Anda di halaman 1dari 27

MAṢLAḤAH MURSALAH

Mata Kuliah: Ushul Fiqih

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Mukhsin Nyak Umar, MA

Disusun Oleh:

IMANUDDIN
Mahasiswa Program Pascasarjana
Program Studi Hukum Keluarga

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY


DARUSSALAM-BANDA ACEH
2020 M/1441 H

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat dan


hidayahnya untuk kita semua, sehingga masih diberikan kesehatan
dan juga kesempatan untuk dapat menikmati indahnya ajaran-ajaran
Islam. Terkhusus, pujian penulis haturkan kepada Allah Swt, dengan
inayahnya penulis mampu menyelesaikan penyusunan makalah ini
dengan judul: “Maṣlaḥah Mursalah”. Selanjutnya, shalawat beriring
salam, penulis haturkan ke pangkuan Nabi Muhammad Saw karena
berkat perjuangan beliau lah, ajaran agama Islam telah dapat tersebar
keseluruh pelosok dunia, juga mengantarkan manusia dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga pada Bapak Prof.
Dr. H. Mukhsin Nyak Umar, MA, sebagai dosen pembimbing pada
mata kuliah Ushul Fiqih, telah banyak memberikan arahan dan juga
kesempatan kepada penulis untuk mengulas sedikit permasalahan
yang ditugaskan kepada penulis secara khusus dan pada rekan-rekan
mata kuliah Hukum Keluarga secara umum.
Tulisan ini boleh jadi terdapat kesalahan baik dari sisi tulisan
maupun sisi, sehingga penulis mengharapkan kritikan dan saran dari
semua pihak agar penulis lebih baik lagi di masa yang akan datang,
dan tulisan ini dapat berguna kepada semua pihak, terutama pembaca
dari kalangan akademisi, praktisi hukum dan masyarakat umumnya.
Besar harapan penulis semoga makalah ini dapat memberi manfaat
bagi pembaca, sehingga dapat menambah pengetahuan terkait tema
yang dibahas dalam makalah ini.

Banda Aceh, 11 April 2020


Penyusun

IMANUDDIN

2
DAFTAR ISI

Halaman

COVER ...................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................... 2
DAFTAR ISI .............................................................................. 3

BAB I: PENDAHULUAN ..................................................... 4


A. Latar Belakang Masalah......................................... 4
B. Rumusan Masalah .................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ................................................. 5
E. Sistematika Pembahasan ........................................ 6

BAB II: KONSEP MAṢLAḤAH MURSALAH DALAM


ILMU USHUL FIQH
A. Terminologi Maṣlaḥah Mursalah .......................... 7
B. Dasar Hukum Keberadaan Maṣlaḥah Mursalah
Sebagai Dalil Hukum ............................................. 12
C. Pendapat Ulama Tentang Kedudukan Maṣlaḥah
Mursalah Sebagai Dalil Hukum Islam................... 15
D. Aktualisasi Konsep Maṣlaḥah Mursalah dalam
Kasus Kasus Kontemporer ..................................... 19

BAB III: PENUTUP ................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 25

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pembahasan maṣlaḥah mursalah barangkali bukan menjadi
tema asing bagi pemerhati hukum Islam. Tema maṣlaḥah mursalah
biasanya ditempatkan pada posisi yang cukup penting, khususnya di
dalam kajian dalil-dalil hukum Islam.1 ulasannya sejajar dengan
tema al-adah, istiḥsan, istishab, dan dalil-dalil hukum Islam yang
lainnya. Begitu pentingnya kajian ini, para yuris Islam baik klasik
maupun kontemporer selalu berusaha untuk mengenbangkannya
semaksimal mungkin, agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan
hukum Islam di masa sekarang ini.
Dalam kajian Ushul Fiqih, teori maṣlaḥah mursalah tersebut
induknya pada konsep maṣlaḥah sebagai tujuan syariat yaitu melihat
pada ada tidaknya aspek kemanfaatan, kebaikan atau kemaslahatan.2
Dilihat dari sisi kedekatannya dengan nash, maṣlaḥah dibedakan lagi
menjadi tiga jenis, yaitu maṣlaḥah mu’tabarah (jenis maṣlaḥah yang
diakui oleh nash), maṣlaḥah mulghah (maṣlaḥah yang ditolak oleh
nash), dan maṣlaḥah mursalah (maṣlaḥah yang tidak diakui maupun
tidak ditolak oleh nash).3
Hanya saja, di dalam tulisan ini, tidak diarahkan pada bentuk
maṣlaḥah mursalah dari sisi kedekatannya dengan nash, akan tetapi
diarahkan pada maṣlaḥah mursalah sebagai dalil atau sumber hukum

1
Alī Ḥasballāh, Abū Zahrah, dan banyak ahli lainnya menempatkan tema
maṣlaḥah mursalah ini berdampingan dengan tema al-‘adah, qiyas, istiḥsan, dan
istishab. Masing-masing liaht dalam Alī Ḥasballāh, Uṣūl al-Tasyrī’ Islāmī, (Mesir
Dār al-Ma’ārif, 1976), hlm. 169: Lihat juga dalam, Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl
al-Fiqh, (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1958), hlm. 277.
2
Abu Yasid, Logika Ushul Fiqih: Interelasi Nalar, Wahyu, dan Maqashid
al-Syariah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 105.
3
Tiga bentuk maṣlaḥah tersebut dapat dirujuk dalam, Al Yasa’ Abubakar,
Matode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 39: Lihat juga dalam Amran Suadi,
Abdul Manan: Ilmuan & Praktisi Hukum, Kenangan Sebuah Perjuangan (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 171.

4
Islam. Dalam konteks ini, terdapat banyak komentar ulama, ada yang
tidak setuju ada pula yang menolaknya. Pada intinya, ulama masih
belum padu (tidak sepakat) dalam menyikapi keberadaan maṣlaḥah
mursalah sebagai dalil hukum Islam. Untuk lebih jauh, permaslahan
ini akan dikemukakan lebih jauh dalam bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, terdapat
beberapa persoalan yang hendak didalami dalam tulisan ini, dengan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pendangan ulama mengenai kedudukan maṣlaḥah
mursalah sebagai dalil hukum Islam?
2. Bagaimana aktualisasi konsep maṣlaḥah mursalah dalam kasus-
kasus kontemporer?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebelumnya, maka tulisan ini
dikaji dengan tujuan sebagai beirkut:
1. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang kedudukan maṣlaḥah
mursalah sebagai dalil hukum Islam.
2. Untuk mengetahui aktualisasi konsep maṣlaḥah mursalah dalam
kasus kasus kontemporer.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini ada dua bentuk, yaitu manfaat
praktis dan manfaat akademis, yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
Bagi penulis, manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa
seluruh tahapan penelitian serta hasil penelitian yang diperoleh dapat
memperluas wawasan dan memperoleh pengetahuan menyangkut
penerapan fungsi Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih pada Program Studi
Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Ar-Raniry yang didapat selama
mengikuti kegiatan perkuliahan. Bagi pihak-pihak berkepentingan
dengan hasil penelitian, penulis berharap manfaat hasil kajian tulisan

5
ini dapat diterima semuanya sebagai kontribusi untuk meningkatkan
pengetahuan dalam Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.
2. Manfaat Akademis
Manfaat akademis yang diharapkan bahwa hasil kajian ini
dapat dijadikan rujukan bagi upaya pengembangan ilmu Fiqih dan
Ushul Fiqih, berguna juga untuk menjadi referensi bagi mahasiswa
yang melakukan kajian terkait dengan tulisan ini.

