Anda di halaman 1dari 39

PENGADAAN TANAH UNTUK

KEPENTINGAN UMUM DI ERA GLOBALISASI

A. Latar Belakang Masalah


Kendati Landreform telah berusia Lima Puluh Tahun, kenyataan yang terjadi
saat ini merupakan suatu ironi, dan menarik untuk dikaji, karena seiring dengan era
baru hubungan antar negara dan antar masyarakat internasional yang lebih dikenal
dengan istilah “Era Globalisasi”, ternyata implementasi amanat UUPA pada
negara/pemerintah semakin jauh dari yang seharusnya. Bahkan amanat UUPA,
bahwa negara/pemerintah melalui berbagai aturan hukum dan kebijaksanaanya
harus dapat menfasilitasi rakyat agar mampu memenuhi keperluannya dalam soal-
soal agraria sesuai dengan perkembangan zaman, cenderung diabaikan. Terdapat
indikasi yang kuat, bahwa karena tekanan globalisasi perdagangan dunia berbagai
aturan hukum dan kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah di bidang agraria
(termasuk di bidang pertanahan) lebih berpihak dan memfasilitasi badan hukum
publik, swasta, lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan internasional, serta
pemodal raksasa internasional (MNC atau TNC) dan cenderung mengorbankan
kepentingan rakyat, terutama petani untuk dapat mengakses tanah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, terdapat indikasi yang kuat bahwa
pemerintah telah menempatkan agraria/tanah sebagai komoditas perdagangan, dan
tidak lagi sebagai asset yang harus diupayakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Pada prinsipnya Tanah adalah salah satu karunia Tuhan yang telah diberikan
kepada kita yang merupakan hal terpenting yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
manusia. Di mana di atas tanah tersebut aktivitas kehidupan manusia, yang
berkaitan langsung dengan kebutuhan pokok manusia. Kebutuhan tersebut mulai
dari kebutuhan papan, sandang, dan pangan tidak terlepas dari kebutuhan tanah. Di
atas tanah manusia dapat mendirikan rumah atau bangunan untuk tempat tinggal,

1
menggarap tanah tersebut sebagai lahan pertanian, perkebunan, dan ladang untuk
diambil manfaatnya ekonominya.
Menurut Herma Yulis dalam Achmad Rubaeie, tanah mempunyai arti
penting karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital
asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di
kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai
capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan tanah telah
tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan
perniagaan dan objek spekulasi (Achmad Rubaeie, 2007:1).
Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai hubungan magis
religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak hanya antara individu dengan
tanah tetapi juga antar kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat
(Rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hak ulayat (Mohammad Hatta,
2005:40).
Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara lahir, batin, dan merata, di sisi lain
perlu dijaga kelestariaannya. Tanah merupakan karunia Tuhan yang dapat
digunakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bangsa
Indonesia, maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk mewujudkan hal
tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945) yang berbunyi : “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat “. Dari bunyi Pasal
tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan bumi (tanah), air dan kekayaan alam
yang terkandung didalam harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia.

2
Seluruh batang tubuh UUD 1945 merupakan suatu penjabaran dari Pancasila,
maka dengan sendirinya kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan lahir
batin, adil, dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Melihat materi dari Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 di atas maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara
Republik Indonesia yang bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi dan
keadilan (Mohamad Hatta, 2005:1). Dengan demikian, antara dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-mata
dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan
untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu dari instansi pemerintah
yang memerlukan tanah tersebut (Achmad Rubaei, 2007:2).
Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam Pasal 2
ayat (3) UUPA diartikan sebagai kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan
dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil, dan
makmur. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, maka penggunaan tanah tidak
hanya untuk kepentingan individu saja tetapi juga kepentingan masyarakat luas di
Indonesia. Bunyi Pasal tersebut tersirat bahwa penggunaan tanah juga harus
memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan sosial.
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi dalam konsepsi
hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan (Boedi Harsono, 2005:
231). Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas
tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung
bersumber pada hak bangsa, yang merupakan hak bersama. Pasal 6 UUPA,
menyatakan : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Dari ketentuan
tersebut berarti penggunaan tanah tidak hanya menyangkut kepentingan individu
atau golongan pemegang hak atas tanah tersebut, melainkan juga harus
memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebab, kepentingan pribadi sudah

3
termasuk juga di dalam kepentingan masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan
antara kepentingan individu dan kepentingan umum (masyarakat) dalam
pemanfaatan serta penggunaan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Juncto Pasal 2 ayat (3)
Juncto Pasal 6 UUPA, maka terkait hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, negara
perlu melakukan berbagai ragam kebijakan dan kegiatan yang memerlukan berbagai
macam ketrampilan dan keahlian, termasuk mengatur penggunan tanah bagi
kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk pembangunan, di mana tujuan
utamanya tetap harus untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata.
Sebagaimana dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak
dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah yang membutuhkan tanah
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pelaksanaanya harus
mempertimbangkan banyak hal. Argumentasinya, menurut Imam Koeswahyono
yang mengutip pendapat Soemarjono dan Oloan Sitorus, bahwa pengadaan tanah
harus berdasarkan atau mencangkup prinsip (Imam Koeswahyono, 5:2008) :
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun
harus ada landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada
hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Juncto Pasal 1
dan 2 UUPA);
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dimiki haknya oleh seseorang atau
badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan
(kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia ( selanjutnya ditulis UU HAM)); dan
4. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh gagal, maka
presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak tanpa
persetujuan subyek hak menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya
(selanjutnya ditulis UU No 20 Tahun 1961).

4
Salah satu persoalan yang masih dihadapi sehubungan dengan pelaksanaan
kepentingan umum, apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini adalah
menentukan keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi
pemegang hak atas tanah. Pembangunan yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah
seringkali berbenturan berbagai masalah pengadaan tanah yang mengabaikan hak
atas tanah yang dimiliki masyarakat. Permasalahan ini muncul baik dalam tahap
awal, pelaksanaan maupun pemberian ganti rugi yang kurang layak yang tanpa
melibatkan masyarakat pemegang hak atas tanah, sehingga pengadaan tanah yang
berdalih untuk kepentingan umum sering kali melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, persoalan yang paling disorot adalah kriteria pembatasan
“kepentingan umum” yang membuka kemungkinan pengadaan tanah oleh swasta
difasilitasi oleh Pemerintah. Pengertian kepentingan umum dikhawatirkan akan
diartikan secara luas sehingga dapat melanggar hak milik atas tanah di Indonesia
yang belum sepenuhnya dilindungi sistem hukum (Mohammad Hatta, 2005:157).
Demikian juga selain perangkat aturan yang ada saat ini dilihat belum
mengakomodasi keperluan kepentingan pembangunan. Wadahnya pun disorot tidak
layak, lantaran persoalan tanah yang terkait hak asasi manusia tidak dihimpun dalam
undang-undang.
Kondisi di Era Globalisasi seperti sekarang ini, Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang diadakan oleh Pemerintah, apabila melalui pembebasan
tanah tidak bisa tercapai maka melalui pencabutan hak milik. Hal demikian diatur
dalam Pasal 1 UU No 20 Tahun 1961, menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan
yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri
yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada
diatasnya”.

5
Terkait dengan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah, terkadang organ
Pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige
overheidsdaad) publik, seperti dalam hal pelaksanaan pencabutan Hak Milik.
Pelanggaran hukum tersebut seperti dalam hal (Marmin M.Roosadijo. 1979: 31) :
1. Penetapan ganti rugi oleh panitia penaksir telah ditetapkan dengan tidak
mengindahkan dasar-dasar pertimbangan yang layak, sehingga dirasa sangat
mustahil untuk diterima oleh yang bersangkutan;dan/atau
2. Daerah penampungan yang ditunjuk Pemerintah ternyata tidak memenuhi
persyaratan hidup untuk dihuni berhubung tiada sumber air atau air yang terdapat
di daerah itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena adanya pencemaran
lingkungan.

