Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah bagi hidup dan penghidupan manusia merupakan "conditio sine qua

non". Perkembangan hubungan manusia dengan tanah semakin lama semakin luas

dan kompleks dimulai dengan tahap individu terhadap tanah sampai corak yang

diciptakan oleh negara.1 Di negara Indonesia secara konstitusional masalah tanah

sebagai permukaan bumi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar

1945, yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Pasal 33 ayat (3), tersebut berhubungan erat dengan ayat-ayat sebelumnya

serta penjelasannya, bahkan jika ditilik dari letak kedudukannya, maka Pasal

tersebut berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan bangsa Indonesia. Baik dalam

ayat maupun bunyi penjelasannya, dapat dikemukakan bahwa penguasaan tanah

sebagai permukaan bumi oleh negara agar dapat tercapai sebesar besar kemakmuran

rakyat demi tercapainya tujuan negara sebagaimana tersurat di dalam alinea keempat

Pembukaan UUD 1945. Penguasaan tanah oleh negara penting sebab tanah

merupakan pokok pokok kemakmuran rakyat, sehingga perlu dicegah penguasaan

tanah oleh kelompok tertentu yang dapat menimbulkan penindasan dan pemerasan

1
Boedi Harsono, “Aspek Yuridis Penyediaan Tanah,” Jurnal Hukum & Pembangunan 20, no. 2 (1990):
155–170.
bagi rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dijabarkan dalam peraturan perundang

undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar PokokPokok Agraria, dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor

104 yang lazim disingkat dengan UUPA2

UUPA sebagai undang-undang organis dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

mengatur kewenangan negara atas tanah sebagaimana tersimpul dalam Pasal 2 ayat

(2) UUPA yang berbunyi:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan

dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Hak menguasai atas tanah tersebut pelaksanaannya dilakukan oleh

pemerintah Pusat. Hal ini sesuai dengan bentuk Negara Indonesia sebagai negara

kesatuan. Namun mengingat luas wilayah, hasil guna dan daya guna, maka

wewenang pemerintah Pusat tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan pada daerah-

daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan

Peraturan Pemerintah.

2
Urip Santoso, “Hukum Agraria Hak-Hak Atas Tanah” (2005).
Dari Pasal 16 ayat (1) UUPA tersebut terdapat aneka macam hak yang tidak

bersifat limitatif, artinya selain hak tersebut masih memungkinkan ada atau

diciptakan hak lain atas tanah. Hal itu nampak dalam pasal 16 ayat (1) huruf h yang

mengelompokkan dua hak atas tanah selain yang disebut di atas, yaitu:3

1. Hak - hak lain yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang

2. Hak-hak sementara sebagai dimaksud Pasal 53, yaitu: hak gadai, hak

usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.

Dalam Penjelasan Umum maupun Penjelasan Pasal 16 UUPA tidak

dijumpai suatu keterangan tentang hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan

Undang undang itu. Hal ini mungkin dikarenakan di satu pihak penentuan hak itu

mengandung kesulitan karena sukar bagi pembuat undang-undang untuk

menentukan. Di lain pihak akan digunakan sebagai cadangan yang memudahkan

bagi pembentuk undang-undang yang akan datang dalam menciptakan atau

memberikan suatu hak atas tanah. Namun demikian hak-hak yang akan dibentuk

kemudian harus diatur dalam bentuk Undang-Undang.

Sebagai suatu nama, UUPA (Vide Pasal 16) tidak menyebutkan secara

eksplisit adanya hak pengelolaan. Namun kehadiran hak pengelolaan tersebut

dimungkikan berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf h, serta Penjelasan Umum Angka

huruf 2 yang antara lain menyebutkan Kekuasaan negara atas tanah yang tidak

dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan
3
Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah (Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005)
penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat

memberikan tanah yang demikian itu atau badan hukum kepada seseorang dengan

sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam Pengelolaan

kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan daerah Swatantra) untuk

dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing [Pasal 2 ayat (4)]. Dalam

kenyataannya hak pengelolaan sebagai nama atau titel hak atas tanah adalah berasal

dari konversi hak penguasaan tanah negara oleh Kementerian (Departemen) Jawatan

atau Daerah Swatantra berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953

tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Menurut Peraturan-Pemerintah tersebut

