Anda di halaman 1dari 17

“TEORI KONSTITUSI”

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada

Mata Kuliah Ilmu Negara Semester II

Dosen Pengampu:

Sri Sukmana Damayanti, S.H., M.Kn.

Oleh:

Widyaning Ayu Lukita Putri (05020422052)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Teori Konstitusi”.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai satu syarat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Negara. Selama penyusunan makalah ini penulis mendapatkan bimbingan
dari berbagai macam pihak sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.

Dalam hal ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang
telah diberikan oleh:

1. Ibu Sri Sukmana Damayanti, S.H., M.Kn.


2. Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun
materil.
3. Rekan-rekan seperjuangan di kampus.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tidak terlepas dari kekurangan. Untuk itu
penyusun, senantiasa terbuka menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
guna kelengkapan dan kesempurnaan makalah ini kedepan.

Surabaya, 10 Juni 2023

Penulis
BAB I

Pendahuluan

Konstitusi merupakan hukum dasar atau undang-undang tertinggi suatu negara


yang mengatur struktur, fungsi dan hubungan antara lembaga-lembaga pemerintahan
serta hak-hak dan kewajiban warga negara. Teori konstitusi membahas dan
menganalisis konsep-konsep, prinsip-prinsip dan pemikiran dibalik pembentukan dan
interpretasi konstitusi. Teori konstitusi merupakan cabang penting dalam ilmu hukum
konstitusional yang berusaha untuk memahami dan menjelaskan bagaimana konstitusi
berjalan dan berdampak bagi sistem pemerintahan.
Salah satu aspek utama dalam sebuah konstitusi adalah pemikiran tentang
kekuasaan konstitusional dan pembagian kekuasaan antar lembaga pemerintahan.
Selain itu, teori konstitusi juga mencakup perdebatan tentang metode interpretasi
konstitusi. Dalam era modern, teori konstitusi terus berkembang seiring dengan
perubahan sosial, politik dan hukum. Konstitusi seringkali menjadi subjek perdebatan
yang kompleks dan teori konstitusi berperan penting dalam membantu menganalisis
dan menginterpretasi konstitusi yang ada.
BAB II

Pembahasan

A. Konsep Dasar Konstitusi


Kararteristik dasar sebuah negara konstitusional modern menurut Francois
Venter adalah adanya sebuah konstitusi tertulis yang memiliki nilai hukum yang
tinggi.1
Pada dasarnya, konstitusi merupakan sumber Hukum Tata Negara (HTN) yang
utama. Dengan sumber itu, HTN adalah basisrecht dibandingkan dengan bidang hukum
lain. Philipus M. Hadjon2 mengutip pendapat John Aider dalam bukunya General
Principles of Constitutional and Administrative Law:

“A constitution is the set of the most important rules that regulate the relations among
the different parts of the government of a given country and also the relations between
the different parts of the government and the people of the country.”

Merujuk pada pendapat tersebut, tampaklah betapa pentingnya konstitusi bagi


bangunan ketatanegaraan (HTN) suatu negara. Karena konstitusi merupakan dasar bagi
peletakkan landasan pijak dan arah kemana negara akan dibawa terutama dalam
mewujudkan good government.

1. ISTILAH KONSTITUSI
Dari sudut sejarah, istilah “konstitusi” telah lama dikenal yaitu sejak
zaman Yunani Kuno. ‘Konstitusi Athena’ yang ditulis oleh seseorang…
Xenophon pada abad 425 SM diduga merupakan konstitusi pertama. Konstitusi
ini dipandang sebagai alat demokrasi yang sempurna. Pemahaman orang
tentang apa yang diartikan “Konstitusi” dapat diduga sejalan dengan pemikiran
orang-orang Yunani Kuno tentang negara. Hal tersebut dapat diketahui dari