Apabila kita ikuti kasus-kasus seputar pengadaan tanah untuk kepentingan


umum, yang kebanyakan pemicunya terkait dengan pemberian ganti rugi, baik dalam
bentuk, pelaksanaan pembayarannya maupun besarnya ganti rugi. Pembayarannya
terkadang tidak langsung tunai dan diundur-undur dan besarnya ganti rugi tidak
layak. Guna menghindari konflik terkait pemberian ganti rugi baik mengenai bentuk
maupun besarnya harus ditetapkan berdasarkan musyawarah antara kedua belah
pihak yang mempunyai kedudukan sama dan sederajad, sehingga antara pihak
pemerintah dengan pemegang hak atas tanah terjadi keseimbangan. Di era globalisasi
tanah merupakan kebutuhan vital terutama dalam pembangunan. Baik Pembangunan
yang dilakukan perorangan maupun Untuk kepentingan umum yang biasanya
dilakukan oleh pemerintah.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini yang menjadi pokok kajian adalah :


Bagaimanakan Prinsip Pengadaan tanah Untuk Kepentingan Umum bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Era Globalisasi ?

6
C. Pembahasan
Dengan dikeluarkannya Keppres No.55 Tahun 1993, tidak dikenal lagi
pembebasan tanah, istilah pembebasan tanah telah diganti dengan pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah dan dinyatakan tidak berlaku tiga peraturan pokok yang
mengatur tentang pembebasan tanah, yaitu Peraturan Menteri dalam negeri Nomor
15 Tahun 1975 (Permendagri No.15 Tahun 1975), Peraturan Menteri dalam negeri
Nomor 2 Tahun 1976 (Permendagri No.2 Tahun 1976), dan Peraturan Menteri
dalam negeri Nomor 2 Tahun 1985 (Permendagri No.2 Tahun 1985).
Pengertian kepentingan umum menurut Pasal 1 angka 3 Keppres No. 55
Tahun 1993 adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Pengertian ini sangat
abstrak sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di dalam
masyarakat. Keadaan ini tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat, karena
pemerintah melepaskan hak atas tanah masyarakat demi kepentingan umum yang
kabur sesuai dengan maksud dan kehendak pemerintah, yang dalam kenyataanya
bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Kriteria kepentingan umum ini
menampakkan sifat yang sepihak dan tidak aspiratif, karena kepentingan pemilik
tanah kurang bahkan tidak mendapat perhatian (Lieke Lianadevi, 2010:182).
Padahal seharusnya pemilik tanahlah yang paling pokok untuk mendapat
perlindungan sesuai fungsi daripada hukum untuk mengayomi demi tercapainya
ketertiban dan rasa keadilan.
Jadi, pendefinisian kepentingan umum telah menimbulkan interpretasi
yang berbeda oleh pihak-pihak yang membutuhkan tanah. Oleh karena itu, definisi
kepentingan umum ini harus diperjelas dan diperketat agar tidak disalahgunakan.
Di samping itu, kewenangan presiden untuk menetapkan suatu kegiatan masuk
dalam kategori kepentingan umum, meskipun harus dalam bentuk Keputusan
Presiden, perlu juga diatur sejauh mana kewenangan tersebut bisa dipergunakan
karena hal ini menyangkut masalah hak asasi manusia yang dijamin dengan UUD
1945 (Adrian Suteji, 2008:155).

7
Pasal 5 Keppres No. 55 Tahun 1993 menyebutkan bahwa pembangunan
untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk:
a. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh
Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-
bidang sebagai berikut:
1) Jalan umum, saluran pembuangan air;
2) Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran
irigasi;
3) Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat;
4) Pelabuhan atau bandar udara atau terminal;
5) Peribadatan;
6) Pendidikan atau sekolahan;
7) Pasar umum atau pasar Inpres;
8) Fasilitas pemakaman umum;
9) Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan
bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;
10) Pos dan telekomunikasi;
11) Sarana olah raga;
12) Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya;
13) Kantor Pemerintah; dan
14) Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
b. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang dimaksud di
atas (dalam Jangka satu) yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Jelaslah bahwa Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tidak sekedar
memperhatikan kemanfaatan dari kepentingan umum, tetapi juga membatasi
siapa yang menjadi pelaksana pembangunan kepentingan umum, yaitu dilakukan
dan selanjutnya dimiliki Pemerintah dan sifat pembangunan kepentingan umum
tidak digunakan untuk mencari keuntungan.

8
Menurut Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Keppres No. 55 Tahun 1993
lebih cenderung memakai pendekatan ketentuan-ketentuan daftar (list provisiont).
Hal ini jelas terlihat dari ketentuan Pasal 5 Keppres 1993 diatas, selain membatasi
apa yang dimaksud dengan pembangunan untuk kepentingan umum, juga secara
eksplisit menentukan bidang-bidang yang termasuk sebagai kegiatan
pembangunan untuk kepentingan umum (Oloan Sitorus Dayat Limbong, 2004:8).
Pengertian pembangunan untuk kepentingan umum yang tercantum dalam
Pasal 5 angka 1 tersebut, walaupun sesungguhnya bermaksud membatasi apa yang
termasuk dalam pengertian pembangunan untuk kepentingan umum, akan tetapi
sifat limitatif tersebut menjadi kabur ketika ada tambahan istilah “dalam beberapa
bidang, antara lain.........”. Kemudian angka 2-nya juga membuka kemungkinan
bentuk kegiatan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, selain yang
dimaksud dalam angka 1 ditetapkan dengan keputusan presiden. Hal ini pula yang
membuka peluang terjadinya penafsiran yang beragam atas istilah “kepentingan
umum”. Penulis sependapat dengan Abdurrahman, dalam Oloan Sitorus.
Abdurrahman menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 angka 2 Keppres No. 55
Tahun 1993 dapat menimbulkan kesan negatif, bahwa ruang lingkup dari apa yang
disebut kepentingan umum itu dapat diatur dan dapat dipermainkan sedemikian
rupa sehingga percuma saja ditentukan dalam satu daftar sebagaimana yang tertera
dalam dalam ketentuan Pasal 5 angka 2 Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut
(Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004:10-11). Jadi peluang yang dibuka dari
Pasal 5 angka 2 tersebut, yakni melalui Keppres, harus juga diartikan bahwa
kegiatan tersebut harus memenuhi tiga kriteria pokok dalam angka 1 tersebut di
atas secara kumulatif.
Pasal 4 ayat (1) Keppres Nomor 55 Tahun 1993 juga menegaskan bahwa
penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan umum harus sesuai dan
berdasarkan kepada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang ditetapkan terlebih
dahulu. Bagi daerah yang belum menetapkan RUTR harus didasarkan kepada

9
perencanaan ruang wilayah atau kota yang sudah ada. Oleh karena itu pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak sesuai dengan RUTR dapat
dinyatakan sebagai bukan kepentingan umum. Keppres Nomor 55 Tahun 1993
kemudian digantikan dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dan diubah dengan
Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Istilah Keputusan Presiden diganti menjadi
Peraturan Presiden dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Beserta Peraturan
Pelaksananya (selanjutnya disebut UU No 10 Tahun 2004).
Selain hal tersebut di atas, dapat penulis jelaskan pula bahwa Kepentingan
umum menurut Pasal 1 angka 5 Perpres No.36 Tahun 2006 sebagaimana telah
diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006, adalah kepentingan sebagian besar
masyarakat. Kepentingan umum menurut Perpres ini semakin mengalami
ketidakjelasan, sehingga dimungkinkan suatu kegiatan yang sebenarnya bukan
untuk kepentingan umum dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum yang
dapat menimbulkan konflik. Kriteria kepentingan umum pun dalam Perpres ini
juga tidak ada pembatasan yang jelas dan rinci, padahal berdasarkan peraturan
sebelumnya yaitu Keppres No. 55 Tahun 1993, kategori pembatasan kepentingan
umum adalah kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh
pemerintah serta tidak untuk mencari keuntungan. Kategori kepentingan umum ini
tidak lagi dicantumkan dalam Perpres No 36 Tahun 2005 Jo Perpres No 65 Tahun
2006. Jadi makna kepentingan umum dalam Perpres ini justru mengalami
kelemahan dan kemunduran.
Sama dengan peraturan presiden sebelumya, Perpres No 65 Tahun 2006
tidak disertai dengan naskah akademik sehingga tidak dapat diperoleh kejelasan
tentang falsafah, orientasi, dan prinsip dasar yang melandasinya. Komentar dibuat
dengan catatan, materi dalam Perpres harus dimuat dalam undang-undang
(Kompas 29/4/2005, 11/5/2005, dan 16/6/2005). Perubahan pembatasan
kepentingan umum dalam dua hal, pembangunan itu dilaksanakan Pemerintah atau