penguasaan atas tanah negara yaitu tanah yang dikuasai penuh oleh negara berada

pada: 4

1. Kementerian Dalam Negeri berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 1953, dan

2. Kementerian, Jawatan atau daerah Swatantral berdasarkan Peraturan

Perundangundangan sebelumnya

Menteri Dalam Negeri berhak menyerahkan penguasaan kepada suatu

Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra serta mengadakan pengawasan

terhadap penggunaan tanah itu dan berhak mencabut penguasaan atas tanah negara,

4
Dwi Fratmawati, “Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di
Semarang (Studi Kasus Pelebaran Jalan Raya Ngaliyan–Mijen). Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro, 2006
jika penguasaan itu ternyata keliru atau tidak tepat lagi, dan tanah yang bersangkutan

tidak dipelihara atau tidak dipergunakan lagi sebagaimana mestinya.

Penyerahan bagian dari hak pengelolaan kepada pihak ketiga yang semula

dibatasi hanya dapat diterbitkan hak pakai, namun kemudian berdasarkan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1977 diperluas menjadi hak milik hak guna

bangunan dan hak pakai. (Pasal 2) bahkan jika dipahami lebih lanjut pasal tersebut

memperluas pemberian jenis-jenis hak atas tanah yaitu tergantung rencana

peruntukkan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak

pengelolaan.

Dari uraian di atas nampak bahwa terdapat suatu keinginan untuk

menciptakan suatu hak atas tanah yang baru dalam bentuk konversi hak atas tanah

yang berasal dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 berdasarkan Peraturan

Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1965 Jo Pasal 58 UUPA serta pemberian hak baru

atas tanah berdasarkan Pasal 2 dan 3 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 jo

Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1965.

Namun jika dilihat dari Penjelasan Umum UUPA, maka hak pengelolaan

tersebut pengertian dan luas lingkupnya mengacu pada Pasal 2 ayat (4) UUPA yang

berbunyi: "Hak menguasai dari Negara atas pelaksanaannya dapat tersebut di

Daerah-daerah kepada dikuasakan Swatantra dan masyarakat masyarakat hukum

adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,

ketentuan-ketentuan peraturan menurut pemerintah" Lebih lanjut Penjelasan Pasal 2

ayat lain: "Ketentuan (4) menyebutkan antara dalam ayat (4) adalah bersangkutan,
dengan asas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat

(Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar). Dengan demikian maka pelimpahan

wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah

merupakan medebewind. Segala sesuatunya, akan diselenggarakan menurut

keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi

daerah itu.

Dari uraian di atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini

dalam makalah sederhana dengan judul “Kedudukan Hak Pengelolaan atas

Tanah Menurut Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yang menjadi pokok kajian dalam kajian ini yaitu:

1. Bagaimana

2. Bagaimanakah

3. Bagaimana

1.3 Landasan Teoritis

1.3.1 Pengertian Tanah


Tanah merupakan keperluan pokok bagi manusia, sedari lahir manusia

memerlukan tanah untuk berbagai kebutuhan seperti tempat tinggal, kegiatan

pertanian, dan lain-lain. Istilah tanah dalam bahasa Inggris dikenal dengan land

atau ground atau soil atau earth. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut

dengan aarde atau grondgebied atau land.5

Adapun di dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanah diartikan sebagai

berikut:

1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;

2. Keadaan bumi di suatu tempat;

3. Permukaan bumi yang diberi batas

4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas,

napal, dan sebagainya).

Tanah adalah suatu wilayah yang memiliki kemungkinan untuk

dikembangkan dari segi ekonomi yang dapat memberi nafkah bagi golongan

manusia (bisa berupa hutan, sungai-sungai, gunung, sumbersumber mineral

maupun lahan-lahan pertanian) dan dihayati sebagai perpangkalan budaya dari

komunitas yang bersangkutan.6

Tanah dalam ruang lingkup agraria adalah bagian dari bumi, yang

disebut sebagai permukaan bumi. Tanah dalam arti di sini bukanlah mengatur

5
Arba, Hukum Agraria Indonesia(Jakarta: Sinar Grafika, 2017)
6
Arba, Hukum Agraria Indonesia(Jakarta: Sinar Grafika, 2017)
tanah dari segi seluruh aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu

aspeknya, yitu tanah dalam pengertian yuridis atau menurut hukum yang

disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat

(1) UUPA yaitu: “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang

dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas

permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan

dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang

lain serta badan-badan hukum.”. Dengan demikian, jelas bahwa tanah dalam

pengertian yuridis ialah permukaan bumi seperti yang tercantum dalam Pasal

4 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Sedangkan hak atas tanah

adalah hak sebagian tertentu permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai orang-orang baik sendiri maupun bersama-

sama.

