E-Mail : meghaazhari@gmail.com
Abstrak
A. Pendahuluan
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat
dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan
Yunani kuno politeia dan perkataan bahasa Latin constitutio yang juga
berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan politeia dan constitutio
itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat
manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah.
Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat dikatakan bahwa yang
paling tua usianya adalah kata politeia yang berasal dari kebudayaan
Yunani.(Ravyansah et al., 2022)
Wilayah merupakan batas suatu negara meliputi darat laut serta udara,
rakyat merupakan sekumpulan manusia yang hidup di suatu tempat yang
dilawankan dengan makhluk-makhluk lain yang hidup di dunia (Mustanir,
Razak, et al., 2022). Sementara itu pemerintah adalah perlengkapan untuk
negara dalam menyelenggarakan seluruh kepentingan rakyatnya, serta
merupakan alat dalam mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Sebagai
alat maka pemerintahan wajib memiliki batasan-batasan yang ditetapkan
secara permanen yang dituturkan konstitusi, sebagai ukuran untuk
mempelajari hukum suatu negara Indonesia sebagai negara yang merdeka
tentu saja memiliki konstitusi sebagai landasan melaksanakan pemerintahan
negara. (Mustanir, Sapri, et al., 2019)
B. Tinjauan Pustaka
1. Konstitusi
Menurut Plato dalam bukunya The Laws (Nomoi) menyebutkan
“seluruh keadaan kita adalah tiruan dari kehidupan yang paling baik dan
paling mulia”. Socrates dalam bukunya Panathenaicus ataupun dalam
Areopagiticus menyebutkan bahwa "the politeia is the soul of the polis
with power over it like that of mind over the body. Keduanya sama-sama
menunjuk pada pengertian konstitusi. (Mustanir & Jusman, 2016)
Demikian pula Aristoteles dalam bukunya Politics mengaitkan
pengertian tentang konstitusi dalam frase “in a sense the life of the city”.
Aristoteles menyatakan “Konstitusi (atau politik) dapat didefinisikan
sebagai organisasi dari politik, sehubungan dengan jabatannya secara
umum, tetapi khususnya sehubungan dengan jabatan tertentu yang
berdaulat dalam semua masalah”. Selanjutnya Aristoteles berkata
“Badan sipil (politeuma, atau badan orang-orang yang didirikan dalam
kekuasaan oleh negara) adalah kedaulatan negara di mana-mana;
sebenarnya badan sipil adalah politik (atau konstitusi) itu sendiri”.(R &
Mustanir, 2019)
Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada tujuan
yang ditempuh oleh negara, dan jenis otoritas yang dijalankan oleh
pemerintahnya. Tujuan tertinggi dari negara adalah kehidupan yang baik,
dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat.
Oleh karena itu, Aristoteles membedakan antara hak konstitusi dan
konstitusi terong dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi
diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka
konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi sebaliknya jika
konstitusi itu adalah konstitusi yang salah.(Mustanir, 2018)
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan what is a
constitution dapat dijawab bahwa “a constitution is a document which
contains the rules for the the operation of an organization”. Organisasi
yang dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, mulai dari
organisasi mahasiswa, perkumpulan masyarakat di daerah tertentu,
serikat buruh, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi
bisnis, perkumpulan sosial sampai ke organisasi tingkat dunia seperti
Perkumpulan ASEAN, European Communities (EC), World Trade
Organization (WTO), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan
sebagainya semuanya membutuhkan dokumen dasar yang disebut
konstitusi.(Jermsittiparsert & Mustanir, n.d.)
