Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Mengenai Hak Atas Tanah

Secara yuridis pengertian tanah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (4)

Undang-Undang Pokok Agraria, yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam

pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi

di bawahnya serta berada di bawah air”.

Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria

tersebut diatas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanah adalah

permukaan bumi. UUPA menentukan bahwa dengan pemberian hak atas

tanah sudah termasuk wewenang untuk mempergunakan tanah tersebut,

demikian pula tubuh bumi, air serta ruang angkasa yang ada diatasnya

sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-

peraturan hukum lain yang lebih tinggi.4

Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah dalam Pasal 4 Undang-

Undang Pokok Agraria, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara atas

tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-

macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan

kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama

4
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2018), halaman 184.

13
dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.” Hak atas tanah

bersumber dari hak menguasai negara yang dapat diberikan kepada

perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga asing, sekelompok

orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat

maupun badan hukum publik. 5Hak atas tanah adalah hak atas sebagian

tertentu permukaan bumi yang berbatas, hak atas tanah bukan saja

memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan

bumi yang disebut tanah, tetapi juga sebagian tubuh bumi yang dibawahnya

dan air serta ruang yang ada diatasnya dengan pembatasan. 6 Tetapi tubuh

bumi dibawah tanah dan ruang angkasa yang ada di atasnya sendiri, bukan

merupakan obyek hak atas tanah, bukan termasuk obyek yang dipunyai

pemegang hak atas tanah.

Hak atas tanah merupakan salah satu materi yang diatur dalam UUPA.

Tanah merupakan asset yang sangat berharga dan penting juga diliputi oleh

banyak permasalahan yang timbul dan bersumber dari hak atas tanah. Guna

mengantisipasi dan mencegah permasalahan yang mungkin timbul maka

pemilik hak perlu mendaftarkan tanah supaya tidak terjadi sengketa yang

merugikan di kemudian hari. Hak atas tanah suatu bidang tanah harus

didaftarkan karena dengan mendaftarkan hak atas tanah yang kita miliki maka

kepemilikan kita atas bidang tanah tersebut berkekuatan hukum.

5
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2017), halaman 89.
6
Pasal 8 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia.

14
Apabila melihat ketentuan Pasal 16 jo. Pasal 53 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 (UUPA), maka macam-macam hak atas tanah dikelompokkan

menjadi 3 (tiga), yaitu :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak-hak atas tanah yang akan

tetap ada selama UUPA masih berlaku. Macam-macam hak atas tanah

yang masuk dalam kelompok ini yaitu hak milik, hak guna usaha, hak

guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka

tanah, dan hak memungut hasil hutan.

2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang,

maksudnya adalah hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan

ditetapkan dengan undang-undang. Hak atas tanah yang disebutkan dalam

Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif, artinya, di samping

hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA kelak masih

dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus

dengan undang-undang.

3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas tanah yang

sifatnya sementara yang dalam waktu singkat diusahakan akan dihapus

sebab mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan tidak sesuai dengan

jiwa atau asas-asas UUPA. Macam-macam hak atas tanah yang bersifat

sementara ini adalah hak gadai (gadai tanah), hak usaha bagi hasil

(perjanjian bagi hasil), hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.

Apabila melihat dari asal tanahnya, maka hak atas tanah dapat dibedakan

menjadi 2 (dua), yaitu :

15
1. Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang berasal

dari tanah negara. Macam-macam hak atas tanah yang masuk dalam

kelompok ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas

tanah negara, hak pakai atas tanah negara.

2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah yang

berasal dari tanah hak pihak lain. Macam-macam hak atas tanah yang

termasuk dalam kelompok yang bersifat sekunder yaitu hak guna

bangunan atas tanah hak milik, hak pakai atas tanah hak pengelolaan, hak

pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk bangunan, hak gadai (gadai

tanah), hak usaha bagi hasil (perjanjian bagi hasil), hak menumpang, dan

hak sewa tanah pertanian.

Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA) dikenal beberapa macam hak atas tanah, yaitu :

1. Hak Milik

2. Hak Guna Usaha

3. Hak Guna Bangunan

4. Hak Pakai

5. Hak Sewa

6. Hak Membuka Hutan

7. Hak Memungut Hasil Hutan

8. Hak-hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang

akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya

sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

16
Diantara hak-hak atas tanah, hak miliklah yang tidak ada batas waktu

penguasaan tanahnya dan terluas dalam lingkup penggunaannya. Pemberian

sifat ini tidak berarti bahwa tanah itu merupakan hak yang mutlak, tak

terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Sifat hak ini tidak terbatas jangka

waktunya, dapat beralih karena jual beli serta dapat dipindahkan kepada pihak

lain yang memenuhi syarat. Dapat pula dijadikan jaminan hutang dengan

dibebani hak

tanggungan.7

Hak milik dapat dibebani hak tanggungan, maka tanah yang dibebani hak

tanggungan tetap dipegang oleh pemiliknya apabila pemilik tanah tidak dapat

melunasi hutangnya dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan kepada

Kreditur, tanah yang dijadikan jaminan utang tersebut bukan berarti otomatis

menjadi milik Kreditur melainkan akan dilelang yang hasil dari pelelangan

tersebut digunakan untuk melunasi utang dari Debitur.

Selain dapat dibebani hak tanggunan, hak milik juga dapat dibebani hak-

hak atas tanah lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani di atas hak

milik adalah hak guna bangunan dan hak pakai, yang pembebanannya

dituangkan dalam Akta PPAT yakni Akta Pembebanan Hak Milik dengan hak

guna bangunan atau hak pakai yang sebelumnya terdapat perjanjian antara

subjek hak pemegang hak milik dengan calon subjek hak pemegang hak atas

7
Pasal 25 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia.

17
tanah yang akan ada di atas tanah hak milik tersebut. Seorang yang menjadi

pemegang hak atas tanah tidak dapat memberikan hak miliknya dengan

begitu saja karena hak tersebut merupakan kewenangannya namun yang dapat

dilakukannya adalah mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah yang

dimilikinya. Hal ini bisa dikaitkan dengan hak milik sebagai hak atas tanah

yang bersifat primer yaitu hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai

secara langsung oleh seseorang atau badan hukum dan dapat

dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya.

2.2. Tinjauan Umum Mengenai Hak Milik

Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA memuat ketentuan hukum mengenai

definisi hak milik yaitu sebagai hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh

yang dapat dimiliki orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6

UUPA mengenai fungsi sosial hak atas tanah. Sedangkan menurut Pasal 21

ayat (1) UUPA yaitu hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai

hak milik atas tanah. Khusus untuk badan hukum, hak milik maupun syarat

perolehannya ditetapkan oleh pemerintah. Penggunaan tanah milik oleh

bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan perundang-undangan. Dalam

menggunakan hak milik atas tanah harus memperhatikan fungsi sosial atas

tanah, yaitu dalam menggunakan tanah tidak boleh menimbulkan kerugian

bagi orang lain, penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan

sifat haknya, adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan

18
kepentingan umum, dan tanah harus dipelihara dengan baik agar bertambah

kesuburan dan mencegah kerusakannya. 8

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, pengertian hak milik

dirumuskan dalam Pasal 20 yaitu sebagai berikut:

Ayat (1) : Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh

yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan

dalam Pasal 6 UUPA.

Ayat (2) : Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

lntinya, ciri hak milik adalah sebagai berikut : 9

a. Turun-temurun

Hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih

hidup dan bila pemiliknya telah meninggal dunia maka hak miliknya

dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, sepanjang memenuhi syarat sebagai

subjek hak milik.

b. Terkuat dan terpenuh

Terkuat artinya hak milik atas tanah dapat dibebani oleh hak atas tanah

yang lain, kecuali hak guna usaha karena hak guna usaha harus ada di atas

tanah negara. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang

8
Ibid., halaman 93.
9
Urip Santoso, Hukum Perumahan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2014), halaman 397.

19
kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah

yang lain.

c. Dapat beralih dan dialihkan

Hak milik dapat beralih maksudnya bahwa hak milik dapat berpindah

haknya dari subjek hak kepada subjek hak lain karena adanya peristiwa

hukum, misalnya karena pewarisan, sedangkan hak milik dapat dialihkan

maksudnya hak milik dapat berpindah kepada subjek hak lain karena

adanya perbuatan hukum, misalnya karena jual-beli, tukar-menukar,

hibah.

