Anda di halaman 1dari 15

QANUN ACEH SEBAGAI WADAH

PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM

Imanuddin
Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Email: imanuddinalfalah@gmail.com

Abstrak:
Pelaksanaan syariat Islam yang ada di Aceh merupakan
refleksi dari kenyataan faktual historis masyarakat Aceh
yang sejak dahulu telah relatif cukup baik diaplikasikan.
Saat ini, penerapan syariat Islam di Aceh diwadahi oleh
beberapa peraturan di dalam bentuk qanun Aceh. Qanun
Aceh memiliki kedudukan penting bagi terkodefikasinya
hukum Islam seperti qanun hukum jinayat, qanun hukum
keluarga, dan qanun lainnya. Untuk itu, tulisan ini ingin
mengulas bincang kedudukan Qanun Aceh sebagai alat
dan wadah pelaksanaan syariat Islam di Aveh.
Keywords: Qanun Syariat Islam.

A. Pendahuluan
Pembahasan syariat Islam di Aceh secara prinsip sama sekali
bukan isu yang baru dalam sejarah perjalanan masyarakat Aceh. Di
dalam tunjauan historis, Aceh terbukti sudah melaksanakan syariat
Islam dengan relatif cukup baik, memiliki regulasi tersendiri disebut
Qanun al-Asyi yang disebut Adat Meukuta Alam, Sarakata Sultan
Syamsul Alam, dan di dalam kitab Safinah al-Hukkam fi Takhlish al-
Khashsham.1 Beberapa produk hukum para ulama ini menjadi bukti
bahwa hukum Islam sudah mengakar kuat di kehidupan masyarakat
Aceh. Bahkan, situasi personal adat Aceh secara khusus terformulasi
sedikitnya dengan hukum Islam, sehingga muncul adagium populer
bahwa adat dan hukum di Aceh sudah menyatu: “adat ngon hukom
lagee zat ngon sifeut”, artinya: “adat dengan hukum Islam seperti zat

1
Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Kajian Sosiologi Hukum”,
Jurnal Legitimasi, Vol I, No. 2, Januari-Juni 2012, hlm. 9.

1
dengan sifat”, jadi keduanya tidak dapat dipisahkan.2 Keterikatan
dua hukum ini juga didukung dengan ungkapan bahasa Aceh lainnya
“hukom ngon adat hanjeut cree, lage mata hitam ngon mata puteh”,
artinya: “hukum Islam dengan hukum adat tidak boleh terpisah-pisah
seperti mata hitam dan mata putih”.3
Kenyataan sejarah mengenai hukum Islam sudah berlaku dan
melekat bagi masyarakat Aceh menjadi dasar historis bagi penerapan
dan pelaksanan syariat Islam di Aceh masa kini. Aceh merupakan
satu satunya daerah di Indonesia diberi keluasan dalam menerapkan
Syariat Islam (baca: Hukum Islam). Hal ini merupakan realisasi dari
bentuk keistimewaan yang diberi oleh pemerintah Indonesia berupa
otonomi khusus (otsus) di dalam mengatur dan mengurus kehidupan
masyarakat. Salah satu bentuk kekhususan tersebut tampak di dalam
Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.4
Hanya saja, untuk merealisasikan pengaturan syariat Islam di bidang
yang khusus, seperti muamalah, hukum pidana atau jinayat, dan di

2
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata
& Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2016), hlm. 388: Adagium atau pepatah di atas juga diulas beberapa
penulis lain seperti dalam Abdul Rani Usaman, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2003), hlm. 107: Lihat juga dalam, Muhammad
Yasir Yusuf, Islamic Corporate Social Responsibility pada Lembaga Keuangan
Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), hlm. 148: Sejarah Aceh
membuktikan hukum Islam telah masuk pada abad ke 7 Masehi sementara aplikasi
nyatanya barangkali dipahami dari Kerasajan Islam Darussalam, yang terkenal di
dalam konteks secara adalah Iskandar Muda. Lihat, Abdul Manan, Mahkamah...,
hlm. 77-83.
3
Agus Budi Wibowo, “Sistem Kepemimpinan pada Etnis Aceh di Aceh”,
Jurnal: al-Manhaj, Vol. I, No. 3, Juni 2011, hlm. 13.
4
Pengakuan pemerintah Indonesia terhadap keistimewaan dan kekususan
daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh. Sebelumnya, ada dua regulasi yang serupa, diatur dalam
UU No. 18/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan juga UU No. 44/1999 Tentang
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Keterangan ini telah diulas oleh
beberapa penulis, di antaranya dalam, Abdul Manan, Mahkamah..., hlm. 219-221:
Bandingkan, Ahmad Suaedy, Gus Dur: Islam Nusantara dan Kewarganegaraan
Bineka, Penyelesaian Konflik Aceh Papua 1999-2001, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2018), hlm. 347.

