Anda di halaman 1dari 26

HAK ATAS TANAH BERDASARKAN ASAL PRIMER

DAN SEKUNDER

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Agraria

Disusun oleh:

1. Naufal Oktavian (10)

2. Luthfi Mazara (13)

3. Mochamad Akbar Dalil (18)

4. Amalia Fransiska (28)

5. Salmaa Puspita Sari (35)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanah memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat sebagai
tempat tinggal maupun tempat untuk melakukan aktivitas perekonomian. Oleh
karena itulah tanah memiliki nilai ekonomis dan dilekatkan hak-hak tertentu.
Mengenai hal tersebut negara mempunyai wewenang menurut konstitusi untuk
menguasai tanah yang berada dalam wilayah NKRI, mengatur rakyat dalam
mendapatkan hak menguasai tanah berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960. Secara definisi, hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil
manfaat atas tanah tersebut. Dasar ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal
4 ayat 1 UUPA, yaitu atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-
orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum.Hak atas tanah yang bersumber dari hak menguasai dari negara atas
tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik Warga Negara Indonesia maupun
Warga Negara Asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum
baik badan hukum privat maupun publik. Ciri khas dari hak atas tanah adalah
seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau
mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya.

1
Secara hirarki tata susunan hak penguasaan tanah adalah sebagai berikut:

Hak Bangsa Indonesia

Hak Menguasai Oleh


Negara Atas Tanah

Hak-Hak Masyarakat
Hukum Adat

Hak -Hak Perorangan

Berdasarkan gambar piramida diatas dapat disimpulkan bahwa dalam hak penguasaan
tanah terdapat hirarki yang memposisikan Hak Bangsa Indonesia berada di paling atas,
hal ini sesuai dengan amanah konstitusi yang tertuang dalam pasal 1 UUPA yang
menegaskan bahwa “ Seluruh Wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia1”. Hal ini tidak dapat
dipungkiri bahwa pada dasarnya seluruh bumi, air dan kekayaan yang ada didalamnya
termasuk tanah di Indonesia adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada
seluruh Bangsa Indonesia.
Kemudian pada urutan yang kedua yang kita kenal dengan Hak Menguasai
Negara, menurut Muhammad Bakri susunan istilah Hak Menguasai Negara tidak jelas
siapa subyek dan obyeknya sehingga penulisan yang benar adalah Hak Menguasai
Tanah Oleh Negara. Lain halnya dengan Winahyu Erwiningsih yang menggunakan
istilah Hak Menguasai Negara Atas Tanah. Pada intinya maksud dari dua istilah
tersebut sama- sama benar, karena berangkat dari pemahaman Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Pokok Agraria yang menyebutkan bahwa : Atas dasar ketentuan dalam pasal

1
Lihat Muhammad Bakri. Hak bangsa merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam
hukum tanah nasional. Hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung maupun tidak
langsung bersumber padanya. Hak bangsa mengandung dua unsur, yaitu kepunyaan dan unsure tugas
kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyainya. Hak
bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam pengertian yuridis. Maka dalam rangka
Hak Bangsa ada hak milik perorangan atas tanah. Tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan
memimpin penggunaan tanah bersama tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada Negara.
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reforma Agraria), Citra
Media Hukum: Yogyakarta: 2007, hlm.42.

2
33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
Apabila di renungkan lebih dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
terdapat dua kata yang menentukan, sebagaimana dikutip oleh Winahyu Erwiningsih
yaitu perkataan “dikuasai” dan “dipergunakan”2. Perkataan dikuasai sebagai dasar
wewenang Negara. Negara adalah badan hukum publik yang dapat mempunyai hak
dan kewajiban layaknya manusia. Perkataan digunakan mengandung suatu perintah
kepada Negara untuk mempergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Perintah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 berisi keadaan
berbuat, berkehendak, agar sesuai dengan tujuannya.
Hirarki tata susunan hak penguasaan tanah yang ketiga adalah hak-hak
masyarakat hukum adat. Hal ini tertuang dalam pasal 3 UUPA yang mengatakan bahwa
“ Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasioanal dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.3 Apabila
dikaitkan dengan pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan
bahwa Negara mengakui dan menghormati dan kesatuan masing-masing hukum adat
dan hak-hak tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-Undang.
Hirarki yang terakhir adalah Hak-hak Perorangan. Istilah yang dipakai Irma
Devita Purnamasari Hak Individual yang bersifat perdata4, didalamnya terdapat hak

2
Winahyu Erwiningsih, Hah Menguasa Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, 2009: hlm. 3
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah,Djambatan: Jakarta, 2006,hlm. 6
4
Irma Devita Purnamasari, panduan lengkap hukum praktis popular, kiat cerdas, mudah dan bijak
mengatasi masalah Hukum pertanahan, Kaifa: Bandung, 2010, hlm.3