1
Denny Indrayana, 2008, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, Jakarta: Mizan, hlm. 67.
2
Philipus M. Hadjon, 2008, “Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi sebagai Instrumen Hukum untuk
mewujudkan Good Governance”, Makalah, disampaikan pada seminar Good Governance dan Good
Environmental Governance yang diselenggarakan oleh FH UNAIR, Kamis 28 Februari 2008.
paham Socrates yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Plato, dalam
bukunya Politea atau negara yang memuat ajaran-ajaran Plato tentang negara
atau hukum, bukunya Nomoi atau undang-undang serta juga tulisan Aristoteles
dalam bukunya Politica yang membicarakan tentang negara dan hukum
(keadilan).3
Istilah “Politea” dalam masyarakat Yunani Purba diartikan sebagai
konstitusi, sedangkan “Nomoi” ialah undang-undang biasa. Perbedaan dari dua
istilah tersebut ialah politea mengandung kekuasaan lebih tinggi daripada
nomoi karena memiliki kekuatan membentuk agar tidak bercerai-berai. Istilah
“Konstitusi” dalam kebudayaan Yunani berhubungan erat dengan ucapan
Repubica Constituere. Pada akhirnya, lahirlah semboyan yang berbunyi
“Pricep Legibus solutus est, Salus Publica Suprema lex” yang artinya Rajalah
yang berhak menentukan organisasi/struktur daripada negara, yang berarti satu-
satunya pembuat undang-undang. Pada zaman Yunani Purba, istilah
“Konstitusi” baru diartikan secara materiil karena konstitusi saat itu belum
diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis.4
Menurut Giovanni Sartori, kata “constituio” dalam bahasa latin tidak
ada kaitannya dengan apa yang kita sebut konstitusi.5 Hal tersebut diperkuat
oleh suatu kenyataan bahwa pada abad ke-17 memang terdapat dokumen-
dokumen tertulis yang berisi prinsip organisasi pemerintahan disebut perjanjian,
instrument, kesepakatan dan hukum dasar tetapi tidak disebut “konstitusi”.
K. C. Wheare6 mengatakan bahwa istilah “konstitusi” yang dipakai
untuk menyebut sekumpulan prinsip fundamental pemerintahan, baru mulai
digunakan ketika bangsa Amerika mendeklarasikan konstitusinya pada tahun
1787. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa istilah “konstitusi” berasal
dari kata kerja costituer (Bahasa Perancis) yang berarti membentuk, yaitu
membentuk suatu negara. Sehingga konstitusi mengandung permulaan dari
segala peraturan mengenai suatu negara, dengan demikian suatu konstitusi

3
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti, hlm. 62.
4
Ibid., hlm. 63.
5
Denny Indrayana, Loc. cit.
6
K. C. Wheare, 2003, Modern Constitutions, Terj. Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi Modern,
Surabaya: Pustaka Eureka, hlm. 4.
memuat suatu peraturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama
untuk menegakkan bangunan besar, yaitu negara.7
Bertolak dari konsepsi tersebut, maka secara umum istilah konstitusi
menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa
kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara
peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis dan yang tidak tertulis.
Abu Bakar Busroh dan Abu Daud Busroh8 mengatakan hal yang
sama:
“Konstitusi pada dasarnya mengandung pokok-pokok pikiran dan paham-
paham yang melukiskan kehendak yang menjadi tujuan faktor-faktor kekuatan
yang nyata (de reele machtsfactoren) dalam masyarakat yang bersangkutan.
Artinya suatu konstitusi pada dasarnya lahir dari sintesa atau pun reaksi
terhadap paham-paham pikiran yang ada dalam masyarakat sebelumnya.”
Menurut Sri Sumantri:
“Istilah Konstitusi berasal dari perkataan constitution. Yang dalam bahasa
Indonesia dijumpai istilah hukum yang lain, yaitu undang-undang dasar dan
hukum dasar. Dalam perkembangannya istilah konstitusi mempunyai dua
pengertian, yaitu pengertian yang luas dan pengertian yang sempit.”9
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim:
“Konstitusi yang berasal dari istilah constitution (Bahasa Inggris dan
Perancis), Constitution (Bahasa Latin) atau Verfasung (Bahasa Belanda)
memiliki perbedaan dari undang-undang dasar atau Grundgesetz. Jika terdapat
kesamaan itu merupakan kekhilafan pandangan di negara-negara modern.
Kekhilafan tersebut disebabkan oleh pengaruh paham kodifikasi yang
menghendaki setiap peraturan harus tertulis, demi mencapai kesatuan hukum,
kesederhanaan hukum dan kepastian hukum.”10