E. Sistematika Pembahasan
Tulisan ini disusun atas tiga bab, dan masing-masing diulas
dalam beberapa sub bab sebagaimana dapat diulas berikut ini:
Bab satu merupakan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan terkahir
sistematika pembahasan.
Bab dua merupakan pembahasan tentang konsep maṣlaḥah
mursalah dalam ilmu ushul fiqh. Bab ini disusun dengan sub bab
yaitu terminologi maṣlaḥah mursalah, dasar hukum keberadaan
maṣlaḥah mursalah sebagai dalil hukum dan pendapat ulama tentang
kedudukan maṣlaḥah mursalah sebagai dalil hukum Islam, serta
aktualisasi konsep maṣlaḥah mursalah untuk diterapkan di dalam
kasus-kasus kontemporer.
Bab tiga merupakan penutup di dalamnya dikemukakan poin
kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.

6
BAB II
KONSEP MAṢLAḤAH MURSALAH DALAM
ILMU USHUL FIQH

A. Terminologi Maṣlaḥah Mursalah


Ietilah maṣlaḥah mursalah tersusun dari dua kata, maṣlaḥah
dan mursalah. Secara etimologi, maṣlaḥah atau di dalam istilah Atab
ditulis “‫”املصلحة‬, berasal dari kata ṣalaḥa “‫”صلح‬, yaṣliḥu “‫”يصلح‬, ṣalḥan
“‫”صلحا‬, ṣāluḥun wa maṣlūḥun “‫”صاحل و مصلوح‬, artinya baik, bermanfaat,
dan kebaikan.4 Kata maṣlaḥah merupakan bentuk mashdar arti kata
ṣalāḥ, yaitu manfaat, atau terlepas dari kerusakan bisa juga berarti
perbuatan-perbuatan yang mendorong pada kebaikan.5
Definisi maṣlaḥah mudah ditemukan dalam banyak literatur
Ushul Fiqh. Secara umum, ulama pakar Ushul Fiqh menamakannya
maṣlaḥah sebagai kebaikan dan kemanfaatan.6 Al-Būṭī menyebutkan
maṣlaḥah identik dengan kemanfaatan, apa-apa yang mendatangkan
kemanfaatan itu.7 Fakhr al-Rāzī sebagaimana dikutip oleh al-Raisūnī
menyatakan maṣlaḥah tidak diartikan kecuali kesenangan, kelezatan
dan kenikmatan atau apapun yang mengantarkan kepadanya. Bagi
al-Raisūnī sendiri, pemaknaan tersebut sangat jelas dan mudan untuk
dipahami.8 Dengan begitu, kata maṣlaḥah selalu diarahkan pada arti
kebaikan, kemanfaatan, kesenangan, keberuntungan, dan lainnya.
Terma maṣlaḥah kemudian diserap dalam bahasa Indonesia,
yaitu maslahat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dinyatakan
bahwa maslahat berarti sebagai suatu yang mendatangkan kebaikan

4
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Wadzurya, 1989),
hlm. 301. Dimuat juga dalam Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, cet. 4, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 148.
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Cet. 6, Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011), hlm. 345.
6
Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl..., hlm. 229.
7
Muḥammad Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Syarī’ah
al-Islāmiyyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1973), hlm. 23.
8
Aḥmad al-Raisūnī, Muḥāḍarāt fī Maqāṣid al-Syarī’ah, (Kairo: Dar al-
Kalimah, 2014), hlm. 127.

7
(keselamatan dan sebagainya), faedah, dan berguna.9 Makna tersebut
cenderung dipakai juga untuk seluruh upaya mewujudkan kebaikan,
kefaedahan, maupun sesuatu yang menjadikan sesuatu lebih berguna
dan bermanfaat.
Menurut terminologi, terdapat ragam definisi dikemukakan
oleh para ulama. Di antara definisi yang paling umum sebagaimana
disebutkan al-Ghazālī, bahwa maṣlaḥah adalah upaya mewujudkan
dan mengambil manfaat dan menolak mudarat. Hal ini sebagaimana
dapat dipahami dalam kutipan berikut:
10
.‫مضرة‬
ّ ‫أما املصلحة فهي عبارة يف األصل عن جلب منفعة أو دفع‬
Adapun maṣlaḥah pada asalnya adalah mengambil manfaat
dan menolak mudarat.11
Definisi di atas juga diulas oleh beberapa ahli lainnya, seperti
Yūsuf al-Qaraḍāwī. Menurutnya, pada tataran yang lebih luas, maka
apapun yang mengarah pada usaha, upaya perbuatan menghindari
kemudaratan dan kerusakan disebut dengan maslahah, dan apapun
yang dapat mengejawantahkan kemanfaatan, itu adalah bagian dari
makna maṣlaḥah.12 Demikian pula dikemukakan Abdul Manan dan
Al Yasa’ Abubakar, bahwa maṣlaḥah ialah mengambil manfaat dan
menolak mudarat.13
Menurut al-Khawārizmī sebagaimana diulas Muḥammad Alī
bahwa yang dimaksud dengan maṣlaḥah juga sama dengan definisi
sebelumnya. Intinya, maṣlaḥah ialah menjaga tujuan syara’ ataupun

9
Tim Pustaka Phonix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet 3 Edisi Kedua
(Jakarta: Pustaka Phoenix, 2009), hlm. 399.
10
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, (Kairo: Sidrah al-
Muntahā, 2009), hlm. 328.
11
Definisi tersebut diulas juga oleh al-Raisūnī. Lihat, Aḥmad al-Raisūnī,
Naẓariyyah al-Maqāṣid ‘inda al-Imām al-Syāṭibī, (Firginia: al-Ma’had al-‘Ᾱlamī
li al-Fikr al-Islāmī, 1995), hlm. 256.
12
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Pengantar Politik Islam (Terj: Fuad Syaifudin Nur)
Cet 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2019), hlm. 109-110.
13
Abdul Manan, Penbaruan Hukum Islam di Indoensia (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2017), hlm. 173-176: Lihat juga dalam Al Yasa’ Abubakar,
Metode Istislahiah..., hlm. 35-37.