3
primer dan hak sekunder. Menurut Supriadi hak atas tanah primer adalah hak-hak atas
tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau badan
hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain
atau ahli warisnya. Dalam UUPA terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer
yaitu 5:
1. Hak Milik atas Tanah (HM)
2. Hak Guna Usaha (HGU)
3. Hak Guna Bangunan (HGB)
4. Hak Pakai (HP)
Sedangkan yang dimaksud hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak-
hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan sementara karena hak-hak tersebut
dinikmati dalam waktu terbatas, lagi pula hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Adapun
hak atas tanah yang bersifat sementara adalah :
1. Hak Gadai
2. Hak Usaha Bagi Hasil
3. Hak Menumpang
4. Hak Menyewa atas tanah Pertanian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan hak atas tanah berdasarkan asal primer?
2. Apa yang dimaksud dengan hak atas tanah berdasarkan asal sekunder?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hak atas tanah berdasarkan
asal primer.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hak atas tanah berdasarkan
asal sekunder.

5
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika: Jakarta, 2008, hlm.64

4
BAB II
PEMBAHASAN

Hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, (baik


tanah sebagai permukaan bumi (the surface of the earth) dan sekedar diperlukan untuk
kepentingan langsung berhubungan dengan penggunaan tanah). Sehingga dapat
menggunakan tubuh bumi, air dan ruang yang ada diatasnya. Tegasnya meskipun
dalam perpektif pemilikan tanah hanya atas permukaan bumi, maka penggunaan selain
permukaan tanah juga atau bumi, air dan ruang yang ada diatasnya. Hal ini sangat logis
dan rasional, karena suatu hak atas tanah tidak akan bermakna apapun jika kepada
pemegang haknya tidak diberikan kekuasaan untuk mempergunakan sebagian dari
tubuh bumi, air dan ruang diatasnya tersebut. Seperti hak untuk membuat sumur serta
hak untuk menerbangkan layangan dan lain-lain.6
Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 Jo. Pasal 53 UUPA
bersifat limitatif, artinya disamping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam
UUPA, kelak dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus
dengan Undang-Undang. Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi
2 kelompok yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat primer.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-macam hak atas
tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah negara,
Hak Pakai atas tanah negara.
2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak
atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas tanah hak pengelolaan, hak guna
bangunan atas tanah hak milik, Hak Pakai atas tanah hak pengelolaan, Hak Pakai
atas tanah hak milik, Hak Sewa untuk bangunan, Hak Gadai (gadai tanah), hak usaha
bagi hasil (perjanjian bagi hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa tanah pertanian.

6
Darwin Ginting, Hukum Pemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis, Hak Menguasai Negara
dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia, Ghalia Indonesia: Bogor, 2010,hlm.67.

5
2.1 Hak Atas Tanah Berdasarkan Asal Primer
1. Hak Milik
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat
dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UUPA). Ini berarti Hak Milik memiliki
sifat 3T (turun temurun, terkuat dan terpenuhi). Turun temurun artinya hak atas
tanah tersebut tetap berlangsung meskipun yang mempunyai Hak Milik
meninggal dunia dan berlanjut kepada ahli warisnya sepanjang masih
memenuhi persyaratan sebagai Hak Milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah
ini berlangsung untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan secara yuridis dapat
dipertahankan terhadap pihak lain.Selanjutnya makna terpenuhi dalam Hak
Milik artinya pemegang Hak Milik memiliki wewenang yang luas, yaitu
pemegang Hak Milik dapat mengalihkan, menjaminkan, menyewakan bahkan
menyerahkan penggunaan tanah tersebut kepada pihak lain dengan
memberikan hak atas tanah yang baru (Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai).
Termasuk dalam lingkup terpenuhi adalah bahwa dari segi peruntukannya Hak
Milik dapat dipergunakan untuk keperluan apa saja baik untuk usaha pertanian
maupun non pertanian (rumah tinggal atau mendirikan bangunan untuk tempat
usaha).
Peralihan Hak Milik atas tanah diatur dalam pasal 20 ayat (2) UUPA,
yaitu hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengertian
beralih menurut Urip Santoso artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari
pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum. dengan
meninggalnya pemilik tanah, maka hak miliknya secara hukum berpindah
kepada ahli warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat sebagai subyek
hak milik. Sedangkan pengertian dialihkan adalah berpindahnya hak milik atas
tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan
hukum. contoh perbuatan hukum yaitu jual beli, tukar menukar, hibah,
penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan, lelang.7

7
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak- Hak Atas Tanah, Prenada Media Group : Jakarta, 2008,
hlm.93.

