1
maka dilaksanakan suatu program pembangunan yang terpadu dan
menyeluruh dan berkelanjutan termasuk dalam bidang pertanahan.
Sebagai wujud nyata dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
maka lahirlah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi). Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 6
2
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan Pelaksanannya.
Alumni. Bandung, 1993, hlm. 1
3
Ibid, hlm. 38-39
2
Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-
undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Pokok Agraria disebutkan bahwa: Bumi, air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam di dalamnya pada tingkat yang tertinggi
dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Kekuasaan mengatur ini meliputi baik tanah-tanah yang telah di haki
seseorang atau badan hukum maupun termasuk yang belum. Dengan
demikian tanah-tanah yang telah dihaki seseorang atau badan hukum
adalah juga termasuk dalam wewenang pengaturan kekuasaan Negara.
Misalnya adanya Lembaga Pencabutan atau Pembebasan Hak-Hak
Atas Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan4 (Bachtiar Effendie,
1993:2).
4
Ibid, hlm. 2
3
Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA yang termuat dalam
Lembaran Negara No.104 tahun 1960.
4
(tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung didalam harus dikuasai
oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia.
Seluruh batang tubuh UUD 1945 merupakan suatu penjabaran
dari Pancasila, maka dengan sendirinya kesejahteraan yang dimaksud
adalah kesejahteraan lahir batin, adil, dan merata bagi seluruh rakyat
Indonesia. Melihat materi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas
maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara Republik
Indonesia yang bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi dan
keadilan7. Dengan demikian, antara dikuasai negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-
mata dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu
dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah tersebut8.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA)
menegaskan, bahwa kewenangan negara terkait hak menguasai tanah
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan atau pemeliharaannya;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian
(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk
7
Ibid, hlm.1
8
Achmad Rubaei, Op. Cit. hlm. 2
5
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat
adil dan makmur.
Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA diartikan sebagai kebahagiaan,
kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil, dan makmur. Sehubungan
dengan ketentuan tersebut, maka penggunaan tanah tidak hanya untuk
kepentingan individu saja tetapi juga kepentingan masyarakat luas di
Indonesia. Bunyi Pasal tersebut tersirat bahwa penggunaan tanah juga
harus memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan sosial.
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi dalam
konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan 9.
Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap
hak atas tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun
tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang merupakan hak
bersama. Pasal 6 UUPA, menyatakan : “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.” Dari ketentuan tersebut berarti penggunaan
tanah tidak hanya menyangkut kepentingan individu atau golongan
pemegang hak atas tanah tersebut, melainkan juga harus
memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebab, kepentingan pribadi
sudah termasuk juga di dalam kepentingan masyarakat. Jadi harus ada
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum
(masyarakat) dalam pemanfaatan serta penggunaan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Juncto Pasal 2
ayat (3) Juncto Pasal 6 UUPA, maka terkait hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial, negara perlu melakukan berbagai ragam kebijakan dan
kegiatan yang memerlukan berbagai macam ketrampilan dan keahlian,
9
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi). Djambatan, Jakarta, 2005, hlm.
231
6
termasuk mengatur penggunan tanah bagi kepentingan umum dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan, di mana tujuan utamanya tetap
harus untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Sebagaimana
dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang.
Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah yang
membutuhkan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dalam pelaksanaanya harus mempertimbangkan banyak hal.
Argumentasinya, menurut Imam Koeswahyono yang mengutip
pendapat Soemarjono dan Oloan Sitorus, bahwa pengadaan tanah harus
berdasarkan atau mencangkup prinsip10:
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun harus ada landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung
bersumber pada hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 Juncto Pasal 1 dan 2 UUPA);
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dimiki haknya oleh
seseorang atau badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak
yang bersangkutan (kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ( selanjutnya ditulis UU
HAM)); dan
4. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh
gagal, maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan
pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak menurut Undang-
10
Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk
KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2008. Hlm. 5
7
Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah
dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya (selanjutnya ditulis UU No 20
Tahun 1961).
Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan
dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan
karena berhadapan dengan pembangunan bagi kepentingan umum.
Adapun di lain pihak sebagian dari masyarakat memerlukan tanah
sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya.
Bilamana hal tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk
keperluan pembangunan, maka dapat berdampak mengesampingkan
kepentingan perseorangan yang dikhawatirkan akan menghilangkan
hak perseorangan untuk hidup secara layak. Secara tegas Hak Milik
telah mendapatkan perlindungan yang kuat dalam pasal 28H UUD
1945, dinyatakan “Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan
Hak Milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapapun”. Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU HAM, menyatakan:
“(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya,
keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar
hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan
sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.
