IMANUDDIN.1
imanuddinalfalah@gmail.com
Pendahuluan
Hukum keluarga merupakan salah satu dimensi hukum yang
paling sering mendapat sorotan di tengah-tengah masyarakat
muslim di Indonesia. Hal ini terjadi karena keluarga merupakan
hukum yang mendasar dan bersifat asasi bagi kehidupan manusia,
di samping itu pembentukan karakter manusia secara utuh dan
dewasa juga dimulai dari sebuah keluarga.
Salah satu tema penting dalam hukum keluarga Islam adalah
pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu hukum yang
mendasar bagi tiap manusia, termasuk hukum yang mendapat porsi
bahasan yang cukup menarik, sejajar dengan dimenasi hukum yang
lainnya seperti muamalah, pidana, maupun politik. Hal tersebut
boleh jadi dipengaruhi oleh karena kedudukan nikah itu sendiri,
yaitu sebagai sebuah peristiwa hukum berupa mempersatukan pria
dengan wanita dalam sebuah ikatan suci dan juga kuat,2 dari
1Pascasarjana
UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
2Pengakuan
Islam terhadap ikatan pernikahan secara prinsip
bukan hanya sekedar kontrak biasa, tetapi bahasa yang digunakan dalam
Alquran adalah mīṡā-qan ghalīẓan, yaitu ikatan yang kokoh, suci, atau kuat
dan tebal. Ini tergambar di dalam QS. Al-Nisā’ [4] ayat 21. Ini menjadi
bukti bahwa ikatan pernikahan bukan ikatan yang main-main, idealnya
tidak mudah rapuh, kusut, apalagi terputus.
3Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009), hlm. 155.
4Para ulama masih beda pendapat mengenai makna sakīnah,
Pembahasan
Terminologi Kadi Liar
Term kadi liar tersusun dari dua kata, yaitu kadi dan liar.
Istilah kadi secara bahasa bermakna hakim, terutama yang
mengadili perkara yang bersangkutan-paut dengan agama Islam.5
Istilah kadi pada dasarnya bentuk serapan dari bahasa Arab, yaitu
قَ ِ يartinya hakim.6 Disebut sebagai hakim karena mengharuskan
ض
orang dan juga memaksakan orang untuk mematuhi hukum.7
Menurut istilah, kadi adalah orang yang diangkat oleh
kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat
menggugat perselisihan di dalam masyarakat.8 Di dalam makna lain,
kadi adalah pejabat yang diserahi wewenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memberikan putusan hukum berdasarkan syariah
Islam atas perkara yang diajukan kepadanya.9 Dengan begitu, kata
kadi dapat dipahami sebagai orang yang ditunjuk sebagai hakim di
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Adapun istilah liar memiliki banyak arti, di antaranya tidak
ada yang memiara, tidak ada yang memilikinya, tidak (belum) jinak,
tidak tenang, buas, ganas, tidak teratur, tidak menurut aturan
hukum, tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yang berwenang,
tanpa izin resmi dari yang berwenang, atau tidak memiliki izin
usaha.10 Dengan begitu, istilah liar dalam pembahasan ini
dimaksudkan tidak ada izin atau tidak resmi sebagaimana diatur di
dalam undang-undang.
Dalam konteks kadi liar, secara sederhana berarti seseorang
yang berprofesi sebagai hakim untuk menyelesaikan permasalahan
hukum yang ada dalam masyarakat, hanya saja kedudukannya tidak
diakui secara hukum, atau tanpa ada izin resmi dari pemerintah
262.
9Ahmad
Rofi’ Usmani, Jejak Jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban
Islam dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: Bunyan, 2015), hlm. 286.
10Tim
Redaksi, Kamus..., hlm. 856.
11Ratna
Juita, Rusjdi Ali Muhammad, dan Imam Jauhari, Kajian
Yuridis Pernikahan Melalui Kadi Liar: Studi Penelitian di Kabupaten Aceh Besar.
“Syiah Kuala Law Journal: Vol. 1, No. 2, (Agustus, 2017), hlm. 105.
12Makna nikah secara etimologi tersebut dapat dilihat di dalam
14Terminologi
mīṡāqan ghalīẓan ditemukan dalam tiga ayat, yaitu
QS. Al-Nisā’ [4] ayat 21 tentang kokohnya perjanjian pernikahan, QS. Al-
Nisā’ [4] ayat 154 tentang perjanjian Allah Swt dengan Bani Israil, dan
disebutkan pula di dalam QS. Al-Aḥzāb [33] ayat 7 menyangkut perjanjian
Allah Swt dengan para Rasul-Nya. Secara keseluruhan, makna mīṡāqan
ghalīẓan di ketiga ayat tersebut adalah perjanjian yang kokoh dan kuat,
artinya tidak mudah putus.
15Muhammad Quraish Shihab, Pengantin Alquran: 8 (Delapan) Nasihat
18Ketetapan
rukun nikah di atas memang masih ditemukan beda
pendapat para ulama. Ḥanafiah meyebutkan rukun nikah terdiri dari dua,
yaitu ijab wali perempuan dan kabul dari mempelai laki-laki. Menurut
Mālikiyah, rukun nikah ada lima, yaitu wali dari pihak calon mempelai
perempuan, mahar atau maskawin, calon mempelai laki-laki, calon
mempelai perempuan, sighat akad nikah berupa ijab dari pihak wali
perempuan dan kabul dari laki-laki. Menurut Syāfi’iyah, rukun nikah ada
lima, yaitu sighat akad, calon laki-laki, calon mempelai perempuan, dua
orang saksi, dan wali dari pihak perempuan. Menurut Ḥanabilah, rukun
nikah ada lima, yaitu wali, dua orang saksi, dua orang mempelai laki-laki
dan perempuan, ridha dari kedua pasangan, dan ijab kabul. Mesing-
masing bisa dirujuk dalam Ibn Mas’ūd al-Kāsānī, Badā’i al-Ṣanā’i fī Tartīb
al-Syarā’i, Juz’ 3, (Beirut: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 317: Aḥmad
bin Idrīs al-Qurāfī, al-Żakhīrah, Juz’ 4, (Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī,
1994), hlm. 201: Khaṭīb al-Syarbīnī, Mughnī..., Juz’ 4, hlm. 226: Syarfuddīn
Mūsā al-Ḥujāwī, al-Iqnā’ fī Fiqh al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Juz’ 3, (Beirut:
Dār al-Ma’rifah, t. tp), hlm. 167-168.