6
Subyek Hak Milik atau siapa saja yang boleh memiliki tanah dengan
status hak milik ? yang pertama adalah, Warga Negara Indonesia (WNI),
hanya WNI aja yang bisa mempunyai tanah yang berstatus hak milik. Hal ini
sesuai dengan amanah konstitusi pasal 21 ayat (1) UUPA. Sedangkan subyek
yang kedua adalah Badan-badan Hukum, pemerintah menetapkan badan-
badan hukum yang dapat mempunyai hak milik seperti bank-bank yang
didirikan oleh Negara (Bank Negara), koperasi pertanian, badan keagamaan,
dan badan sosial (pasal 1 PP No 38 Tahun 1963 tentang penunjukan badan-
badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah). Sedangkan menurut
pasal 8 ayat (1) Permen Agraria/Kepala BPN No 9 Tahun 1999 tentang cara
pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan, badan-
badan hukum yang dapat mempunyai hak milik adalah bank pemerintah, badan
keagamaan, dan badan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah. Bagi pemilik
tanah yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai subyek hak milik atas tanah
maka dalam jangka waktu satu tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak
milik atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Terjadinya Hak Milik. Hak milik atas dapat terjadi melalui 3 cara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 22 UUPA. (1) Hak Milik atas tanah
yang terjadi menurut Hukum Adat. Hal ini terjadi dengan jalan pembukaan
tanah (pembukaan hutan)8 atau terjadi karena timbulnya lidah tanah
(Aanslibbing)9. Terjadinya hak milik menurut hukum adat ini tidak dapat
didaftarkan pada kantor pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk
mendapatkan sertifikat Hak Milik Atas Tanah. Ketentuan ini akan diatur oleh
Peraturan Pemerintah yang sampai sekarang belum terbentuk. (2)Hak Milik
atas tanah terjadi karena Penetapan Pemerintah Hak Milik atas tanah ini terjadi

8
Yang dimaksud dengan pembukaan tanah (pembukaan hutan) yang dilakukan secara bersama-sama
dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketua adat melalui 3 sistem penggarapan yaitu
matok sirah matok galeng, matok sirah gilir galeng, dan sistem bluburan. Lihat Urip Santoso : 2008,
hlm. 94
9
Yang dimaksud dengan lidah tanah (Aanslibbing) adalah tanah yang timbul atau muncul karena
berbelokny arus sungai atau tanah yang timbul dipinggir pantai, dan terjadi dari lumpur, lumpur tersebut
makin lama makin tinggi dan mengeras sehingga akhirnya menjadi tanah.

7
karena permohonan pemberian Hak Milik atas tanah oleh pemohon dengan
memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Apabila persyaratan telah terpenuhi maka BPN
akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib
didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertahan Kabupaten dan Kota
setempat untuk dicatat dalam buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Milik
Atas Tanah. (3) Hak Milik atas tanah terjadi karena ketentuan Undang-Undang.
Hak milik atas tanah yang terjadi karena Undang-Undang lah yang
menciptakannya, sebagaimana yang diatu dalam pasal I pasal II, dan pasal VII
ayat (1) ketentuan-ketentuan konversi UUPA. Terjadinya hak milik atas tanah
ini atas dasar ketentuan konversi (perubahan) menurut UUPA . Sejak
berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, semua hak atas tanah yang
ada harus dirubah menjadi satu hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.
Hapusnya hak milik atas tanah. Pasla 27 UUPA menetapkan faktor-
faktor penyebab hapusnya hak milik atas tanah dan tanhanya jatuh kepada
Negara yaitu :
a. Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 1810
b. Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya;11
c. Karena diterlantarkan12
d. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik
atas tanah.

10
Pasal 18 UUPA Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan member ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.
11
Lihat Urip Santoso, Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan
hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi
atas dasar musyawarah. Hak atas tanah yang dilepaskan atau diserahkan berakibat hak atas tanahnya
menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Urip
Santoso,Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2010.
Hlm. 71
12
Pengaturan mengenai tanah terlantar dapat ditemukan dalam PP No 36 Tahun 1998 tentang penertiban
dan Pendayagunaan tanah Terlantar. Pasal 3 dan pasal 4 dapat dirangkum bahwa pengertian tanah
terlantar adalah : (1) tanah yang tidak dimanfaatkan dan atau dipelihara dengan baik. (2) tanah yang
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan dari pemberian haknya tersebut. Kartini
Muljadi, Gunawan Widjaja, Hak-hak atas tanah. Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2003. Hlm.
137