1.3.2 Persfektif Ilmu Hukum

antara dua realitas tersebut.7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut:

7
Diana E. Rondonuwu. Ilmu Hukum Dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern. Lex CrimenVol.
III/No. 2/April/2014
1. Untuk mengetahui

2. Untuk Mengetahui

3. Untuk Mengetahui

1.4.2 Manfaat Penelirian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian dapat memberikan kegunaan untuk mengembangkan ilmu hukum

khususnya dalam Hukum Pertanahan dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam

penelitian yang lain yang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi masyarakat atau praktisi

hukum serta dapat menjadi masukan bagi pemerintah terkait.

1.5 Metodologi Penelitian

1.5.1 Jenis Penelitian

Pertama, mengenai Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum yuridis normative,

1.5.2 Jenis Pendekatan Penelitian

Dalam tulisan ini menggunakan pendekatan yang dipadukan antara pendekatan

peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan sejarah (historical

approach).

1.5.3 Sumber Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer : Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat dan terdiri dari norma dasar atau kaidah dasar yaitu Pembukaan

Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (Tap. MPR RI), peraturan perundang-undangan, bahan

hukum yang tidak dikodifikasi dan yurisprudensi. Berkaitan dengan bahan hukum

primer ini penulis memfokuskan penelitian pada UU No. 5 tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria);

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai

hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya

dari kalangan hukum, dan pendapat para sarjana hukum. Dalam penelitian ini, bahan-

bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku teks dan pendapat para sarjana

hukum yang berkaitan dengan obyek penelitian

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang merupakan pelengkap yang sifatnya

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Bahan hukum tersier dapat di contohkan seperti: Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), ensiklopedia, indeks komulatif.

1.5.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi

kepustakaan dengan mengacu pada buku, jurnal, dokumentasi, data lembaga

penelitian maupun data instansi terkait yang relevan.

1.5.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Analisis ini dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara

sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu. Analisis bahan hukum

adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber bahan hukum yang telah


terkumpul untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan dalam

penelitian ini. Dasar dari penggunaan analisis secara normatif, dikarenakan

bahan-bahan hukum dalam penelitian ini mengarah pada kajian-kajian yang

bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, serta

kaidah-kaidah hukum. kemudian Bahan- bahan hukum yang telah berhasil

dikumpulkan dilakukan analisis yakni deskripsi, interpretasi, evaluasi dan

sistematisasi.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hak-Hak Yang Dapat Diberikan Kepada Pihak Ketiga

Hak-hak yang dapat diberikan kepada Pihak ketiga diatur dalam berbagai

peraturan, semula adalah Pasal 6 Ayat (1) huruf c PMA Nomor 9/1965 yang

menyatakan bahwa: "bagian-bagian tanah hak pengelolaan dapat diserahkan kepada

pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun"8

Demikian juga oleh Pasal 2 Permendagri No.1/1977 dinyatakan bahwa

"Bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah

Lembaga, Instansi dan atau Badan-Badan (milik) Pemerintah untuk pembangunan

wilayah pemukiman, dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada

Menteri Dalam Negeri Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan

dengan Hak Milik Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai, sesuai dengan rencana

peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang Hak

Pengelolaan yang bersangkutan"

