaraan (bahasa Inggris: Civics) yang diberikan di sekolah-sekolah. KEWARGANEGARAAN INDONESIA Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional. Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah 1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI 2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI 3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya 4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut 5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI 6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI 7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin 8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya. 9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui 10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya 11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan 12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi 1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing 2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan 3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia 4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI. Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut: 1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia 2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007. Dari UU ini terlihat bahwa secara prinsip Republik Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis; ditambah dengan ius soli terbatas (lihat poin 8-10) dan kewarganegaraan ganda terbatas (poin 11).

Anda mungkin juga menyukai