8
disebut maqāṣid al-syarī’ah,14 dengan menolak seluruh kerusakan
dan kemudaratan:
15
.‫هي احملافظة على مقصود الشرع بدفع املفاسد عن اخللق‬
Maṣlaḥah merupakan menjaga tujuan syar’ dengan menolak
kerusakan kerusakan dari suatu ciptaan.
Menurut Firdaus, maṣlaḥah ialah segala yang mendatangkan
manfaat, baik melalui cara mengambil satu tindakan ataupun dengan
menolak dan menghindarkan segala sesuatu yang menimbulkan hal

14
Tujuan syariat atau maqāṣid al-syarī’ah untuk mewujudkan kebaikan
dan kemaslahatan bagi manusia. Para ulama banyak mengulas masalah itu dengan
cukup baik. Al-Syāṭibī, selaku pemerhati sekaligus ulama yang concern mengupas
teori maqāṣid syarī’ah menyatakan ketetapan hukum syariat dikembalikan pada
kemaslahatan hamba. Menurut Abū Zahrah dalam kitabnya Uṣūl Fiqh menyatakan
datangnya syariat Islam ditetapkan sebagai rahmat bagi manusia. Pada kesempatan
yang lain, al-Khallāf juga menyatakan bahwa: ‫أ ّن املقصد العام الشارع من تشريع األحكام هو حتقيق‬
‫مصاحل الناس يف هذه احلياة‬, artinya: “tujuan umum syāri’ (Allah) di dalam mensyariatkan
hukum-hukum yaitu adalah untuk menetapkan kemaslahatan bagi manusia di
dalam kehidupan ini”. Demikian pula didinggung oleh Rāghib al-Sirjānī bahwa
Islam datang untuk menghadirkan keseimbangan hak dan kewajiban antara pribadi
dan masyarakat. tujuannya ialah agar terwujudnya keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kemaslahatan umat. Masing-masing dapat dilihat dalam,
Abū Isḥāq al- Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, (Beirut: Dār al-Kutb al-
‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 220: Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh..., hlm. 364:
Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Uṣūl Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-
Islāmiyyah, 1947), hlm. 198: Rāghib al-Sirjānī, Sumbangan Peradaban Islam
pada Dunia, (Terj: Sonif, dkk), (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), hlm. 63.
Dalam sejarah pekembangan kajian maqāṣid al-syar’iyyah, sebetulnya
al-Syāṭibī (w. 790) bukanlah peletak dasar dari kajian tersebut. Banyak ulama lain
yang lebih dulu bicara tentang teori “maṣlaḥah” sebagai maqāṣid ditetapkannya
seluruh hukum kepada umat muslim. Ulama yang lebih awal mengkaji masalah
tersebut seperti Imām al-Juwainī (w. 438), al-Ghazālī (murid al-Juwainī, w. 505),
Izz al-Dīn bin ‘Abd al-Salām (w. 660), al-Qarafī (w. 684), Najm al-Dīn al-Ṭūfī,
(w. 716), dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751). Namun demikian, puncak dari
perkembangan penggunaan maṣlaḥah dan kajian tentang tujuan (maqāṣid) hukum
atau tujuan ditetapkannya hukum Islam justru dilakukan oleh al-Syāṭibī. Di tangan
dan hasil fikir beliaulah konsep maqāṣid disempurnakan bahkan pembaruan. Di
samping itu, al-Syāṭibī memberikan uraian landasar teoritis yang relatif lebih
komprehensif ketimbang ulama sebelumnya. Lihat, Al Yasa’ Abubakar, Metode
Istislahiah..., hlm. 45-51.
15
Abd al-‘Ᾱṭī Muḥammad Alī, al-Maqāṣid al-Syar’iyyah wa Aṡruhā fī al-
Fiqh al-Islāmī, (Kairo: Dār al-Ḥadīṡ, 2007), hlm. 96.

9
yang rusak, kemudharatan dan kesulitan.16 Melihat beberapa definisi
tersebut, maṣlaḥah diarahkan pada makna kemanfaatan dan menolak
kemudaratan secara istilah. Dengan demikian, maṣlaḥah merupakan
suatu kebaikan atau kemanfaatan baik dengan cara mengerjakan hal
tertentu atau meninggalkan sesuatu dengan batasan mengambil apa-
apa yang memiliki manfaat dan menolak apapun yang membawa
pada kerusakan dan yang membahayakan.
Kata kedua dari istilah maṣlaḥah mursalah adalah mursalah.
Term mursalah atau dalam istilah bahasa Arab ditulis “‫ ”مرسةل‬secara
etimologi berasal dari kata irsal “‫”ارسل‬, artinya mengarahkan. Istilah
irsal kemudian membentuk istilah “rasul”, artinya mengutus seorang
untuk suatu keperluan.17 Kata irsal “‫ ”ارسل‬berasal dari kata dasar yaitu
rasila “‫”رسل‬, artinya lepas, lurus (tidak ikal), mengirimkan, melepas
atau melepaskan, atau mengutus dan menurunkan. Adapun istilah
“‫ ”مرسةل‬atau jamaknya adalah “‫”مرسالت‬, artinya angin.18 Makna ini boleh
jadi bersinggungan karena angin juga bisa mengirim atau membawa
sesuatu, sehingga kedudukannya juga sebagai alat untuk mengutus
atau mengirimkan sesuatu.
Sapiudin Shidiq mengemukakan makna “‫ ”مرسةل‬di atas dengan
cukup baik. Menurutnya “‫ ”مرسةل‬bermakna terlepas atau bebas, artinya
terlepas dan bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh ataupun
tidaknya sesuatu itu dilakukan.19 Dengan begitu, “‫ ”مرسةل‬pada tataran
bahasa ada kedekatan makna dengan definisi istilah, yaitu sesuatu
yang secara dalil nash tidak ada keterangannya, baik boleh atau tidak
dan sebagainya.

16
Fridaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam
secara Konprehensi, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hlm. 80-81.
17
Umar Sulaimān al-Asyqar, Rasul & Risalah: Menurut Alquran & Hadis
(Terj: Munir F. Rodwan), (Saudi Arabia: International Islamic Publishing House
2008), hlm. 24.
18
Achmad W. Munawwir, M.Fairuz, Kamus Munawwir Kamus Indonesia
Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 495-496.
19
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, Cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2017), hlm. 88.

10
Berdasarkan pemaknaan di atas, dapat dipahami bahwa term
maṣlaḥah mursalah secara sederhana dapat dimaknai kebaikan atau
kemanfaatan yang diturunkan atau dikirimkan. Dalam literatur Usul
Fiqh disebut dengan kemaslahatan yang tidak terdapat nash-nya di
dalam agama.20 Maṣlaḥah mursalah juga disebut dengan kebaikan
atau kemaslahatan yang tidak dinyatakan oleh syarak, tapi juga tidak
ada dalil yang menolaknya.21 Dari dua definisi ini, kemanfatan juga
kemaslahatan yang diterima oleh manusia buken berdasarkan dalil-
dalil syarak. Sementara itu, dalil syarak (dalam hal ini Alquran dan
juga hadis) tidak pula menafikan kemaslahatan tersebut sebagai hal
yang tertolak secara hukum. Hal ini juga telah disinggung oleh Alī
Muḥammad al-Ṣallābī, saat ia menerangkan satu pandangan Usman
bin Affan pada masa lalu, di mana orang-orang disuruh untuk dapat
mencari unta-unta yang hilang untuk kemudian dijual demi kebaikan
dan kemaslahatan umum. Pendapat dan ketetapan Usman bin Affan
semacam ini oleh al-Hujawi dinamakan dengan salah satu artikulasi
dari konsep maṣlaḥah mursalah, sebab tidak ada dalil yang melarang
apalagi menganjurkanya.22 Kisah tersebut intinya ingin menegaskan
kembali bahwa makna maṣlaḥah mursalah secara singkat adalah
kemaslahatan yang tidak disinggung oleh nash.
Menurut makna yang lebih luas, terdapat banyak rumusan
para ulama. Di antaranya disebutkan Imam al-Ghazali seperti dikutip
oleh Sapiudin Shidiq, bahwa maṣlaḥah mursalah ialah sesuatu yang
tidak ada bukti baginya dari syarak dalam bentuk nash yang membat
alkannya dan tidak ada pula yang menetapkannya.23 Maslahat yang
tidak secara jelas diterima dan ditolak oleh nash ini disebut dengan