8
e. Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada
pihak lain tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah.
Hak milik atas tanah juga dapat hapus karena tanahnya musnah,
misalnya terjadi bencana alam.
2. Hak Guna Usaha (“HGU”)
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana yang telah ditentukan
dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan (Pasal
28 ayat 1). Kemudian, PP Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan guna
perusahaan perkebunan. Dasar hukum mengenai Hak Guna Usaha adalah Pasal
16 ayat 1 huruf b UUPA. Secara khusus Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal
28 sampai 34 UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Guna Usaha diatur
dengan Peraturan Perundangan (Pasal 50 ayat 2). Peraturan yang dimaksud
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, yang kemudian secara khusus
pengaturannya dalam Pasal 2 sampai dengan 18. Ciri-cirinya dapat dilihat
sebagaimana berikut; HGU tergolong hak atas tanah yang kuat, HGU bisa
diwariskan; HGU dapat dijadikan jaminan utang; dapat diperalihkan kepada
orang lain; dapat dilepaskan oleh empunya; hanya dapat dipergunakan untuk
keperluan usaha pertanian, perikanan dan peternakan.
Terjadinya HGU dengan Penetapan Pemerintah. HGU terjadi melalui
permohonan pemberian HGU oleh pemohon kepada kepada BPN. Apabila
persyaratan yang ditentukan dipenuhi, maka BPN menerbitkan surat keputusan
pemberian hak (SKPH). Sedangkan, luas tanah HGU adalah untuk
perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya 25 hektar.
Sedangkan untuk badan hukum luas minimalnya 5 hektar dan luas
maksimalnya ditetapkan oleh Kepala BPN (pasal 28 ayat (2) UUPA jo. Pasal
5 PP No 40 tahun 1996).
Subjek dalam hukum Hak Guna Usaha adalah Warga Negara Indonesia
dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan

9
di Indonesia (Pasal 30 UUPA jo Pasal 2 PP Nomor 40 Tahun 1996). Jangka
waktu Hak Guna Usaha 25 tahun dan untuk perusahaan yang memerlukan
waktu yang lebih lama dapat diberikan paling lama 35 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 ayat 1, 2 dan
3 UUPA). Kemudian di dalam Pasal 8 PP No. 40 tahun 1996 mengatur jangka
waktu Hak Guna Usaha untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun, dapat
diperpanjang paling lama 25 tahun, dan diperbaharui untuk waktu paling lama
35 tahun. Permohonan perpanjangan atau pembaharuan HGU diajukan
selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU
tersebut. Perpanjangan atau pembaharuan HGU tersebut dicatatkan dalam buku
tanah pada kantor pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Persyaratan untuk melakukan perpanjangan yang dilakukan oleh
pemegang hak adalah:
● Tanah masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan
tujuan pemberian hak tersebut.
● Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak.
● Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak (Pasal 9
ayat 1).
Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha adalah:
● Membayar uang pemasukan kepada Negara
● Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan/atau
peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian hak.
● Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan
kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi
teknis.
● Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah
yang ada di lingkungan HGU.

10
● Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam
dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
● Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai
penggunaan HGU
● Menyerahkan kembali tanah diberikan dengan HGU kepada Negara
setelah HGU tersebut dihapus.
● Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan (Pasal 12 ayat 1 PP Nomor 40 Tahun 1996)
Hak guna usaha hapus jika :
● Jangka waktunya telah berakhir
● Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak terpenuhi
● Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
● Dicabut untuk kepentingan umum
● Ditelantarkan
● Tanahnya musnah
● Ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2 UUPA
Pembebanan Hak Guna Usaha dengan Hak Tanggungan:
HGU dapat dijadikan jaminan utang dengan diibebani hak tanggungan
(pasal 33 UUPA jo. Pasal 15 PP No 40 Tahun 1996. Prosedur Hak tanggungan
adalah:
• Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notariil atau
akta dibawah tangan sebagai perjanjian pokoknya.
• Adanya penyerahan Hak Guna Usaha sebagai jaminan utang yang
dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuata oleh
PPAT.
• Adanya pendaftaran akta Pemberian Hak Tanggungan kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah
dan diterbitkan sertifikat hak tanggungan.