7
Lihat Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, hlm. 37. Lihat juga M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara,
hlm. 30.
8
Abu Bakar Busroh dan Abu Daud Busroh, Hukum Tata Negara, hlm. 10.
9
Pengertian konstitusi dalam arti sempit ini tidak menggambarkan keseluruhan kumpulan peraturan, baik yang
tertulis dan yang tidak tertulis (legal dan non legal) maupun yang dituangkan dalam suatu dokumen tertentu
seperti berlaku di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Sri Sumantri dan Sumbodo Tikok, Hukum Tata
Negara, Bandung: Eresc, hlm. 115-116.
10
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. cit., hlm. 64.
Banyaknya perbedaan pendapat tentang istilah konstitusi ini para sarjana dan
ilmuwan Hukum Tata Negara juga terjadi perbedaan pendapat:11
1) Kelompok yang menyamakan istilah konstitusi dengan UUD, antara
lain:
➢ G. J. Wolhaff “kebanyakan negara-negara modern adalah
berdasarkan atas suatu UUD (konstitusi)”
➢ Sri Sumantri “penulis menggunakan istilah konstitusi sama
dengan UUD (grondwet)”
➢ J. C. T. Simorangkir “konstitusi adalah sama dengan UUD”
2) Kelompok yang membedakan istilah konstitusi dengan UUD, antara
lain:
➢ Van Apeldoorn “UUD adalah bagian tertulis dari konstitusi.
Konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak
tertulis”
➢ M. Solly Lubis “akhirnya jika kita lukiskan pembagian
konstitusi itu dalam suatu skema, maka terdapatlah skema
sebagai konstitusi tertulis (UUD) dan konstitusi tidak tertulis
(konvensi)”
➢ Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim “setiap peraturan
hukum, karena pentingnya harus ditulis dan konstitusi yang
ditulis itu adalah UUD”

Menurut paham Herman Heller, konstitusi mempunyai arti yang


lebih luas dari UUD. Dia membagi konstitusi dalam tiga pengertian
antara lain:12

➢ Konstitusi mencerminkan kehidupan politik dalam masyarakat


sebagai suatu kenyataan (Die Politiche Verfassung als
Gesellschaftliche) dan ini belum merupakan konstitusi dalam
arti hukum (ein Rechtsverfassung) atau masih merupakan
pengertian sosiologi/politik dan belum merupakan pengertian
hukum.

11
Dasril Radjab, Op. cit., hlm. 37-38.
12
Ibid., hlm. 41-42.
➢ Unsur-unsur hukum dari konstitusi yang hidup dalam
masyarakat itu dijadikan sebagi suatu kesatuan kaidah hukum
(Rechtverfassung) dan tugas mencari unsur-unsur hukum dalam
ilmu pengetahuan hukum disebut “abstraksi”.
➢ Ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang
tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

Diperlukan dua syarat dalam Rechtverfassung, yaitu syarat


mengenai bentuknya dan syarat mengenai isinya. Bentuknya sebagai
naskah tertulis yang merupakan undang-undang tertinggi yang berlaku
dalam suatu negara. Isinya merupakan peraturang yang fundamental.