2
bidang hukum lain, maka regulasinya diatur dalam peraturan tertentu
yang disebut qanun atau disebut pula dengan peraturan daerah.
Melalui qanun Aceh, hukum-hukum yang sifatnya partikular
(juz’i) atau khusus yang membidangi satu masalah hukum diatur dan
diaplikasikan melalui qanun-qanun. Sebut saja dalam bidang hukum
pidana, terdapat dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayat, Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat.
Selain itu, diatur pula Qanun Nomor 2 tahun 2009 Tentang Majelis
Permusyawaran Ulama Aceh, Qanun Aceh No. 5 tahun 2003 tentang
Pemerintahan Gampong dan qanun-qanun yang lain. Dengan begitu,
keberadaan qanun di Aceh menjadi salah satu media dan wadah bagi
pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Tulisan ini hendak mengangkat beberapa isu penting tentang
kedudukan qanun Aceh dalam merealisasikan syariat Islam. Masalah
yang ingin dianalisis menyangkut qanun Aceh perspektif tertib atau
hierarki hukum di Indonesia, qanun sebagai wadah pelaksanaan dan
penerapan syariat Islam.

B. Terminologi Qanun dan Syariat Islam


1. Qanun
Term qanun, merupakan bentuk kata serapan bahasa asing,
diambil dari bahasa Arab, qanun dengan bentuk jamaknya adalah
qawanin, artinya al-ashl yang berarti asal pokok dan pangkal. Qanun
juga dimaknai sebagai suatu ukuran, peraturan atau undang-undang.5
Manan menyebutkan, kata qanun ini, di samping diserap dari bahasa
Arab, juga diserap dari bahasa Yunani kanon, yang bermakna untuk
pemerintah, tolok ukur atau mengukur.6
Menurut terminologi, ditemukan banyak definisi qanun yang
dikemukakan para ahli. Di antaranya keterangan Muhammas Syukri
yang mengutip Kamus Oxford, bahwa qanun adalah peraturan yang

5
Achmad Warson Munawwir, Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawwir:
Indonesia Arab Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 1165.
6
Abdul Manan, Mahkamah Syar’iah Aceh dalam Politik Hukum Nasional
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 372.

3
dibuat oleh pihak penguasa yang diperuntukkan kepada masyarakat
atau untuk menata atau mengatur yang betul dari tiap sesuatu dalam
kehidupan masyarakat.7 Sejauh ulasan para ahli, ditemukan adanya
pergeseran makna qanun dari segi penggunaannya, baik suatu aturan
dalam bentuk kompilasi regulasi, atau hanya dalam satu regulasi dan
undang-undang saja, bahkan dipersempit menjadi peraturan tingkat
daerah. Untuk itu, maka yang terakhir inilah barangkali yang dipakai
dalam penjelasan qanun-qanun di Aceh. Salah satu rumusannya bisa
dipahami di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus, Pasal 1 butir 8, bahwa qanun dimaksukan sebagai
peraturan daerah sebagai pelaksanaan undang-undang.8 Begitu juga
di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, Pasal 1 butir 21 menyebutkan bahwa qanun adalah peraturan
perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi Aceh yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
Aceh.
Pemaknaan qanun dalam tulisan ini diarahkan kepada makna
qanun yang dianut dalam kedua undang-undang di atas, yaitu suatu
peraturan sejenis peraturan daerah, bisa dalam bentuk qanun tingkat
provinsi, dibuat dan dirumuskan Lembaga Legislatif (DPRA), serta
bersama-sama atau disetujui Lembaga Eksekutif (Gubernur Aceh),
dan bisa juga di tingkat kabupaten yang dirumuskan oleh DPRK dan
Bupati masing-masing kabupaten.
2. Syariat Islam
Istilah syariat Islam, barangkali bukan lagi menjadi kata yang
asing bagi masyarakat Aceh. Melalui berbagai perspektif atau sudut
pandang, baik dari sisi historis, filosofis dan sosiologis, syariat Islam
telah mengakar kuat dan erat bagi peri kehidupan masyarakat Aceh.
Inilah sebabnya kenapa istilah tersebut tidak lagi asing, dan bahkan