11
3. Hak Guna Bangunan (“HGB”)
Dalam Pasal 35 UUPA dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB)
adalah hak untuk mendirikan bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri dalam jangka waktu 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak
dengan mengingat keperluan dan keadaan bangunan-bangunannya. Jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Terjadinya HGB berdasarkan asal
tanahnya dapat dijelaskan sebagaimana berikut:
1. HGB Atas Tanah Negara
2. HGB Atas tanah Hak Pengelolaan
3. HGB atas tanah Hak Milik
Orang atau badan hukum yang mempunyai HGB dan tidak lagi
memenuhi syarat, dalam waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika dalam waktu tersebut tidak
diperhatikan/dilaksanakan, maka hak tersebut hapus karena hukum dengan
ketentuan bahwa hak pihak lain akan dipindahkan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal seseorang mendapatkan wasiat
HGB, sedangkan dia adalah warga negara asing, maka HGB tersebut tidak
sekaligus hapus. Begitu juga seorang warga negara Indonesia yang mempunyai
HGB, kemudian berubah jadi warga negara asing (WNA), maka dalam satu
tahun harus diakhiri. Jika tidak diakhiri, maka haknya hapus karena hukum dan
tanahnya menjadi tanah Negara, namun bagi yang bersangkutan dapat saja
mengajukan permohonan hak sesuai dengan kedudukan subjek yang
bersangkutan, misalnya dengan Hak Pakai. Jika ahli waris HGB orang yang
memenuhi syarat dan bersama-sama dengan orang yang tidak memenuhi syarat,
maka dalam jangka waktu satu tahun bagi yang tidak memenuhi syarat harus
memindahkan/ melepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat. Apabila
dalam jangka waktu tersebut kepemilikan pihak pihak yang tidak memenuhi

12
syarat tidak diakhiri, menurut Boedi Harsono (2009) bukan hanya bagiannya
yang hapus, seluruh hak atas tanah menjadi hapus. Hal ini disebabkan oleh13:
● HGB milik bersama tidak dapat ditentukan bagian tanah mana
kepunyaaan pihak yang memenuhi syarat, dan bagian mana pula
kepunyaan pihak yang tidak memenuhi syarat.
● Apabila HGB tersebut tidak hapus, maka akan timbul keadaan
seseorang yang tidak memenuhi syarat dapat terus mempunyai
HGB. Keadaan ini bertentangan dengan UUPA.
Jangka waktu HGB, jangka waktu HGB diatur dalam pasal 26 dampai
dengan pasal 29 PP No 40 tahun 1996 :
1. HGB Atas Tanah Negara berjangka waktu untuk pertamakali paling
lama 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun dapat diperbaharui 30
tahun.
2. HGB Atas tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama
kalinya 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun dan dapat
diperbaharui paling lama 30 tahun
3. HGB atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak
ada perpanjangan waktu. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah
dengan pemegang HGB dapat diperbaharui dengan pemberian HGB
baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada
kantor pertanahan Kabupaten /Kota setempat.
Hapusnya HGB,
1. Jangka waktunya berakhir
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat tidak
dipenuhi.
3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir,
4. Dicabut untuk kepentingan umum
5. Diterlantarkan

13
Boedi Harsono (2009)

13
6. Tanahnya musnah
7. Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2)
Akibat Hapusnya HGB:
1. Hapusnya HGB atas tanah Negara mengakibatkan tanahnya menjadi
tanah Negara.
2. Hapusnya HGB atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan tanahnya
kembali kedalam penguasaan pemegang hak pengelolaan.
3. Hapusnya HGB atas tanah hak milik mengakibatkan tanahnya kembali
kedalam penguasaan pemilik tanah (pasal 36 PP No 40 tahun 1996).
4. Hak Pakai
Menurut Pasal 41 UUPA yang dimaksud Hak Pakai adalah hak untuk
menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Perkataan
menggunakan dalam Hak Pakai menunjukkan pada pengertian bahwa Hak
Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan
perkataan memungut hasil dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa
Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya
pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan.
Menurut Pasal 42 UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai
Hak Pakai, adalah:
a. Warga negara Indonesia.
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

14
Terjadinya HP berdasarkan asal tanahnya dapat dijelaskan
sebagaimana berikut:
1. HGB Atas Tanah Negara
2. HGB Atas tanah Hak Pengelolaan
3. HGB atas tanah Hak Milik
Jangka waktu HP, jangka waktu HP diatur dalam pasal 45 dampai
dengan pasal 49 PP No 40 tahun 1996 :
1. HP Atas Tanah Negara berjangka waktu untuk pertamakali paling lama
25 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun dapat diperbaharui 25 tahun.
2. HP Atas tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kalinya
25 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun dan dapat diperbaharui paling
lama 25 tahun
3. HP atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak
ada perpanjangan waktu. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah
dengan pemegang HGB dapat diperbaharui dengan pemberian HGB
baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada
kantor pertanahan Kabupaten /Kota setempat.
Berdasarkan pasal 55 PP No 40 tahun 1996, faktor-faktor penyebab
hapusnya hak pakai :
1. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan
atau pemilik tanah sebelum jangka waktunya berakhir karena :
a. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai
dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai.
b. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban
yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara
pemegang hak pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian
penggunaan hak pengelolaan. Atau

15
c. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir
4. Hak pakainya dicabut
5. Diterlantarkan.
6. Tanahnya musnah
7. Pemegang hak pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak
pakai.