10
Pemerintah Daerah, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki Pemerintah atau
Pemerintah Daerah. Perpres ini lebih baik daripada Perpres yang terdahulu yang
tidak memberi pembatasan sama sekali, tetapi apabila dibandingkan dengan
Keppres No 55 Tahun 1993, Perpres No 65 Tahun 2006 memperluas pembatasan
kepentingan umum dengan memuat kata “atau akan” dimiliki oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah, serta dalam perpres ini juga tidak memuat kriteria “tidak
untuk mencari keuntungan”. Menurut Maria S.W. Soemardjono dalam bukunya
Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Perpres ini utamanya
dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum kemitraan antara pemerintah dan
swasta, khususnya dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang
pendanaanya sulit dipenuhi pemerintah sendiri (Maria S.W. Soemardjono,
2009:112).
Pasal 5 No 36 Tahun 2005 Perpres menyebutkan, pembangunan untuk
kepentingan yang dilakukan oleh Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah,
meliputi bidang-bidang sebagai berikut:
a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah,
ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan perairan lainnya;
c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
d. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolah;
g. Pasar umum;
h. Fasilitas pemakaman umum;
i. Fasilitas keselamatan umum;
j. Pos dan telekomunikasi;
k. Sarana olahraga;

11
l. Stasiun penyiaran radio, televisi, dan sarana pendukungnya;
m. Kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa
n. Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
o. Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;
p. Rumah susun sederhana;
q. Tempat pembuangan sampah;
r. Cagar alam dan cagar budaya;
s. Pertamanan;
t. Panti sosisal;
u. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Penafsiran kepentingan umum berdasarkan bidang-bidang di atas
membuka peluang masuknya perusahaan dan modal swasta ke dalam proyek-
proyek yang dikategorikan termasuk kepentingan umum. Proyek jalan tol,
kelistrikan, telekomunikasi, penyiaran, hingga tempat pembuangan sampah
merupakan segi-segi penafsiran kepentingan umum yang dituding sudah dirambah
swasta demi profit (Adrian Suteji, 2008:199). Pergeseran makna kepentingan
umum, misalnya dengan dimasukkannya “jalan tol”. Padahal jalan tol ini berbeda
dengan jalan umum (jalan provinsi, kabupaten/kota, desa), karena apabila
menggunakan jalan tol, pengguna dikenakan kewajiban membayar pemakaian
sedangkan dalam jalan umum tidak dikenai kewajiban membayar. Jadi dari jalan
tol ini terdapat orientasi profit, padahal pemahaman publik mengenai kepentingan
umum terkait dengan beberapa hal mendasar, yakni adanya keuntungan sosial
berupa masyarakat umum yang akan menikmati tujuan pembebasan lahan,
dilakukan oleh pemerintah dan tidak berorientasi profit.

12
Pasal 5 tersebut dalam Perpres No 65 Tahun 2006 mengalami perubahan
yang termasuk bidang kepentingan umum, dimana yang 21 jenis bidang menjadi 7
jenis bidang, yaitu:
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah,
ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/ air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam dan cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Revisi yang hanya mengenai jumlah kategori bidang bangunan untuk kepentingan
umum dalam pasal ini tidak cukup, karena yang paling mendasar adalah definisi
“kepentingan umum”. Dari perubahan jumlah kategori tersebut, Perpres No. 65
Tahun 2006 masih membuka ruang lebar masuknya kepentingan bisnis dengan
berdalih untuk kepentingan umum. Pengurangan kategori bidang pembangunan
untuk kepentingan umum tersebut belum jelas dasar pengurangannya. Berdasarkan
perubahan tersebut terjadi pengurangan kategori bidang yang termasuk
kepentingan umum yang seharusnya tidak dihapuskan, yaitu meliputi bidang:
a. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
b. Tempat peribadatan;
c. Tempat pendidikan atau sekolah;
d. Lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan;
e. Kantor Pemerintah atau pemerintah daerah; dan
f. Pasar umum tradisional.

13
Sebagai contoh penghilangan kategori kepentingan umum “tempat pendidikan
atau sekolah” merupakan hal yang tidak berdasar hukum. Padahal, pendidikan
adalah hak setiap warga negara Indonesia, dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke
empat menyebut salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jadi dengan dihapuskannya kategori kepentingan umum “tempat pendidikan atau
sekolah” merupakan hal yang bertentangan dengan Konstitusi negara Indonesia.
Menurut Maria S.W. Soemardjono berpendapat bahwa kedepannya ada
dua alternatif yang perlu dipikirkan terkait konsep kepentingan umum, yaitu
(Maria S.W. Soemardjono, 2009:103):
a. Tetap membedakan antara kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum
dan bukan kepentingan umum. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan
umum hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, dan swasta sama sekali tidak
dimungkinkan dengan cara apapun menggunakan fasilitas pemerintah; dan
b. Tidak perlu membedakan antara kegiatan pembangunan untuk kepentingan
umum dan bukan kepentingan umum, tetapi terhadap setiap kegiatan
pembangunan yang memerlukan tersedianya tanah yang berdampak terhadap
kesejahteraan sosial ekonomi pemegang hak atas tanah, tata caranya diatur
dalam undang-undang.
Penulis berpendapat makna kepentingan umum dalam Perpres ini
cenderung di orientasikan atau difokuskan untuk pertumbuhan ekonomi sehingga
makna maupun definisi kepentingan umum dalam perpres ini diperluas dan tidak
ada kriteria pembatasan makna kepentingan umum, sehingga dalam
implementasinya dapat menimbulkan permasalahan. Jadi, apabila dibandingkan
dengan peraturan sebelumnya yaitu Keppres No 55 Tahun 1993, Perpres ini
mengalami maju-mundur.
Pranata hukum pengadaan tanah akan lebih utuh dipahami apabila tetap
berpegang pada konsepsi hukum tanah nasional. Konsepsi hukum tanah nasional
itu kemudian lebih dikonkretkan dalam asas-asas hukum pengadaan tanah.

14
Menurut Boedi Harsono paling tidak ada enam asas-asas hukum yang harus
diperhatikan dalam pengadaan tanah, yaitu (Boedi Harsono, 2005:342-343) :
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun
harus ada landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber
pada hak bangsa;
3. Cara memperoleh tanah yang haknya dimiliki seseorang harus melalui
kesepakatan antara para pihak yang bersangkutan, menurut ketentuan yang
berlaku. Tegasnya, dalam keadaan biasa, pihak yang mempunyai tanah tidak
boleh dipaksa untuk menyerahkan tanahnya;
4. Dalam keadaan memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan
kata sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa (dalam hal ini Presiden
Republik Indonesia) diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah
yang diperlukan secara paksa, tanpa persetujuan yang empunya tanah, melalui
pencabutan hak;
5. Baik dalam acara perolehan tanah atas dasar kata sepakat, maupun dalam
acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib
diberikan imbalan yang layak, berupa uang, fasilitas dan/atau tanah lain
sebagai gantinya, sedemikian rupa hingga keadaan sosial dan keadaan
ekonominya tidak menjadi mundur;
6. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek-proyek
pembangunan berhak untuk memperoleh pengayoman dari Pejabat Pamong
Praja dan Pamong Desa.