20
Abu Yasid, Logika Ushul..., hlm. 105.
21
A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan & Penerapan Hukum
Islam, Cet. 8, (Jakarta: Kencana Prenada Media Gruop, 2012), hlm. 86: Lihat juga
dalam, Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: Dari
Teori ke Aplikasi, Edisi Kedua, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2018), hlm. 118.
22
Lihat, Alī Muḥammad al-Ṣallābī, Bigrafi Usman bin Affan, (Terj: Malik
Supar dan Masturi Irham), (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), hlm. 203.
23
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh..., hlm. 88.

11
mashalat yang terkandung dalam suatu masalah tertentu, hanya saja
tidak ada dalilnya secara spesifik, baik menerima atau menolaknya.
Jenis maslahat yang digali dalam maṣlaḥah mursalah sama
sekali belum ada dalil yang membolehkannya juga tidak ada dalil
yang melarangnya. Hal ini menunjukkan sama sekali baru, belum
disinggung di dalam nash. Pada tataran faktual, maka ia dipandang
dan juga dirasakan maslahat bagi masyarakat.24 Menurut pandangan
Wael B. Hallaq, maṣlaḥah mursalah merupakan satu persoalan yang
hukumnya diperoleh berdasrkan atas keuntungan yang sesuai secara
rasional yang tidak didukung oleh bukti tekstual.25 Memperhatikan
dua definisi terakhir, dapat dipahami bahwa maṣlaḥah mursalah di
dalam kajian Ushul Fiqh lebih diarahkan kepada penemuan masalah
hukum dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan, kegunaan,
kebaikan dan kemanfaatan. Di dalam kondisi ini, kemaslahatan yang
dimaksud justru hanya ditangkap oleh akal saja, namun dalil hukum
(Alquran dan hadis) tidak menetapkannya sebagai suatu yang benar
ataupun sebagai sesuatu tang tertolak. Dalam makna yang sederhana,
maṣlaḥah mursalah adalah maslahat yang diakui secara rasional dan
didiamkan oleh dalil syarak.

B. Dasar Hukum Keberadaan Maṣlaḥah Mursalah Sebagai Dalil


Hukum
Konsep maṣlaḥah mursalah ini dikembangkan bukan hanya
pada fase agama Islam sudah jaya, dan bukan pula pada saat ilmu-
ilmu menyangkut ke-Islaman telah di kembangkan secara luas. Akan
tetapi, akar-akar ide penggunaan maṣlaḥah mursalah justru telah ada
pada masa sahabat, meskipun pola ilmunya baru dikembangkan pada
masa-masa berikutnya.
Seperti produk ilmu dan produk hukum yang dikembangkan
oleh ulama secara umum, kelahiran konsep maṣlaḥah mursalah ini

24
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah..., hlm. 39-44.
25
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, (Terj: Abdul Haris
bin Wahid dan E. Kusnadiningrat), Cet. 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 165.

12
memiliki dasar hukum yang kuat. Dalil atau dasar keberlakuan dari
konsep maṣlaḥah mursalah ini menurut Mufid mengacu pada dalil
QS. al-Anbiya’ [21] ayat 107:26
ِ ِۡ ۡ ۡ ۡ
َ ْ ‫ك إِاَّل َرۡحَة لّل ََٰعلَم‬
.‫ي‬ َ َ‫َوَمآ أَر َسل َٰن‬
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (men
jadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya’ [21]: 107).
Mengomentari ayat di atas jumhur ulama berpendapat bahwa
Rasulullah Saw itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam
rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, dalil di
dalam ayat-ayat Alquran dan hadis seluruhnya dimaksdukan untuk
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.27 Pada
kesempatan yang lain, dalil di atas mengandung maksud bahwa Nabi
Muhammad Saw membawaa syariat untuk kemaslahatan dan rahmat
bagi semua manusia.28 Ini menunjukkan bahwa semua permasalahan
yang ada di dunia ini memiliki sisi-sisi kemaslahatan. Terkadang sisi
maslahat tersebut diakui secara jelas oleh nash, yaitu disebut dengan
maṣlaḥah, misalnya kemaslahatan agar pemerintah menghukum had
pelaku kejahatan hudud. Menurut ulama, tipe maslahat semacam ini
diterima dan diakui.
Ada pula sisi maslahat yang justru tidak diakui nash, disebut
dengan maṣlaḥah mulghah. Kasusnya seperti membagikan bagian
harta waris sengaja tidak merujuk kepada ketentuan QS. al-Nisa ayat
11, 12, dan 176, dan dalil lainnya. Menghukum pelaku hudud dengan
sanksi penjara meskipun sudah lengkap syarat untuk dijatuhi
hukuman had. Pertimbangannya ialah untuk mendatangkan sisi-sisi
maslahat, dan masih banyak contoh lainnya yang serupa. Menurut
ulama, kemaslahatan tipe ini ditolak.29

26
Moh. Mufid, Ushul Fiqh..., hlm. 123.
27
Moh. Mufid, Ushul Fiqh..., hlm. 123.
28
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh..., hlm. 223.
29
Maṣlaḥah mulghah berupa kemaslahatan yang diabaikan, ditolak oleh
nas karena alasan: (1) bertentangan dengan kemaslahatan yang mu’tabarah, (2)
bertentangan dengan maṣlaḥah dengan tingkat asas atau pokok (ḍarūriyyah).
Jumhur ulama menolak kemaslahatan semacam ini. Lihat Muhamad Tahmid Nur,

13
Ada juga bentuk maslahat yang justru tidak disebutkan dalam
nash, juga tidak ditoleh oleh nash. Jenis inilah disebut maṣlaḥah al-
mursalah. Oleh sebab itu, kedudukan maṣlaḥah al-mursalah bagian
dari sisi-sisi pengejawantahan ajaran syariat Islam yang memberikan
kemaslahatan bagi seluruh alam, dan bagian dari misi diutusnya nabi
Muhammad Saw sebagaimana tersebut dalam QS. al-Anbiya’ [21]
ayat 107 sebelumnya.
Selain dalil Alquran, dalil rujukan lainnya mengacu kepada
dalil aṡār atau perbuatan sahabat.30 Dalil aṡār yang digunakan untuk