2.2 Hak Atas Tanah Berdasarkan Asal Sekunder


Pada dasarnya Hak asal sekunder didasarkan yaitu hak atas tanah yang
berasal dari tanah pihak lain. Dan juga Bersifat Sementara. Hak-hak atas tanah yang
bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h UUPA. Macam-macam
haknya disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yang meliputi Hak Gadai (gadai tanah),
Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil), menumpang dan Hak Sewa tanah
pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan berisifat sementara dalam
waktu singkat diusahakan akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat
pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Namun kenyataannya tidak dapat
dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat-sifat pemerasan.
Macam-macam hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu:
1. Hak Gadai (Gadai Tanah)
Pengertian Hak Gadai (gadai tanah), yaitu: hubungan antara seseorang
dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai
daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai
oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi pemegang
gadai. Pengembalian uang gadai atau lazim disebut penebusan tergantung kepada
kemauan atau kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Para pihak dalam
Hak Gadai (gadai tanah) terdapat dua pihak, yaitu:

16
a. Pemilik tanah pertanian disebut pemberi gadai.
b. Pihak yang menyerahkan uang kepada pemberi gadai adalah penerima
(pemegang) gadai.
Jangka waktu Hak Gadai (gadai tanah) praktiknya dibagi menjadi dua, yaitu:
1 Hak Gadai (gadai tanah) yang lamanya tidak ditentukan. Dalam Hak
Gadai (gadai tanah)tidak ditentukan lamanya, maka pemilik tanah
pertanian tidak boleh melakukan penebusan sewaktu-waktu.
2 Gadai tanah yang lamanya ditentukan. Dalam Hak Gadai (gadai tanah)
ini. Pemilik tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu
yang diperjanjikan dalam Hak Gadai (gadai tanah ) berakhir.
Ciri-ciri Hak Gadai (gadai tanah) menurut hukum adat adalah:
a. Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa.
b. Pemegang gadai selalu berhak untuk mengulang gadaikan tanahnya.
c. Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera ditebus.
d. Tanah yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi milik
pemegang gadai bila tidak ditebus.
Menurut Boedi Harsono, sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Gadai(gadai tanah):
a. Hak Gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas artinya pada suatu
waktu akan hapus.
b. Hak Gadai (gadai tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya
pemegang gadai.
c. Hak Gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah yang
lain.
d) Hak Gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat
dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang
semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang
baru antara pemilik dengan pihak ketiga (memindahkan gadai atau
doorverpanden).
d. Hak Gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya
dialihkan kepada pihak lain.

17
e. Selama Hak Gadai (gadai tanah)nya berlangsung maka atas
persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah
(mendalami gadai).
f. Sebagai lembaga, Hak Gadai (gadai tanah) pada waktunya akan hapus.
Hak Gadai (gadai tanah) disamping mempunyai unsur tolong menolong
juga ada sifat pemerasannya karena selama pemilik tanah tidak dapat
menembus tanahnya, tanah tetap dikuasai oleh pemegang gadai. Faktor-faktor
penyebab hapusnya Hak Gadai (gadai tanah) adalah sebagai berikut:
a. Telah dilakukan penebusan oleh pemilik tanah (pemberi gadai).
b. Hak Gadai sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih
c. Adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pemegang
gadai menjadi pemilik tanah atas tanah yang digadaikan karena
pemilik tanah tidak dapat menebus dalam jangka waktu yang
disepakati oleh kedua belah pihak dalam gadai tanah.
d. Tanahnya dicabut untuk kepentingan umum.
e. Tanahnya musnah.
2. Hak Usaha Bagi Hasil
Menurut Boedi Harsono, Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian Bagi hasil)
adalah adalah hak seseorang atau badan hukum (yang disebut penggarap) untuk
menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah kepunyaan pihak lain (yang
disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua
belah pihak menurut imbangan yang telah disepakati14.Mekanisme Hak Usaha
Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil) menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian, yaitu perjanjian bagi hasil harus dibuat
secara tertulis di muka Kepala Desa, disaksikan oleh minimal dua orang saksi,
dan disahkan oleh camat setempat serta diumumkan dalam kerapatan desa yang
bersangkutan.