Dalam Pasal 5 Permendagri No.1/1977 juga dinyatakan bahwa : "Hubungan

hukum antara Lembaga, Instansi dan atau Badan Badan Hukum (milik) Pemerintah

pemegang hak pengelolaan yang didirikan atau ditunjuk untuk menyelenggarakan

penyediaan tanah untuk berbagai jenis kegiatan yang termasuk dalam bidang

pengembangan pemukiman dalam bentuk perusahaan, dengan tanah Hak

8
Supriadi, Hukum Agraria (Sinar Grafika, 2007).
Pengelolaan yang telah diberikan kepadanya tidak menjadi hapus dengan

didaftarkannya hak hak yang diberikan kepada Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 Peraturan ini pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat" Dari

ketentuan diatas dapat disimpulkan, bahwa bagian-bagian tanah, hak pengelolaan itu

dapat diserahkan kepada pihak ketiga dengan Hak Milik HM), Hak Guna Bangunan

(HGB) atau Hak Pakai (HP). Dengan didaftarkannya HM, HGB dan HP pada Kantor

Pertanahan tidak membuat hubungan hukum pemegang hak pengelolaan dengan

tanah tanah hak pengertian. persyaratan maupun jangka pengelolaan menjadi hapus

sesuai dengan hakekat hak pengelolaan sebagai bagian atau gempilan Hak

menguasai dari Negara. 9

Khusus mengenai hak pakai, UUPA tidak menyebutkan jangka waktunya.

Namun berdasarkan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang

Hak Guna Usaha (HGU), HGB, dan HP Atas Tanah disebutkan bahwa hak pakai

untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka

waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu

Yang dimaksud dengan keperluan tertentu adalah hak pakai yang diberikan pada : a)

Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah; b)

Perwakilan Negara asing dan Perwakilan Badan Internasional; c) Badan Keagamaan

dan badan sosial. Sedangkan Hak pakai atas tanah hak milik paling lama 25 tahun

dan tidak dapat diperpanjang.

9
Boedi Harsono, “Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,” Isi
dan Pelaksanaannya, jilid 1 (2003)
2.2 Hubungan Hukum Antara Pemegang Hak Pengelolaan Dengan Pihak Ketiga

Hubungan hukum yang menjadi dasar pemberian hak atas tanah oleh pemegang

Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dinyatakan dalam Surat Perjanjian Penggunaan

Tanah (SPPT). Dalam praktik SPPT tersebut dapat disebut dengan nama lain,

misalnya: Perjanjian Penyerahan Penggunaan, dan Pengurusan Hak Atas Tanah.

Pembuatan Perjanjian dilakukan dalam rangka pelaksanaan Perjanjian Pembangunan,

Pemilikan, Pengelolaan, dan Penyerahan Kembali Tanah Gedung, dan fasilitas

Penunjang, disebut juga perjanjian Build, Operate, and Transfer (BOT) atau Bangun

Guna Serah. 10

Hal-hal yang menjadi isi/substansi Perjanjian secara garis besar pengertiannya

sama dengan isi perjanjian BOT. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam

Perjanjian pada umumnya adalah berkenaan dengan:

1. Penyerahan penggunaan dan pengurusan sebidang tanah (dalam hal ini: Hak

Pengelolaan)

2. akan Hak Tanah Pengelolaan diserahkan dengan pemberian HGB di secara fisik

atasnya penyerahan dilakukan dalam keadaan kosong dan bebas dari segala

klaim/tuntutan.

3. Jangka waktu penyerahan, penggunaan dan pengurusan adalah 30 (tiga puluh)

tahun (jangka waktu HGB) dan dapat sekaligus diberikan persetujuan

perpanjangan satu kali, untuk jangka waktu 20 tahun. Permohonan


10
Maria S Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya (Penerbit Buku
Kompas, 2008).
perpanjangan dilakukan secara tertulis oleh pemegang HGB dan pemegang Hak

Pengelolaan wajib memberikan konfirmasi persetujuan.

4. Penggunaan tanah HGB.

5. Kemungkinan pembebanan dengan Hak Tanggungan (HT).

6. Kemungkinan peralihan HGB, bila HGB harus diperbolehkan, status

diberitahukan kepada pihak yang menerima peralihan tersebut.

7. Kompensasi yang dibayarkan kepada pemegang Hak Pengelolaan.

8. Penyerahan kembali hak atas tanah bebas dari segala beban, sitaan, sengketa

dan segala macam klaim.