Terdapat empat motif timbulnya konstitusi menurut Lord Bryee:13

➢ Adanya keinginan anggota warga negara untuk menjamin hak-


haknya yang mungkin terancam dan sekaligus membatasi
tindakan-tindakan penguasa.
➢ Adanya keinginan dari pihak yang diperintah atau yang
memerintah dengan harapan untuk menjamin rakyatnya dengan
menentukan bentuk suatu sistem ketatanegaraan tertentu.
➢ Adanya keinginan dari pembentuk negara yang baru untuk
menjamin tata cara penyelenggaraan ketatanegaraan.
➢ Adanya keinginan untuk menjamin kerja sama yang efektif antar
negara bagian.

2. Pengertian Konstitusi
Menurut makna “konstitusi” berarti ‘dasar susunan badan politik’ yang
Bernama negara. Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem
ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang
membentuk, mengatur atau memerintah negara.14

K. C. Wheare berpendapat:

13
Ibid. hlm. 40-41.
14
Samidjo, Ilmu Negara, hlm. 297.
Istilah constitution pada umumnya digunakan untuk menunjuk kepada
seluruh peraturan mengenai ketatanegaraan suatu negara secara
keseluruhan akan menggambarkan sistem ketatanegaraannya. Sistem
ketatanegaraan tersebut terbagi dalam dua golongan, yaitu peraturan
berderajat legal (law) dan berderajat non legal (extralegal).15

Sedangkan menurut pandangan Bolingbroke:16

Yang dimaksud konstitusi, jika berbicara dengan cermat dan tepat adalah
kumpulan hukum, lembaga dan kebiasaan yang berasal dari prinsip-prinsip
tertentu…yang menyusun sistem umum dan masyarakat setuju untuk
diperintah menurut sistem itu.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka pada dasarnya peraturan-
peraturan (konstitusi) ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang
berwenang, berupa UUD atau UU dan ada yang tidak tertulis yang berupa
‘ussages, understanding, custums atau convention.
Dalam perkembangannya, istilah konstitusi mempunyai dua pengertian:17
• Dalam pengertian luas “konstitusi berarti keseluruhan dari
ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droit constitutionelle),
baik yang tertulis ataupun tidak tertulis ataupun campuran keduanya.
• Dalam pengertian sempit (terbatas) “konstitusi berarti piagam dasar
atau undang-undang dasar (loi constitutionelle) ialah suatu dokumen
lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara. Misal UUD RI
1945, Konstitusi USA 1787.

3. Pembagian dan Klasifikasi Konstitusi

Carl Schmitt dan K. C. Wheare dalam bukunya “Verfassungslehre”


membagi konstitusi dalam empat bagian antara lain:

15
K. C. Wheare, Op. cit., hlm. 1. Menurut Joniarto, peraturan yang berbentuk legal berarti, bahwa pengadilan
akan bersedia memaksakan berlakunya apabila terjadi pelanggaran terhadapnya. Sedangkan peraturan yang
bukan berderajad law, dapat berbentuk usage, understanding, customs atau conventions, dimana pengadilan
tidak akan bersedia memaksakan berlakunya walaupun dalam penyelenggaraan ketatanegaraan juga memiliki
keefektifan yang tak kalah penting jika dibandingkan dengan yang berderajat legal. Joniarto, Selayang Pandang
Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, hlm. 22.
16
Sumbodo Tikok, Hukum Tata Negara, Bandung: Eresco, hlm. 119.
17
Samidjo, Op. cit., hlm. 297-298.
➢ Konstitusi absolut (Absolut Begriff der Verfassung)
➢ Konstitusi relative (relative begriff der verfassung)
➢ Konstitusi positif (positive begriff der verfassung)
➢ Konstitusi ideal (ideal begriff der verfassung)18