14
Ibid.,hal. 271

18
Mekanisme Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil) menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian, yaitu
perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di muka Kepala Desa, disaksikan
oleh minimal dua orang saksi, dan disahkan oleh camat setempat serta
diumumkan dalam kerapatan desa yang bersangkutan. Tujuan mengatur Hak
Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil) disebut dalam penjelasan umum UUPA,
yaitu:
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan atas
dasar yang adil.
b. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan
penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi
penggarap.
c. Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada a dan b di atas, maka
bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para petani penggarap, hal mana
akan berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan
mengusahakan tanahnya.
Sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil)
menurut Boedi Harsono, yaitu:
a. Perjanjian bagi hasil jangka waktunya terbatas.
b. Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa izin
pemilik tanahnya.
c. Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas
tanah yang bersangkutan kepada pihak lain.
d. Perjanjian bagi hasil tidak hapus jika penggarap meninggal dunia, tetapi
hak itu hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia.
e. Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus (di kantor Kepala
Desa).
f. Sebagai lembaga perjanjian bagi hasil ini pada waktunya akan dihapus.
Jangka waktu Hak Usaha Bagi Hasil menurut hukum adat hanya berlaku
satu (1) tahun dan dapat diperpanjang, akan tetapi perpanjangan jangka waktunya

19
tergantung pada kesediaan pemilik tanah, sehingga bagi penggarap tidak ada
jaminan untuk dapat menggarap dalam waktu yang layak.15 Sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian,
yaitu:
a. Lamanya jangka waktu perjanjian bagi hasil untuk tanah sawah sekurang-
kurangnya 3 tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun.
b) Perjanjian tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah yang
bersangkutan kepada pihak lain.
b. Jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi hasil itu
dilanjutkan oleh ahli warisnya dengan hak dan kewajiban yang sama
c. Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya jangka waktu
perjanjian hanya dimungkinkan apabila jika ada persetujuan kedua belah
pihak yang bersangkutan dan hal itu dilaporkan kepada kepala desa.
Hak pemilik tanah, berhak atas bagian hasil tanah yang ditetapkan atas
dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak dan berhak menuntut pemutusan
hubungan bagi hasil jika ternyata kepentingannya dirugikan penggarap.
Sedangkan kewajiban, menyerahkan tanah garapan kepada penggarap dan
membayar pajak atas tanah yang garapan yang bersangkutan. Hak penggarap
tanah, yaitu selama perjanjian bagi hasil berlangsung berhak untuk
mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima bagian dari hasil tanah
itu sesuai dengan imbangan yang ditetapkan atas dasar kesepakatan oleh kedua
belah pihak. Sedangkan kewajiban pengggarap tanah, yaitu mengusahakan tanah
tersebut dengan baik, menyerahkan bagian hasil tanah yang menjadi hak pemilik
tanah, memenuhi beban yang menjadi tanggungannya dan menyerahkan kembali
tanah garapannya kepada pemilik tanah dalam keadaan baik setelah berakhirnya
jangka waktu perjanjian bagi hasil. Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian
bagi hasil), faktor-faktornya adalah:
a. Jangka waktu berakhir.

15
Noer Fauzi, Perubahan Politik Agraria dan Penguatan Institusi Rakyat, Dua Ranah Agenda
Pembaharuan Agraria, (Hapera Pustaka Utama :Yogyakarta), 2001, hal. 129

20
b. Atas persetujuan kedua belah pihak, perjanjian bagi hasil diakhiri.
c. Pemilik tanah meninggal dunia.
d. Adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan dalam perjanjian
bagi hasil.
e. Tanahnya musnah.
3. Hak Menumpang
Pengertian Hak Menumpang dalam UUPA tidak memberikan pengertian
apa yang dimakasud dengan Hak Menumpang. Sedangkan Boedi Harsono,
memberikan pengertian Hak Menumpang adalah hak yang memberi wewenang
kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah diatas tanah
pekarangan milik orang lain16. Hak Menumpang biasanya terjadi atas dasar
kepercayaan oleh pemilik tanah kepada orang lain yang belum mempunyai
rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk tidak tertulis, tidak ada saksi dan
tidak diketahui oleh perangkat desa/kelurahan, sehingga jauh dari kepastian
hukum dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Sifat dan ciri- ciri Hak
Menumpang, adalah:
a. Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktuwaktu dapat
dihentikan.
b. Hubungan hukumnya lemah yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan
oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah tersebut.
c. Pemegang Hak Menumpang tidak wajib membayar sesuatu (uang sewa)
kepada pemilik tanah.
d. Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan.
e. Bersifat turun temurun artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
f. Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hapusnya Hak Menumpang,
adalah sebagai berikut:abkan hapusnya Hak Menumpang, adalah sebagai berikut:

16
Boedi Harsono, Op.,Cit, hal. 278

21
a. Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat mengakhiri hubungan hukum
antara pemegang Hak Menumpang dengan tanah yang bersangkutan.
b. Hak milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk kepentingan
umum.
c. Pemegang Hak Menumpang melepaskan secara sukarela Hak
Menumpang.
d. Tanah musnah.
4. Hak Sewa Tanah Pertanian
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan Hak
Sewa Tanah Pertanian. Hak Sewa Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan
hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah
kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang
sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.17
Hak Sewa Tanah Pertanian bisa terjadi dalam bentuk perjanjian yang
tidak tertulis atau tertulis yang memuat unsur-unsur para pihak, objek, uang sewa,
jangka waktu hak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian dan penyewa.
Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab hapusnya Hak Sewa Tanah
Pertanian, adalah:
a) Jangka waktunya berakhir.
b) Hak Sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari pemilik
tanah kecuali hal itu diperkenankan oleh pemilik tanah.
c) Hak Sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa.
d) Hak atas tanah dilepaskan secara oleh penyewa.
e) Hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum.
f) Tanahnya musnah.

17
AP. Parlindungan, Op.,Cit, hal. 216

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hak atas tanah bersifat primer: Hak atas tanah primer adalah hak atas
tanah yang berasal dari tanah negara yang terdiri dari Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Pakai atas tanah negara.
Hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu Hak atas tanah sekunder berasal dari
tanah yang dikuasai pihak lain, meliputi Hak Guna Bangunan (HGB) diatas tanah
Hak Pengelolaan atau HaB tanah Hak Milik, Hak Pakai diatas Tanah Pengelolaan
atau Hak Pakai diatas tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai
(gadai tanah). Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil), Hak Menumpang
dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

3.2 Saran
Pemberian hak atas tanah yang berasal dari primer maupun sekunder
harusnya tetap sejalan dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana
yang diamanatkan dalam UUD 1945 yaitu: memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun yang memiliki penguasaan
hak-hak tanah adalah pertama, Bangsa Indonesia sendiri, disini dinyatakan bahwa
tanah secara keseluruhan adalah milik Bangsa Indonesia. Tidak ada segelintir
orang atau segelintir kelompok yang menyatakan bahwa tanah secara keseluruhan
yang ada di wilayah Indonesia adalah miliknya secara utuh,kedua bahwa memang
Negara mempunyai hak menguasai akan tanah di Indonesia.
Penguasaan ini dimaksudkan bukanlah menjadi Hak Milik, tetapi negara
menguasai tanah dalam arti Negara diberikan hak untuk mengelola tanah yang ada
di Indonesia demi kemakmuran rakyat Indonesia sendiri. hak-hak individu atas
tanah juga mendapat pengakuan dari UUPA seperti Hak Milik (HM), Hak Guna
Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Wakaf dan Hak- Hak
Jaminan atas tanah. Jadi jelas bahwa sistem hukum pertanahan Indonesia memang
didasarkan pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu sendiri seperti kebersamaan,

23
keadilan, kemakmuran serta kekeluargaan dalam penguasaan dan pemanfaatan
tanah dengan tetap berpegang pada prinsip tanah haruslah mempunyai fungsi
sosial.

24
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Winahyu Erwiningsih, Hah Menguasa Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta,
2009: hlm. 3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah,Djambatan: Jakarta, 2006,hlm. 6
Irma Devita Purnamasari, panduan lengkap hukum praktis popular, kiat cerdas, mudah
dan bijak mengatasi masalah Hukum pertanahan, Kaifa: Bandung, 2010, hlm.3
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika: Jakarta, 2008, hlm.64.
Darwin Ginting, Hukum Pemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis, Hak
Menguasai Negara dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia, Ghalia
Indonesia: Bogor, 2010,hlm.67.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak- Hak Atas Tanah, Prenada Media Group :
Jakarta, 2008, hlm.93.
Noer Fauzi, Perubahan Politik Agraria dan Penguatan Institusi Rakyat, Dua Ranah
Agenda Pembaharuan Agraria, (Hapera Pustaka Utama :Yogyakarta), 2001,
hal. 129.
Jurnal:
Sari, I. (2020). Hak-hak atas tanah dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia
menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Jurnal Mitra Manajemen,
9(1).
Kumara, I. M. C. G., Wijaya, I. K. K. A., & Suryani, L. P. (2021). Kepastian Hukum
Pemegang Hak atas Tanah dalam Sistem Hukum Pertanahan di Indonesia.
Jurnal Preferensi Hukum, 2(3), 560-563.
Pardede, M. (2019). Hak Menguasai Negara Dalam Jaminan Kepastian Hukum
Kepemilikan Hak Atas Tanah Dan Peruntukannya. Jurnal Penelitian Hukum De
Jure, 19(4), 405-420.
Peraturan:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

25

Anda mungkin juga menyukai