Menurut Maria S.W. Sumardjono, dalam kegiatan pengadaan tanah


tersangkut kepentingan dua pihak yakni instansi pemerintah yang memerlukan
tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan.
Karena tanah sebagai kebutuhan dasar manusia merupakan perwujudan hak
ekomomi, sosial dan budaya maka pengadaan tanah harus dilakukan melalui
suatu proses yang menjamin tidak adanya “pemaksaan kehendak” satu pihak
terhadap pihak lain.
Di samping itu, mengingat bahwa masyarakat harus merelakan tanahnya
untuk suatu kegiatan pembangunan, maka harus dijamin bahwa kesejahteraan
sosial ekonomimya tidak akan menjadi lebih buruk dari keadaaan semula, paling
tidak harus setara dengan keadaan sebelum tanahnya digunakan oleh pihak lain.

15
Oleh karena itu, pengadaan tanah harus dilakukan sesuai dengan asas-asas
berikut (Maria S.W. Soemardjono, 2008:282):
1. Asas Kesepakatan, yakni bahwa seluruh kegiatan pengadaan tanah dilakukan
berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang
hak atas tanah. Kegiatan fisik pembangunan baru dapat dilaksanakan apabila
telah terjadi kesepakatan antara para pihak dan ganti kerugian telah
diserahkan;
2. Asas Kemanfaatan, pengadaan tanah diharapkan mendatangkan dampak
positif bagi pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang terkena dampak
dan masyarakat luas. Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan itu harus
dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai keseluruhan;
3. Asas Keadilan, kepada masyarakat yang terkena dampak diberikan ganti
kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara
dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor
fisik maupun nonfisik;
4. Asas Kepastian, pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara yang diatur
oleh peraturan perundang-undangan, sehingga para pihak mengetahui hak dan
kewajiban masing-masing;
5. Asas Keterbukaan, dalam proses pengadaan tanah, masyarakat yang terkena
dampak berhak memperoleh informasi tentang proyek dan dampaknya,
kebijakan ganti kerugian, jadwal pembangunan, rencana pemukiman kembali
dan lokasi pengganti (bila ada), dan hak masyarakat untuk menyampaikan
keberatannya;
6. Asas Keikutsertaan/Partisipasi, peran serta seluruh pemangku kepentingan
(stakeholder) dalam setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat
meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan;
7. Asas Kesetaraan, asas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang
memerlukan tanah dan pihak yang terkena dampak secara sejajar dalam
proses pengadaan tanah; dan
8. Minimalisasi dampak dan kelangsungan kesejahteraan sosial ekonomi.

Konsideran huruf c Keppres 55 Tahun 1993 menyatakan bahwa


pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara seimbang
dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah secara langsung
dengan para pemegang hak atas tanah. Pengadaan tanah menurut Pasal 1 ayat (1)
Keppres No.5 Tahun 1993, adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberi ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.

16
Pengadaan tanah dalam Keppres ini semata-mata hanya digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum. Prosedur yang ditempuh adalah dengan cara pelepasan atau penyerahan
hak atas tanah. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah merupakan kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah
yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah.
Berdasarkan hal ini maka dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum diperlukan adanya suatu kegiatan yang intinya dilakukan
melalui musyawarah dengan pemilik tanah untuk melepaskan hubungan hukum
antara ia dengan tanah yang dikuasainya. Musyawarah didefinisikan sebagai
proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat
atau keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak
atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi (Pasal 1 ayat 5).
Musyawarah diutamakan dalam pengadaan tanah sebagai asas menurut
hukum adat Indonesia. Tanpa musyawarah berarti ada paksaan, sedangkan
Pemerintah dan rakyat Indonesia membangun bukan atas dasar paksaan,
melainkan atas dasar “bersama-sama” alias “gotong-royong” yang dilandasi
kepada “musyawarah mufakat” di dalam sfeer hukum adat (John Salindeho,
1993:95). Asas musyawarah sebagai ciri khas bangsa Indonesia dalam
penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapinya, tampak antara lain dalam
pengaturan tata cara memperoleh tanah kepunyaan rakyat yang diperlukan bagi
kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Musyawarah dalam
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu
perwujudan prinsip penghormatan terhadap pemegang hak-hak yang sah atas
tanah (Boedi Harsono, 2005:225).
Untuk dapat menghasilkan kesepakatan musyawarah harus dilandasi
dengan asas kesejajaran antara para pihak yang bermusyawarah dan

17
dilaksanakan tanpa tekanan berupa apa pun, baik verbal maupun nonverbal
berupa suasana ataupun tindakan penekanan dalam berbagai gradasinya, baik
yang terjadi di dalam pertemuan maupun di luar pertemuan (Maria S.W.
Soemardjono, 2008:260).
Prosedur pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Pelaksana Perpres No 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan
Perpres No 65 Tahun 2006. Adapun prosedur pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum, adalah sebagai berikut:
1. Tahap perencanaan (Pasal 2 dan Pasal 3)
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diawali dengan, Instansi
yang memerlukan tanah menyusun proposal rencana pembangunan paling
lambat satu tahun dan dapat meminta pertimbangan badan pertanahan
Republik Indonesia (BPN), yang sebelumnya memuat:
a. maksud dan tujuan pembangunan;
b. letak dan lokasi pembangunan;
c. luasan tanah yang diperlukan;
d. sumber pendanaan;
e. analisis kelayakan lingkungan perencanaan pembangunan, termasuk
dampak pembangunan berikut upaya pencegahan dan pengendaliannya.
Proposal rencana pembangunan ini tidak diperlukan apabila dalam hal
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dipergunakan untuk
fasilitas keselamatan umum dan penanganan bencana yang bersifat mendesak.
2. Tahap penetapan lokasi (Pasal 4 sampai Pasal 13)
Berdasarkan Proposal rencana pembangunan, maka instansi yang
membutuhkan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi untuk
kepentingan umum yang diajukan kepada Bupati/Walikota setempat. Apabila
tanah yang dibutuhkan terletak di dua atau lebih wilayah kabupaten/kota,

18
atau di wilayah Daerah Khusus Ibukota, maka permohonan diajukan kepada
Gubernur, dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat. Penetapan lokasi yang lokasinya terletak di dua provinsi atau lebih
diajukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Setelah menerima permohonan penetapan lokasi, Bupati/Walikota
atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang
didasarkan atas rekomendasi instansi terkait dan Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota melakukan pengkajian kesesuaian rencana pembangunan
dari aspek :
a. tata ruang;
b. penatagunaan tanah;
c. sosial ekonomi;
d. lingkungan; serta
e. penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah.
Berdasarkan rekomendasi instansi terkait dan kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta menerbitkan keputusan penetapan lokasi. Keputusan
penetapan lokasi disampaikan kepada instansi pemerintah yang memerlukan
tanah yang tembusannya disampaikan kepada Kantor Pertanahan setempat
dan instansi terkait.
Keputusan penetapan lokasi yang berlaku juga sebagai izin perolehan
tanah itu diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun untuk luas tanah sampai
dengan 50 ha sampai dengan 25 ha, 2 (dua) tahun untuk luas tanah sampai
dengan 50 ha dan 3 (tiga) tahun untuk luas tanah lebih dari 50 ha.
Perpanjangan lokasi wajib dipublikasikan 14 (empat belas) hari setelah
diterimanya keputusan tersebut.
Pihak ketiga yang bermaksud memperoleh tanah di lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum wajib memperoleh izin tertulis dari