a. Konstitusi Absolut
Konstitusi dalam arti absolut memiliki arti:
➢ Konstitusi dianggap sebagai kesatuan organisasi nyata yang
mencakup seluruh bangunan hukum dan semua organisasi-
organisasi yang ada dalam negara.
➢ Konstitusi sebagai bentuk negara dalam arti keseluruhan (Sein
Ganzheit) bentuk negara itu bisa demokrasi atau monarki. Sendi
demokrasi adalah identitas sedangkan monarki adalah
representasi.
➢ Konstitusi sebagai faktor integrasi. Factor integrasi bersifat
abstrak dan fungsional. Abstrak misalnya hubungan antara
bangsa dan negara dan lagu kebangsaan, bahasa persatuannya,
bendera sebagai lambang kesatuan dan lain-lain. Sedangkan
fungsional karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa
melalui pemilihan umum, referendum, pembentukan kabinet,
suatu diskusi atau debat dalam politik pada negara-negara
liberal, mosi yang diajukan oleh DPR baik sifatnya menuduh
atau tidak percaya dan sebagainya.
➢ Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hukum
yang tertinggi di dalam negara jadi konstitusi ini merupakan
norma dasar yang merupakan sumber bagi norma-norma lainnya
yang berlaku dalam suatu negara.

b. Konstitusi Relatif
Dalam arti relatif maksudnya sebagai konstitusi yang
dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di dalam

18
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. cit., hlm. 66.
suatu masyarakat. Golongan itu terutama adalah golongan borjouis
liberal yang menghendaki adanya jaminan dari pihak penguasa agar
hak-haknya tidak dilanggar.
Konstitusi dalam arti relatif dibagi dalam dua pengertian antara lain:
➢ Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjouis liberal
➢ Konstitusi sebagai konstitusi dalam arti formil (konstitusi
tertulis)

c. Konstitusi Positif
Carl Schmitt menghubungkan dengan ajaran mengenai
“Dezisionismus” ajaran tentang keputusan. Menurutnya, dalam arti
positif mengandung makna sebagai putusan politik yang tertinggi
berhubungan dengan pembuatan undang-undang dasar Weimar tahun
1919 yang menentukan nasib seluruh rakyat Jerman dengan mengubah
stelsel monarki menjadi sistem pemerintahan parlementer. Kusnardi
dan Harmaily19 menghubungkan dengan pembentukan UUD 1945,
bahwa proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah
konstitusi dalam arti positif.
d. Konstitusi Ideal
Dalam arti ideal karena ia idaman dari kaum borjouis liberal, yaitu
sebagai jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasinya dilindungi. Berbeda
dengan Carl Schmitt dan K. C. Wheare dalam kaitannya dengan aspek
kekuasaan negara pakar ilmu politik (political scientist) Prof. King
sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon membagi konstitusi dalam
tiga jenis yaitu:
➢ Power sharing constitutions
Kekuasaan dibagi di antara berbagai Lembaga dengan
pola koordinasi.
➢ Power hoarding constitutons
Konstitusi yang mengkonstrasikan kekuasaan pada pusat
kekuasaan yang kuat.
➢ Power fractionated constitutions

19
Ibid.
Mirip dengan power sharing constitutions tetapi sangat
sedikit pengaturan untuk memecahkan konflik antar-kekuasaan
sehingga mengakibatkan terjadinya konflik politik dan
instabilitas. Contohnya yaitu konstitusi USA (US constitutions)

4. Nilai Konstitusi
Dalam hal ini Karl Loewenstein menyimpulkan hasil penyelidikannya.
Terdapat tiga nilai suatu konstitusi, antara lain:20
• Nilai normatif
Diperoleh apabila penerimaan segenap rakyat suatu negara
terhadap konstitusi benar-benar murni dan konsekuen.
• Nilai nominal
Diperoleh apabila ada kenyataan sampai dimana batas-batas
berlakunya itu, yang dalam batas-batas berlakunya itulah yang
dimaksudkan dengan nilai normal konstitusi.
• Nilai semantik
Meskipun secara umum konstitusi tetap berlaku tetapi dalam
kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat
yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik,
pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan kepentingan pihak yang
berkuasa (dalam arti negatif).