Subjek dari hak milik sebagaimana ditetapkan pada Pasal 21 Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) harus memenuhi asas kebangsaan (prinsip

nasionalitas) yaitu warga Negara Indonesia tunggal dan badan hukum yang

didirikan berdasarkan hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia

(badan hukum Indonesia).

Pada hak penggunaan (right to use) hak milik lebih luas jika dibanding

dengan hak-hak lainnya namun harus tunduk kepada planning yang sudah

ditetapkan. Hak untuk mengalihkan/beralih dan dijadikan objek hak

tanggungan (right of disposal) dari hak milik tersebut sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.3. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang

disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur

20
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya

yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.

Peralihan hak atas tanah adalah memindahkan atau beralihnya

penguasaan tanah yang semula milik seseorang atau sekelompok masyarakat

ke masyarakat lainnya.10Suatu hak atas tanah disebut dialihkan jika

kepemilikannya berpindah kepada orang lain melalui suatu perbuatan hukum

sedangkan tanah dikatakan beralih akibat dari suatu peritiwa hukum tertentu,

misalnya karena terjadi kematian atau meninggalnya seseorang maka harta

peninggalannya beralih kepada ahli warisnya. Beralihnya kepemilikan

sebidang tanah kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan

hukum tertentu. Perbuatan hukum dapat diartikan sebagai setiap perbuatan

yang dilakukan oleh subyek hukum yang menimbulkan akibat

hukum.11

Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan

perbuatan hukum pemindahan hak yakni : 12

a. Pewarisan tanpa wasiat

10
Djestylona Kobu Kobu, “Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah berdasakan
Hukum Adat Suku Tobelodi Kabupaten Halmahera Selatan”, Lex Crimen, Vol. VI, No. 2
- Mar-Apr 2017 diakses pada tanggal 16 Juni 2020.
11
Andy Hartanto, Panduan Lengkap Hukum Praktis : Kepemilikan Tanah,
(Surabaya : Laksbang Justitia, 2015), halaman 175.
12
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2005), halaman 177.

21
Menurut hukum perdata, jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal,

maka hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya.

b. Pemindahan hak

Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat

yang terjadi karena peristiwa hukum dengan meninggalnya pemegang hak,

dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang

bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain.

Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, peralihan hak atas tanah dapat hapus dikarenakan sebagai

berikut :

a. Berakhirnya jangka waktu yang bersangkutan sebagaimana ditetapkan

dalam sertifikat haknya menjadi hapus.

b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang karena tidak dipenuhinya oleh

pemegang hak yang bersangkutan kewajiban-kewajiban tertentu atau

dilanggarnya suatu larangan, tidak dipenuhinya syarat-syarat atas

kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian pemberian

pemegang hak dan putusan pengadilan.

c. Bila subjek hak tidak lagi memenuhi syarat atau tidak dipenuhinya suatu

kewajiban dalam waktu satu tahun pemindahan/peralihan hak milik atas

tanah tidak dilepaskan atau tidak dialihkan, maka hapus karena hukum.

d. Dilepaskan atau diserahkan dengan sukarela oleh pemegang haknya.

e. Pencabutan haknya.

22
f. Tanah yang bersangkutan musnah, karena proses alamiah ataupun bencana

alam.

g. Tanahnya diterlantarkan.

2.4. Tinjauan Umum Mengenai Jual Beli Tanah

a. Menurut Hukum Adat

Menurut Hukum Adat, jual beli terjadi melalui persetujuan diantara

kedua belah pihak. Akan tetapi yang lebih dipentingkan lagi ialah

diperlukannya atau adanya penyerahan hak atas tanah yang menjadi obyek

dari transaksi jual beli hak atas tanah oleh penjual kepada pembeli. Pada

saat itu pulalah, pembeli menyerahkan pembayaran harga kepada penjual.

Jadi pengertian tersebut berarti konkrit atau nyata, yang mana sebelum

adanya penyerahan hak atas tanah atau pembayaran harga maka transaksi

jual beli hak atas tanah dianggap belum pernah terjadi atau belum sah.