Menggapai Hukum Pidana Ideal, (Yogyakarta: Deepublish Budi Utama, 2018),


hlm. 67: Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai
Agama Universal, (Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 89.
Meski demikian, ada ulama yang masih mengakui keberadaan maṣlaḥah
mulghah sebagai hujjah hukum. Di antaranya Najmuddīn al-Ṭūfī. Menurutnya,
suatu masalah dapat ditetapkan hukumnya melalui maṣlaḥah mulghah. Jika
maṣlaḥah mu’tabarah bertentangan dengan maṣlaḥah mulghah, maka boleh
meninggalkan maṣlaḥah mu’tabarah dan mengedepankan maṣlaḥah mulghah.
Pendapat al-Ṭūfī berbeda dengan pendapat dari mayoritas ulama. Muṣṭafā Zaid
pendapat al-Ṭūfī berbeda dengan jumhur disebabkan karena empat hal: Pertana,
akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam bidang
muamalah dan adat. Dasar ini membawa implikasi bahwa untuk menentukan
sesuatu itu maṣlaḥah atau bukan, cukup digunakan nalar manusia tanpa harus
disukung oleh nash. Pandangan ini berbeda dengan Jumhur Ulama yang
mengatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemafsadatan itu dapat dicapai
oleh akal namun kemashlahatan itu harus mendapat dukungan dari nash dan ijma’
baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
Kedua, maṣlaḥah merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum.
Oleh sebab itu untuk kehujjahan maṣlaḥah tidak diperlukan adanya dalil
pendukung karena mashlahah itu semata didasarkan pada pendapat akal saja.
Ketiga, ruang lingkup maṣlaḥah terbatas pada persoalan muamalah duniawi dan
adat kebiasaan, tidak di dalam hal akidah dan ibadah. Keempat, maṣlaḥah
merupakan dalil syara’ yang terkuat. Maṣlaḥah bukan hanya merupakan hujjah
semata ketika tidak terdapat dalam nash dan ijmak tapi juga harus didahulukan
atas nash dan ijma’ di saat terjadi pertentangan antara keduanya. Lihat, Muṣṭafā
Zaid, Maṣlaḥah fī al-Tasyrī’ al-Islāmī, (Mesir: Dār al-Fikr al-Arabī, 1964), hlm.
127-132: Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2017), hlm. 190: Budhy Munawar Rahman, Argumen Islam
untuk Liberalisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, (Jakarta:
Grasindo, 2010), hlm. 137.
30
Term aṡār pada lughah berarti bekasan sesuatu atau sisa sesuatu, bentuk
jamaknya aṡār dan uṡūr. Menurut istilah, terdapat ragam rumusan, namun yang
paling umum bahwa aṡar adalah perbuatan para sahabat. Lihat dalam, Ma’shum

14
melegalisasikan keberlakuan maṣlaḥah al-mursalah ini ialah relatif
cukup banyak. Di antaranya adalah seperti dikemukakan terdahulu,
di mana Usman bin Affan menyuruh orang-orang pada waktu itu
untuk mengumpulkan unta-unta yang hilang, untuk kemudian dijual
dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum.31
Selain dalil aṡār di atas, para ulama juga mendasarinya pada
tindakan Umar bin al-Khattab dengan tidak memberikan zakat pada
para muallaf (orang yang baru masuk Islam), karena menurut Umar
kemaslahatan orang banyak menuntut hal itu.32 Kemudian tindakan
Abu Bakar al-Shiddiq yang mengumpulkan Alquran atas dasar saran
dari Umar bin al-Khattab, sebagai kemaslahatan untuk melestarikan
Alquran dan menuliskan Alquran pada satu logat bahasa pada masa
Usman bin Affan demi memelihara tidak terjadi perbedaan bacaan
Alquran itu sendiri.33
Berdasarkan uraian tersebut, cukup kiranya dipahami bahwa
dasar hukum penunjukan maṣlaḥah mursalah sebetulnya tidak ada
atau tidak ditemukan dalil ekslisitnya. Hanya saja, berdasarkan dalil
Alquran dan juga tindakan-tindakan para sahabat sebelumnya, ialah
menjadi indikasi yang menunjukkan keberadaan maṣlaḥah mursalah
sebagai salah satu bentuk model pembentukan hukum dalam Islam.
Intinya, yang hendak ditegaskan di sini bahwa menetapkan tindakan
hukum dengan berlandasarkan maṣlaḥah al-mursalah diakui secara
implisit dari tindakan para sahabat Rasulullah Saw.

C. Pendapat Ulama Tentang Kedudukan Maṣlaḥah Mursalah


Sebagai Dalil Hukum Islam.
Pada tataran penggalian hukum Islam, penggunaan maṣlaḥah
al-mursalah ini memang cukup gencar dilakukan, apalagi di dalam

Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadis dan
Musthalah Hadis, Cet. 2, (Ygyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), hlm. 12.
31
Alī Muḥammad al-Ṣallābī, Biografi Usman..., hlm. 203.
32
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Membumikan Islam: Keluasan Keluwesan Syariat
Islam untuk Manusia, (Terj: Ade Nurdin dan Riswan), Edisi Kedua, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2018), hlm. 209.
33
Moh. Mufid, Ushul Fiqh..., hlm. 123-124.

15
konteks sekarang ini. Bahkan, menggali hukum dengan maṣlaḥah al-
mursalah tersebut sudah menjadi trend yang cukup menarik untuk
didiskusikan. Hanya saja, para ulama cenderung masih belum padu
dan tidak sepakat apakah maṣlaḥah al-mursalah bisa dijadikan alat
untuk menetapkan hukum atau tidak.
Sejauh amatan penulis, ulama terbelah menjadi dua pendapat
ada yang tidak setuju dan ada ulama yang setuju dengan maṣlaḥah
mursalah sebagai bagian dari dasar-dasar penetapan hukum menurut
Islam. Sekali lagi ditekankan bahwa para ulama berbeda pendapat di
dalam konteks ini lantaran tidak ada dalil yang secara tegas memberi
kejelasan tentang diakuinya maṣlaḥah al-mursalah. Kelompok yang
secara jelas menggunakan maṣlaḥah al-mursalah adalah mazhab
Maliki. Selain digunakan mazhab Maliki, maṣlaḥah al-mursalah
juga digunakan oleh sebagian ulama mazhab yang lainnya, seperti
disebutkan al-Syatibi, Ibn Qudamah, al-Razi dan al-Ghazali yang
dinukil oleh Amir Syarifuddin.34
Imam Ghazali sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin
secara tegas membolehkan maṣlaḥah al-mursalah sebagai metode
dalam menetapkan hukum.35 Ulama yang membolehkan maṣlaḥah
al-mursalah berargumentasi dengan beberapa alasan yaitu berikut
ini:36
a. Memandang maṣlaḥah sebagai dasar penetapan hukum tidak
berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu
yang meragukan. Sebab maṣlaḥah tersebut ditentukan lewat
sekian banyak dalil pertimbangan, sehingga menghasilkan
persangkaan yang kuat.
b. Tidak benar apabila penetapan hukum Islam melalui metode
maṣlaḥah mursalah berarti menetapkan hukum Islam sesuai
berdasarkan hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan suatu
hujjah, maṣlaḥah al-mursalah harus memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu. Persyaratan inilah akan mengendalikan

34
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh..., Jilid 2, hlm. 358.
35
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh..., Jilid 2, hlm. 358.
36
Moh. Mufid, Ushul Fiqh..., hlm. 122-124.