5. Sifat Konstitusi
Secara umum, konstitusi mempunyai sifat antara lain:
a. Formal dan Materiil
Formal artinya konstitusi yang tertulis dalam suatu
ketatanegaraan suatu negara. Sedangkan materiil ialah suatu
konstitusi jika orang melihatnya dari segi isinya.
b. Flexible (Flexible Constitution) dan Rigid (Rigid Constitution)
Menurut James Bryce,21 konstitusi dikatakan flexible apabila
mempunyai ciri-ciri pokok:

20
Ibid., hlm. 72.
21
James Bryece dalam Sumbodo Tikok, Op. cit., hlm. 130.
• Elastis karena dapat menyesuaikan dirinya dengan mudah.
• Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-
undang.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim untuk
menentukan suatu konstitusi bersifat fleksible dipakai ukuran antara
lain:
• Cara mengubah konstitusi
• Apakah konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan
zaman (dinamis)
c. Tertulis dan Tidak Tertulis
Konstitusi tidak tertulis hanya dipakai untuk dilawankan dengan
konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam suatu naskah. Sedangkan
konstitusi tertulis timbul disebabkan karena pengaruh aliran kodifikasi.

B. PERUBAHAN KONSTITUSI
Menurut pendapat Verner jelaslah bahwa perubahan (amandemen) terhadap
konstitusi ialah suatu keniscayaan. Verner berpendapat:
Konstitusi yang final itu tidak ada karena konstitusi nasional itu sama dengan
negara terdiri dari begitu banyak manusia yang berfikir, yang untuknya lah konstitusi
itu ada. Ide tentang sebuah konstitusi yang (keberadaanya) tidak bisa diganggu gugat
tidak mungkin konsisten dengan dalil-dalil negara konstitutional modern.22
1. Pengertian Perubahan Konstitusi
Dasril Radjab23 menyatakan bahwa perubahan konstitusi ialah perbuatan
mengubah harus diartikan dengan mengubah konstitusi yang dalam bahasa Inggris
adalah To Amend the Constitution sedangkan dalam bahasa Belanda disebut
Verandring (Verenderingen) in de Grondwet.
2. Macam-Macam Perubahan Konstitusi
✓ By Ordinary Legislative, But Under Certain Restrictions
✓ By The People Through Of Referendum
✓ By A Major Of All Units Of A Federal State
✓ By Special Conventation

22
Ibid., hlm. 72.
23
Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, hlm. 50.
3. Perubahan Konstitusi di Indonesia
Perubahan konstitusi ialah keharusan dalam sistem ketatanegaraan suatu negara
karena bagaimanapun konstitusi haruslah sesuai dengan realitas kondisi bangsa dan
warga negaranya.

C. PEMBUATAN KONSTITUSI
1. Pengertian
Menurut Gabriel L. Negretto pembuatan konstitusi merupakan sebuah proses
temporer yang terbatas, dimana sekelompok actor politik terlibat dalam merancang,
membahas dan mengesahkan sebuah dokumen tertulis yang dimaksudkan untuk
mengatur mekanisme pemerintahan, hubungan antara individu dan otoritas-otoritas
public, perkecualian-perkecualian dan prosedur amandemen.24
2. Aspek Kunci Pembuatan Konstitusi
Terdapat empat aspek utama dalam proses pembuatan konstitusi menurut
Denny Indrayana:25
• Litimasi waktu pembuatan konstitusi “kapan pembuatan konstitusi
dilakukan”
• Proses pembuatan konstitusi “bagaimana pembuatan konstitusi dilakukan”
• Lembaga mana yang memiliki ligitimasi untuk pembuatan undang-undang
• Partisipasi masyarakat
D. Teori Konstitusi
Teori konstitusi adalah serangkaian prinsip dan pendekatan yang digunakan untuk
memahami dan menganalisis konstitusi suatu negara. Konstitusi merupakan hukum
tertinggi yang mengatur sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, hak-hak warga
negara, dan hubungan antara pemerintah dan rakyat. Berikut ini beberapa teori
konstitusi yang umum dikenal:

1. Teori Konstitusi Sosial: Menekankan bahwa konstitusi harus mencerminkan


aspirasi dan kebutuhan sosial masyarakat. Konstitusi harus melindungi hak-hak
sosial dan ekonomi warga negara serta mengatur distribusi kekuasaan secara
adil.