7
Muhamad Syukri Albani Nasution & Rahmat Hidayat Nasution, Filsafat
Hukum Islam dan Maqashid al-Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2020), hlm. 9-10: Pemaknaan qanun ini apat juga dirujuk di dalam ulasan Manan.
Lihat, Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2017), hlm. 34.
8
Abdul Manan, Mahkamah..., hlm. 373.

4
identik dengan kearifan adat dan juga hukum lokal masyarakat Aceh
sejak dari dahulu, serta sangat dekat dengan kehidupan masyarakat
Aceh.
Secara letterlijk atau kebahasaan, “syariat Islam” merupakan
sebuah frasa, yang tersusun dari dua kata, syariat dan Islam. Syariat
juga diambil dari bahasa Arab, bentuk dasarnya terdiri dari huruf sya
ra dan ‘a, secara bahasa maknanya adalah “jalan ke tempat air” atau
jalan yang harus diikuti.9 Berarti juga berarti tempat air mengalir, di
mana hewan-hewan minum dari sana, atau dalam istilah bahasa Arab
ditulis “maulid al-ma’ allazi tasyra’u fihi al-dawab”.10 Adapun kata
Islam, secara bahasa diambil dari kata salima, yaslimu, yang berati
damai, ketundukan, kepatuhan atau berserah diri.11 Melalui beberapa
makna bahasa tersebut, istilah syariat Islam sedehananya bisa berarti
jalan yang damai, atau jalan untuk mendekatkan dan berserah kepada
Allah Swt.
Term syariat Islam populer digunakan dalam ragam literatur
fikih. Di Indonesia sendiri, istilah tersebut cenderung marjinal, yang
dipakai adalah hukum Islam, atau terjemahan dari istilah islamic law
(Inggris), atau dalam bahasa Arab disebut al-fiqh al-Islami. Hal ini
seperti didinggung oleh beberapa ahli seperti Abdul Manan,12 Abd.
Shomad,13 dan beberapa lalinnya. Beberapa definisi syariat Islam di
dalam kerangka konseptual cenderung berbeda-beda. Definisi klasik
dapat ditemukan dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, di mana kata syariat
Islam dimaknai sebagai khitab atau ketentuan Allah Swt kepada para

9
Warkum Sumotro, Moh. Anas Kholish, & Labib Muttaqin, Hukum Islam
& Hukum Barat: Diskursus Pemikiran dari Klasik Hingga Kontemporer (Malang:
Setara Press, 2017), hlm. 2.
10
Busyro, Maqasid Syariah Pengetahuan Mendasar Memahami
Maslahah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019), hlm. 7.
11
Muhammad Tahir Azhari, dkk., Beberapas Aspek Hukum tata Negara,
Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Cet. 2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2015), hlm. 373.
12
Abdul Manan, Pembaruan..., hlm. 37.
13
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2017), hlm. 22-23.

5
hambanya yang mukallaf, baik yang mengandung tuntutan (seruan
atau larangan), pilihan atau dalam bentuk penetapan.14
Berbeda dengan definisi klasik di atas, ulama yang kemudian
membuat rumusan yang cenderung berbeda. Misalnya definisi yang
dikemukakan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Syariat (baca: syariat Islam)
adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang
urusan agama, atau hukum agama yang ditetapkan dan diperintahkan
oleh Allah Swt baik berupa ibadah (puasa, shalat, haji, dan zakat dan
seluruh amal kebajikan) atau muamalah yang menggerakkan hidup
manusia seperti jual beli, nikah, dan lain-lain.15 Definisi serupa juga
dipahami dari ulasan Abdul Manan. Ia menggunakan istilah hukum
Islam yaitu seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah Swt dan
Sunnah Rasulullah Saw yang berkaitan dengan tingkah laku seorang
mukallaf (orang yang sudah dibebani hukum), yang diakui dan juga
diyakini mengikat semua orang yang beragama Islam.16
Beberapa definisi di atas, memberi pemahaman arti syariat
Islam, yaitu sebuah istilah dipergunakan untuk menamakan regulasi
dan peraturan-peraturan hukum yang diatur dalam Islam, sumbernya
adalah Alquran dan hadis. Peraturan hidup untuk makna syariat ini
hanya ditujukan kepada orang-orang yang secara hukum sudah layak
dibebani hukum. Standar yang dipakai biasanya adalah usia baligh,
bagi laki-laki sudah mimpi basah atau bagi perempuan sudah datang