16
kepentingan-kepentingan individualitas, sehingga tidak akan
terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam)
berdasarkan kepada maṣlaḥah al-mursalah.
c. Islam memang telah lengkap dan sempurna, akan tetapi yang
dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-
pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. dengan begitu,
tidak berarti semua masalah ada hukumnya. hal Ini terbukti
banyak sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung
hukumnya oleh dalil naqli tapi baru diketahui setelah digali
melalui ijtihad, dan polanya ialah maṣlaḥah al-mursalah.
d. Tidak benar apabila dipandang bahwa maṣlaḥah al-mursalah
sebagai hujjah akan menafikan prinsip universalitas hukum,
keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang
terjadi justru sebaliknya, yaitu dengan menggunkan metode
maṣlaḥah al-mursalah di dalam menetapkan hukum, prinsip
universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam
dapat dibuktikan.37
Ada juga ulama yang tidak setuju sama sekali dengan konsep
maṣlaḥah al-mursalah. Di antaranya ulama dari kalangan Hanabilah
menyatakan menolak terhadap pengguanaan maṣlaḥah al-mursalah
dalam berijtihad. Begitu pula kalangan ulama al-Zahiri yang populer
pendapat mazhab ini dikembangkan oleh Ibn Hazm al-Andalusi al-
Zahiri, kemudian ulama Syiah dan sebagian kaum Mu’tazilah. Dasar
argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:38
a. Memandang maṣlaḥah al-mursalah sebagai hujjah berarti
mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang
meragukan, hal ini disebabkan karena metode penggalian
hukum dengan teori maṣlaḥah al-mursalah tidak ditopang
dengan dasar hukum ayat Alquran maupun Hadis.
b. Memandang maṣlaḥah al-mursalah sebagai hujjah bermakna
menodai kesucian hukum Islam karena menetapkan hukum

37
Diakses melalui situs: http://digilib.uinsby.ac.id/1709/5/Bab%202.pdf,
tanggal 12 April 2020.
38
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh..., 137-138.

17
Islam tidak berdasarkan kepada nas-nas tertentu. Melainkan
hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih
maṣlaḥah. Sehingga dengan alasan ini, ulama yang kontra
terhadap penggunaan maṣlaḥah mursalah mengkhawatirkan
akan terjadi banyak penetapan hukum Islam yang hanya
berdasarkan kepada kepentingan hawa nafsu.
c. Hukum Islam dipandang telah lengkap dan sempurna, tidak
butuh penggalian hukum lebih lanjut. Dengan menjadikan
maṣlaḥah mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum
Islam berarti umat Islam tidak mengakui prinsip kelengkapan
dan kesempurnaan hukum Islam.
d. Memandang maṣlaḥah al-mursalah sebagai metode atau cara
penggalian hukum akan membawa pada dampak terjadinya
perbedaan (disparitas) hukum Islam terhadap masalah yang
sama disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan
demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan
fleksibelitas hukum Islam.39
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa para ulama
masih tidak padu (tidak sepakat) di dalam memandang keberlakuan
maṣlaḥah al-mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum
dalam Islam. Satu sisi, memang tidak ditemukan dalil yang secara
eksplisit dan khusus menyatakan kebolehkan menggunakan konsep
maṣlaḥah al-mursalah dalam menggali hukum. Tindakan-tindakan
para sahabat sebagai telah dikemukakan terdahulu setidaknya belum
bisa menegaskan secara nyata dan pasti bahwa itu adalah bagian dari
bentuk maṣlaḥah al-mursalah. Di sisi yang lain justru ada ditemukan
banyak kasus hukum yang harus mendapatkan perhatian khusus dari
hukum Islam. Hukum Islam sama sekali tidak boleh mengabaikan
kasus-kasus baru yang bermunculan. Dengan pertimbangan ini, dan
pertimbanan adanya tindakan para sahabat seperti Abu Bakar, Umar,
dan Usman dalam melakukan hal-hal yang bersifat baru, maka tidak
ada salahnya menggunakan konsep maṣlaḥah al-mursalah sebagai
bagain dari konsep penemuan hukum Islam.

39
Moh. Mufid, Ushul Fiqh..., hlm. 124-125.

18
D. Aktualisasi Konsep Maṣlaḥah Mursalah dalam Kasus-Kasus
Kontemporer
Sebagai salah satu metode penemuan hukum, maṣlaḥah al-
mursalah tentu tidak dapat dipisahkan dari kehadiran hukum yang
selalu berkembang. Praktik-praktik muamalah masyarakat muslim
dari hari ke hari selalu berubah, sehingga boleh dikatakan belum ada
ditemukan atau sekurang-kurangnya belum dijumpai pada era klasik.
Permasalahan hukum baru secara kontekstual bersentuhan langsung
dengan hajat hidup masyarakat muslim. Kenyataan bahwa hukum
baru ini muncul secara bergantian tentunya tidak bisa dianulir dan
didiamkan oleh hukum Islam. Hukum Islam harus mewadahi semua
kepentingan-kepentingan yang ada agar masyarakat muslim mampu
menerapkan semua aspek hidupnya sesuai dengan sisi-sisi maslahat,
kemanfaatan dan kebaikan hidup. Dengan begitu, salah satu pola dan
bentuk penalaran yang dapat mengakomodasi perbuahan sosial yang
berganti dan selalu terbarukan tersebut yaitu dengan pola maṣlaḥah
al-mursalah.
Relatif cukup banyak aktualisasi konsep dari pada maṣlaḥah
al-mursalah dalam kasus-kasus kontemporer. Pada bagian ini, akan
disajikan sesuai dengan empat dimensi hukum, dimulai dari contoh
kasus dalam dimensi hukum keluarga Islam (aḥwāl al-syakṣiyyah),
hukum muamalah Islam (mu’āmalah), dimensi hukum pidana Islam
(jināyah), dan dimensi politik Islam (siyāsah syar’iyyah). Masing-
masing dapat diulas berikut ini:
1. Dimensi hukum keluarga Islam (aḥwāl al-syakṣiyyah)
Di bidang hukum keluarga Islam, banyk ditemukan kasus-
kasus baru yang bermunculan yang belum ada dalil nash-nya secara
khusus, baik dalam Alquran maupun hadis. Kasus-kasus yang baru
tersebut bersentuhan langsung dengan kepentingan umat muslim. Di
antaranya adalah keharusan pembuatan akta nikah (Buku Nikah),40
di dalam pendaftaran nikah diperlukan adanya data yang terkoneksi
ke pusat yang disebut dengan Sistem Informasi Manajemen Nikah
atau disingkat dengan SIMKAH.

40
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah..., hlm. 44.