19
Bupati/Walikota/Gubernur DKI, kecuali perolehan tanah karena pewarisan,
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau karena
peraturan undang-undang.
3. Tata cara pengadaan tanah
a. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) (Pasal 14 sampai dengan
Pasal 18)
Kegiatan dan tugas P2T dirinci masing-masing untuk:
1) P2T Kabupaten/Kota yang dibentuk dengan Keputusan
Bupati/Walikota/Gubernur DKI, dengan anggota paling banyak
sembilan orang.
2) P2T Provinsi, jika tanah terletak di dua kabupaten/Kota atau lebih
dalam satu provinsi yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur.
3) P2T Nasional, jika tanah terletak di dua provinsi atau lebih yang
dibentuk dengan Keputusan Mendagri.
b. Penyuluhan (Pasal 19)
P2T bersama instansi yang memerlukan tanah melaksanakan
penyuluhan untuk menjelaskan manfaat, maksud, dan tujuan
pembangunan kepada masyarakat dalam rangka memperoleh kesediaan
dari pemilik tanah. Dari hasil penyuluhan, ada dua kemungkinan yang
dapat terjadi yaitu:
1) Bila diterima oleh masyarakat, maka kegiatan pengadaan tanah
dilanjuti.
2) Bila tidak diterima masyarakat, maka dilakukan penyuluhan ulang.
Hasil penyuluhan ulang membuka adanya dua kemungkinan, yaitu:
a) Tetap ditolak oleh 75 persen pemegang hak atas tanah. Jika lokasi
dapat dipindahkan, dicari alternatif lokasi lain.
b) Tetap ditolak pemegang hak atas tanah, dan lokasi tidak dapat
dipindah, maka P2T mengusulkan kepada

20
Bupati/Walikota/Gubernur untuk menggunakan acara pencabutan
hak atas tanah menurut UU No 20 Tahun 1961. Hasil penyuluhan
dituangkan dalam berita acara hasil penyuluhan.
Penyuluhan menurut Pasal 19 lebih mengesankan komunikasi
satu arah, dan materinya terbatas pada penyampaian tentang manfaat,
maksud, dan tujuan pembangunan. pada tahap awal yang demikian
krusial, seharusnya yang dilakukan adalah konsultasi publik yang
merupakan sarana untuk berbagi informasi dengan masyarakat (Maria S.
W. Soemardjono, 2008:295).
c. Identifikasi dan Inventarisasi (Pasal 20 sampai Pasal 24)
Jika rencana pembangunan diterima oleh masyarakat, dilakukan
identifikasi dan inventarisasi tanah yang meliputi kegiatan:
1) penunjukkan batas;
2) pengukuran bidang tanah dan/atau bangunan;
3) pemetaan bidang tanah dan/atau bangunan keliling batas bidang
tanah;
4) penetapan batas-batas bidang tanah dan/atau bangunan;
5) pendataan penggunaan dan pemanfaatan tanah;
6) pendataan status tanah dan/atau bangunan;
7) pendataan penguasaaan dan pemilikan tanah dan/atau bangunan
dan/atau tanaman;
8) pendataan bukti-bukti penguasaan dan pemilikan tanah dan/atau
bangunan dan/atau tanaman; dan
9) lainnya yang dianggap perlu.
Hasil pelaksanaan identifikasi dan inventarisasi berkenan dengan
pengukuran bidang tanah dan/atau bangunan dan pemetaan bidang tanah
dan/atau bangunan dan keliling batas bidang tanah. Hasil pelaksanaan
identifikasi dan inventarisasi terkait 6 (enam) aspek lainnya dituangkan

21
dalam bentuk daftar yang memuat berbagai keterangan berkenaan dengan
subyek dan obyek. Peta bidang tanah dan daftar tersebut diumumkan
selama tujuh hari di kantor desa/kelurahan, kantor peratanahan
kabupaten/kota melalui website selama tujuh hari, dan/atau melalui mass
media dalam dua kali penerbitan.
Mengenai batas waktu ini perlu diinformasikan kepada
masyarakat, untuk mengantisipasi mereka yang mempunyai keberatan
terhadapnya karena batas waktunya relatif singkat (Maria Sumardjono,
2008:296). Sengketa atau perkara terkait pemilikan/penguasaan yang
tidak dapat diselesaikan secara musyawarah disarankan untuk
diselesaikan melalui lembaga peradilan. P2T mencatat sengketa atau
perkara tersebut dalam peta bidag tanah dan daftar yang disahkan oleh
seluruh anggota.
d. Penunjukkan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah (Pasal 25 sampai Pasal
27)
Penilaian harga tanah dilakukan oleh lembaga penilai harga
tanah. Jika di kabupaten/kota belum ada lembaga penilai harga tanah,
penilaian dilakukan oleh tim penilai harga tanah yang keanggotaannya
terdiri dari lima unsur yang dibentuk Bupati/Walikota/Gubernur DKI.
e. Penilaian (Pasal 27 sampai Pasal 30)
Penilaian harga tanah oleh tim penilai harga tanah didasarkan
pada NJOP atau nilai nyata dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan,
dan dapat berpedoman pada enam variabel yakni lokasi, letak tanah,
peruntukkan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan RTRW, sarana
dan prasarana, dan faktor lainnya.
Penilaian harga bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-
benda lain yang dilakukan oleh instansi terkait. Hasil penilaian
diserahkan kepada P2T untuk digunakan sebagai dasar musyawarah.

22
f. Musyawarah (Pasal 31 sampai Pasal 38)
Musyawarah pada asasnya dilaksanakan secara langsung dan
bersama-sama antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan
para pemilik yang sudah terdaftar dalam Peta dan Daftar yang telah
disahkan. Musyawarah rencana pembangunan untuk kepentingan umum
di lokasi tersebut mencapai kesepakan apabila 75 persen dari luas tanah
yang diperlukan untuk pembangunan telah diperoleh atau jumlah pemilik
telah menyetujui bentuk dan/atau besarnya ganti rugi.
Musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti
rugi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua
puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan musyawarah
pertama. Apabila jangka waktu telah berakhir maka instansi pemerintah
yang memerlukan tanah menyerahkan ganti rugi kepada pemilik dan
dibuatkan berita acara penyerahan ganti rugi atau berita acara penawaran
penyerahan ganti rugi. Bagi yang menolak ganti rugi dititipkan oleh
instansi pemerintah di Pengadilan Negeri setempat berdasarkan berita
acara penyerahan ganti rugi.
Penitipan secara konsep Pasal 1404 KUHPerdata adalah
hubungan utang piutang yang bersifat keperdataan sedangkan hubungan
pemerintah dengan pemegang hak atas tanah bukanlah hubungan utang
piutang yang bersifat keperdataan. Jadi, penggunaan lembaga penitipan
ganti kerugian pada Pengadilan Negeri itu secara konsep adalah keliru.
g. Putusan P2T tentang bentuk dan/atau besarnya ganti rugi (Pasal 40
sampai Pasal 42)
Pemilik yang keberatan terhadap keputusan P2T dapat
menganjukan keberatan disertai alasannya kepada dalam waktu paling
lama empat belas hari. Putusan penyelesaian atas keberatan diberikan
dalam waktu paling lama tiga puluh hari.