14
Definisi syariat Islam seperti tersebut di atas misalnya merujuk dalam,
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Terj: Mph. Zuhri dan Ahmad Qorib),
Edisi Kedua, (Semarang: Dina Utama, 2014), hlm. 172: Abdul Hayy Abdul All,
Ushul al-Fiqh al-Islami, (Terj: Muhammad Misbah), (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2014), hlm. 26: Bandingkan dengan, Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, Cet. 5
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 2: Lihat juga, Ali Hasballah,
Ushul al-Tasyri’ al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976), hlm. 375.
15
Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syari’ah baina al-
Maqashid Kulliyyah wa al-Nushush al-Juz’iyah, (Terj: Arif Munandar Riswanto),
Cet. 2, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2017), hlm. 12: Ulasan Yusuf al-Qaradhawi
lainnya dapat dilihat dalam, Yusuf al-Qaradhawi, Madhal li Dirasah al-Syariah
al-Islamiyyah, (Terj: Ade Nurdin, dan Riswan), (Bandung: Mizan Pustaka, 2018),
hlm. 13.
16
Abdul Manan, Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 6.

6
haid.17 Oleh karena itu, umat muslim sudah mampu dibebani hukum
(syariat Islam) hanya jika tanda baligh sudah ada.

C. Kedudukan Qanun Aceh dalam Perspektif Tertib Hukum di


Indonesia dan Perspektif Ushul Fiqih
Qanun Aceh, dalam berbagai versi dinyatakan sebagai salah
satu bentuk Peraturan Daerah atau Perda. Dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia, memang tidak ditemukan istilah
qanun sebagai bagian dari hierarki ataupun tertib hukum peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan tidak memuat istilah qanun. Adapun
urutan peraturan tersebut adalah:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945).
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (PERPPU).
d. Peraturan Pemerintah (PP).
e. Peraturan Presiden (PERPRES).
f. Peraturan Daerah Provinsi (PERDA Provinsi).
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (PERDA Kabupaten atau
Kota).
Meskipun begitu, ketiadaan istilah qanun dalam hierarki atau
tertib hukum di atas bukan menafikan keberadaan qanun Aceh. Term
qanun baru muncul ketika mengacu kepada undang-undang tentang
otonomi khusus dan keistimewaan Aceh dalam pelaksanaan syariat
Islam. Dasar hukum paling akhir dapat ditemukan istilah qanun pada
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Qanun Aceh dalam undang-undang ini dipersamakan dengan Perda
atau peraturan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/
kota.

17
Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa al-Mu’ashirah, (Moh. Suri Sudahri, dkk),
Jilid 4, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), hlm. 530.

7
Mencermati ulasan di atas, cukup dipahami bahwa qanun di
Aceh sama dengan peraturan daerah. Menurut hierarki perundangan
di Indonesia seperti dalam Pasal 7 sebelumnya, qanun berada pada
posisi huruf f dan g, yaitu bisa dalam bentuk peraturan daeran pada
tingga privinsi, yang pelaku dan penggagasnya ialah DPRA, atau di
tingkat kabupaten/kota, yang pelaku dan penggagasnya ialah DPRK.
Di dalam catatan Abdul Manan, Qanun Aceh dipersamakan
dengan peraturan daerah sebagaimana berlaku di daerah lain, hal ini
khusus dilihat dari segi hierarki peraturan perundang-undangan. Ia
juga mengulas beberapa pendapat ahli lain seperti Syahrizal Abbas,
Rusjdi Ali Muhammad, bahwa kedudukan qanun Aceh tetap setara
dengan peraturan daerah, karena lex specialis yang terdapat di dalam
qanun hanya berlaku sama dengan peraturan yang sederajat dengan
qanun, yaitu peraturan daerah, sehingga qanun itu tidak sama dengan
undang-undang.18
Keterangan serupa juga diulas dengan relatif cukup baik oleh
Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, bahwa qanun Aceh secara
fungsional ialah untuk melaksanakan otonomi khusus Aceh. Qanun
dibentuk oleh DPRD Provinsi dan disahkan Kepala Daerah setelah
mendapatkan persetujuan bersama. Al Yasa’ juga mengulas bahwa
qanun bagian dari peraturan perundang-undangan di tingkat daerah
yang dibuat untuk menyelenggarakan otonomi khusus bagi Provinsi
Aceh dan karena itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kesatuan sistem perundang-undangan nasional. Oleh sebab itu qanun
sebagai peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya.19
Menurut Kamarusdiana, qanun di Aceh sama dengan Perda.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
menjelaskan terkait kedudukan qanun dalam Pasal 233 ayat (1) yang
menyatakan bahwa qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan

18
Abdul Manan, Mahkamah..., hlm. 375.
19
Al Yasa’ Abubakar, dan M. Daud Yoesoef, “Qanun Sebagai Peraturan
Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Jurnal
Legislasi Indonesia. Vol. 1, No. 3, November 2004, hlm. 21-22.

8
pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten dan penyelenggaraan
tugas bantuan. Bagi Kamarusdiana, klausul yang menyebut “dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota”
sebagai salah satu fungsi pembentukan qanun menjadikan qanun di
Provinsi Aceh berbeda dengan Perda di daerah lainnya di Indonesia.
Karena fungsi pembentukan Perda di daerah yang lain sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan.20
Dengan begitu, ada dua perspektif dalam melihat qanun dalam tertib
hukum di Indonesia. Apabila dilihat dari posisinya, maka qanun ada
korelasinya dengan perda, sebab kedudukannya dibentuk oleh DPR
di tingkat provinsi atau kabupaten. Sementara itu, apabila dilihat dari
perspektif tujuan pembentukan Perda di daerah lain dengan qanun di
Aceh, maka keduanya mempunyai perbedaan, meskipun secara isi
atau substansi dan cara pembentukannya sama-sama diproduksi di
tingkat daerah provinsi atau kabupaten/kota.
Bagaimana melihat pelaksanaan Syariat Islam melalui qanun
dalam perspektif Ushul Fiqh? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka
yang perlu ditelaah adalah menyangkut tujuan dari pembentukannya
dilihat dari sisi hukum Islam. Dalam ilmu ushul fikih, cukup familiar
disebutkan bahwa suatu hukum itu dibentuk untuk tujuan kebaikan,
kemanfaatan, dan kemaslahatan manusia. Demikian juga berlaku di
dalam bentuk produktivitas dan positivikasi hukum Islam berbentuk
qanun di Aceh. Pemerintah Aceh wajib membentuk peraturan atau
keputusan hukum dengan melihat kepada sisi-sisi kemaslahatan. Hal
ini selaras dengan salah satu kaidah:
21
.‫مصلَ َح ِة‬ ٍ ِ ِ ُّ ‫اْلمام علَى‬
‫الرعيَة َمنُ إوط ِِبلإ إ‬ َ ُ َ ِ‫ف إ‬
َ ‫صُّر‬
َ َ‫ت‬
20
Kamarusdiana, “Qanun Jinayat Aceh dalam Perspektif Negara Hukum
Indonesia”. Jurnal Ahkam. Vol. XVI, No. 2, Juli 2016, hlm. 157: Lihat pula dalam
Ridwan Nurdin, “Kedudukan Qanun Jinayat Aceh dalam Sistem Hukum Pidana
Nasional Indonesia”. Jurnal Miqot, Vol. XLII, No. 2, Juli-Desember 2018, hlm.
364.
21
Yusuf al-Qaradhawi, Siyasah al-Syar’iyyah, (Terj: Fuad Syaifudin Nur)
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2019), hlm. 178.