Salah satu persoalan yang masih dihadapi sehubungan dengan
pelaksanaan kepentingan umum adalah menentukan keseimbangan
antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi pemegang hak atas
tanah. Pembangunan yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah
seringkali berbenturan berbagai masalah pengadaan tanah yang
mengabaikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat. Permasalahan
ini muncul baik dalam tahap awal, pelaksanaan maupun pemberian
ganti rugi yang kurang layak yang tanpa melibatkan masyarakat
8
pemegang hak atas tanah, sehingga pengadaan tanah yang berdalih
untuk kepentingan umum sering kali melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, persoalan yang paling disorot adalah kriteria
pembatasan “kepentingan umum” yang membuka kemungkinan
pengadaan tanah oleh swasta difasilitasi oleh Pemerintah. Pengertian
kepentingan umum dikhawatirkan akan diartikan secara luas sehingga
dapat melanggar hak milik atas tanah di Indonesia yang belum
sepenuhnya dilindungi sistem hukum11. Demikian juga selain
perangkat aturan yang ada saat ini dilihat belum mengakomodasi
keperluan kepentingan pembangunan. Wadahnya pun disorot tidak
layak, lantaran persoalan tanah yang terkait hak asasi manusia tidak
dihimpun dalam undang-undang.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diadakan
oleh Pemerintah, apabila melalui pembebasan tanah tidak bisa
tercapai maka melalui pencabutan hak milik. Hal demikian diatur
dalam Pasal 1 UU No 20 Tahun 1961, menyatakan bahwa: “Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang
bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda
yang ada diatasnya”.
Terkait dengan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah,
terkadang organ Pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar
hukum (onrechmatige overheidsdaad) publik, seperti dalam hal
pelaksanaan pencabutan Hak Milik. Pelanggaran hukum tersebut
seperti dalam hal12 :
11
Mohammad Hatta, Op. Cit, hlm 157
12
Marmin M.Roosadijo. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda yang Ada di Atasnya. Ghalia Indonesia, Jakarta,1979, hlm. 31
9
1. Penetapan ganti rugi oleh panitia penaksir telah ditetapkan dengan
tidak mengindahkan dasar-dasar pertimbangan yang layak,
sehingga dirasa sangat mustahil untuk diterima oleh yang
bersangkutan;dan/atau
2. Daerah penampungan yang ditunjuk Pemerintah ternyata tidak
memenuhi persyaratan hidup untuk dihuni berhubung tiada sumber
air atau air yang terdapat di daerah itu tidak berfungsi sebagaimana
mestinya karena adanya pencemaran lingkungan.
C. Rumusan Masalah
10
a. Bagaimana tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan demi kepentingan umum yang dapat memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah?
b. Apakah proses pengadaan tanah untuk Pembangunan demi
Kepentingan Umum di Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Boyolali sudah memperhatikan prinsip penghormatan
hak atas tanah
D. Tujuan Penelitian
11
menganalisis permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
hal prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah
demi kepentingan umum.
c. Memperoleh bahan dan informasi secara lebih jelas dan lengkap
sebagai bahan untuk menyusun Tesis, guna memenuhi
persyaratan akademis dalam mencapai Magister Kenotariatan di
Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Manfaat Teoris
a. Untuk menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum agraria terutama
mengenai masalah Pengadaan Tanah untuk pembangunan demi
kepentingan umum.
b. Untuk mengembangkan wawasan ilmiah yang dapat digunakan dalam
penulisan ilmiah di bidang hukum terutama hukum agraria.
a. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum
Agraria tentang prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk Pembangunan demi kepentingan umum.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran
dan pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh;dan
b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna
bagi para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat
untuk mengkaji permasalahan yang sejenis.
F. Tinjauan Pustaka
12
1. Tinjauan Tentang Prinsip Penghormatan Hak Atas Tanah
13
Maria S.W. Sumardjono, 2008: 269
13
Pedoman dalam pengaturan pengadaan tanah hendaknya
mengakomodasikan tiga hal, yakni:
14
Ibid, hlm. 271
14
terkait dengan hak dasar manusia terhadap tanah yang dijamin oleh
UUD 1945, maka bentuk peraturannya adalah undang-undang15.
15
pembangunan nasional, diperlukan (tanah) demi terlaksananya
program bertalian dengan proyek yang telah direncanakan17.
Sementara menurut Keputusan Presiden No. 55 tahun
1993 dikatakan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tesebut”.
Pasal 1 angka (3) Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 65
Tahun 2006, menyebutkan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah.
16
kebutuhan, atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial
yang luas. John Salindeho telah merumuskan bahwa
kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan
segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar
asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan
ketahanan nasional serta wawasan nusantara18.
Ketentuan Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun
1973 (sudah tidak berlaku), menyebutkan apa yang dimaksud
dengan kepentingan umum, yakni :
a) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan
tersebut menyangkut kepentingan bangsa dan negara,
dan/atau kepentingan masyarakat luas dan/atau
kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau,
kepentingan pembangunan.
b) Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai
sifat kepentingan umum meliputi bidang-bidang
pertahanan, pekerjaan umum, jasa umum, keagamaan,
ilmu pengetahuan dan seni budaya, kesejahteraan
olahraga, keselamatan umum terhadap bencana alam,
kesejahteraan sosisal, makam/kuburan, pariwisata dan
rekreasi, usaha-isaha ekonomi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan umum.