23
Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri memberikan putusan dalam
jangka waktu paling lama tiga puluh hari yang mengukuhkan atau
mengubah bentuk dan/atau besarnya ganti rugi. Sebelum memberikan
putusan, Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri dapat meminta
pertimbangan atau pendapat pemilik tanah yang berkeberatan, P2T
dan/atau instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Apabila pemilik
tetap berkeberatan dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan,
Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri mengajukan usul pencabutan hak
atas tanah menurut UU No 20 Tahun 1961.
h. Pembayaran ganti rugi (Pasal 43 sampai Pasal 47)
Pembayaran ganti rugi dilakukan paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak tanggal keputusan tersebut ditetapkan apabila bentuk ganti rugi
berupa uang atau yang disepakati pemilik dengan instansi pemerintah
yang memerlukan tanah apabila ganti rugi dalam bentuk selain uang.
Dari ketentuan tersebut tidak disebutkan sanksi apabila adanya
keterlambatan pembayaran ganti rugi.
i. Pelepasan hak (Pasal 49 sampai Pasal 52)
Pada saat ganti rugi dalam bentuk uang diterima, yang berhak
menerima membuat surat pernyataan pelepasan/penyerahan hak, diikuti
dengan pembuatan berita acara pembayaran ganti rugi dan pelepasan hak
atas tanah atau penyerahan tanah oleh P2T. Penerima ganti rugi
menyerahkan dokumen asli yang diperlukan. Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota mencatat hapusnya hak atas tanah yang
dilepaskan/diserahkan berdasarkan surat pernyataan
penyerahan/pelepasan hak dan/atau Penetapan Pengadilan Negeri.
j. Pengurusan hak atas tanah (Pasal 63 sampai Pasal 66)
P2T melaksanakan pemberkasan dokumen pengadaan tanah
untuk setiap bidang tanah yang dilampirkan pada berita acara

24
pelaksanaan pengadaan tanah untuk diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Berita acara pembayaran ganti rugi dan berita acara hasil
pelaksanaan musyawarah lokasi pembangunan dan penetapan bentuk
dan/atau besarnya ganti rugi berlaku juga sebagai pemberian kuasa dari
pemegang hak atas tanah kepada instansi pemerintah yang memerlukan
tanah untuk melepaskan/menyerahkan hak atas tanah atau menyerahkan
tanah menjadi tanah negara.
k. Pelaksanaan pembangunan fisik dapat dimulai setelah pelepasan hak atas
tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman atau telah dititipkannya ganti
rugi di Pengadilan Negeri setempat (Pasal 67).
Ketentuan ini mengesankan pemaksaan kehendak secara sepihak
yang terpaksa ditempuh karena jadwal kegiatan pembangunan tidak dapat
ditunda-tunda. Seyogyanya upaya menitipkan ganti rugi di Pengadilan
Negeri dihindari.
l. Evaluasi dan supervisi (Pasal 68 sampai Pasal 69).
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota memberikan
bimbingan teknis pelaksanaan pengadaan tanah di wilayahnya dan
menyampaikannya kepada Kepala kantor wilayah BPN Provinsi setiap
triwulan tahun berjalan. Kepala kantor BPN Provinsi membuat laporan
pelaksanaan pengadaan tanah kepada Kepala BPN pusat setiap semester
tahun berjalan. Kepala kantor wilayah BPN Provinsi melakukan
pembinaan, bimbingan, memberikan petunjuk teknis, dan melakukan
evaluasi pelaksanaan pengadaan tanah di wilayahnya.
Berdasarkan uraian prosedur pelaksanaan pengadaan tanah yang
diatur di dalam Perka BPN No 3 Tahun 2007 tersebut masih belum
optimal memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena dalam peraturan
tersebut masih terdapat beberapa kelemahan.

25
Selain itu Dasar pemikiran pengadaan tanah untuk kepentingan umum
juga berasal dari konsep fungsi sosial hak atas tanah. Pasal 6 UUPA menyatakan
bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal tersebut
mengandung pengertian bahwa semua hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya
tetapi penggunaan tanah tersebut harus juga memberikan kemanfaatan bagi
kepentingan masyarakat dan negara. Semua hak atas tanah mempuyai fungsi
sosial, artinya penggunaannya selain ditujukan untuk kepentingan pemegangnya
harus pula tidak mengganggu kepentingan umum atau kepentingan sosial atau
dengan perkataan lain penggunaan hak tersebut oleh pemegangnya tidak boleh
disalahgunakan.
Fungsi sosial hak atas tanah dapat terpenuhi dengan menggunakan tanah
sesuai rencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Fungsi sosial hak milik
atas tanah dianggap berhasil menjadi “wadah” antara kedua kepentingan, yakni
kepentingan individu pemilik tanah dan kepentingan di luar individu pemilik
tanah, bahkan fungsi sosial dipandang mampu menjadi kepastian hukum
(Yusriyadi, 2010:8). Kepentingan umum harus lebih diutamakan daripada
kepentingan pribadi, sesuai dengan asas hukum yang berlaku bagi
terselenggaranya kehidupan bersama dalam masyarakat (Achmad Rubaei,
2007:18). Meskipun demikian, kepentingan individu juga tidak dapat diabaikan
karena hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh hukum. Apabila
kepentingan umum mendesak kepentingan individu sehingga kepentingan
individu tersebut mengalami kerugian maka dia harus diberi ganti rugi secara
layak.
Hak milik secara tegas mendapatkan perlindungan yang kuat dalam Pasal
28H UUD 1945, dinyatakan “setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang”. Pasal 36

26
ayat (1) dan (2) UU HAM, menyatakan: “(1) Setiap orang berhak mempunyai
milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak
melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan
sewenang-wenang dan secara melawan hukum”. Kedua ketentuan ini merupakan
amanat adanya larangan bagi siapapun melakukan tindakan
pencabutan/pengurangan hak atas tanah, pengambilan tanah hak milik secara
sewenang-wenang. Menurut Adrian Suteji, pengurangan atau pencabutan hak
milik atas tanah hanya dapat dilakukan bila sesuai dengan norma-norma hukum,
kepatutan kewajaran, kebutuhan yang sangat urgen atau mendesak untuk
kepentingan umum disertai dengan suatu ganti rugi yang layak, dan/atau
pemindahan lokasi lain yang layak dimana tempat tujuan pemindahan itu telah
tersedia sarana/fasilitas umum dan sarana/fasilitas sosial, seperti tersedianya
tempat pendidikan bagi anak-anak sekolah, pasar, lokasi hiburan, masjid, rumah
sakit, jalan aspal, dan sarana lalu-lintas (Adrian Suteji, 2008:54).
Dalam setiap pengadaan tanah hampir selalu muncul tidak puas,
disamping tidak berdaya, di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena
proyek tersebut. Proyek tersebut adalah proyek untuk kepentingan umum, yaitu
proyek yang dilakukan pemerintah, selanjutnya dimiliki oleh pemerintah, dan
tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Masalah ganti kerugian merupakan
isu sentral yang paling rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dengan memanfaatkan tanah-tanah hak.
Dampak negatif pengadaan tanah sedapat mungkin diminimalkan,
disertai dengan upaya untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena
dampak sehingga kegiatan sosial ekonominya tidak mengalami kemunduran.
Karena pada hakekatnya seseorang akan menghindari penderitaan dalam hal ini
adalah kemunduran dalam kehidupannya. Menurut teori Jeremy Bentham,
“manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya

27
dan mengurangi penderitaan”. Selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk
undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat
mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip
tersebut di atas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan
yang terbesar bagi kebahagiaan besar masyarakat (the greates happines for the
greatest number) (Lili Rasjidi, 1988:51).
Di dalam hukum perdata, ganti rugi diartikan pembayaran kerugian yang
diderita oleh seseorang karena adanya perbuatan wanprestasi atau ingkar janji
(Subekti, 1979:45). Di dalam hukum perdata ada tiga macam pembayaran
kerugian yang termasuk dalam istilah ganti rugi, yaitu:
1. Biaya yaitu segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan;
2. Rugi yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang milik seseorang yang
diakibatkan oleh kelalaian pihak lain;dan
3. Bunga yaitu berupa kehilangan keuntungan yang sudah dihitung atau
dibayangkan akan diperoleh.
Di dalam pembebasan tanah, ganti rugi tidak berkaitan dengan adanya
kerugian yang disebabkan oleh wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Dengan demikian teori ganti rugi dalam hukum perdata tidak dapat dipergunakan
dalam pelaksanaan pembebasan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Karena di dalam pembebasan hak atas tanah terdapat dua
kepentingan, yaitu kepentingan umum dan kepentingan perseorangan. Dalam hal
ini Pemerintah harus menyeimbangkan dan menserasikan dua kepentingan
tersebut untuk memenuhi rasa keadilan dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.
Ganti kerugian merupakan hak mutlak dari pemegang hak atas tanah
yang telah melepaskan atau menyerahkan tanahnya. Ganti kerugian adalah
imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah sebagai pengganti dari nilai