9
Ketetapan (kebijakan) pemerintah (imam) kepada rakyatnya
dibangun dengan pertimbangan kemaslahatan.22
Kaidah tersebut mengandung makna apapun kebijakan dari
pemerintah harus mempertimbangkan aspirasi rakyatnya. Sebab jika
aspirasi rakyat tersebut tidak diperhatikan, keputusan pemerintah itu
tidak akan efektif berlaku. Di dalam hal ini, pemerintah tidak boleh
menciptakan peraturan yang merugikan rakyat, karena itu kebijakan
pemerintah harus sejalan dengan kepentingan umum, bukan untuk
kepentingan golongan tertentu.23 Dalam pembentukan qanun Aceh,
pemerintah, dalam hal ini DPRA atau DPRK bersama-sama dengan
Gubernur atau Bupati wajib membentuk qanun untuk menciptakan
kemaslahatan masyarakat Aceh. Pembentukan qanun yang berisikan
materi-materi hukum yang pro terhadap nilai-nilai Islam, sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya, menjadi kewajiban
pemerintah Aceh. Oleh sebab itu, perspektif Islam menyangkut hal
ini termasuk dalam ranah paling urgen, sebab peraturan qanun yang
sudah dibuat bisa menjadi wadah bagi pelaksanaan syariat Islam di
Aceh.

D. Qanun Sebagai Materi Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh


Keberadaan qanun di Aceh sangat penting bagi pelaksanaan
hukum dan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Produktivitas
materi qanun sudah menunjukkan ke arah yang lebih baik di Provinsi
Aceh. Dikatakan “lebih baik” karena sepanjang sejarah Aceh, belum
ada regulasi hukum yang sifatnya partikular atau terperinci seperti di
dalam konteks hukum ke-Acehan dewasa ini. Qanun-qanun syariat
Islam di Aceh tidak hanya dilihat dari Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun
2014, akan tetapi semakin lebih terperinci, bahkan sejak tulisan ini
dikemukakan (Desember 2020), terdapat minimal dua rancangan isi

22
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Cet. 8, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Goup, 2019), hlm. 147.
23
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
Cet. 2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 18.

10
qanun yang tengah dirancang, yaitu qanun tentang pelaksanaan haji
dan qanun hukum keluarga (al-ahwal al-syakshiyyah). Ini menjadi
bukti bahwa eksistensi qanun menjadi sangat penting dan menjadi
wadah bagi pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Hingga saat ini, cukup banyak materi qanun yang menjadi isi
dan materi hukum penerapan syariat Islam, yaitu:
a. Qanun No. 11/2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah
b. Qanun No. 8/2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal
c. Qanun No. 4/2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah
d. Qanun No. 8/2015 tentang Pembinaan Dan Perlindungan Aqidah
e. Qanun No. 7/2015 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan yang
Berkaitan Dengan Syari’at Islam Antara Pemerintah Aceh Dan
Pemerintahan Kabupaten/Kota
f. Qanun No. 8/2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam
g. Qanun No. 6/2014 tentang Hukum Jinayat
h. Qanun No. 7/2013 tentang Hukum Acara Jinayat
i. Qanun No. 2/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama
j. Qanun No 10/2008 tentang Lembaga Adat
k. Qanun No. 9/2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat
l. Qanun No. 10/2007 tentang Baitul Mal
m. Qanun No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang
Aqidah, Ibadah Dan Syiar Islam
n. Qanun No. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam
Beberapa qanun tersebut menunjukkan prospek pelaksanaan
syariat Islam secara kaffah menyeluruh—sebagaimana diinginkan
masyarakat dan pemerintah—di Aceh sangat tergantung pada sejauh
mana produktivitas qanun secara massif dapat diterbitkan lembaga
legislatif dan pemerintah (Gubernur Aceg) selaku lembaga eksekutif
di Aceh. Keinginan menerapkan syariat Islam bagi masyarakat akan
terhambat ketika aturan hukumnya belum dirinci dalam bidang dan
jenis hukum tertentu. Ketika satu bidang hukum belum ada regulasi
qanunnya, maka sepanjang itu pula pelaksanaan syariat Islam harus

11
bersumber dari peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebut
saja seperti penyelesaian kasus-kasus hukum keluarga. Hingga saat
ini, di Aceh, penyelesaiannya merujuk kepada Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Instruksi Presidien Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan beberapa materi
hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Pengadilan Agama sebagaimana diubah melalui Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009. Untuk itu, keberadaan qanun menjadi sangat penting
untuk dirumuskan dan dijadikan wadah pelaksanaan syariat Islam di
Aceh.