19
Selain itu, kasus baru lainnya ialah ada ditemukan korelasi
hubungan darah yang dapat ditentukan melalui metode test DNA
atau Deaxiribo Nukleat Acid. Melalui test DNA ini seseorang dapat
diketahui keterhubungan darahnya dengan orang lain.41 Misalnya di
dalam anak yang tidak memiliki ayah secara hukum dapat ditetapkan
kepada ayah biologisnya melalui tes DNA. Melalui cara tersebut
seseorang tidak bisa menyangkal anak yang telah dibuahinya. Kasus
kasus bau lainnya dalam hukum keluarga Islam masih tetap akan
bermunculan dan kasus baru tersebut harus dilihat dari sisi maṣlaḥah
al-mursalah.
2. Dimensi hukum muamalah Islam (mu’āmalah)
Dalam bidang muamalah Islam, terdapat cukup banyak kasus
dan keadaan baru yang bisa ditetapkan hukumnya melalui maṣlaḥah
al-mursalah. Di antara yang paling umum ada keberadaan lembaga-
lembaga keuangan yang menjamur di seluruh dunia. Dahulu, kondisi
tempat penampungan harta tidak ditempatkan di lembaga keuangan
seperti bank, namun lantaran bank saat ini diperlukan, maka kondisi
hukumnya tentu akan mengikuti kepentingan masyarakat sakarang.
Hanya saja yang mesti dirubah dari lembaga keuangan sekarang ini
adalah sisi operasionalnya dari konvensional ke syariah.
3. Dimensi hukum pidana Islam (jināyah)
Kasus-kasus baru yang ada dalam hukum pidana Islam juga
ditemukan relatif cukup banyak. Salah satunya adalah menggunakan
test DNA (Deaxiribo Nukleat Acit) sebagai alat bukti seseorang telah
berbuat tidak pidana. Penelitian sekarang ini menunjukkan bahwa
melalui test DNA seorang pelaku dapat diketahui identitasnya hanya
dengan melakukan test terhadap sel-sel yang ditemukan di tempat

41
DNA adalah asam nukleat, yang menyimpan semua informasi tentang
genetika. Secara bahasa, DNA tersusun dari kata-kata “deocyribosa”, berarti gula
pentose. Kemudian “nucleic” atau lebih dikenal dengan sebutan “nukleat” berasal
dari kata “nucleus” yang berarti inti, serta “acid” berarti zat asam. Zat tersebut bisa
menyalurkan infornasi genetik dari induk kepada anaknya. Lihat dalam Bahruddin
Muhammad, Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis Teknologi Al-
Qiyafah (Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur Rahman, (Maluku: Pengadilan
Tinggi Agama Maluku Utara, t. tp), hlm. 28.

20
kejadian perkara.42 Menurut Bahruddin Muhammad, penggunaan tes
DNA di dalam suatu pembuktian sering dilakukan baik pada kasus
pidana dan perdata ataupun di luar hukum seperti mengidentifikasi
korban kebakaran yang sudah hangus dan lain-lain.43
Berdasarkan contoh tersebut di atas, dapat diketahui bahwa
pola penalaran dengan menggunakan metode maṣlaḥah al-mursalah
ini dipandang cukup penting, dalam kasus test DNA, yang dicarikan
jawabannya adalah apakah test DNA tersebut dapat dijadikan alat
bukti untuk saat sekarang ini atau tidak. Melalui pertimbangan dan
alasan maṣlaḥah al-mursalah, maka tes DNA bisa dijadikan media
untuk membuktik tindak pidana. Karena, test DNA ini tidak secara
terang diakui dalam dalil Alquran dan hadis, dan tidak pula ditolak
penggunaannya.
4. Dimensi politik Islam (siyāsah syar’iyyah)
Dalam dimensi polik Islam, kasus-kasus baru yang memiliki
nilai maṣlaḥah relatif cukup banyak, di antaranya adalah pembuatan
rambu-rambu lalu lintas dan kewajiban agar mematuhinya.44 Rambu
rambu lalu lintas tersebut bagian dari siasat atau politik pemerintah
untuk bisa menertipkan masyarakat dan keberadaannya memberikan
manfaat yang cukup besar kepada masyarakat. Selain kasus di atas,
juga ditemukan kasus-kasus baru dalam sistem pemerintahan yaitu
adanya pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan demokrasi
dalam tiga bentuk yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.45
Selain itu, yang termasuk lembaga-lembaga resmi Indonesia adalah
lembaga kementerian (kementerian agama, pendidikan, hukum dan

42
Alex Jeffry, seorang professor di Universitas Leicester, Inggris, telah
menyebutkan tanda-tanda DNA dengan hereditary print atau tanda turunan. Ia
menghubungkan DNA dengan bukti-bukti biologis asli seperti darah, sisa sperma,
rambut, dan jaringan-jaringan seseorang. Lihat, Abdul Fattah Mahmud Idris, dkk,
Pengetahuan Islam Kontemporer, (Terj: Addys Aldizar), Jilid 6, (Jakarta: Pustaka
Dinamika, 2014), hlm. 139.
43
Bahruddin Muhammad, Reaktualisasi Hukum..., hlm. 29.
44
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah..., hlm. 44.
45
Fajlurrahman Jurdi, Pengantar Hukum Pemilihan Umum Cet 1 (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 68.

21
HAM dan lainnya), badan peradilan (Pengadilan Agama, Mahkamah
Syar’iyah, Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, juga Mahkamah
Konstitusi, DPR, MPR, kepolisian, TNI, dan lembaga yang lainnya,
yang tercakup dalam konsep trias politica,46 yaitu lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.47
Kenyataan adanya pembagian lembaga kekuasaan adalah
untuk memudahkan, memberikan kebaikan, kemaslahatan dan juga
kemanfaatan tersendiri di dalam konteks pengelolaan pemerintahan
secara baik. Lembaga-lembaga kekuasaan tersebut tidak disebutkan
secara tegas dalam nash Alquran maupun hadis, hanya saja kondisi
dan keberadaannya justru sangat dibutukan dalam mengelola negara,
sehingga di dalamnya terdapat sisi-sisi maṣlaḥah.
Berdasarkan beberapa contoh kasus di atas, dapat dimengerti
bahwa konsep penggalian hukum melalui maṣlaḥah mursalah cukup
luas dan dibutuhkan untuk konteks sekarang ini. Perubahan sistem
hubungan muamalah manusia dan pola kehidupan yang dahulu tidak
begitu komplek menjadi lebih atau bahkan sangat komplek menuntut
keharusan adanya mata pisau yang kuat dalam menggali hukum agar
kebutuhan masyarakat muslim dapat terpenuhi secara baik. Bentuk
pola penalaran yang boleh jadi dapat mengakomodasinya secara baik
adalah melalui maṣlaḥah mursalah.

46
Fajlurrahman Jurdi, Pengantar..., hlm. 68.
47
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet. 9 (Depok:
Rajawali Press, 2017), hlm. 282-283: Lihat juga di dalam, Fajlurrahman Jurdi,
Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019),
hlm. 225-405.