28
tanah, termasuk di atasnya yang telah dilepaskan atau diserahkan (Oloan Sitorus
dan Dayat Limbong, 2004:33). Dengan demikian, tidak ada suatu kewenangan
bagi siapapun, termasuk oleh Pemerintah (negara) untuk mengambil tanah rakyat
tanpa dengan suatu ganti kerugian. Pemberian ganti kerugian dalam pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah merupakan wujud konkret dari penghormatan
terhadap hak atas tanah, sebagai bagian dari hak asasi manusia di bidang
ekonomi (property right) (Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004:31). Hal
demikian sesuai dengan pendapat Maria Soemardjono bahwa keadilan dalam
memberi ganti kerugian diterjemahkan sebagai mewujudkan penghormatan
kepada seorang yang haknya dikurangi dengan keadaan sebelum hak tersebut
dikurangi atau diambil, sehingga yang bersangkutan tidak mengalami degradasi
kesejahteraan (Maria Soemardjono, 2009:180).
Maria S.W. Soemardjono berpendapat prinsip penghormatan ini
diberikan kepada pemegang hak atas tanah (subyek), karena konstitusi menjamin
hak seseorang atas tanah yang merupakan hak ekonominya. Harry Stephan, dkk,
dalam tulisannya, berpendapat hak ekonomi itu, seperti dalam hal para petani
yang telah melepaskan hak atas tanahnya (lahan persawahan) untuk pengadaan
tanah, akan kehilangan akses sumber makanan dan sumber mata pencahariannya.
Harry Stephan, dkk, mengatakan, “acquisitions can (and often do) result in the
local population being dispossessed of their land and in their losing access to
resources that are crucial for their food security and their livelihoods” (Harry
Stephan, dkk., 2010:80). Jadi, diberikannya ganti kerugian dalam pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah di negara kita memang peraturan perundang-
undangan di negara Indonesia tidak mengenal perolehan tanah berdasarkan
penyitaan dan lebih dari itu bahwa setiap pengandaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan harus menghormati hak atas tanah sebagai hak asasi manusia di
bidang ekonomi (property right).

29
Apabila pemilik tanah tidak bersedia menerima ganti kerugian sekalipun
dianggap tidak layak, Pasal 8 UU No 20 Tahun 1961 menentukan pemilik dapat
mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi. Pengadilan Tinggi akan
memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Acara penetapan ganti kerugian
oleh Pengadilan Tinggi, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
1973 Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi
sehubungan dengan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda di Atasnya.
Pengadaan tanah menurut Keppres No.55 Tahun 1993 adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian
kepada yang berhak atas tanah tersebut. Dari pasal ini berarti setiap kegiatan
pengadaan tanah harus memberikan ganti kerugian kepada pihak yang berhak
yang telah melepaskan menyerahkan tanah tersebut. Adapun yang dimaksud
dengan ganti kerugian menurut Keppres ini, yaitu penggantian atas nilai tanah
sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Ganti kerugian dalam
rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Bentuk ganti kerugian dalam
penyerahan atau pelepasan tanah ini dapat berupa uang, tanah pengganti,
pemukinan kembali, gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian uang,
tanah pengganti, dan pemukiman kembali, dan bentuk lain yang disepakati oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan penggantian terhadap bidang tanah
yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas
umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat ( Pasal 14).
Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar:
1. Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan
memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir
untuk tanah yang bersangkutan;
2. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan; dan

30
3. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab di bidang pertanian.
Bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah yang
dimaksud dalam Keppres ini harus ditetapkan melalui musyawarah secara
langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah. Ganti kerugian diserahkan langsung kepada
pemegang hak atas tanah atau ahli warisnya yang sah dan bagi tanah wakaf
diberikan kepada nadzirnya.
Kelemahan Keppres ini terkait dengan ganti kerugian, yaitu (Achmad
Rubaie, 2007:83):
1. Tidak adanya batas akhir penyelesaian perkara jika terjadi penolakan ganti
kerugian oleh para pemegang hak atas tanah;
2. Tidak memberikan tempat yang sama bagi para pemegang dalam mengambil
keputusan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi. Hal ini terlihat dari
susunan panitia pengadaan tanah (pengadaan hak bukan objek hukum, tetapi
juga sekedar dianggap objek hukum, namun subyek hukum);
3. Tidak adanya penyelesaian akhir terhadap ganti rugi akibat pemegang hak
belum ditemukan. Walaupun menurut Pasal 17 ayat (2) telah
dikonsinyasikan pada pengadilan negeri setempat; dan
4. Tidak adanya sanksi terhadap pihak-pihak yang melakukan penyimpangan
(dalam ganti rugi).

Ganti rugi menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005, adalah penggantian


terhadap kerugian baik fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah
kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang
lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan
tanah. Penetapan besarnya ganti rugi yang menyebabkan si pemegang hak sah
atas tanah kehilangan atau terlepas haknya dilakukan secara musyawarah, yaitu
mengenai besar dan bentuk ganti rugi serta masalah lain yang berkaitan dengan
hal tersebut atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan.

31
Pasal 12 menentukan bahwa ganti rugi untuk pengadaan tanah diberikan
untuk : hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah. Bentuk ganti rugi dapat berupa :
1. Uang; dan/atau
2. Tanah pengganti; dan/atau
3. Pemukiman kembali.
Perpres No 65 Tahun 2006 mengenai bentuk ganti kerugian terjadi perubahan,
yaitu:
1. Uang; dan/atau
2. Tanah pengganti; dan/atau
3. Pemukiman kembali; dan/atau
4. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
5. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Mengenai bentuk ganti rugi dalam Perpres ini terdapat penambahan bentuk
ganti rugi dari ketentuan Perpres sebelumnya, yaitu “bentuk lain yang disetujui oleh
pihak-pihak yang bersangkutan”.
Pasal 15 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa dasar perhitungan besarnya
ganti rugi didasarkan atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/
sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan
berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh
panitia. Ketentuan dalam pasal ini menunjukkan bahwa ada sisi positif dibanding
peraturan yang sebelumnya, yaitu adanya Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah
yang profesional dan independen. Inilah itikad baik yang harus diperhatikan oleh
banyak pihak, ketika memahami pengadaan tanah. Sudah saatnya dibangun
sinergi antar komponen bangsa, dalam rangka pembangunan infrastruktur.
Saatnya pula menumbuhkan saling percaya semua pihak, dengan mengikis habis

32
pandangan sinis, curiga dan menghakimi berlebihan, pada upaya yang sedang
dilakukan.
Namun, seharusnya ganti kerugian dapat juga dipertimbangkan tidak
hanya sebatas berdasar NJOP/nilai nyata, harga bangunan, dan harga tanaman
yang ditetapkan oleh instansi pemerintah, melainkan juga harus berkaitan dengan
hal lain, seperti: dampak sosial dan keuntungan atau nilai ekonomi dari tanah
yang didapat dikemudian hari. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam
menentukan ganti kerugian pengadaan tanah di Indonesia, selain NJOP bumi dan
bangunan tahun terakhir, sekiranya adalah (Maria S.W. Soemardjono, 2009:
81) :
1. Lokasi atau letak tanah (strategis atau kurang strategis);
2. Status penguasaan tanah (pemegang hak yang sah atau penggarap);
3. Status hak atas tanah (hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak-hak
lain);
4. Kelengkapan sarana dan prasarana;
5. Keadaan pengguna tanahnya (terpelihara atau tidak);
6. Kerugian sebagai akibat dipecahnya hak atas tanah seseorang;
7. Biaya pindah tempat atau pekerjaan; dan
8. Kerugian terhadap penurunan penghasilan si pemegang hak atas tanah.

