Anda di halaman 1dari 17

KADI LIAR.

NIKAH MENGGUNAKAN JASA KADI


LIAR PERSPEKTIF HUKUM
KELUARGA ISLAM

IMANUDDIN.1
imanuddinalfalah@gmail.com

Pendahuluan
Hukum keluarga merupakan salah satu dimensi hukum yang
paling sering mendapat sorotan di tengah-tengah masyarakat
muslim di Indonesia. Hal ini terjadi karena keluarga merupakan
hukum yang mendasar dan bersifat asasi bagi kehidupan manusia,
di samping itu pembentukan karakter manusia secara utuh dan
dewasa juga dimulai dari sebuah keluarga.
Salah satu tema penting dalam hukum keluarga Islam adalah
pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu hukum yang
mendasar bagi tiap manusia, termasuk hukum yang mendapat porsi
bahasan yang cukup menarik, sejajar dengan dimenasi hukum yang
lainnya seperti muamalah, pidana, maupun politik. Hal tersebut
boleh jadi dipengaruhi oleh karena kedudukan nikah itu sendiri,
yaitu sebagai sebuah peristiwa hukum berupa mempersatukan pria
dengan wanita dalam sebuah ikatan suci dan juga kuat,2 dari

1Pascasarjana
UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
2Pengakuan
Islam terhadap ikatan pernikahan secara prinsip
bukan hanya sekedar kontrak biasa, tetapi bahasa yang digunakan dalam
Alquran adalah mīṡā-qan ghalīẓan, yaitu ikatan yang kokoh, suci, atau kuat
dan tebal. Ini tergambar di dalam QS. Al-Nisā’ [4] ayat 21. Ini menjadi
bukti bahwa ikatan pernikahan bukan ikatan yang main-main, idealnya
tidak mudah rapuh, kusut, apalagi terputus.

1 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

sebelumnya dilarang melakukan interaksi hubungan suami isteri


menjadi dihalalkan sama sekali dan diakui secara agama.
Pernikahan dalam Islam hendaknya diumumkan atau dalam
istilah fikih disebut walimah al-ursy.3 Nikah juga idealnya dilakukan
oleh orang-orang yang memang benar-benar saling mencintai satu
dengan yang lainnya, artinya tidak ada paksaan dari masing-masing
pihak. Mengumumkan pernikahan dianggap penting bahkan agama
menganjurkannya. Ini dilakukan agar peristiwa nikah diketahui
oleh banyak orang. Namun demikian, praktik pernikahan saat ini
banyak yang disembunyikan, bahkan ditemukan adanya praktik
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai hukum agama maupun negara.
Salah satu dari sekian banyak aspek hukum keluarga Islam yang
barangkali masih layak dibicarakan lebih juah ialah nikah dengan
memakai jasa kadi liar.
Pernikahan dengan menggunakan jasa kadi liar cukup relatif
cukup banyak dijumpai di tengah masyarakat kita. Dampak yang
ada juga cukup memprihatinkan, baik kepada istri anak, atau juga
kepada laki-laki yang kapasitasnya sebagai suami. Pernikahan
tersebut jauh dari pemenuhan tujuan pernikahan, yaitu untuk
tenang, bahagia dan saling mencintai, dalam bahasa populer disebut
sakinah, mawaddah dan rahmah (samarah).4

3Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009), hlm. 155.
4Para ulama masih beda pendapat mengenai makna sakīnah,

mawaddah, dan raḥmah. Al-Māwardī di dalam kitab: “Adab al-Dīn wa al-


Dunyā”, disebutkan sikap ulama memahami makna istilah tersebut masih
berbeda. Al-Māwardī sendiri memaknai mawaddah sebagai maḥabbah atau
cinta, dan istilah raḥmah sebagai al-ḥanuwwa wa al-syafaqah atau kasih
sayang. Berbeda dengan makna yanag dibubukan oleh Ḥasan al-Baṣrī,
bahwa istilah mawaddah yaitu al-nikāḥ atau pernikahan. Boleh jadi yang
dimaksudkan Ḥasan al-Baṣrī di sini adalah makna etimologi nikah, yaitu
al-waṭ’u, al-ḍammu, dan al-jam’u, yakni senggama, bersetubuh, berkumpul.
Sebab, melalui hubungan bersenggama, bersetubuh, atau berkumpul,

2 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

Pernikahan dengan menggunakan jasa kadi liar dilakukan


lantaran ada sebab-sebab tertentu, adakalanya pihak laki-laki ingin
beristri lebih dari satu, namun di dalam keadaan yang sama si isteri
tidak menyetujuinya. Ada pula menggunakan jasa kadi liar lantaran
tidak direstui oleh kedua orang tua, sehingga terpaksa melakukan
pernikahan. Meski demikian, praktik nikah secara liar
menggunakan jasa kadi liar ini cenderung meningkat dari waktu ke
waktu. Bahkan payung hukum untuk menjerat pelakunya masih
belum ada. Apabila praktik kadi liar ini masih ada, akan
menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan bagi kedua
pasangan.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka artikel ini
hendak mengulas lebih jauh tentang bagaimana status hukum nikah
dengan menggunakan jasa kadi liar serta dampak dari pernikahan
tersebut bagi para pihak.