Pasal 5 Perpres No 65 tahun 2006, menyatakan bahwa
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan
Pemerintah atau pemerintah daerah, yang selanjutnya dimiliki
atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
meliputi :
18
Ibid, hal. 40
17
a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di
ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran
air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan
pengairan lainnya;
c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan
terminal;
d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain
bencana;
e) tempat pembuangan sampah;
f) cagar alam dan cagar budaya; atau
g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
18
Bahwa Fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum
sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta
yang bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga
terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum
sama sekali tidak boleh mencari keuntungan.
Adrian Suteji, juga berpendapat bahwa kriteria sifat,
kriteria bentuk, dan kriteria karakteristik dari kegiatan untuk
kepentingan umum, yaitu :19
a) Penerapan untuk kriteria sifat suatu kegiatan untuk
kepentingan umum agar memiliki kualifikasi untuk
kepentingan umum harus memenuhi salah satu sifat dari
beberapa sifat yang telah ditentukan dalam daftar sifat
kepentingan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961, yaitu untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula
kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan
yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat
mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada
di atasnya;
b) Penerapan untuk kriteria bentuk suatu kegiatan untuk
kepentingan umum agar mempunyai kualifikasi sebagai
kegiatan untuk kepentingan umum harus memenuhi syarat
bentuk kepentingan umum sebagaimana Pasal 2 lampiran
Instruksi Presiden 1973 (bahwa sebelumnya proyek tersebut
sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah
diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan, sudah
19
Adrian Suteji, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 75
19
termasuk dalam rencana induk pembangunan dari daerah
yang bersangkutan dan yang telah mendapatkan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat) dan Pasal 5
Perpres No. 36 Tahun 2005; dan
c) Penerapan untuk kriteria ciri-ciri suatu kegiatan untuk
kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan
bukan kepentingan umum, maka harus memasukkan ciri-
ciri kepentingan umum, yaitu bahwa kegiatan tersebut
benar-benar dimiliki pemerintah, dikelola oleh pemerintah
dan tidak untuk mencari keuntungan.
20
cara pengadaan dengan jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain
yang disepakati secara suka rela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan ini disebut sebagai pemindahan hak, dengan cara
pemindahan hak tersebut, hak atas tanah langsung berpindah dari
pihak yang empunya kepada pihak yang membutuhkan. Jika yang
ditempuh adalah cara pelepasan atau penyerahan hak, maka
setelah tanah “dilepaskan” atau “diserahkan” status tanah
menjadi tanah negara, yang selanjunya dilakukan permohonan
hak oleh pihak yang membutuhkan tanah20. Cara pengadaan yang
dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah, yang telah diatur
sebelumnya dalam UU No. 20 tahun 1961 merupakan pengadaan
tanah yang dilakukan tanpa persetujuan yang empunya tanah
(compulsory acquisition of land).
Jelaslah bahwa hukum tanah di negara Republik
Indonesia sesungguhnya sudah mengatur berbagai cara
pengadaan tanah, baik untuk kepentingan umum, usaha maupun
pribadi. Cara yang digunakan tergantung pada21:
1) Status hukum tanah yang diperlukan;
2) Status hukum pihak yang memerlukan tanah;
3) Peruntukan tanah yang diperlukan;
4) Ada atau tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk
menyerahkan tanah yang bersangkutan.
Meskipun ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan
dalam menentukan cara pengadaan tanah, namun untuk
menetapkan sistem tata cara pengadaan tanah sekarang ini cukup
jika sudah diketahui22 :
20
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum. Mitra Kebijakan Tanah Indonesia. Yogyakarta, 2004, hlm. 14
21
Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 5
22
Ibid, hal. 5-6
21
1) Status (hukum) tanah yang tersedia, apakah merupakan tanah
negara, tanah ulayat masyarakat hukum adat atau tanah hak;
2) Ada-tidaknya kesediaan yang empunya tanah. Artinya, kalau
yang tersedia tanah hak, apakah yang empunya tanah:
a) Bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas
tanah yang dipunyainya,atau
b) Tidak bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak
atas tanah yang dipunyainya;
3) Status hukum yang memerlukan tanah
kalau yang tersedia tanah hak dan pihak yang mempunyai
bersedia menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah yang
dipunyainya, apakah yang memerlukannya:
a) Memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang
diterimanya, atau
b) Tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak yang akan
diperolehnya.
Berdasar kreteria di atas, maka cara pengadaan tanah
dapat disusun dalam suatu sistem sebagai berikut23:
1) Jika tanah yang tersedia/diperlukan berstatus tanah negara,
maka tanah yang harus digunakan adalah acara permohonan
dan pemberian hak atas tanah;
2) Jika tanah yang tersedia berstatus tanah ulayat, maka
acaranya adalah meminta kesediaan Penguasa Masyarakat
Hukum Adat yang bersangkutan untuk melepaskan hak
ulayatnya, dengan pemberian ganti-rugi atas tanam tumbuh
rakyat yang ada diatasnya.
Tanah tersebut kemudian dimohonkan hak atas tanh sesuai
dengan status pihak yang akan menggunakannya melalui
cara permohonan pemberian hak tersebut di atas.