19Dāru
Quṭnī, Sunan Dāru Quṭnī, (Pakistan: Dār Islmāmiyyāt, 2015)
hlm. 3066.
20A.Hamid Sarong, Hukum..., hlm. 38.
tercatat (nikah di bawah tangan). Imbas dari nikah tidak dicatat ini
cukup banyak, di antaranya:30
a. Tidak memiliki buku nikah.
b. Mengalami kesulitan mengurus administrasi kependudukan
seperti KTP, KK, dan lainnya.
c. Secara hukum negara, mereka tidak diakui sebagai suami
dan isteri yang sah.
d. Sulit membuat akta kelahiran anak.
e. Anak hanya memiliki hak keperdataan dari pihak isteri saja.
f. Isteri tidak bisa menggunakan hak nafkah iddah, dan hak-
hak lainnya ketika terjadi perceraian dan masih banyak
dampak negatif lainnya.
Selain dampak-dampak tersebut, masih terdapat dampak
lain yang akan dirasakan oleh pasangan nikah, lain lagi dengan
dampak sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Oleh sebab itu,
pernikahan untuk saat ini membutuhkan pengakuan dari negera,
dan pemerintah memiliki wewenang menetapkan aturan-aturan
khusus tentang nikah antar umat muslim di Indonesia. Keharusan
untuk menikah dengan menggunakan jasa penghulu resmi di KUA,
serta mencatatkan nikah pada pegawai pencatat nikah di KUA
merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan
kemaslahatan.
Peristiwa hukum mencatatkan nikah dengan didahului
proses nikah secara resmi, dan dilakukan oleh penghulu resmi ialah
bagian ketetapan maṣlahah. Dalam teori hukum Islam, keharusan
mencatat nikah dan menikah melalui penghulu resmi (bukan kadi
liar) adalah termasuk dalam cakupan maṣlahah mursalah,31 yaitu
kemaslahatan yang dirasakan secara nyata oleh logika manusia,
30Satria
Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemp
orer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hlm. 30 dan 44.
31Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana
32Busyro,
Maqasid Syariah Pengetahuan Mendsar Memahami Maslahah
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019), hlm 157-158: Teori
mashalah di dalam kajian hukum Islam masuk di dalam ranah Ushul Fiqh.
Terdapat tiga bentuk mashlahah, yaitu mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah
yang diakui oleh dalil nash. Kedua mashlahah mulghah yaitu mashlahah yang
ditoleh oleh nash. Ketiga mashlahah mursalah adalah mashlahah yang tidak
diakui dan juga tidak ditolak nash. Dirujuk dalam beberapa literatur, Al
Yasa’ Abubakar, Matode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 39-43: Abu
Yasid, Logika Ushul Fiqh: Interelasi Nalar Wahyu, dan Maqashid al-Syariah,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 105: Lihat juga, Amran Suadi, Abdul
Manan: Ilmuan dan Praktisi Hukum, Kenangan Sebuah Perjuangan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 171.
33Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nazha’ir, Juz 1 (Riyad:
Kesimpulan
Berangkat dari uraian sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
Menikah secara hukum Islam harus memenuhi rukun dan
syarat pernikahan. Keberadaan kedua mempelai, wali dan dua saksi
juga ijab dan kabul menjadi unsur pengesah pernikahan. Selain
rukun nikah, idealnya pernikahan diumumkan kepada khalayak
supaya diketahui oleh masyarakat luas.
Pernikahan dengan menggukan jasa kadi liar ada dua bentuk
yaitu nikah dengan menghadirkan wali nasab dan tidak
menghadirkan wali nasab, tetapi kadi liar menjadi wali bagi pihak
perempuan. Pernikahan menggunakan jasa kadi liar dengan
melibatkan wali nasab dari pihak perempuan, dan terpenuhi rukun
nikah lainnya dianggap sah secara hukum agama, akan tetapi tidak
diakui secara hukum negara sebab tidak dicatatkan. Sementara itu
nikah dengan tanpa wali nasab maka pernikahannya tidak sah
secara agama dan juga negara.
Pernikahan yang tidak dicatatkan karena menggunakan jasa
kadi liar memiliki dampak negatif bagi kedua pasangan. Di
antaranya ialah tidak memiliki buku nikah, mengalami kesulitan
mengurus administrasi kependudukan seperti KTP, KK, dan
lainnya, secara hukum negara, mereka tidak diakui sebagai suami
dan isteri yang sah, sulit membuat akta kelahiran anak, anak hanya
memiliki hak keperdataan dari pihak isteri saja, isteri tidak bisa
menggunakan hak nafkah iddah, dan hak-hak lainnya ketika terjadi
perceraian dan masih banyak dampak negatif lainnya.
Daftar Pustaka
Abduh al-Barraq, Panduan Lengkap Pernikahan Islami, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, t. tp.
Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh dlm Politik Hukum Nasional,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018.