Transaksi jual beli hak atas tanah itu pertama-tama terjadi melalui

kata sepakat, yang mana harga dari hak atas tanah yang dijual itu belum

dibayar tetapi sudah ada kata sepakat maka, transaksi jual beli hak atas

tanah itu dianggap telah sah. Bersifat terang dan tunai. Terang berarti

perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala

adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan

sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut

diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan

hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Tunai berarti

harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian. Dalam hal

23
pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas

dasar terjadinya jual beli tanah akan tetapi atas dasar utang piutang.

Jadi transaksi jual beli hak atas tanah menurut Hukum Adat dan

Hukum Perdata Barat pada hakikatnya berbeda karena menurut hukum

adat terjadi transaksi jual beli hak atas tanah adalah berupa penyerahan hak

atas tanah dan disertai dengan pembayaran atas sejumlah harga. Perjanjian

jual beli tanah termasuk perjanjian formil karena perjanjian yang

memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian

tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta

yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli

harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta

notaris. Dalam hal jual beli yang pembayarannya belum lunas (baru

dibayar sebagian), sisa harganya itu merupakan hutang pembeli kepada

penjual, yang kalau pembeli tidak membayarnya, penjual dapat menuntut

berdasarkan hutang piutang dan tidak mempengaruhi jual beli yang

dianggap telah selesai itu. Selain itu, dikenal pula yang disebut perjanjian

jual beli yakni suatu permufakatan antara seorang calon penjual dengan

calon pembeli.

Permufakatan itu meliputi tentang tanah yang akan dijual, berapa

harganya dan bilamana jual beli itu akan dilaksanakan. Permufakatan itu

biasanya disertai dengan suatu “panjer” (baik berupa uang atau barang).

24
Apabila jual belinya tidak jadi, kalau yang menyebabkan tidak jadi itu si

pembeli, maka penjer itu hilang, sedangkan kalau yang menyebabkan si

penjual, maka biasanya pembeli menuntut ganti rugi dengan melipatkan

jumlah panjernya yang telah dibayarnya. 13

b. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) istilah jual beli hanya

disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas

tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual

beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukan

suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah

kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan hibah

wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk

salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena

jual beli.

Apa yang dimaksud jual beli itu sendiri oleh Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA) tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat

dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disebutkan bahwa

Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, dengan menggunakan

konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat. Maka

13
Nuryati Istiyana, “Pelaksanaan Peralihan Hak Milik Melalui Jual Beli Di
Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang” (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Semarang, 2005), halaman 10.

25
pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah

pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat. Hukum Adat yang

dimaksud Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut adalah

Hukum Adat yang telah (disaring) yang dihilangkan dari cacat-

cacatnya/Hukum Adat yang sudah disempurnakan/Hukum Adat yang telah

dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional. 14

c. Menurut KUH Perdata

Menurut KUH Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu

barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan sesuai

dengan Pasal 1457 KUH Perdata. Adapun menurut Pasal 1458 KUH

Perdata, jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera

setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut

beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya

belum dibayar.

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, ada 4 syarat sahnya suatu

perjanjian jual beli yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

14
Ardiansyah Zulhadji, “Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Tanah
Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960”, Lex Crimen, Vol. V, No. 2 - Apr-Jun
2016 diakses pada tanggal 15 Juni 2020.

26
Berarti, para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau

setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana

kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan

atau kekhilafan (Pasal 1321 KUH Perdata).

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Pasal 1330 KUHper sudah mengatur pihak-pihak mana saja yang

boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian, yakni sebagai

berikut:

Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

a. Orang yang belum dewasa.

b. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (seperti cacat, gila,

boros, telah dinyatakan pailit oleh pengadilan, dsb)

c. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan

undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh

undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

3. Suatu hal tertentu.

Maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan

(objek perikatannnya) harus jelas. Setidaknya jenis barangnya itu

harus ada (lihat Pasal 1333 ayat 1).