23
Ibid, hlm. 6-7
22
3) Jika tanah yang dimohon berstatus tanah hak, maka acara
yang digunakan, tergantung pada ada atau tidaknya
kesediaan yang empunya tanah untuk menyerahkan kepada
yang memerlukan, dengan ketentuan:
a) Jika ada kesediaan untuk menyerahkan secara suka rela,
maka ditempuh:
(1)Acara perpemindahan hak, melalui jual-beli, tukar-
menukar atau hibah, yaitu jika yang memerlukan
memenuhi syarat sebagai subyek hak tanah yang
dipindahkan itu;
(2)Acara penyerahan atau pelepasan hak, diikuti dengan
permohonan hak baru yang sesuai, yaitu jika pihak
yang memerlukan tidak memenuhi syarat sebagagi
subyek hak yang semula menentukan status tanah
tersebut.
b) Jika yang empunya tanah tidak bersedia
menyerahkannya dengan suka rela, apabila syarat-syarat
telah terpenuhi, maka dapat ditempuh acara pencabutan
hak, sebagai cara pengambilan tanah secara paksa24.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
oleh Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 6 Perpres No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Perpres No 65 Tahun 2006, bahwa pengadaan tanah
untuk kepentingan umum di wilayah Daerah Istimewa/kota
dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah Daerah
Istimewa/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota, sedangkan
untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota dibentuk oleh Gubernur.
Panitia pengadaan tanah bertugas (Pasal 7):
24
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 14
23
1) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah,
bangunan, tanaman dan benda –benda lain yang ada
kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
2) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang
haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang
mendukungnya;
3) Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan;
4) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat
yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak
atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah
tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap
muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat
diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana
pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
5) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas
tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk
dan/atau besarnya ganti rugi;
6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para
pemegang hak atas tanah,bangunan, tanaman, dan benda-
benda lain yang ada di atas tanah;
7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah; dan
8) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas
pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang
berkompeten.
24
Pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan dengan
musyawarah, sehingga didapat kesepakatan baik mengenai
pelaksanaan pembangunannya dan juga mengenai ganti ruginya.
Berdasarkan Pasal 12, ganti rugi diberikan untuk: hak atas tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah.
Pasal 20 mengatur mengenai pengadaan tanah skala kecil,
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar,
dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang
memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan
cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati
kedua belah pihak.
Berkaitan dengan prosedur, peraturan presiden ini telah
memperkenalkan perusahaan penilai (appraisal) yang secara
independen akan menetapkan harga tanah, yang selanjutnya akan
digunakan sebagai acuan oleh Panitia Pengadaan Tanah.
Sementara itu berkaitan dengan waktu, peraturan presiden ini
telah memperkenalkan pembatasan waktu (120 hari) dan
konsepsi konsinyasi (penitipan uang di Pengadilan Negeri
setempat). Perpaduan antara kinerja perusahaan penilai, batasan
waktu, dan konsepsi konsinyasi akan dapat menghindarkan
berlarut-larutnya pengadaan tanah, yang sekaligus untuk
menghindari pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.
Secara garis besar dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah,
yaitu: pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah dan
pengadaan tanah untuk kepentingan swasta. Pengadaan tanah
yang dilakukan Pemerintah dibagi atas pengadaan tanah bagi
25
kepentingan umum dan pengadaan tanah bukan untuk
kepentingan umum (misalnya: kepentingan komersial).
Selanjutnya pengadaan tanah bagi kepentingan swasta bisa pula
digolongkan menjadi kepentingan komersial dan bukan
komersial, yakni yang bersifat menunjang kepentingan umum
termasuk pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial
lainnya25.
26
bersifat fisik maupun non-fisik, dan hilangnya harta benda
untuk sementara waktu atau selama-lamanya, tanpa
membedakan bahwa mereka yang tergusur tetap tinggal di
tempat semula atau pindah ke lokasi lain;
2) Ganti kerugian sebagai upaya mewujudkan penghormatan
kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah
dikorbankan untuk kepentingan umum27, maka ganti
kerugian yang diberikan harus memperhitungkan:
(3) Hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;
(4) Hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya;
(5) Bantuan untuk pindah ke lokasi lain, dengan
memberikan alternatif lokasi baru yang dilengkapai
dengan fasilitas dan pelayanan yang layak; dan
(6) Bantuan pemulihan pendapatan agar tercapai keadaan
yang setara dengan keadaan sebelum terjadi pengambil
alaihan. Besarnya ganti kerugian untuk tanah dan
bangunan seyogyanya didasarkan pada biaya
pengggantian nyata. Bila diperlukan dapat diminta jasa
penilai independent untuk melakukan taksiran ganti
kerugian.
3) Mereka yang tergusur karena mengambilalihan tanah dan
harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus
diperluas, mencangkup:
a) Pemegang hak atas tanah yang bersertifikat;
b) Mereka yang menguasai tanah tanpa sertifikat dan bukti
pemilikan lain;
c) Penyewa bangunan;
d) Buruh tani atau tunawisma yang akan kehilanagan
pekerjaan;
e) Pemakai tanah tanpa hak yang akan kehilangan lapangan
kerja atau penghasilan; dan
f) Masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional yang
akan kehilangan tanah dan sumber penghidupannya.