Pembahasan
Terminologi Kadi Liar
Term kadi liar tersusun dari dua kata, yaitu kadi dan liar.
Istilah kadi secara bahasa bermakna hakim, terutama yang
mengadili perkara yang bersangkutan-paut dengan agama Islam.5

suami-isteri bisa merasakan cinta yang sifatnya lahiriah. Adapun kata


raḥmah yaitu anak keturunan sebagai hasil dari cinta lahiriah tadi.
Komentar ulama tentang itu dirujuk dalam, Abī al-Ḥasan al-Māwardī,
Adab al-Dīn wa al-Dunyā, (Beirut: Dār al-Minhāj, 2013), hlm. 249:
Bandingkan dengan Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, (t.
terj), Jilid 14, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 39-40: Imām al-
Syaukānī juga mengulas perbedaan pemaknaan term tersebut, termasuk
ia mengutip pendapat Ḥasan al-Baṣrī sebelumnya. Lihat, Imām al-
Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr, (t. terj), Jilid 8, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),
hlm. 669.
5Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,

2008), hlm. 614.

3 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

Istilah kadi pada dasarnya bentuk serapan dari bahasa Arab, yaitu
‫ قَ ِ ي‬artinya hakim.6 Disebut sebagai hakim karena mengharuskan
‫ض‬
orang dan juga memaksakan orang untuk mematuhi hukum.7
Menurut istilah, kadi adalah orang yang diangkat oleh
kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat
menggugat perselisihan di dalam masyarakat.8 Di dalam makna lain,
kadi adalah pejabat yang diserahi wewenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memberikan putusan hukum berdasarkan syariah
Islam atas perkara yang diajukan kepadanya.9 Dengan begitu, kata
kadi dapat dipahami sebagai orang yang ditunjuk sebagai hakim di
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Adapun istilah liar memiliki banyak arti, di antaranya tidak
ada yang memiara, tidak ada yang memilikinya, tidak (belum) jinak,
tidak tenang, buas, ganas, tidak teratur, tidak menurut aturan
hukum, tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yang berwenang,
tanpa izin resmi dari yang berwenang, atau tidak memiliki izin
usaha.10 Dengan begitu, istilah liar dalam pembahasan ini
dimaksudkan tidak ada izin atau tidak resmi sebagaimana diatur di
dalam undang-undang.
Dalam konteks kadi liar, secara sederhana berarti seseorang
yang berprofesi sebagai hakim untuk menyelesaikan permasalahan
hukum yang ada dalam masyarakat, hanya saja kedudukannya tidak
diakui secara hukum, atau tanpa ada izin resmi dari pemerintah

6JaenalAripin, Jejak Langkah peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:


Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 27.
7Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh dlm Politik Hukum Nasional,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 2.


8Rocky Marbun, Kamus Hukum, (Jakarta: Visi Media, 2012), hlm.

262.
9Ahmad
Rofi’ Usmani, Jejak Jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban
Islam dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: Bunyan, 2015), hlm. 286.
10Tim
Redaksi, Kamus..., hlm. 856.

4 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

yang berwenang. Istilah kadi liar pada dasarnya khusus digunakan


untuk orang yang menikahkan satu pasangan secara sirri (rahasia)
dan tidak ada tercatat di Kantor Urusan Agama. Ketentuan
peraturan perundang-undangan telah mengatur sedemikian rupa
namun dalam masyarakat di Aceh masih marak terjadinya
pernikahan pada wali hakim yang bukan ditunjuk Menteri Agama
atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang dalam masyarakat dikenal
dengan kadi liar.11