9. Cidera janji karena kelalaian pemegang Hak Pengelolaan untuk:

a. Menyerahkan penggunaan dan pengurusan tanah.

b. Melaksanakan setiap dan seluruh kewajiban yang tertuang dalam

Perjanjian.

c. Kelalaian pemegang HGB untuk

d. HGB Tidak menyelesaikan pengurusan HGB dan membayar segala biaya

sesuai perjanjian;

10. Akibat hukum cidera janji:

a. Peringatan tertulis untuk memperbaiki atau memulihkan peristiwa cidera

janji dalam jangka waktu tertentu (waktu pemulihannya)

b. Bila butir a belum dapat dilaksanakan, diadakan musyawarah dalam waktu

tertentu (waktu musyawarah);


c. Bila butir b tidak tercapai, pihak yang melakukan cidera janji wajib

membayar ganti kerugian dalam waktu tertentu.

d. Berakhirnya perjanjian, yakni dengan berakhirnya jangka waktu HGB dan

perpanjangannya dan atau diakhirinya Perjanjian BOT oleh para pihak.

Pemegang Hak Pengelolaan berhak menerima kembali tanah dalam

keadaan sesuai yang diatur dalam Perjanjian

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah perlunya: (1) klausula

yang mengatur secara jelas dan rinci tentang kewajiban pemeliharaan dan

penggantian fasilitas pendukung oleh pemegang HGB, (2) klausula yang mengatur

tentang kondisi obyek perjanjian pada saat diserahkan kembali kepada pemegang Hak

Pengelolaan. Dua hal itu sering terlewatkan dalam klausula Perjanjian dan bila hal itu

terjadi, kondisi obyek Perjanjian tidak dijamin dalam keadaan siap dioperasikan pada

saat diserahkan kembali kepada pemegang Hak Pengelolaan.

Berkenaan dengan pembebanan HGB/HP di kemungkinan atas Hak

Pengelolaan dengan HT, dikemukakan catatan sebagai berikut:

1. HP di atas Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani HT

(Pasal 53 ayat (1)), tanpa penegasan tentang perlunya persetujuan pemegang

Hak Pengelolaan terhadap hal tersebut.

2. Bagaimana kemungkinannya terhadap HGB di atas Hak Pengelolaan, hal ini

tidak secara eksplisit diatur dalam PP No 40/1996. Secara umum, sesuai dengan

UU No 4/1996 tentang Hak Tanggungan, maka dalam Pasal 33 Ayat (1)

disebutkan bahwa HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani HT.
Oleh karena kemungkinan pembebanan HGB di atas Hak Pengelolaan dengan

HT tidak disebut secara eksplisit dalam PP No.40/1996, maka terhadap hal ini

ditegaskan melalui Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 630.1.3433 tanggal

17 September 1998. Surat tersebut pada intinya menyatakan bahwa HGB di atas Hak

Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani HT dan hal itu

memerlukan persetujuan pemegang Hak Pengelolaan. Logikanya adalah bahwa

peralihan HGB di atas Hak Pengelolaan itu memerlukan persetujuan tertulis

pemegang Hak Pengelolaan. Oleh karena itu, dalam hal ada kemungkinan pengalihan

HGB ketika terjadi eksekusi HT atas HGB yang berada di atas Hak Pengelolaan

tersebut, maka persetujuan pemegang Pengelolaan terhadap pembebanan HGB di

Hak atas Hak Pengelolaan itu berlaku sebagai persetujuan pengalihannya Kiranya hal

ini secara mutatis mutandis berlaku terhadap pembebanan HP di atas Hak

Pengelolaan.

Perlu juga dipertimbangkan kembali kemungkinan peralihan HGB atau HP di

atas Hak Pengelolaan dan pembebanan HGB atau HP di atas Hak Pengelolaan dengan

HT dan kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Dalam hal ini, berlakunya ketentuan tentang peralihan dan pembebanan hak atas

tanah dengan HT harus memperhatikan 3 (tiga) asas umum dalam hukum, yakni: 11

1. lex specialis derogat legi generali;

2. lex Superior derogat legi inferiori:

3. lex posterior derogat legi priori.


11
Harsono, “Aspek Yuridis Penyediaan Tanah
Sebagaimana dimaklumi, ketentuan tentang peralihan HGB/HP di atas Hak

Pengelolaan serta pembebanan HGB/HP dengan HT di atas Hak Pengelolaan dalam

peraturan perundang-undangan pertanahan adalah ketentuan yang bersifat umum (lex

generalis). Dengan terbitnya UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP

No 06/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, maka berlakunya

ketentuan umum tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang bersifat

khusus terkait dengan peralihan dan pembebanan HGB/HP di atas Hak Pengelolaan.