4) Untuk memperoleh data yang akurat tentang mereka yang
terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian, mutlak
dilaksanakan survei dasar dan survei sosial ekonomi;
5) Perlu ditetapkan instansi yang bertanggung jawab untuk
pelaksanaan pengambilalihan tanah dana permukiman
kembali, dengan catatan bahwa keikutsertaan masyarakat
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan
sungguh-sungguh terjamin;
27
Ibid, hlm. 80
27
6) Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus
ditumbuhkembangkan dalam hal terjadi pemukiman kembali,
integrasi dengan masyarakat setempat perlu disiapkan
semenjak awal untuk menghindari hal-hal yang diharapkan
oleh kedua belah pihak;dan
7) Perlu adanya sarana untuk menampung keluhan dan
menyelesaiakan perselisihan yang timbul dalam proses
pengambilalihan tanah dan permukiman kembali, beserta
tatacara penyampaiannya.
28
kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Bentuk ganti rugi dapat berupa (Pasal 13 Perpres No 65 tahun
2006) :
1) Uang; dan/atau
2) Tanah pengganti; dan/atau
3) Pemukiman kembali; dan/atau
4) Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
5) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas
(Pasal 15 ayat (1) Perpres No.65 tahun 2006):
1) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya
dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan
berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah
yang ditunjuk oleh panitia;
2) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan;dan
3) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab di bidang pertanian.
e. Asas-asas Pengadaan Tanah
29
hukum tanah nasional kita kepada pemegang hak atas tanah,
adalah29 :
30
memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan
menggunakan acara pencabutan hak, yang diatur Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961;
h) Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas
dasar kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak,
pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti
kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, bangunan dan
tanaman milik pemegang hak, melainkan juga kerugian-
kerugian lain yang dideritanya sebagai akibat penyerahan
tanah yang bersangkutan;
i) Bahwa dalam bentuk dan jumlah imbalan atau ganti-kerugian
tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan
umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian
rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami
kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat
ekonominya.
a) Asas Kesepakatan.
Seluruh kegiatan pengadaan tanah, terutama dalam
bentuk pelepasan hak atas tanah beserta segala aspek
hukumnya seperti persoalan ganti kerugian, bentuk ganti
kerugian, pemukiman kembali, kondisi sosial ekonomi, dan
lain-lain harus didasarkan pada asas kesepakatan antara
pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas
tanah.
b) Asas Kemanfaatan.
Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan itu harus dapat
dirasakan oleh masyarakat sebagai keseluruhan.
c) Asas Keadilan.
Kepada masyarakat yang terkena dampak diberikan ganti
kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya,
minimal setara dengan keadaan semula, dengan
memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun
nonfisik
30
Maria S.W. Sumardjono, Op. Cit. hlm. 282-284
31
d) Asas Kepastian Hukum.
Pelaksanaan pengadaan tanah harus memenuhi asas
kepastian hukum, yang dilakukan dengan cara yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan di mana semua pihak
dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajibannya
masing-masing.
e) Asas Keterbukaan.
Dalam proses pengadaan tanah, masyarakat yang terkena
dampak berhak memperoleh informasi tentang proyek dan
dampaknya, kebijakan ganti kerugian, jadwal pembangunan,
rencana pemukiman kembali dan lokasi pengganti (bila ada),
dan hak masyarakat untuk menyampaikan keberatan.
f) Asas Keikutsertaan atau Partisipasi.
Peran serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder)
dalam setiap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki
dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap
kegiatan yang bersangkutan.
g) Asas Kesetaraan.
Asas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang
memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya akan dilepaskan
atau dicabut harus diletakkan secara sejajar dalam seluruh
proses pengambilalihan tanah.
h) Asas Minimalisasi Dampak Kelangsungan Kesejahteraan
Ekonomi.
Pengadaan tanah dilakukan dengan upaya untuk
meminimalkan dampak negatif atau dampak penting yang
mungkin timbul dari kegiatan pembangunan tersebut.
32
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum akan berjalan
dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan
penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.
33
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
adalah sebagai berikut :
1) Jalan umum, jalan tol, rel kereta api, (di atas tanah, di ruang atas
tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air
bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.
2) Waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan
lainnya.
3) Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal.
4) Fasilitas keamanan umum, seperti tanggal penanggulangan
bahaya banjir, lahar dan lainnya.
5) Tempat pembuangan sampah.
6) Cagar alam dan cagar budaya.
7) Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
a. Tahap Perencanaan
34
tahun sebelumnya yang berisi uraian tentang: maksud dan tujuan,
letak dan lokasi, luasan tanah, suber dana dan analisis kelayakan
lingkungan. Dalam menentukan letak dan luasan tanah yang
diperlukan pemerintah dapat meminta pertimbangan Badan
Pertanahan Nasional. Pembuatan proposal ini hanya digunakan
apabila pembangunan tersebut ditujukan untuk fasilitas
keselamatan umum dan penanganan bencana yang bersifat
mendesak. Untuk pembangunan yang menyangkut kepentingan
umum yang lain tidak diperlukan adanya proposal rencana
pembangunan ini.