Konsep Akad Nikah dalam Islam


Nikah secara etimologis dimaknai bersetubuh, bersenggama
(hubungan kelamin), dan akad, dalam istilah Arab biasanya disebut
‫العقد‬, ‫الوطء‬, ‫الضمي‬, dan juga ‫امجلع‬.12 Perngertian klasik tentang nikah dimaknai
sebagai akad yang membolehkan atau menjamin kepemilikan untuk
berhubungan kelamin (hubungan suami isteri), pelaksanaannya
yaitu menggunakan lafaz-lafaz tertentu seperti lafaz inkāḥ ataupun
lafaz tazwīj.13 Sepintas permaknaan nikah semacam ini memberikan
gambaran bahwa nikah hanya sebatas alat ataupun media untuk
dijadikan pengesah hubungan senggama saja.
Lebih jauh akad pernikahan sebenarnya tidak untuk
dijadikan media pemuas nafsu seksula, tetapi ia merupakan lembaga
suci yang oleh Alquran sendiri menamakannya dengan istilah yaitu

11Ratna
Juita, Rusjdi Ali Muhammad, dan Imam Jauhari, Kajian
Yuridis Pernikahan Melalui Kadi Liar: Studi Penelitian di Kabupaten Aceh Besar.
“Syiah Kuala Law Journal: Vol. 1, No. 2, (Agustus, 2017), hlm. 105.
12Makna nikah secara etimologi tersebut dapat dilihat di dalam

beberapa literatur, Wizārāt al-Auqāf, Mawsū’ah al-Fiqhiyyah, Juz 41,


(Kuwait: Wizārāt al-Auqāf, 1995), hlm. 205: Abū Ḥāmid al-Ghazālī, al-
Wasīṭ fī al-Mażhab, Juz’ 5, (Mesir: Dār al-Salām, t.tp). hlm. 3: Dapat pula
dirujuk di dalam, Abduraḥmān al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-Arba’ah,
Juz 4 (Bairut: Dār al-Kutb al-Ilimiyah, 2003), hlm. 8-9.
13Khaṭīb al-Syarbīnī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifah Ma’ānī al-Fāẓ al-

Minhāj, Juz 4, (Beirut: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2000), hlm. 200.

5 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

miṡāqan ghalīẓan14 oleh Quraish Shihab juga Zaitunah Subhan


memaknainya sebagai ikatan yang tebal, suci, kuat, kokoh dan
ikatan yang kasar.15
Untuk mengikat tali nikah agar tetap kokoh dan tidak
mudah rapuh, maka pernikahan idealnya dilakukan dengan usaha
dari masing-masing pasangan, laki laki dan perempuan sebagai
suami isteri untuk menjalankan semua hak dan kewajiban yang
ditetapkan dalam agama. Oleh karena itu, pernikahan kemudian
dimaknai sebagai sebuah ikatan perjanjian di samping memberi
faidah untuk melakukan senggama, juga menjadi media pengikat
timbulnya hak dan kewajiban secara mutual bersama dan saling
tolong menolong.16
Agar akad nikah dipandang legal dalam pendangan Islam
dan sesuai keinginan syariat, maka proses pelaksanaan akad nikah
harus memenuhi unsur-unsur yang disebut rukun dan syarat nikah.
Rukun nikah yang paling umum ada lima:17
a. Adanya laki-laki sebagai calon suami
b. Adanya perempuan sebagai calon isteri

14Terminologi
mīṡāqan ghalīẓan ditemukan dalam tiga ayat, yaitu
QS. Al-Nisā’ [4] ayat 21 tentang kokohnya perjanjian pernikahan, QS. Al-
Nisā’ [4] ayat 154 tentang perjanjian Allah Swt dengan Bani Israil, dan
disebutkan pula di dalam QS. Al-Aḥzāb [33] ayat 7 menyangkut perjanjian
Allah Swt dengan para Rasul-Nya. Secara keseluruhan, makna mīṡāqan
ghalīẓan di ketiga ayat tersebut adalah perjanjian yang kokoh dan kuat,
artinya tidak mudah putus.
15Muhammad Quraish Shihab, Pengantin Alquran: 8 (Delapan) Nasihat

Perkawinan untuk Anak-Anakku, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), hlm. 117:


Lihat juga dalam, Zaitunah Subhan, Alquran dan Perempuan: Menuju
Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2015), hlm. 139.
16Lihat
Muḥammad Abū Zahrah, al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah,
(Madinah: Dār al-Fikr al-‘Arabī, tt), hlm. 17.
17Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3, (Banda

Aceh: Yayasan PeNA, 2010), hlm. 50-63.