27
4. Suatu sebab yang halal. 15

Berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-

undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan

ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena

berkenaan dengan para subjek yang membuat perjanjian itu. Sedangkan

syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif karena berkenaan

dengan objek dalam perjanjian tersebut. Jika sudah memenuhi ke empat

syarat di atas, maka perjanjian tersebut adalah sah. Tapi jika tidak

memenuhi syarat ini maka perjanjian batal demi hukum.

2.5. Tinjauan Umum Mengenai Hak Tanggungan

a. Pengertian Hak Tanggungan

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan

dengan Tanah, yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Hak

Tanggungan (UUHT) memberikan definisi Hak Tanggungan sebagai

berikut:

“ Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak


atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

15
Boris Tampubolon, (https://konsultanhukum.web.id/syarat-sahnya-perjanjian/
diakses pada tanggal 13 Mei 2020.

28
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang
tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa hak tanggungan

adalah identik dengan hak jaminan, yang bilamana dibebankan atas tanah

hak milik, tanah hak guna bangunan dan/atau tanah hak guna usaha

memberikan kedudukan utama kepada kreditor-kreditor tertentu yang akan

menggeser kreditor lain dalam hal si berhutang (debitur) cidera janji atau

wanprestasi dalam pembayaran hutangnya, dengan perkataaan lain dapat

dikatakan bahwa pemegang hak tanggungan pertama lebih Preferent

terhadap kreditor-kreditor lainnya.

Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 6 UUHT, yang mengatakan

“apabila debitur cidera janji (wanprestasi), pemegang hak tanggungan

pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas

kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil hasil

penjualan objek hak tanggungan tersebut untuk pelunasan hutangnya.”

Sejak berlakunya UUPA yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

pada tanggal 24 September 1960, Hipotik dan Creditverband sebagai

lembaga jaminan atas tanah dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti

dengan Hak Tanggungan. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya

UUPA, lembaga Hak Tanggungan belum dapat berfungsi sebagaimanan

mestinya, karena belum adanya peraturan yang mengatur secara lengkap,

sesuai yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 yang menyebutkan sudah

29
disediakan suatu lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan

pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pengganti lembaga

hak jaminan atas tanah yang sudah ada sebelumnya yaitu Hypotheek dan

Credietverband.

Dalam kurun waktu tersebut, berdasarkan ketentuan peralihan yang

tercantum dalam Pasal 57 UUPA, masih diberlakukan ketentuan

Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata Indonesia ( KUHPerdata ) dan ketentuan Credietverband

dalam Staaatblad 1908-542 jo Staatblad 1937-190 sepanjang mengenai

hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam UUPA.

Berhubung dengan hal tersebut maka pada tanggal 9 April 1996

dikeluarkan Undang-undang yang mengatur jaminan terhadap hak atas

tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UUPA, yang dikenal

dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah atau

Undang-undang Hak Tanggungan yang dituangkan dalam Lembaran

Negara Nomor 42 tahun 1996 dan penjelasannya dalam Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3632.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang

pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan

dengan tanah tersebut sebagai jaminan, yang selama ini pengaturannya

30
menggunakan ketentuan - ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

b. Objek Hak Tanggungan

Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan menyebutkan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani

dengan Hak Tanggungan adalah :

- Hak Milik;

- Hak Guna Usaha;

- Hak Guna Bangunan.

Hak-hak atas tanah seperti ini merupakan hak-hak yang sudah dikenal dan

diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. Namun

selain hak-hak tersebut, ternyata dalam Pasal 4 ayat (2) UUHT ini

memperluas hak - hak tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang selain

hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

UUHT, objek hak tanggungan dapat juga berupa: 16

a. Hak Pakai atas tanah Negara. hak pakai atas tanah negara yang

menurut

ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut sifatnya dapat

di pindahtangankan dan dibebani dengan hak tanggungan;

16
NM. Wahyu Kuncoro, 97 Risiko Transaksai Jual Beli Properti, (Jakarta : Raih
Asa Sukses, 2015), halaman 178.

31
b. Begitu pula dengan rumah susun dan hak milik atas satuan rumah

susun yang berdiri di atas tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan, dan hak pakai yang diberikan oleh negara (Pasal 27 jo

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun) juga

dimasukkan dalam objek hak tanggungan. Bahkan secara tradisional

dari Hukum Adat memungkinkan bangunan yang ada diatasnya pada

suatu saat diangkat atau dipindahkan dari tanah tersebut.

c. Asas-Asas Hak Tanggungan

- Asas Publisitas

Asas publisitas ini dapat diketahui dari Pasal 13 ayat (1) UUHT yang

harusnya menyatakan bahwa: "Pemberian hak tanggungan wajib

didaftarkan pada kantor pertanahan." Oleh karena itu dengan

didaftarkannya hak tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya

hak tanggungan tersebut dan mengikatnya hak tanggungan terhadap

pihak ketiga.