35
Khusus Ibukota Jakarta, dengan anggota paling banyak
sembilan orang.
P2T Kabupaten atau Kota bertugas:
36
j) mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua
berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada
instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan Kantor
Pertanahan Kabupaten atau Kota, dan
k) menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan
penyelesaian pengadaan tanah kepada Bupati atau
Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta apabila musyawarah tidak tercapai
kesepakatan untuk pengambilan keputusan.
2) P2T Provinsi, jika tanah terletak di dua Kabupaten atau Kota
atau lebih dalam satu Provinsi yang dibentuk dengan
Keputusan Gubernur.
P2T Provinsi bertugas:
37
a) Memberikan pengarahan, petunjuk dan pembinaan bagi
pelaksanaan pengadaan tanah di Provinsi atau di
Kabupaten atau Kota
b) Mengkoordinasikan dan memaduserasikan pelaksanaan
pengadaan tanah di Provinsi atau di Kabupaten atau
Kota
c) Menentukan atau menetapkan Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten atau Kota untuk melaksanakan tugas
pengadaan tanah di Kabupaten atau Kota masing-masing
d) Memberikan pertimbangan kepada Menteri Dalam
Negeri dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia untuk pengambilan keputusan penyelesaian
bentuk atau besarnya ganti rugi yang diajukan oleh
Bupati, Walikota atau Gubernur, dan
e) Melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan
pengadaan tanah di Provinsi atau di Kabupaten atau
Kota.
d. Penyuluhan
38
e. Identifikasi dan Inventarisasi
39
1) Unsur instansi yang membidangi bangunan atau tanaman
g. Penilaian
h. Musyawarah
40
yang ditanda tangani seluruh anggota P2T, instansi pemerintah
yang memerlukan tanah dan para pemilik.
k. Pelepasan hak
41
atau penyerahan hak, diikuti dengan pembuatan Berita Acara
Pembayaran Ganti Rugi dan Pelepasan Hak Atas Tanah atau
Penyerahan Tanah oleh P2T. Kemudian penerima ganti rugi
menyerahkan dokumen asli yang diperlukan dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten atau Kota mencatat hapusnya hak atas
tanah yang dilepaskan.
32
Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 283
42
Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno
Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang
memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk
menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya. Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa
hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pembangunan,
misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “
mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas
tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakaan, perkebunan33.
b. Macam Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa atas
dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam
hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik
sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum di mana hak atas tanah ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan
sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas
menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi.
Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam
Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dikelompokkan menjadi 3
bidang, yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
33
Urip Santosa, Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta,
2010, hlm. 49
43
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku
selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan
undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak
memungut hasil hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Hak macam tanah ini
belum ada. Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut
Emelan Ramelan dalam Urip Santosa menyatakan bahwa
pembentukan UUPA menyadari bahwa dalam
perkembangannya nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya
hak atas tanah yang baru sebagai konsekuensi dari adanya
perkembangan masyarakat, hanya saja pengaturannya harus
dalam bentuk Undang-Undang.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu
yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-
sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan
dengan jiwa UUPA. Macam hak atas tanah ini adalah Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Sewa
Tanah Pertanian.
Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi
2 kelompok, yaitu:34
1) Hak atas tanah yang bersifat primer.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-
macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas
tanah negara.
34
Ibid, hlm. 52-53
44
2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan
atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak
milik, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk
bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,
dan hak sewa tanah Pertanian.
45
suatu atau beberapa kepentingan yang memaksa 36. Artinya hak atas
tanah dapat diperoleh berdasarkan hukum tetapi masih dapat
diganggu gugat melalui hukum itu sendiri bila ada satu atau beberapa
kepentingan sebagai sebabnya yang lebih memaksa, yang antara lain
adalah kepentingan umum.
Bangsa Indonesia yang sejak semula hidup dalam suasana
kekeluargaan dan hukum adat tidak pernah memberi tekanan kepada
kepentingan perseorangan, manusia Indonesia selamanya hanya
berarti dalam lingkungan suatu kelompok masyarakat yaitu sebagai
warga masyarakat. Boedi Harsono merumuskan bahwa konsepsi
hukum adat adalah komunalistik-religius, yang juga memungkinkan
penguasaan tanah secara individual sekaligus mengandung unsur
kebersamaan37. Ini berarti bahwa hak atas tanah yang dikuasai secara
individual tidak dibenarkan penggunaan tanah tersebut untuk
kepentingan pribadi, melainkan penggunaannya harus disesuaikan
dengan manfaat bagi masyarakat dan negara. Hak milik atas tanah
dalam hukum adat yang berkembang sebelum bangsa barat datang
adalah hukum adat yang merupakan hukum asli golongan pribumi,
yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan
serta diliputi oleh suasana keagamaan.
Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa “semua hak tanah
mempunyai fungsi sosial”. Di dalam penjelasan umum fungsi sosial
hak-hak atas tanah tersebut dinyatakan bahwa:
ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
36
Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan, 1982. Hak Milik Keadilan dan
Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 7-8
37
Boedi Harsono, OP. Cit, hlm. 79
46
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat
bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun
bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada
itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan
seseorang akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum
(masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan
pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan
pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat
seluruhnya. (Penjelasan Pasal 2 ayat 3 UUPA).
38
Ibid, hlm. 302
47
c. Kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah
pertanian (Pasal 10)39.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan
antara lain40:
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah
yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau
kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi hukum
tanah nasional;
b. Tanah seseorang tidak mempunyai fungsi sosial bagi yang punya
hak itu saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Sebagai
konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan
tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman,
tetapi juga kepentingan masyarakat; dan
c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan
keadaannya, artinya keadaan tanahnya, sifatnya, dan tujuan
pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus
dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas, kesuburan serta
kondisi tanah sehingga dapat dinikmati tidak hanya pemilik tanah
saja tetapi juga masyarakat lainnya. Oleh karena itu kewajiban
memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang hak yang bersangkutan, melainkan juga beban dari
setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu
hubungan hukum dengan tanah.
Maria S.W. Soemardjono yang mengemukakan bahwa
interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah, di samping
mengandung makna bahwa hak atas itu harus digunakan sesuai
39
Ibid, hlm. 42-43
40
Ibid, hal. 299
48
dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si
pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus
terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan diakui dan
dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara
keseluruhan41. Maka jika kepentingan umum menghendaki
didesaknya kepentingan individu, hingga yang terakhir ini
mengalami kerugian, maka kepadanya harus diberikan ganti rugi42.
5. Teori Implementasi
1) Pelaksanaan,
2) Penerapan, Kamus Webster merumuskan secara pendek bahwa
to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the
means for carrying out (menimbulkan dampak/ akibat terhadap
sesuatu). Kalau pandangan ini diikuti, maka implementasi
kebijaksanaan keputusan dapat dipandang sebagai suatu proses
melaksanaan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk
Undang-Undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan,
pemerintah eksekutif atau dekrit persiden).
Dalam hubungannya dengan penulisan ini, implementasi
diberi batasan : berlakunya suatu hukum atau peraturan
perUndang-Undangan di dalam masyarakat.
41
Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implentasi (Edisi Revisi +). PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hlm. 79
42
Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 298-299
43
Kanus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, hlm 319
49
dapat pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan
eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Pada
umumnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah
yang ingin diatasi dengan menyebutkan secara tegas tujuan atau
sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstruktur
atau mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung
setelah melalui beberapa tahapan tertentu, yang biasanya diawali
dengan kebijakan dalam bentuk kebijakan bentuk pelaksanaan
keputusan oleh badan pelaksananya.
44
Ibid, hlm. 193
50
Utara. Penelitian tersebut membahas masalah hukum yang dihadapi oleh
masyarakat Jakarta Utara sehubungan dengan Pembangunan Pelebaran
jalan Perintis Kemerdekaan Jakarta Utara.
G. Kerangka Pemikiran
Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga diatur
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang manyatakan “Bumi air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Melalui hak menguasai dari negara ini
maka negara akan dapat senantiasa mengendalikan atau mengarahkan
pengelolaan fungsi tanah sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang ada.
Hal ini memberikan hak bagi negara untuk campur tangan, dengan pengertian
bahwa setiap pemegang hak atas tanah tidak akan terlepas dari hak menguasai
negara tersebut, karena kepentingan nasional diatas kepentingan individu atau
kelompok. Atau dengan kata lain, setiap pemegang hak atas tanah tidak boleh
mengabaikan fungsi sosial dari tanah tersebut (Pasal 6 UUPA).
51
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
52
pemerintah dengan pemegang hak atas tanah. Pemberian ganti rugi
sebagai penghormatan dari segi ekonomi dari pemegang hak atas tanah
supaya tidak mengalami kemunduran kondisi ekonomi maupun
sosialnya.
Dari analisis konsep kepentingan umum, musyawarah dan
pemberian ganti kerugian pengadaan tanah dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia maka dapat ditarik kesimpulan mengenai
konstruksi hukum prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat membuat suatu
kerangka pemikiran yang diwujudkan dalam skema sebagai berikut :
Pengadaan tanah
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
54
Metode menurut Setiono47 adalah suatu alat untuk mencari
jawaban dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau
alatnya harus jelas terlebih dahulu apa yang akan dicari. Penelitian
dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum sosiologis atau
non doktrinal serta di dukung dengan data sekunder, sedangkan
dilihat dari sifatnya termasuk penelitian yang deskriptif kualitatif,
yaitu suatu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum di
Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten Boyolali .