6 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

c. Adanya wali dari pihak perempuan


d. Adanya saksi minimal dua orang
e. Ijab kabul18
Kelima unsur tersebut harus ada di dalam proses akad nikah.
Apabila tidak ada pernikahan dipandang batal dan tidak sah. Rukun
pertama dan kedua menunjukkan bahwa agama Islam menekankan
keharusan adanya kedua menpelai yang secara biologis harus
berupa laki-laki yang jelas kelakiannya juga seorang perempuan
yang jelas keperempuanannya. Ini menandakan Islam tidak
mengenai istilah nikah sejenis (homoseksual). Kemudian, wali dari
pihak perempuan juga wajib ada, karena dalam beberapa riwayat
hadis disebutkan pernikahan tanpa wali itu batal demi hukum.
Demikian pula dengan saksi-saksi, ditegaskan di dalam beberapa
riwayat hadis bersamaan dengan pentingnya keberadaan wali:

18Ketetapan
rukun nikah di atas memang masih ditemukan beda
pendapat para ulama. Ḥanafiah meyebutkan rukun nikah terdiri dari dua,
yaitu ijab wali perempuan dan kabul dari mempelai laki-laki. Menurut
Mālikiyah, rukun nikah ada lima, yaitu wali dari pihak calon mempelai
perempuan, mahar atau maskawin, calon mempelai laki-laki, calon
mempelai perempuan, sighat akad nikah berupa ijab dari pihak wali
perempuan dan kabul dari laki-laki. Menurut Syāfi’iyah, rukun nikah ada
lima, yaitu sighat akad, calon laki-laki, calon mempelai perempuan, dua
orang saksi, dan wali dari pihak perempuan. Menurut Ḥanabilah, rukun
nikah ada lima, yaitu wali, dua orang saksi, dua orang mempelai laki-laki
dan perempuan, ridha dari kedua pasangan, dan ijab kabul. Mesing-
masing bisa dirujuk dalam Ibn Mas’ūd al-Kāsānī, Badā’i al-Ṣanā’i fī Tartīb
al-Syarā’i, Juz’ 3, (Beirut: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 317: Aḥmad
bin Idrīs al-Qurāfī, al-Żakhīrah, Juz’ 4, (Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī,
1994), hlm. 201: Khaṭīb al-Syarbīnī, Mughnī..., Juz’ 4, hlm. 226: Syarfuddīn
Mūsā al-Ḥujāwī, al-Iqnā’ fī Fiqh al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Juz’ 3, (Beirut:
Dār al-Ma’rifah, t. tp), hlm. 167-168.

7 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

‫ان َحدَّثَنَا أ َِِب َع ْن ِه َش ِام بْ ِن عحْرَوةَ َع ْن أَبِ ِيه َع ْن‬


ٍ َ‫يد ب ِن ِسن‬
ْ َ ‫َحدَّثَنَا حُمَ َّم حد بْ حن يَِز‬
ِ ِ ِ َ ‫ ََل نِ َك‬:‫صلَّى هللاح َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ال رس ح‬ ِ
‫اح إَلَّ ب َو ٍي‬
‫ل‬ َ ‫ول هللا‬ ‫ت قَ َ َ ح‬ ْ َ‫َعائ َشةَ قَال‬
19 ٍ
.‫اه َد ْي َع ْدل‬ ِ ‫و َش‬
َ
Telan mencerikatan kepada kami Abu Zarr Ahmad bin
Muhammad bin Abi Bakr, bercerita kepada kami Ahmad bin
Husain bin ‘Abbad al-Nasa’i, telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari
Hisyam bin ’Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah: ‘Aisyah
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada nikah
tanpa wali dan dua saksi yang adil. (HR. Daruqutni).
Hadis di atas menjadi dasar legalitas wali dan sanksi dalam
akad nikah. Tidak hanya itu, akad pernikahan yang diinginkan oleh
syariat harus memenuhi prinsip-prinsip pernikahan. Di antara
prinsip nikah dalam Islam adalah pemilihan jodoh yang tepat,
perkawinan didahului dengan peminangan, ada ketentuan larangan
menikah bagi laki-laki dan perempuan, dilakukan atas dasar suka
sama suka, ada persaksian, tidak ditentukan pada waktu tertentu,
kewajiban mahar dibebakan kepada laki-laki, kebebasan
mengajukan syarat, tanggung jawab pemimpin keluarga dipegang
oleh suami, ada kewajiban agar keduanya bergaul secara baik, dan
ada anjuran untuk mengumumkan peristiwa peristiwa nikah.20
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, diketahui bahwa nikah
di dalam hukum Islam bukanlah peristiwa yang harus ditutup-
tutupi. Nikah idealnya dilakukan secara terbuka, diumumkan
kepada para masyarakat sebagaimana salah satu riwayat Muslim
dari Yaḥyā bin Yaḥyā dari Anas bin Malik, bahwasannya Nabi Saw
melihat bekas kuning pada Abdurrahman bin Auf, maka beliau
bertanya kepadanya tentang itu, dan dijawab bahwa Abdurrahman

19Dāru
Quṭnī, Sunan Dāru Quṭnī, (Pakistan: Dār Islmāmiyyāt, 2015)
hlm. 3066.
20A.Hamid Sarong, Hukum..., hlm. 38.