Selama Hak Pengelolaan yang dipunyai oleh subyek Hak Pengelolaan itu merupakan

barang milik negara/daerah, maka ketentuan dalam UU No 1/2004 dan PP No 6/2006

yang berlaku. UU No.1/2004 menyebutkan bahwa barang milik negara adalah semua

barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan

lainnya yang sah. Analog dengan hal itu, barang milik daerah adalah semua barang

yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang

sah. Terkait dengan aset negara/daerah yang berbentuk tanah, Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN pernah menerbitkan Surat Edaran (SE) No.500-468 tanggal 12

Februari 1996 tentang Masalah Ruilslag Tanah-tanah tersebut disebutkan SE

Pemerintah. Dalam bahwa untuk memperoleh keseragaman dan kesamaan persepsi

mengenai tanah aset Pemerintah maka yang dimaksud dengan aset tersebut adalah:

a. Tanah-tanah bukan tanah pihak lain dan yang telah dikuasai secara fisik oleh

Instansi Pemerintah.

b. Tanah-tanah tersebut dikelola dan dipelihara/dirawat dengan dana Instansi

Pemerintah
c. Tanah tersebut telah terdaftar dalam daftar inventaris Instansi Pemerintah yang

bersangkutan.

d. Tanah secara fisik dikuasai atau digunakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain

berdasarkan hubungan hukum yang dibuat antara pihak lain dengan Instansi

Pemerintah dimaksud.

e. Tanah tersebut angka 1) sampai dengan 3) baik yang sudah ada sertipikatnya

maupun belum ada sertifikat.

Dalam Pasal 49 Ayat (5) UU No.1/2004 ditegaskan bahwa barang milik

negara/daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan

pinjaman. Hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 29 Ayat (3) huruf b PP No.6/2006

yang menyatakan bahwa mitra Bangun Guna Serah (BOT) atau Bangun Serah Guna

(BTO) tidak boleh menjaminkan, menggadaikan atau memindahtangankan obyek

BOT/BTO. Adapun yang dimaksud dengan obyek BOT/BTO itu adalah tanah beserta

bangunan dan atau sarana berikut fasilitasnya.

2.3 Implikasi terhadap Peralihan / Pembebanan HP / HGB Di Atas Hak

Pengelolaan Yang Akan Datang

Melalui ketentuan yang khusus mengatur tentang pengelolaan barang milik

negara/daerah ini maka pemberian HP/HGB di atas Hak Pengelolaan kepada pihak

ketiga masih dapat dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh peraturan perundang

undangan di bidang pertanahan. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan

bahwa dengan berlakunya kedua peraturan perundang-undangan tersebut, maka

peralihan dan pembebanan HP/HGB di atas Hak Pengelolaan sebagai obyek


BOT/BTO tidak diperbolehkan lagi. Dengan perkataan lain, pemegang Hak

Pengelolaan tidak lagi diperbolehkan memberikan persetujuan/rekomendasi untuk

peralihan maupun pembebanan HP/HGB di atas Hak Pengelolaan sebagai obyek

BOT/BTO tersebut. Bagaimana dengan kemungkinan pembebanan HP/HGB di atas

Hak Pengelolaan yang didasarkan pada kerja milik barang pemanfaatan negara

/daerah? Menurut Pasal 26 Ayat (1) huruf f PP No 6/2006, selama jangka waktu mitra

kerja sama pengoperasian pemanfaatan dilarang menjaminkan atau menggadaikan

barang milik negara/daerah yang menjadi obyek kerja sama pemanfaatan.