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis, constituer, yang berarti
membentuk. Maksud dari istilah ini ialah pembentukan, penyusunan, atau
pernyataan akan suatu Negara. Dalam bahasa Latin, kata Konstitusi
merupakan gabungan dua kata, yakni cume, berarti “bersama dengan”,
dan statuere, berarti membuat sesuatu agar berdiri atau “Mendirikan,
menetapkan sesuatu”. Adapun undang-undang dasar merupakan
terjemahan dari istilah Belanda, Grondwet. Kata Grond berarti tanah atau
dasar, dan Wet berarti undang-undang.(Samidjo, 1986)
Istilah konstitusi (constitution) dalam bahasa inggris memiliki
makna yang lebih luas dari UUD, yakni keseluruhan dari peraturan-
peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara
mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan
dalam suatu masyarakat.(Mustanir, 2022) Konstitusi menurut Miriam
Budiardjo, adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan
merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Sedangkan
menurut Sir Jhon Laws, konstitusi adalah sebuah bagian dan aturan
hukum yang mengatur mengenai hubungan dalam sebuah Negara antara
yang mengatur dan yang diatur. Sedangkan menurut Bogdanor V. Finer
dan B. Rudder, “Konstitusi adalah aturan norma-norma yang mengatur
Alokasi kekuasaan, fungsi, dan tugas dari berbagai lembaga dan petugas
pemerintahan serta mengatur mengenai hubungan antara lembaga dan
petugas tersebut dengan masyarakat”. Dapat disimpulkan bahwa
Undang-udang dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukum
dasar Negara itu, undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis,
sedangkan disampingnya UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak
tertulis, ialah aturan- aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis.(Akhmad et al.,
2018)
Konstitusi Inggris itu menurutnya adalah suatu bangun aturan, adat
istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan
organ-organ negara dan yang mengatur hubungan di antara berbagai
organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ-organ negara itu
dengan warga negara.(Mustanir & Rusdi, 2018)
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga
pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi
kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan
organ-organ negara, mengatur hubungan antarorgan-organ negara itu,
dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga
negara.(Samad, Mustanir, Muhammadiyah, et al., 2019)
Menurut C.F. Strong, konstitusi merupakan “kumpulan prinsip-
prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang
diperintah (rakyat), dan hubungan di antara keduanya”.12 Dengan
demikian, konstitusi itu mengandung prinsip-prinsip hubungan dan batas-
batas kekuasaan antara pemerintahan dengan hak-hak rakyat
(diperintah).13Sementara James Bryce mengemukakan bahwa “A
constitution as a frame work of political society, organised through and
by law“ (konstitusi sebagai satu kerangka masyarakat politik yang
pengorganisasiannya melalui dan oleh hukum).(Dawabsheh et al., 2020)
Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat
perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur
dan dibatasi sebagaimana mestinya. Constitutions menurut Ivo D.
Duchacek “identify the sources, purposes, uses and restraints of public
power” (mengidentifikasikan sumber, tujuan penggunaan dan
pembatasan kekuasaan umum). Pembatasan kekuasaan pada umumnya
dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu pula,
konstitusionalisme, seperti dikemukakan oleh Friedrich, didefinisikan
sebagai an institutionalised system of effective, regularised restraints
upon governmental action (suatu sistem yang terlembagakan,
menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-
tindakan pemerintahan). Dalam pengertian demikian, persoalan yang
dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai
pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.(Fitrah et
al., 2021)
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat
didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut
dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat,
maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku
adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang me nentukan berlaku atau
tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai
constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan
sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Oleh karena itu, di lingkungan
negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan
berlakunya suatu konstitusi.(Mustanir, Yasin, et al., 2018)
Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, misalnya
melalui referendum, seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937,
atau dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat.
Dalam hubungannya dengan kewenangan mengubah UUD, cara tidak
langsung ini misalnya dilakukan di Amerika Serikat dengan
menambahkan naskah perubahan Undang-Undang Dasar secara terpisah
dari naskah aslinya. Meskipun, dalam pembukaan Konstitusi Amerika
Serikat (preamble) terdapat perkataan "we the people", tetapi yang
diterapkan sesungguhnya adalah sistem pwakilan, yang per- tama kali
diadopsi dalam konvensi khusus (special convention) dan kemudian
disetujui oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum per- wakilan
negara yang didirikan bersama.(Mustanir, 2017)
Dalam hubungan dengan pengertian constituent power di atas,
muncul pula pengertian constituent act. Dalam hubungan ini, konstitusi
dianggap sebagai constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang
biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahulu konstitusi,
dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk
berdasarkan konstitusi. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901), konstitusi
tertulis merupakan": "The instrument in which a constitution is embodied
proceeds from a source different from that whence spring other laws, is
regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted
not by the ordinary legislative authority but by some higher and specially
empowered body. When any of its provisions conflict with the provisions
of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way".