8 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

bin Auf baru menikah dengan seorang wanita dengan maskawin


seberat biji kurma. Lalu beliau bersabda: “)‫ي(رواهيمسمل‬.‫يَليأَ ْو ِل ْم َيولَ ْويبِشَ اةي‬ ُ ‫”قَا َليفَ َب َاركَ ه‬,21
َ َ ‫ياَّلل‬
artinya: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Semoga Allah
memberkati perkawinanmu, adakanlah walimah walaupun hanya dengan
seekor kambing.
Terhadap seruan mengumumkan akad nikah tersebut, ulama
memandang walimah adalah perkara yang baik.22 Intinya para ulama
memandang pelaksanaan walīmah al-‘urs adalah bagian dari ibadah
kepada Allah Saw dan bukti kecintaan kepada Rasulullah Saw.23
Keterangan serupa juga dijelaskan oleh al-Barraq,24 Khan,25 Shidiq
dan Mufid, bahwa walīmah al-‘urs bagian dari ibadah, disyariatkan
dalam Islam.26 Penegasan bahwa walīmah al-‘urs sebagai suatu ibadah
dan juga disyariatkan dalam Islam di sini bertujuan untuk memberi
pemahaman tentang eksistensi pesta nikah menjadi bagian hukum
yang diatur dalam syariat Islam.
Melalui keterangan di atas, dapat dipahami bahwa akad
nikah dalam Islam tidaklah dilaksanakan secara sepampangan,

al-Ḥusain Muslim al-Ḥajjaj al-Qusyairī, Ṣaḥīḥ Muslim,


21Abū

(Riyadh: Dār al-Salām, 2000), hlm. 599.


22
Ibn Ḥazm al-Andalusī, Marātib al-Ijmā’ fī al-‘Ibādāt wa al-
Mu’āmalāt wa al-I’tiqādāt, (Bairut: Dar Ibn Hazm, 1998), hlm. 118.
23Zulkifli, dkk., Spirit Islam Kaffah, (Tp: Erye Art, 2019), hlm. 126.

24Abduh al-Barraq, Panduan Lengkap Pernikahan Islami, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, t. tp), hlm. 132.


25Muhammad Shidiq Hasan Khan, Ensiklopedia Hadis Sahih:

Kumpulan Hadis tentang Wanita, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 208.


dan Mufid menyatakan tingkat syariat walīmah al-‘urs
26Shidiq

adalah termasuk bagian taḥīniyyah, yaitu sesuatu yang sifatnya tersier.


Lihat dalam, Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2017), hlm. 229: Lihat juga, Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi
dan Keuangan Kontemporer dari Teori ke Aplikasi, Cet. 2, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2018), hlm. 174.

9 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

tetapi harus memenuhi rukun-rukun dan syarat nikah, memenuhi


prinsip-prinsip umum seperti harus dilakukan antara orang-orang
yang layak untuk menikah, saling suka tanpa ada paksaan, dan
harus diumumkan pada masyarakat luas, supaya masyarakat
mengetahuinya dan mendoakan kedua pasangan itu. Dengan begitu,
tidak ada istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan, apalagi
menggunakan jasa-jasa kadi liar yang tidak bertanggung jawab.

Status Nikah Menggunakan Jasa Kadi Liar dan Dampaknya


Terhadap Pasangan
Terdahulu telah disinggung bahwa kadi liar merupakan
orang yang menikahkan satu atau beberapa pasangan secara liar.
Dikatakan liar karena statusnya tidak diakui secara resmi oleh
hukum. Praktik nikah menggunakan jasa kadi liar cukup banyak
ditemukan dalam masyarakat kita. Nikah dengan menggunakan jasa
kadi liar biasa terjadi karena beberapa hal, di antaranya keinginan
dari pihak suami untuk berpoligami, namun tidak disetujui oleh
isteri pertamanya atau isteri-isterinya secara resmi. Praktik tersebut
bisa saja terjadi karena kedua pasangan yang sudah memiliki ikatan
cinta, akan tetapi tidak direstui oleh kedua orang tuanya, sehingga
keduanya menggunakan jasa kadi liar.
Dahulu, istilah kadi liar belum muncul bahkan penggunaan
istilah tersebut baru semarak digunakan belakangan. Bahkan, boleh
dikatakan lebih dulu muncul istilah-istilah nikah siiri atau nikah di
bawah tangan dari pada kadi liar yang notabene keduanya berada
dalam satu rangkaian peristiwa hukum. Penyebutan kadi liar
sendiri hadir seiring dengan banyaknya praktik nikah yang tidak
dicatat secara resmi di Kantor Urusan Agama setempat.27 Karena
praktik nikah tidak tercatat atau tidak resmi itu semakin banyak
dan tidak terkontrol adanya di lapangan, maka muncul istilah kadi