22
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian pembahasan terdahulu, maka pada sesi


ini akan dikemukakan beberapa poin penting yang menjadi konklusi
atau kesimpulan. Merujuk pada rumusan masalah sebelumnya, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Para ulama masih tidak padu (tidak sepakat) dalam memandang
keberlakuan maṣlaḥah al-mursalah sebagai salah satu metode
penetapan hukum Islam. Ulama yang menggunakan maṣlaḥah al-
mursalah adalah mazhan Maliki, dan sebagian dari mazhab yang
lainnya. Sementara ulama yang tidak menggunakan maṣlaḥah al-
mursalah ialah kalangan Hanabilah dan beberapa ulama lainnya.
Perbedaan tersebut muncul karena satu sisi, memang tidak
ditemukan adanya dalil yang secara eksplisit, khusus, dan tegas
menyatakan kebolehkan menggunakan konsep maṣlaḥah al-
mursalah dalam menggali hukum. Di sisi yang lain, justru
ditemukan banyak kasus hukum yang harus mendapatkan
perhatian khusus dari hukum Islam. Hukum Islam sama sekali
tidak boleh mengabaikan kasus-kasus baru yang bermunculan.
Dengan pertimbangan ini, dan pertimbanan adanya tindakan para
sahabat seperti Abu Bakar, Umar, dan Usman dalam melakukan
hal-hal yang bersifat baru, maka sebagian ulama membolehkan
konsep maṣlaḥah mursalah sebagai bagain dari konsep penemuan
hukum Islam.
5. Cukup banyak aktualisasi konsep dari pada maṣlaḥah mursalah
dalam kasus-kasus kontemporer. Dalam dimensi hukum keluarga
Islam (aḥwāl al-syakṣiyyah) seperti keharusan pembuatan akta
nikah (Buku Nikah), pendaftaran nikah melalui Sistem Informasi
Manajemen Nikah atau disingkat dengan SIMKAH, menentukan
nasab melalui test DNA atau Deaxiribo Nukleat Acid. Dimensi
hukum muamalah Islam (mu’āmalah) seperti keharusan adanya
lembaga-lembaga keuangan syariah dalam mengelola dana umat.
Dimensi hukum pidana Islam (jināyah) seperti menggunakan test

23
DNA (Deaxiribo Nukleat Acit) sebagai alat bukti seseorang telah
berbuat tidak pidana. Adapun dalam dimensi politik Islam atau
siyāsah syar’iyyah seperti pembuatan rambu-rambu lalu lintas di
jalan raya dan kewajiban agar mematuhinya. Selain itu, di dalam
sistem pemerintahan, adanya pembagian kekuasaan dalam sistem
pemerintah demokrasi dalam tiga bentuk yaitu lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Dengan begitu, konsep penggalian hukum
melalui maṣlaḥah mursalah cukup luas sekali. Perubahan sistem
hubungan muamalah manusia dan pola kehidupan lebih komplek
menuntut keharusan adanya penggalian hukum dengan melihat
pada sisi maslahat. Pola penalaran yang mengakomodasi secara
baik konsep maslahat tersebut ialah melalui maṣlaḥah mursalah.

24
DAFTAR PUSTAKA

A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan & Penerapan


Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Gruop, 2012.
Abd al-‘Ᾱṭī Muḥammad Alī, al-Maqāṣid al-Syar’iyyah wa Aṡruhā fī
al-Fiqh al-Islāmī, Kairo: Dār al-Ḥadīṡ, 2007.
Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Uṣūl Fiqh, Kairo: Maktabah al-
Da’wah al-Islāmiyyah, 1947.
Abdul Fattah Mahmud Idris, dkk, Pengetahuan Islam Kontemporer,
Terj: Addys Aldizar, Jilid 6, Jakarta: Pustaka Dinamika,
2014.
Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesi, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2017.
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, Kairo: Sidrah
al-Muntahā, 2009.
Abū Isḥāq al- Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, Beirut: Dār
al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2004.
Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam
sebagai Agama Universal, Yogyakarta: LkiS, 2004.
______, Logika Ushul Fiqih: Interelasi Nalar, Wahyu, dan
Maqashid al-Syariah, Yogyakarta: IRCiSoD, 2019.
Achmad W. Munawwir dan M. Fairuz, Kamus Munawwir Kamus
Indonesia Arab, Surabaya: Pustaka Progressif, 2007.
Aḥmad al-Raisūnī, Muḥāḍarāt fī Maqāṣid al-Syarī’ah, Kairo: Dar
al-Kalimah, 2014.
______, Naẓariyyah al-Maqāṣid ‘inda al-Imām al-Syāṭibī Firginia:
al-Ma’had al-‘Ᾱlamī li al-Fikr al-Islāmī, 1995.
Al Yasa’ Abubakar, Matode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengeta
huan dalam Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2016.
Alī Ḥasballāh, Uṣūl al-Tasyrī’ Islāmī, Mesir Dār al-Ma’ārif, 1976.
Alī Muḥammad al-Ṣallābī, Bigrafi Usman bin Affan, Terj: Malik
Supar dan Masturi Irham, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013.

25
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011.
Amran Suadi, Abdul Manan: Ilmuan & Praktisi Hukum, Kenangan
Sebuah Perjuangan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2016.
Bahruddin Muhammad, Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab
Berbasis Teknologi Al-Qiyafah (Perspektif Hermeneutika
Hukum Fazlur Rahman, Maluku: Pengadilan Tinggi Agama
Maluku Utara, t. tp.
Budhy Munawar Rahman, Argumen Islam untuk Liberalisme: Islam
Progresif & Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo
2010.
Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2019.
______, Pengantar Hukum Pemilihan Umum Cet 1 Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2018.
Fridaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam
Secara Konprehensi, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet. 9
Depok: Rajawali Press, 2017.
Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi cra Praktis Menguasai
Ulumul Hadis dan Musthalah Hadis, Cet. 2, Ygyakarta:
Pustaka Pesantren, 2016.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Wadzurya, 1989.
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: dari
Teori ke Aplikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2018.
Muhamad Tahmid Nur, Menggapai Hukum Pidana Ideal,
Yogyakarta: Deepublish Budi Utama, 2018.
Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh, Beirut: Dār al-Fikr al-Arabī,
1958.
Muḥammad Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-
Syarī’ah al-Islāmiyyah, Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1973.

26
Muṣṭafā Zaid, Maṣlaḥah fī al-Tasyrī’ al-Islāmī, Mesir: Dār al-Fikr
al-Arabī, 1964.
Rāghib al-Sirjānī, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Terj:
Sonif, dkk, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011.
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2017.
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012.
Tim Pustaka Phonix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet 3 Edisi
Kedua, Jakarta: Pustaka Phoenix, 2009.
Umar Sulaimān al-Asyqar, Rasul & Risalah: Menurut Alquran &
Hadis Terj: Munir F. Rodwan, Saudi Arabia: International
Islamic Publishing House 2008.
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, Terj: Abdul
Haris bin Wahid dan E. Kusnadiningrat, Cet. 2, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001.
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Membumikan Islam: Keluasan Keluwesan
Syariat Islam untuk Manusia, Terj: Ade Nurdin dan Riswan,
Edisi Kedua, Bandung: Mizan Pustaka, 2018.
______, Pengantar Politik Islam Terj: Fuad Syaifudin Nur, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2019.

27

Anda mungkin juga menyukai