E. Penutup
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disarikan dalam satu
ulasan kesimpulan bahwa qanun Aceh merupakan salah satu bentuk
regulasi perundang-undangan yang berkedudukan setingkat dengan
Peraturan Daerah (Perda) di daerah lalin. Pengakuan ‘qanun’ sebagai
Perda secara langsung disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Dalam hieirarki regulasi
perundangan di Indonesia, peraturan daerah merupakan peraturan di
tingkat paling rendah, sehingga materi hukumnya tidak boleh tidak
harus bersesuaian dengan peraturan di atasnya.
Qanun Aceh didedikasikan untuk melaksanakan kekhususan
penerapan syariat Islam yang diamanahkan dalam undang-undang.
Qanun-qanun Aceh hingga sekarang ini dirumuskan dalam berbagai
bidang hukum, baik bidang perbankan yang sesuai syariat, adat dan
istiadat tidak bertentangan dengan nilai syariah, hukum jinayat, dan
hukum-hukum lainnya di bidang muamalah Islam, akidah dan syiar
Islam. Semua bidang hukum tersebut sepenuhnya dimuat di dalam
qanun Aceh.

12
Daftar Pustaka

A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam


dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Cet.
8, Jakarta: Kencana Prenada Media Goup, 2019.
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2017.
Abdul Hayy Abdul All, Ushul al-Fiqh al-Islami, Terj: Muhammad
Misbah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014.
Abdul Manan, Mahkamah Syar’iah Aceh dalam Politik Hukum
Nasional Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018.
______, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2017.
______, Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2018.
Abdul Rani Usaman, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2003.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Terj: Mph. Zuhri dan
Ahmad Qorib, Edisi Kedua, Semarang: Dina Utama, 2014.
Achmad Warson Munawwir, Muhammad Fairuz, Kamus al-
Munawwir: Indonesia Arab Terlengkap, Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007.
Agus Budi Wibowo, “Sistem Kepemimpinan pada Etnis Aceh di
Aceh”, Jurnal: al-Manhaj, Vol. I, No. 3, Juni 2011.
Ahmad Suaedy, Gus Dur: Islam Nusantara dan Kewarganegaraan
Bineka, Penyelesaian Konflik Aceh Papua 1999-2001,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018.
Al Yasa’ Abubakar, dan M. Daud Yoesoef, “Qanun Sebagai
Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam”. Jurnal Legislasi Indonesia.
Vol. 1, No. 3, November 2004.
Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, Mesir: Dar al-Ma’arif,
1976.

13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, Cet. 5 Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011.
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum
Perdata & Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, Edisi
Pertama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016.
Busyro, Maqasid Syariah Pengetahuan Mendasar Memahami
Maslahah Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019.
Kamarusdiana, “Qanun Jinayat Aceh dalam Perspektif Negara
Hukum Indonesia”. Jurnal Ahkam. Vol. XVI, No. 2, Juli
2016.
Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Kajian Sosiologi
Hukum”, Jurnal Legitimasi, Vol I, No. 2, Januari-Juni 2012.
Muhamad Syukri Albani Nasution & Rahmat Hidayat Nasution,
Filsafat Hukum Islam dan Maqashid al-Syariah, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2020.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik
Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016.
Muhammad Tahir Azhari, dkk., Beberapas Aspek Hukum tata
Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Cet. 2 Jakarta:
Kencana Prenada Media Group 2015.
Muhammad Yasir Yusuf, Islamic Corporate Social Responsibility
pada Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2017.
Ridwan Nurdin, “Kedudukan Qanun Jinayat Aceh dalam Sistem
Hukum Pidana Nasional Indonesia”. Jurnal Miqot, Vol.
XLII, No. 2, Juli-Desember 2018.
Warkum Sumotro, Moh. Anas Kholish, & Labib Muttaqin, Hukum
Islam & Hukum Barat: Diskursus Pemikiran dari Klasik
Hingga Kontemporer Malang: Setara Press, 2017.
Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syari’ah baina
al-Maqashid Kulliyyah wa al-Nushush al-Juz’iyah, Terj: Arif
Munandar Riswanto, Cet. 2, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2017.

14
______, Fatawa al-Mu’ashirah, Moh. Suri Sudahri, dkk, Jilid 4,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009.
______, Madhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiyyah, Terj: Ade
Nurdin, dan Riswan, Bandung: Mizan Pustaka, 2018.
______, Siyasah al-Syar’iyyah, Terj: Fuad Syaifudin Nur, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2019.

15

Anda mungkin juga menyukai