Sedangkan hal-hal yang tidal perlu dipertimbangkan dalam menentukan


ganti kerugian, antara lain adalah (Maria S. W. Soemardjono, 2008:254) :
1. Keuntungan yang akan didapatkan karena perubahan penggunaan tanah
tersebut dikemudian hari, mengingat bahwa menurut Keppres No 55 Tahun
1993, kegiatan pembangunan yang memanfaatkan tanah perseorangan ini
tidak ditujukan untuk mencari keuntungan;
2. Urgensi pengambilan tanah oleh pemerintah;
3. Keengganan meninggalkan tempat semula karena hal ini sangat subjektif;
dan/atau

33
4. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan setelah dikeluarkannya pengumuman
tentang pengambilan tanah oleh pemerintah, kecuali dengan maksud
melakukan perbaikan yang wajar untuk pembangunan.
Perka BPN Nomor 3 Tahun 2007 sebagai pelaksana Perpres No.36 Tahun
2005 Jo Perpres No.65 Tahun 2006, mengenai pembayaran ganti rugi diatur
dalam Pasal 43 sampai 47. Pasal 44 menyebutkan, berdasarkan keputusan
mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, Panitia Pengadaan Tanah
memerintahkan kepada instansi yang memerlukan tanah untuk melakukan
pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas ganti rugi :
1. paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal keputusan tersebut ditetapkan
apabila bentuk ganti rugi berupa uang; atau
2. yang disepakati pemilik dengan instansi pemerintah yang memerlukan tanah
apabila ganti rugi dalam bentuk selain uang.
Ganti rugi dalam bentuk selain uang diberikan dalam bentuk (Pasal 45) :
1. tanah dan/atau bangunan pengganti atau pemukiman kembali, sesuai yang
dikehendaki pemilik dan disepakati instansi pemerintah yang memerlukan
tanah;
2. tanah dan/atau bangunan dan/atau fasilitas lainnya dengan nilai paling
kurang sama dengan harta benda wakaf yang dilepaskan, bagi harta benda
wakaf;
3. recognisi berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat, untuk tanah ulayat;
atau
4. sesuai keputusan pejabat yang berwenang, untuk tanah Instansi Pemerintah
atau Pemerintah Daerah.
Dari uraian diatas, muncul beberapa kelemahan peraturan perundang-
undangan (Keppres dan Perpes) yang pernah/berlaku di Indonesia terkait ganti
kerugian dalam pengadaan tanah. Penulis sependapat dengan Maria S.W.

34
Soemardjono, bahwa terdapat kelemahan dalam ketentuan Perpres dan Keppres
terkait pemberian ganti kerugian dalam pengadaan tanah, yaitu:
1. Ganti rugi atas kerugian yang bersifat fisik dan nonfisik. Keppres tidak
memuat ganti kerugian yang bersifat nonfisik. Perpres tidak menjabarkan
lebih lanjut bentuk ganti kerugian nonfisik itu. Sebagai catatan, kerugian
yang bersifat nonfisik meliputi hilangnya pekerjaan, bidang usaha, sumber
penghasilan, dan sumber pendapatan yang lain yang berdampak terhadap
penurunan tingkat kesejahteraan seseorang. Alternatif ganti kerugiannya
antara lain meliputi penyediaan lapangan kerja pengganti, bantuan pelatihan,
dan fasilitas kredit. Ganti kerugian nonfisik bersifat komplementer terhadap
ganti kerugian yang bersifat fisik;
2. Perpres dan Keppres tidak menjabarkan permukiman kembali sebagai
alternatif bentuk ganti kerugian. Ketentuan tentang pemukiman kembali
seyogianya memuat ketentuan: siapa yang berhak atas relokasi, syarat
kelengkapan lokasi permukiman kembali, dan hak-hak peserta relokasi;
3. Peran panitia dalam menetapkan ganti kerugian. Dalam Perpres disebutkan,
bila tidak tercapai kesepakatan, Panitia menetapkan bentuk dan besarnya
ganti kerugian dan menitipkannya pada Pengadilan Negeri. Dalam Keppres
disebutkan, bila musyawarah tidak tercapai Panitia memutuskan bentuk dan
besarnya ganti kerugian dengan sejauh mungkin memerhatikan pendapat,
keinginan, saran, dan pertimbangan yang berlangsung dalam musyawarah.
Karena Perpres tidak memuat klausula seperti Keppres; dan
4. Penitipan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri berdasarkan dua alasan,
yakni kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum tidak dapat
dipindahkan secara teknis tata cara ke lokasi lain dan musyawarah telah
berjalan selama 90 hari kalender (menurut ketentuan Perka BPN No 3 Th
2007 diganti 120 hari kalender) namun tidak tercapai kata sepakat. Keppres
tidak memuat ketentuan serupa itu. Perpres ini telah keliru menerapkan

35
konsep penitipan ganti kerugian pada pengadilan yang dianalogkan dengan
konsep penitipan yang terkait utang-piutang dalam Pasal 1404 KUHPerdata.
Pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah. Pembatasan
jangka waktu musyawarah mengesankan, Perpres ini mementingkan segi
formalitas atau prosedural daripada esensi musyawarah. Jika belum ada kata
sepakat tetapi ganti kerugian ditetapkan oleh panitia dan dititipkan di
pengadilan, dapat dikatakan selain keliru, hal ini merupakan pemaksaan
kehendak oleh satu pihak dan mengabaikan prinsip kesetaraan antara
pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.

D. Penutup .
1. Kesimpulan
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di era globalisasi, khususnya
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini belum
sepenuhnya dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas
tanah. Hal ini disebabkan masih adanya beberapa kelemahan yang timbul dari
peraturan perundang-undangan tersebut yang masih mengabaikan beberapa asas
yang dapat mewujudkan prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan umum. Salah satu kelemahan tersebut adalah belum
terwujudnya asas musyawarah dan mufakat yang optimal dalam pelaksanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Pelaksanaan dan penentuan ganti
kerugian harus ditetapkan berdasarkan musyawarah untuk mencapai kesepakatan
secara langsung antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang
membutuhkan tanah, yang setara atau seimbang posisinya. Pemberian ganti
kerugian harus diberikan baik untuk kerugian fisik (materiil) maupun nonfisik
(imateriil) yang mampu menjamin dan/atau meningkatkan kesejahteraan subyek
hukum yang telah melepaskan hak atas tanahnya tersebut.

36
2. Saran
Mengingat selama ini pengadaan tanah untuk kepentingan umum di era
globalisasi seperti sekarang ini merupakan sesuatu yang urgen yang menyinggung
kepentingan umum dan kepentingan perseorangan, maka dari itu Pemerintah
Indonesia perlu mencabut Perpres No 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Perpres No 65 Tahun 2006 dan segera menggantinya dengan mengeluarkan
undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, serta yang mengatur mengenai ganti
kerugian yang layak baik fisik maupun nonfisik yang mampu memberikan keadilan
bagi pihak yang telah melepaskan hak atas tanahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi. 2007. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan


Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.

Achmad Rubaie. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang :
Bayumedia Publishing.

Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-


Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi). Jakarta : Djambatan.

Imam Koeswahyono. “Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk


KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal
Konstitusi. Vol.1 Halm 5. Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI.

John Salindeho. 1993. Masalah Tanah dalam Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.

Maria S.W. Sumardjono. “Perpres No 36/2005, Langkah Maju atau Mundur?” Kompas,
11 Mei 2005.

. . 2008. Tanah dalam Perspektif Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta:


PT.Kompas Media Nusantara.

37
. 2009. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implentasi (Edisi
Revisi +). Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.

Marmin M. Roosadijo. 1979. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda yang Ada di Atasnya. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Mohamad Hatta. 2005. Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan.
Yogyakarta : Media Abadi.

Kitap Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).

Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?. Bandung: Remaja Karya.

Oloan sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

Undang-Undang Dasar Republik Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-


Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi


Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan Beserta Peraturan Pelaksananya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Tentang


Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan
Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda di Atasnya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan


Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan


Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

38
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan


Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Diatasnya.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang
telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1975 Tentang
Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

39

Anda mungkin juga menyukai