- Asas Spesialitas

Asas spesialitas ini dapat diketahui dari Penjelasan Pasal 11 ayat (1)

UUHT yang menyatakan bahwa: "Ketentuan ini menetapkan isi yang

sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

Tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut dalam APHT

mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum."Ketentuan ini

dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari hak tanggungan, baik

mengenai subyek, obyek maupun utang yang dijamin.

32
- Asas tidak dapat dibagi-bagi

Asas tidak dapat dibagi-bagi ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT,

bahwa hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali

jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), yang mengatur apabila Hak Tanggungan

dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam

Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan

utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya

sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian

dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak

Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya

membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang

belum dilunasi.

d. Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan

Menurut Pasal 13 ayat (1) UUHT, terhadap pembebanan hak

tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Selain itu di dalam

Pasal 13 ayat (5) jo ayat (4) UUHT juga dinyatakan bahwa hak

tanggungan tersebut lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan,

yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat

yang diperlukan bagi pendaftarannya.

Dengan demikian, hak tanggungan itu lahir dan baru mengikat setelah

dilakukan pendaftaran, karena jika tidak dilakukan pendaftaran itu

pembebanan hak tanggungan tersebut tidak diketahui oleh umum dan tidak

33
mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Sedangkan

berakhirnya hak tanggungan tertuang dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1)

UUHT, yang menyatakan bahwa hak tanggungan berakhir atau hapus

karena beberapa hal sebagai berikut:

1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan.

Hapusnya hutang itu mengakibatkan hak tanggungan sebagai Hak

Accessoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya hak

tanggungan bertujuan menjamin pelunasan dari hutang debitur yang

menjadi perjanjian pokoknya. Dengan demikian, hapusnya hutang

tersebut juga mengakibatkan hapusnya hak tanggungan; Pada buku

tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan dibubuhkan catatan

mengenai hapusnya hak tersebut, sedang sertifikatnya ditiadakan.

Pencatatan serupa yang disebut pencoretan atau lebih dikenal

sebagai "roya", dilakukan juga pada buku tanah dan sertifikat hak atas

tanah yang semula dijadikan jaminan. Sertifikat hak atas tanah yang

sudah dibubuhi catatan tersebut, diserahkan kembali kepada

pemegang haknya. Secara umum, roya disebut juga dengan

dihapusnya hak tanggungan yang merupakan penghapusan hak

jaminan karena telah dilakukan pelunasan utang yang dibebankan

pada pemilik hak atas tanah dari pihak bank.

2. Dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak

tanggungan.

34
Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan

apabila debitur atas persetujuan kreditor pemegang hak tanggungan

menjual objek hak tanggungan untuk melunasi hutangnya, maka hasil

penjualan tersebut akan diserahkan kepada kreditor yang bersangkutan

dan sisanya dikembalikan kepada debitur. Untuk menghapuskan

beban hak tanggungan, pemegang hak tanggungan memberikan

pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut

kepada pemberi hak tanggungan (debitur). Dan pernyataan tertulis

tersebut dapat digunakan oleh kantor pertanahan dalam mencoret

catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak

tanah yang menjadi objek hak tanggungan yang bersangkutan,

(sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 UUHT);

3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan

peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Pembersihan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua

pengadilan negeri hanya dapat dilaksanakan apabila objek hak

tanggungan dibebani lebih dari satu hak tanggungan. Pada dasarnya

pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan dapat

meminta kepada pihak pemegang Hak Tanggungan agar hak atas

tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban hak

tanggungan yang melebihi harga pembeliannya, sehingga hak atas

tanah yang dibelinya tersebut terbebas dari Hak Tanggungan yang

melekat dan membebaninya.