24
Ibid.
25
Ibid.
2. Teori Konstitusi Hukum: Menggarisbawahi pentingnya supremasi hukum
dalam sistem konstitusional. Menekankan bahwa konstitusi harus berfungsi
sebagai instrumen yang mengikat pemerintah dan pembuat kebijakan untuk
bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

3. Teori Konstitusi Historis: Menginterpretasikan konstitusi dengan


memperhatikan niat dan tujuan para pendiri negara pada saat menyusun
konstitusi. Menekankan pentingnya memahami konteks sejarah dalam
interpretasi konstitusi.

4. Teori Konstitusi Interpretatif: Menekankan pentingnya interpretasi yang lebih


luas dan kontekstual dalam memahami konstitusi. Pendekatan ini mencari
pemahaman yang lebih dalam terhadap prinsip-prinsip yang mendasari
konstitusi dan bagaimana mereka dapat diterapkan dalam konteks modern.

5. Teori Konstitusi Evolusioner: Menyatakan bahwa konstitusi harus dianggap


sebagai dokumen yang hidup dan dapat berkembang seiring waktu. Konstitusi
harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, politik, dan budaya
untuk tetap relevan dan efektif.

6. Teori Konstitusi Normatif: Mengajukan bahwa konstitusi harus didasarkan pada


seperangkat nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang mendasari sistem hukum
dan pemerintahan. Pendekatan ini menekankan pentingnya keadilan,
kesetaraan, kebebasan, dan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi.

Setiap teori konstitusi memiliki sudut pandangnya sendiri dalam memahami dan
menganalisis konstitusi. Pendekatan yang digunakan dalam suatu negara tergantung
pada konteks sejarah, budaya, dan sistem politik negara tersebut.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa “konstitusi” berarti ‘dasar
susunan badan politik’ yang bernama negara. Konstitusi menggambarkan keseluruhan
sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang
membentuk, mengatur atau memerintah negara. Carl Schmitt dan K. C. Wheare
dalam bukunya “Verfassungslehre” membagi konstitusi dalam empat bagian antara
lain:
➢ Konstitusi absolut (Absolut Begriff der Verfassung)
➢ Konstitusi relative (relative begriff der verfassung)
➢ Konstitusi positif (positive begriff der verfassung)
➢ Konstitusi ideal (ideal begriff der verfassung)
Secara umum, konstitusi mempunyai sifat Formil dan Materiil; Flexible
(Flexible Constitution) dan Rigid (Rigid Constitution); Tertulis dan Tidak Tertulis.
Terdapat juga pembuatan serta perubahan konstitusi yang terus berkembang seiring
dengan perubahan sosial, politik dan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Indrayana, Denny. Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, Jakarta: Mizan,
2008.
Philipus M. Hadjon, 2008, “Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi sebagai Instrumen
Hukum untuk mewujudkan Good Governance”, Makalah, disampaikan pada seminar
Good Governance dan Good Environmental Governance yang diselenggarakan oleh
FH UNAIR, Kamis 28 Februari 2008.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti, 1983.
K. C. Wheare, 2003, Modern Constitutions, Terj. Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi
Modern, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003.
Abu Bakar Busroh dan Abu Daud Busroh, Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984.
Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Mandar Maju, 1992.
Samidjo, Ilmu Negara, Jakarta: Armico, 1986.

Anda mungkin juga menyukai