Kerangka pola pikir yang dianut oleh UU No.1/2004 yo PP No 6/2006 itu

bertujuan untuk secara implisit mengembalikan Hak Pengelolaan kepada fungsi

publik. Hal ini antara lain tampak dari asas efisiensi dalam pengelolaan barang milik

negara/daerah yang diarahkan agar barang milik negara/daerah itu digunakan sesuai

standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas

pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal. Sejalan dengan asas tersebut di atas,

maka tanah dan/atau bangunan milik negara/daerah yang tidak dimanfaatkan untuk

kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan

pemanfaatannya kepada Menteri Keuangan/Gubernur/Bupati/Walikota wajib

diserahkan untuk kepentingan tugas pemerintahan negara/daerah sesuai dengan

ketentuan Pasal 49 Ayat (3) UU No.1/2004. Adapun pemanfaatan tanah dan/atau

bangunan milik negara/daerah itu antara lain dalam bentuk sewa, kerjasama

pemanfaatan, pinjam pakai, bangun guna serah (BOT) atau bangun serah guna

(BTO). Berbeda dengan praktik di masa yang lalu, maka semenjak berlakunya UU
No 1/2004 yo PP No.6/2006, pihak ketiga yang melaksanakan perjanjian BOT/BTO

dengan pengelola barang milik negara/daerah tidak diperbolehkan menjaminkan,

menggadai atau memindah-tangankan obyek kan BOT/BTO.

Demikian juga mitra kerja barang milik sama pemanfaatan negara/daerah

dilarang menggadaikan atau kerja sama obyek menjaminkan pemanfaatan tersebut.

Ketentuan ini dapat dipahami karena pemanfaatan barang milik negara/daerah

melalui perjanjian BOT/BTO hanya dimungkinkan berdasarkan 2 (dua) syarat, yakni

bahwa bangunan dan fasilitas itu diperlukan bagi penyelenggaraan pemerintahan

negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan

tugas pokok dan fungsi dan tidak tersedia dana APBN/APBD untuk penyediaan

bangunan dan fasilitas dimaksud (Pasal 27 Ayat (1) PP No 6 2006).

Oleh karena itu, mitra BOT/BTO yang ditetapkan melalui tender itu memang

harus benar-benar mempunyai kemampuan dari segi dana/keuangan dan memang

bersungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian yang tidak

boleh disepakati, yang isinya tidak menyimpang dari ketentuan yang dimuat dalam

PP No.6/2006. Analog dengan BOT/BTO, kerja sama pemanfaatan barang milik

negara/daerah itu dilaksanakan karena tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana

APBN/APBD untuk memenuhi biaya operasional/pemeliharaan/perbaikan yang

diperlukan terhadap barang milik negara/daerah tersebut (Pasal 26 Ayat (1) huruf a

PP No 6/2006).

Dengan berpedoman pada Pasal UUPA, maka obyek dari hak pengelolaan

seperti juga hak-hak atas tanah lainnya, adalah tanah yang dikuasai oleh Negara
obyek hak pengelolaan adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Kesimpulan

yang sama juga akan diperoleh., apabila ditelusuri sejarah haki pengelolaan yang

berasal dari hak penguasaan tanah negara yang diatur oleh Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 1953.

Subyek Hak Pengelolaan Yang dapat menjadi pemegang Hak Pengelolaan

menurut Pasal 67 ayat (1) Permenag/KBPN No.9/1999 tentang Tata Cara Pemberian

Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan adalah:

1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;

2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);

3. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

4. PT. Persero;

5. Badan Otorita;

Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk

Pemerintah. Dalam Ayat (2) disebutkan bahwa "Badan - badan Hukum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak pengelolaan sepanjang sesuai dengan

tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah". Tata Cara

pemberian Hak pengelolaan diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 71 Permenag/KBPN No

9/1999. Secara garis besar proses pemberian Hak pengelolaan diawali dengan

permohonan tertulis yang berisi tentang keterangan mengenai pemohon keterangan

mengenai tanahnya yang meliputi data fisik dan data yuridis dan keterangan lain yang

dianggap perlu.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam hubungannya dengan isi, maksud dan tujuan hak menguasai negara
atas tanah sebagaimana diatur di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka hak
pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan wewenang dari hak
menguasai negara atas tanah yang diberikan kepada Departemen, Lembaga-lembaga
Pemerintahan Negara, Daerah Otonom, serta Badan-badan hukum yang dibentuk
oleh Pemerintah sebagai suatu pelimpahan wewenang pelaksanaan hak menguasai
negara atas tanah. Hak Pengelolaan tersebut juga mengandung unsur-unsur hak atas
tanah.
3.2 Saran

Dari hasil penelitian ini juga dapat disarankan,

Anda mungkin juga menyukai