27Diakses melalui: https:/aceh.kemenag.go.id/berita/499655/kanw

il-kemenag-aceh-dan-mpu-bahas-kadi-liar, tanggal 28 Maret 2020.

10 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

liar untuk memposisikan pihak yang menikahkan secara liar itu


pada posisi yang tersudutkan, dengan harapan tidak ada lagi pihak
lain yang ingin menjadi kadi liar.
Ada dua bentuk pernikahan yang menggunakan jasa kadi
liar yang terjadi dalam masyarakat, yaitu pernikahan yang dihadiri
wali nasab dari pihak perempuan yang dinikahkan.28 Status hukum
nikah menggunakah jasa kadi liar ini oleh ulama saat sekarang ini
memang masih didialogkan secara intensif. Perspektif yang
diangkat pada umumnya ialah sejauhmana pernikahan dengan kadi
liar tersebut memenuhi rukun dan syarat-syarat nikah. Yang
menjadi patokan di dalam praktik nikah secara hukum Islam adalah
bukan pada tempat pelaksanaannya melainkan kepada cara
pelaksaannya. Baik di KUA, masjid, maupun di rumah dan sekalipun
dilakukan secara terbuka namun apabila cacat rukun dan syarat
tetap tidak sah. Sebaliknya apabila dilakukan secara diam-diam
sekalipun, jika memenuhi syarat dan ketentuan, serta rukun nikah
tetap dianggap sah.29
Hanya saja, kelemahan dari menikah menggunakan jasa kadi
liar ini adalah pada dampak nikah tersebut terhadap pasangan.
Nikah menggunakan kadi liar dengan memenuhi syarat dan rukun
nikah hendaknya dilaporkan kembali kepada pihak pencatat nikah
di KUA tempat pasangan tersebut menikah.
Sayangnya, yang sering terjadi sekarang ini ialah pernikahan
tersebut justru tidak dilaporkan pada pihak pencatat resmi seperti
KUA. Dampaknya justru akan merugikan bagi kedua pasangan.
Status nikah mereka adalah nikah sirri, atau nikah yang tidak

28Ratna Juita, Rusjdi Ali Muhammad, dan Imam Jauhari, Kajian...,


hlm. 105-106.
29Dikemukakan oleh Gazali Mohd Syam, selaku wakil ketua MPU

Aceh. diakses melalui: https:/mpu.acehprov.go.id/index.php/news/read/2


014/04/15/4/kadi-liar-berpotensi-timbulkan-masalah.html, tanggal 28
Maret 2020.

11 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

tercatat (nikah di bawah tangan). Imbas dari nikah tidak dicatat ini
cukup banyak, di antaranya:30
a. Tidak memiliki buku nikah.
b. Mengalami kesulitan mengurus administrasi kependudukan
seperti KTP, KK, dan lainnya.
c. Secara hukum negara, mereka tidak diakui sebagai suami
dan isteri yang sah.
d. Sulit membuat akta kelahiran anak.
e. Anak hanya memiliki hak keperdataan dari pihak isteri saja.
f. Isteri tidak bisa menggunakan hak nafkah iddah, dan hak-
hak lainnya ketika terjadi perceraian dan masih banyak
dampak negatif lainnya.
Selain dampak-dampak tersebut, masih terdapat dampak
lain yang akan dirasakan oleh pasangan nikah, lain lagi dengan
dampak sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Oleh sebab itu,
pernikahan untuk saat ini membutuhkan pengakuan dari negera,
dan pemerintah memiliki wewenang menetapkan aturan-aturan
khusus tentang nikah antar umat muslim di Indonesia. Keharusan
untuk menikah dengan menggunakan jasa penghulu resmi di KUA,
serta mencatatkan nikah pada pegawai pencatat nikah di KUA
merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan
kemaslahatan.
Peristiwa hukum mencatatkan nikah dengan didahului
proses nikah secara resmi, dan dilakukan oleh penghulu resmi ialah
bagian ketetapan maṣlahah. Dalam teori hukum Islam, keharusan
mencatat nikah dan menikah melalui penghulu resmi (bukan kadi
liar) adalah termasuk dalam cakupan maṣlahah mursalah,31 yaitu
kemaslahatan yang dirasakan secara nyata oleh logika manusia,

30Satria
Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemp
orer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hlm. 30 dan 44.
31Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2017), hlm. 236.