(Irwan, Latif, Mustanir, et al., 2021)
Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power
berkaitan pula dengan pengertian hierarki hukum (hierarchy of law).
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi
serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri
merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk
hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan
prinsip hukum yang berlaku universal, agar peraturan-peraturan yang
tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan
diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan
hukum yang lebih tinggi tersebut. Atas dasar logika demikian itulah,
Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki
kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi per- aturan produk
legislatil (judicial review) terhadap materi konstitusi, meskipun
Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan ke wenangan
demikian kepada Mahkamah Agung.(Sabir et al., 2022)
2. Konstitualisme
Secara umum konstitusionalisme diartikan sebagai paham
kenegaraan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia (HAM) yang disertai cara-cara yang dilembagakan untuk
melindungi HAM melalui pembentukan lembaga negara yang disusun
dalam satu sistem pemeraintahan. Dengan demikian cakupan atau unsur
utama dari konstitusionalisme adalah: Pertama, perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia (HAM) yang dijelaskan secara rinci jenis-jenisnya
di dalam konstitusi; Kedua, Sistem Pemerintahan Negara dengan
lembaga-lembaga yang bekerja untuk melindungi HAM itu dengan batas-
batas kekuasaan dan kewenangan yang jelas guna melindungi HAM.
Sering dikatakan bahwa konstiusionalisme adalah paham pembatasan
kekuasaan negara untuk melindungi HAM.(Mustanir, Muchtar, et al.,
2019)
Secara singkat bisa pula dikatakan bahwa konstitusionalisme
adalah paham bernegara yang betumpu pada perlindungan HAM disertai
dengan pembatasan atas kekuasaan negara yang didistribusikan kepada
lembaga-lembaga negara untuk melindungi HAM tersebut. Sebagai
negara yang menangut konstitusionalisme maka di dalam berbagai
konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia selalu ada
penekanan pada perlindungaan HAM dan sistem pemerintahan yang
bertanggungjawab kepada rakyat. Berikut akan diuraikan hal tersebut
dengan memfokuskan pembahasan padan UUD NRI 1945 sebagai UUD
hasil amandemen yang sedang berlaku sekarang ini.(Mustanir et al.,
2017)
Walton H. Hamilton memulai artikel yang ditulisnya dengan judul
Constitutionalism yang menjadi salah satu entry dalam Encyclopedia of
Social Sciences tahun 1930 dengan kalimat “Constitutionalism is the
name given to the trust which men repose in the power of words
engrossed en parchment to keep a government in order”. Untuk tujuan to
keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian
rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat
dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan
membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya
kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan
umum dalam kehidupan umat manusia.(Mustanir, Nugraha, et al., 2020)
Ketika negara-negara bangsa (nation states) mendapatkan
bentuknya yang sangat kuat, sentralistis, dan sangat berkuasa selama
abad ke-16 dan ke-17, berbagai teori politik berkembang untuk
memberikan penjelasan mengenai perkembangan sistem kekuasaan yang
kuat itu. Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini
mengambil bentuknya dalam doktrin ”king in parliament”, yang pada
pokoknya mencerminkan kekuasaan raja yang tidak terbatas.(Mustanir,
Irwan, et al., 2019) Seperti diuraikan oleh Richard S. Kay “By 1776
Blackstone was able to write that what Parliament does ‘no authority
upon earth can undo’. It was partly in response to the positing of a
leviathan-state that the idea of a government of limited purpose, and
therefore of limited power, was reformulated and explicated”. Oleh sebab
itu, konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep
yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh C.J.
Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an
institutionalized system of effective, regularized restraints upon
governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau
persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan
yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu
diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka
bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan
penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kuncinya adalah
konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh,
maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan
pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal
ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat
manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Prancis tahun 1789, di
Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun di
Indonesia pada tahun 1945, 1965, dan 1998.(Mustanir, Jermsittiparsert, et
al., 2020)
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman
modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen
kesepakatan (consensus), yaitu
a. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals
of society or general acceptance of the same philosophy of
government).
b. Kesepakatan tentang the rule of late sebagai landasan pemerintahan
atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
c. Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan (the
form of institutions and procedures).(Uceng, Ali, et al., 2019)
Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita
bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme
di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak
abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan kepentingan di
antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup
di tengah pluralime atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu
masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan
bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan atau cita-cita bersama
yang biasa juga disebut falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara)
yang berfungsi sebagai filosofische grondslag. (Mustanir, Sellang, et al.,
2022)
Kekuasaan melarang dan prosedur ditentukan. Konstitusionalisme
mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu:
Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan
Kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan
lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi
dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu
menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, mengatur
hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain,
dan mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara
dengan warga negara. (Mustanir, Ibrahim, et al., 2020)
Di samping itu, dapat pula dirumuskan beberapa fungsi konstitusi
yang sangat penting baik secara akademis maupun dalam praktik. Seperti
dikatakan oleh William G. Andrews “The constitution imposes restraints
on government as a function of constitutionalism, but it also legitimizes
the power of the government. It is the documentary instrument for the
transfer of authority from the residual holders the people under
democracy, the king under monarchy to the organs of State power”.
(Mustanir, Ibrahim, et al., 2022)
Konstitusi di satu pihak menentukan pembatasan terhadap
kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain
memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan. Konstitusi
jugaberfungsi sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari
pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau Raja
dalam sistem Monarki) kepada organ-organ ke kuasaan negara. Bahkan
oleh Thomas Paine dalam bukunya Common Sense dikatakan bahwa
konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai national symbol. (Mustanir,
Ali, et al., 2020)
C. Metode Penelitian
e) Memuat cita-cita rakyat dan asas asas ideologi. (Mustanir, Justira, et al.,
2018)
E. Kesimpulan
Ar, A. A., Mustanir, A., Syarifuddin, H., Jabbar, A., Sellang, K., Rais, M., Razak,
R., Ibrahim, M., & Ali, A. (2021). MPLEMENTASI KEBIJAKAN
PEMERINTAH TERHADAP DISIPLIN APARATUR SIPIL NEGARA
KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG. JURNAL SOSIAL POLITIKA,
2(1), 65–73.
Fitrah, N., Mustanir, A., Akbari, M. S., Ramdana, R., Nisa, N. A., Qalbi, N., &
Febriani, A. F. (2021). Pemberdayaan masyarakat melalui pemetaan
swadaya dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam tata kelola potensi
desa. 5, 337–344.
Irwan, Latif, A., Sofyan, Mustanir, A., & Fatimah. (2019). GAYA
KEPEMIMPINAN, KINERJA APARATUR SIPIL NEGARA DAN
PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN DI
KECAMATAN KULO KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG. Jurnal
Moderat, 5(1), 32–43.
Latif, A., Irwan, Rusdi, M., Mustanir, A., & Sutrisno, M. (2019). PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI
DESA TIMORENG PANUA KECAMATAN PANCA RIJANG
KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG. Jurnal Moderat, 5(1), 1–15.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat
Mustanir, A., Ali, A., Yasin, A., & Budiman. (2020). Transect on Participatory
Development Planning in Sidenreng Rappang Regency. 250–254.
https://doi.org/10.4108/eai.25-10-2019.2300523
Mustanir, A., Barisan, & Hamid, H. (2017). Participatory Rural Appraisal As The
Participatory Planning Method Of Development Planning. 78–84.
Mustanir, A., Ibrahim, M., B, S., & Sadapotto, A. (2022). Partisipasi Masyarakat
Dalam Pembangunan (A. Mustanir, M. Ibrahim, Irmawati, Adnan, & A.
Sadapotto (eds.); 1st ed.). CV. Penerbit Qiara Media.
Mustanir, A., Ibrahim, M., Rusdi, M., & Jabbareng, M. (2020). PEMBANGUNAN
PARTISIPATIF DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (T. Q. Media (ed.);
1st ed.). CV. Penerbit Qiara Media.