35
Apabila tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang hak

tanggungan dan pemberi hak tanggungan mengenai pembersihan

objek hak tanggungan dan beban yang melebihi harga pembeliannya,

maka pembeli yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan

kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang (yang daerah

kerjanya meliputi letak objek hak tanggungan yang bersangkutan)

untuk menetapkan pembersihan tersebut dan sekaligus menetapkan

ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang tersebut

diantara para yang berpihutang (kreditor) dan para pihak berhutang

(debitur) dengan peringkat mereka menurut Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (3) UUHT). Dan ketentuan

Pasal 18 ayat (1) UUHT tidak berlaku apabila :

● Pembelian dilakukan secara sukarela (tanpa melalui lelang);

● Dalam APHT yang bersangkutan secara tegas diperjanjikan oleh

para pihak bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan

dari hak tanggungan (Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT).

4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Alasan hapusnya hak tanggungan yang disebabkan karena

hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak

terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang

berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah

satunya meliputi keberadaan dari sebidang tanah tertentu yang

dijaminkan.

36
Dengan demikian, setiap pemberian hak tanggungan harus

memperhatikan dengan cermat hal-hal yang dapat menyebabkan

hapusnya hak atas tanah yang dibebankan dengan hak tanggungan.

Oleh karena itu, setiap hal yang menyebabkan hapusnya hak atas

tanah tersebut demi hukum juga akan menghapuskan hak tanggungan

yang dibebankan diatasnya, meskipun bidang tanah dimana hak atas

tanahnya tersebut hapus tetapi masih tetap ada, dan selanjutnya telah

diberikan pula hak atas tanah yang baru atau yang sama jenisnya.

Dalam hal yang demikian, maka kecuali kepemilikan hak atas tanah

telah berganti, maka perlu dibuatkan lagi perjanjian pemberian hak

tanggungan yang baru, agar hak kreditor untuk memperoleh pelunasan

mendahulu secara tidak pari passu dan tidak prorata dapat

dipertahankan.

2.6. Tinjauan Umum Mengenai Roya Hak Tanggungan

Menurut Pasal 22 ayat (1) UUHT setelah Hak Tanggungan hapus

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUHT, Kantor Pertanahan mencoret

catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan

sertipikatnya. Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22

ayat (1) UUHT itu, oleh Pasal 22 ayat (4) UUHT ditentukan harus diajukan

oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat Hak

Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan

hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan

itu sudah lunas.

37
Selanjutnya Pasal 22 ayat (4) UUHT menentukan pula bahwa catatan

pada sertipikat Hak Tanggungan itu dapat diganti dengan pernyataan tertulis

dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang

dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas. Apabila

hapusnya Hak Tanggungan itu karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan

yang bersangkutan, pihak yang berkepentingan harus mengusahakan

pernyataan tertulis dari kreditor mengenai hapusnya Hak Tanggungan itu

karena kreditor

melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Menurut Pasal 22 ayat (5) UUHT, apabila kreditor tidak bersedia

memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (4) UUHT

itu, pihak yang berkepentingan dapat meminta turut campurnya pengadilan

dengan cara mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada

Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak

Tanggungan yang bersangkutan didaftar. Sedangkan apabila permohonan

perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh

Pengadilan Negeri lain, menurut Pasal 22 ayat (6) UUHT permohonan

tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa

perkara yang bersangkutan.

Setelah perintah Pengadilan Negeri yang dimaksud diperoleh oleh pihak

yang berkepentingan, permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan

berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada Pasal

38
22 ayat (5) dan ayat (6) UUHT itu diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan

dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang

bersangkutan, hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (7) UUHT.

Langkah berikutnya yang terjadi dalam proses pelaksanaan pencoretan

Hak Tanggungan itu setelah permohonan pencoretan diajukan oleh pihak

yang berkepentingan, Kantor Pertanahan dalam waktu tujuh hari kerja

terhitung sejak diterimanya permohonan tersebut harus melakukan pencoretan

catatan Hak Tanggungan tersebut menurut tatacara yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku, demikian ditentukan oleh Pasal

22 ayat (8) UUHT.

39

Anda mungkin juga menyukai