12 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

namun tidak ada satu dalil pun yang menganjurkannya baik di


dalam Alquran maupun dalam hadis, apalagi nash yang
menolaknya.32 Dengan begitu, nikah melalui kadi liar tidak selaras
dengan tujuan-tujuan kemaslahatan tersebut.
Di dalam salah satu kaidah fikih disebutkan bahwa
kebijakan hakim atau pemimpin secara keseluruhan harus
mempertimbangkan sisi-sisi maṣlahah.
‫ ي‬33‫ي‬.‫يالر ِع َي ِةي َمنُ ْوط ِيِبلْ ْمصلَ َح ِة‬ ْ ‫ََص َف‬
ُّ ‫ياْل َما ُميعَ ََل‬ ُّ َ ‫ت‬
ِ
Kebijakan pemerintah (imam) terhadap rakyatnya dibangun
dengan pertimbangan kemaslahatan.
Mengikuti kaidah di atas, dapat diketahui bahwa kebijakan
pemerintah agar pernikahan dicatatkan secara resmi dan dilakukan
oleh penghulu resmi adalah bagian dari upaya menyerap mashlahat.
Sebaliknya, pernikahan yang dilakukan dengan menggunakan jasa
kadi liar dan juga tidak dicatatkan tentu memiliki sisi negatif, dapat
merugikan bagi kedua pasangan bahkan anak yang dilahirkan.

32Busyro,
Maqasid Syariah Pengetahuan Mendsar Memahami Maslahah
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019), hlm 157-158: Teori
mashalah di dalam kajian hukum Islam masuk di dalam ranah Ushul Fiqh.
Terdapat tiga bentuk mashlahah, yaitu mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah
yang diakui oleh dalil nash. Kedua mashlahah mulghah yaitu mashlahah yang
ditoleh oleh nash. Ketiga mashlahah mursalah adalah mashlahah yang tidak
diakui dan juga tidak ditolak nash. Dirujuk dalam beberapa literatur, Al
Yasa’ Abubakar, Matode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 39-43: Abu
Yasid, Logika Ushul Fiqh: Interelasi Nalar Wahyu, dan Maqashid al-Syariah,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 105: Lihat juga, Amran Suadi, Abdul
Manan: Ilmuan dan Praktisi Hukum, Kenangan Sebuah Perjuangan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 171.
33Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nazha’ir, Juz 1 (Riyad:

Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’ūdiyyah, 1997), hlm. 202.

13 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

Kesimpulan
Berangkat dari uraian sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
Menikah secara hukum Islam harus memenuhi rukun dan
syarat pernikahan. Keberadaan kedua mempelai, wali dan dua saksi
juga ijab dan kabul menjadi unsur pengesah pernikahan. Selain
rukun nikah, idealnya pernikahan diumumkan kepada khalayak
supaya diketahui oleh masyarakat luas.
Pernikahan dengan menggukan jasa kadi liar ada dua bentuk
yaitu nikah dengan menghadirkan wali nasab dan tidak
menghadirkan wali nasab, tetapi kadi liar menjadi wali bagi pihak
perempuan. Pernikahan menggunakan jasa kadi liar dengan
melibatkan wali nasab dari pihak perempuan, dan terpenuhi rukun
nikah lainnya dianggap sah secara hukum agama, akan tetapi tidak
diakui secara hukum negara sebab tidak dicatatkan. Sementara itu
nikah dengan tanpa wali nasab maka pernikahannya tidak sah
secara agama dan juga negara.
Pernikahan yang tidak dicatatkan karena menggunakan jasa
kadi liar memiliki dampak negatif bagi kedua pasangan. Di
antaranya ialah tidak memiliki buku nikah, mengalami kesulitan
mengurus administrasi kependudukan seperti KTP, KK, dan
lainnya, secara hukum negara, mereka tidak diakui sebagai suami
dan isteri yang sah, sulit membuat akta kelahiran anak, anak hanya
memiliki hak keperdataan dari pihak isteri saja, isteri tidak bisa
menggunakan hak nafkah iddah, dan hak-hak lainnya ketika terjadi
perceraian dan masih banyak dampak negatif lainnya.