Mustanir, A., & Jaya, I. (2016). Pengaruh kepemimpinan dan budaya politik
terhadap perilaku pemilih towani tolotang di kecamatan maritengngae
kabupaten sidenreng rappang. Jurnal Politik Profeti, 04(1), 2016.
Mustanir, A., Jermsittiparsert, K., Ali, A., Hermansyah, S., & Sakinah. (2020).
Village Head Leadership and Bureaucratic Model Towards Good
Governance in Sidenreng Rappang. 1, 1–8. https://doi.org/10.4108/eai.21-
10-2019.2291532
Mustanir, A., Justira, N., Sellang, K., & Muchtar, A. I. (2018). DEMOCRATIC
MODEL ON DECISION-MAKING AT DELIBERATIONS OF
DEVELOPMENT PLANNING. International Conference on Government
Leadership and Social Science, April, 11–13.
Mustanir, A., & Rusdi, M. (2018). Participatory Rural Appraisal ( PRA ) Sebagai
Sarana Dakwah Muhammadiyah Pada Perencanaan Pembangunan Di
Kabupaten Sidenreng Rappang. Prosiding Konferensi Nasional Ke- 8, 1–9.
Mustanir, A., S, F., Adri, K., Nurnawati, A. A., & Goso, G. (2020). Sinergitas
Peran Pemerintah Desa dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Perencanaan
Pembangunan di Kabupaten Sidenreng Rappang. Journal of Government
Science, 1(2), 84–108.
Mustanir, A., Sapri, & Darman, H. (2019). Pelayanan Publik (T. Q. Media (ed.);
1st ed.). CV. Penerbit Qiara Media.
Mustanir, A., Yasin, A., Irwan, & Rusdi, M. (2018). POTRET IRISAN BUMI
DESA TONRONG RIJANG DALAM TRANSECT PADA
PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF PORTRAIT. Jurnal
Moderat, 4(November), 1–14.
R, E. K., & Mustanir, A. (2019). Food Policy and Its Impact on Local Food.
Jurnal Affairs And Policy, 4(3), 15.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.222.99/arpap/2019.57 Food
Ravyansah, Fadli, Z., Almahdali, H., Tampubolon, M., Irawan, B., Ismaya,
Kusnadi, I. H., Afdhal, Mustanir, A., Sari, A. R., Sakir, A. R., & Nainggolan,
A. A. (2022). Pengantar Ilmu Politik : ENVIRONMENT (M. E. P. Diana
Purnama Sari, S.E. (ed.); I). PT GLOBAL EKSEKUTIF TEKNOLOGI.
Sabir, R., Mustanir, A., Yasin, A., & Sofyan, W. (2022). AKUNTABILITAS
PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN ANGGARAN DANA DESA
TALAWE. 10(3), 49–54.
Sakir, Nugroho, B., & Fatoni, W. (2019). Sinergi dan Strategi Akademisi,
Business dan Government (ABG) dalam Mewujudkan Pemberdayaan
Masyarakat yang Berkemajuan di Era Industri 4.0 (Sakir, B. Nugroho, & W.
Fatoni (eds.); 1st ed.). UMY Press.
Samad, Z., Mustanir, A., Jabbar, A., Ibrahim, M., & Juniati. (2019).
KEPEMIMPINAN LURAH TERHADAP PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DI KELURAHAN LAUTANG BENTENG
KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG. Journal of Social Politics and
Governance, 1(2), 20–39.
Samad, Z., Mustanir, A., Muhammadiyah, U., Rappang, S., Pembangunan, M. R.,
& Masyarakat, P. (2019). PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UNTUK
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE. 5(November), 377–393.
Sapri, Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., & Wirfandi. (2019). PERANAN
CAMAT DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KECAMATAN
ENREKANG KABUPATEN ENREKANG. Jurnal Moderat, 5(2), 33–48.
Uceng, A., Ali, A., Mustanir, A., & Nirmawati. (2019). ANALISIS TINGKAT
PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN
SUMBER DAYA MANUSIA DI DESA CEMBA KECAMATAN
ENREKANG KABUPATEN ENREKANG. Jurnal Moderat, 5(2), 1–17.