47
Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta:
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2002, hlm. 1
48
Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 250
49
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta, 2001,
hlm. 54
55
Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5
(lima) konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto
seperti dikembangkan oleh Setiono adalah sebagai berikut:50
56
responden dan narasumber yang berkompeten dan terkait dengan
masalah yang diteliti (objek yang diteliti), untuk mendapatkan data
primer dan akan dilakukan pula dengan studi kasus.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang
mempelajari ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum53. Tujuan dari penelitian ini untuk
mencapai hasil yang memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogyanya mengenai prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
3. Lokasi Penelitian
a. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok yaitu
data yang paling relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
Namun untuk kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang diteliti,
maka akan disempurnakan dengan penggunaan data pelengkap yang
53
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta,
2005, hlm. 22
57
berguna untuk melengkapi data pokok dan data pelengkap tersebut
adalah sebagai berikut:
58
(i) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan
Pengaturan pertanahan
b. Sumber Data
Sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:
59
(3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
(4) Peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
(5) Peraturan presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional
(6) Keputusan Presaiden No. 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
(7) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Tentang
Ketentuan Pelaksanaam Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
60
(3) Kamus Hukum
61
juga mempergunakan metode Observasi yaitu dengan cara mengamati
suatu obyek yang diteliti, setelah itu mencatat dan mencocokkan dengan
teori agar tercapai sasaran penelitian. Cara ini dimaksudkan untuk
menjaga kemungkinan adanya beberapa hal yang tidak sempat poneliti
tanyakan ataupun tidak terjawabnya pertanyaan pada saat wawancara
dilakukan, sehingga peneliti bisa mendapatkan data yang lengkap.
b. Studi Pustaka
Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara
membaca, memahami dan mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang
akan diteliti, yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi
untuk mencatat informasi atau data dari bahan-bahan Hukum yang
diteliti yang berkaitan dengan masalah penelitian yang sudah dirumuskan
terhadap:
1) Buku-buku literatur.
2) Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya
dengan penelitian ini.
3) Dokumen
58
Soerjono Soekanto, Op. Cit. hal. 154
62
Dalam operasionalisasinya, peneliti membatasi permasalahan yang
diteliti dan juga membatasi pada pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu
dijawab dalam penelitian. Dari hasil penelitian tersebut data yang sudah
diperoleh disusun sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti
kemudian data tersebut diolah dalam bentuk sajian data. Setelah
pengumpulan data selesai, peneliti melakukan penarikan kesimpulan atau
verifikasi berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data
maupun sajian datanya. Misalnya untuk mengetahui jawaban, tentang
bagaimana Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Boyolali, maka
penulis menanyakan langsung ke pokok permasalahannya. Kemudian dari
jawaban yang diperoleh tersebut diolah menjadi sajian data untuk
kemudian dianalisis. Setelah data tersebut selesai dianalisis kemudian
disimpulkan. Apabila di dalam kesimpulannya dirasa kurang mantap,
maka penulis kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah
terfokus dan juga pendalaman data.
59
HB. Sutopo, Op. Cit. hlm. 86
60
Ibid, hlm. 87
63
Gambar : 2
Pengumpulan Data
I II
III
Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
64
Ketiga Komponen tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut
a. Reduksi data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan di lapangan. Reduksi data
berlangsung terus-menerus bahkan sebelum data benar-benar
terkumpul sampai sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir
lengkap tersusun. Reduksi data bukanlah merupakan suatu hal yang
terpisah dari analisis dan merupakan bagian dari analisis.
b. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Dari permulaan pengumpulan data, seorang analis kualitatif
mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola,
penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan
proposisi. Kesimpulan-kesimpulan itu akan ditangani dengan longgar,
tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-
mula belum jelas meningkat lebih terperinci dan mengakar dengan
kokoh. Kesimpulan-kesimpulan juga di verifikasi selama penelitian
berlangsung. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus
diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya yakni
merupakan validitasnya61
61
Soerjono Soekanto,, Op. Cit. hal. 18-19
65
yang diperoleh adalah komponen-komponen yang benar-benar
mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah
analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif
yaitu secara apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan
data-data yang diperoleh.
I. Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan selama 3 (tiga) bulan yang akan
dimulai bulan April 2014 sampai dengan Juni 2014, dengan rincian
sebagai berikut :
BAGAN JADWAL PENELITIAN
Bulan
No Kegiatan April 2014 Mei 2014 Juni 2014
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
I Persiapan Penelitian
1. Literatur
2. Proposal
3. Seminar
4. Perijinan
5. Questioner
II Pelaksanaan Penelitian
1. Pengumpulan Data
2. Analisis Data
66
DAFTAR PUSTAKA
Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publising.
Hadjon, Philipus M.. 1988. “Hak-Hak dan Kewajiban Dasar” Yuridika. No.
5 Th. III November 1988
67
Harry Stephan, dkk. 2014. “Land Acquisitions in Africa: A Return to Franz
Fanon?”. Tawarikh: International Journal for Historical Studies.
2(1) 2014. http://www.tawarikh-journal.com/files/File/Harry.pdf
Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?. Bandung: Remaja
Karya.
68
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Prenada Media.
Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim. 1982. Hak Milik Keadilan dan
Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tukgalii, Lieke Lianadevi. 2010. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Kertas Putih
Communication.
69
Yusriyadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas
Tanah. Yogyakarta: Genta Publishing.
Urip Santosa. 2010. Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Jakarta:
Kencana.
70
Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
71