Daftar Pustaka
Abduh al-Barraq, Panduan Lengkap Pernikahan Islami, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, t. tp.
Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh dlm Politik Hukum Nasional,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018.

14 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

______, Pembaruan Hukum Islam Indonesia Jakarta: Kencana Prenada


Media Group, 2017.
Abduraḥmān al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-Arba’ah, Juz 4 Bairut:
Dār al-Kutb al-Ilimiyah, 2003.
Abī al-Ḥasan al-Māwardī, Adab al-Dīn wa al-Dunyā, Beirut: Dār al-
Minhāj, 2013.
Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, t. terj, Jilid 14,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Abū al-Ḥusain Muslim al-Ḥajjaj al-Qusyairī, Ṣaḥīḥ Muslim, Riyadh:
Dār al-Salām, 2000.
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, al-Wasīṭ fī al-Mażhab, Juz’ 5, Mesir: Dār al-
Salām, t.tp.
Abu Yasid, Logika Usul Fiqh Interelasi Nalar Wahyu dan Maqashid al-
Syariah, Yogyakarta: IRCiSoD, 2019.
Aḥmad bin Idrīs al-Qurāfī, al-Żakhīrah, Juz’ 4, Beirut: Dār al-Gharb
al-Islāmī, 1994.
Ahmad Rofi’ Usmani, Jejak Jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban
Islam dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Bunyan, 2015.
Al Yasa’ Abubakar, Matode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengeta huan
dalam Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2016.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. 4, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009.
Amran Suadi, Abdul Manan: Ilmuan dan Praktisi Hukum, Kenangan Sebuah
Perjuangan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2016.
Busyro, Maqasid Syariah Pengetahuan Mendsar Memahami Maslahah
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019.
Dāru Quṭnī, Sunan Dāru Quṭnī, Pakistan: Dār Islmāmiyyāt, 2015.

15 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3, Banda


Aceh: Yayasan PeNA, 2010.
Ibn Ḥazm al-Andalusī, Marātib al-Ijmā’ fī al-‘Ibādāt wa al-Mu’āmalāt wa
al-I’tiqādāt, Bairut: Dar Ibn Hazm, 1998.
Ibn Mas’ūd al-Kāsānī, Badā’i al-Ṣanā’i fī Tartīb al-Syarā’i, Juz’ 3, Beirut:
Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2003.
Imām al-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr, t. terj, Jilid 8, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009.
Jaenal Aripin, Jejak Langkah peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013.
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, Juz’ 1, Riyad:
Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’ūdiyyah, 1997.
Khaṭīb al-Syarbīnī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifah Ma’ānī al-Fāẓ al-
Minhāj, Juz 4, Beirut: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2000.
M. Quraish Shihab, Pengantin Alquran: Delapan Nasihat Perkawin an
untuk Anak-Anakku, Tangerang: Lentera Hati, 2015.
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer dari Teori ke
Aplikasi, Cet. 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2018.
Muḥammad Abū Zahrah, al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah, Madinah: Dār al-
Fikr al-‘Arabī, tt.
Muhammad Shidiq, Ensiklopedia Hadis Sahih: Kumpulan Hadis tentang
Wanita, Jakarta: Hikmah, 2009.
Muhammad Zain, dan Mukhtar al-Shodiq, Membangun Keluarga
Humanis; Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang
Kontroversial Itu, Jakarta: Graha Cipta, 2005.
Ratna Juita, Rusjdi Ali Muhammad, dan Imam Jauhari, Kajian Yuridis
Pernikahan Melalui Kadi Liar: Studi Penelitian di Kabupaten Aceh
Besar. “Syiah Kuala Law Journal: Vol. 1, No. 2, Agustus, 2017.
Rocky Marbun, Kamus Hukum, Jakarta: Visi Media, 2012.

16 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.


KADI LIAR.

Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,


2017.
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004.
Syarfuddīn Mūsā al-Ḥujāwī, al-Iqnā’ fī Fiqh al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal,
Juz’ 3, Beirut: Dār al-Ma’rifah, t. tp.
Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Wizārāt al-Auqāf, Mawsū’ah al-Fiqhiyyah, Juz 41, Kuwait: Wizārāt
al-Auqāf, 1995.
Zaitunah Subhan, Alquran dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender
dalam Penafsiran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2015.
Zulkifli, dkk., Spirit Islam Kaffah, Tp: Erye Art, 2019.

17 Jurnal: Waqfeya, Vol. 3, No. 3. 2019.

Anda mungkin juga menyukai