PENDAHULUAN
Terhadap UUPA yang telah genap berusia 37 tahun cukup pantas untuk dilakukan penilaian,
seberapa jauh UUPA telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan, apakah UUPA masih tetap valid
secara hukum maupun sosial sebagai sarana bagi penataan kembali struktur pemilikan dan
pengusasaan tanah, dan apakah UUPA masih dapat mengakomodasikan tuntutan masyarakat dalam
masa transisi ke arah masyarakat industrial.
Pertanyaan pokok sebagai verifikasi kebenaran UUPAN ialah: Apakah UUPA masih relevan untuk
menjawab tuntutan perkembangan masyarakat yang timbul pada saat ini dilihat dari segi filosofi dan
tujuan pembentukannya, serta kemampuan substansinya untuk menjawab masalah yang telah
berubah selama kurun waktu 37 tahun. Untuk menjawab pertanyaan demikian tentunya tidak cukup
jika UUPA dikaji sebagai law in the books semata, tetapi juga dilihat sisi law in actionnya, maksudnya
bukan hanya makna tekstualnya tetapi juga segi kontekstualnya.
Pandangan kritis ini tentu tidak akan memberikan tempat bagi mereka yang telah dengan mapan
(established) menikmati kekurangan yang melekat pada UUPA atau mereka yang mensakralkan UUPA
sebagai karya agung bangsa Indonesia. Rasa hormat kita pada mereka yang telah dengan sukses
merencanakan, menyusun dan mengesahkan UUPA sebagai suatu karya yang modern waktu itu, tidak
perlu membelenggu orang memperbarui undang-undang tersebut untuktidak mengulang kesalahan
dan mau belajar dari sejarah hukum ketika legisme di Eropa Barat pada abad ke-1996 membelenggu
tangan manusia menyempurnakan undang-undang dengan alasan, karena akal manusia bersifat
sempurna maka produk hukum yang dinamakan undang-undang juga sifatnya sempurna. Walhasil
terjadilah tragedi, yakni kemutlakan hak milik menurut undang-undang telah merongrong rasa
keadilan dan kepentingan orang lain, yang baru dikoreksi setelah hampir tiga perempat abad
kemudian, setelah berlakunya undang-undang tersebut.
tinggi, mengakui dan menaati peraturan yang berlaku terhadap hak yang dimiliki orang. Oleh sebab
itu maka perlu segera dibentuk undang-undang hak milik. 5 Belum terbentuknya undang-undang hak
milik menyebabkan pluralisme hak milik, karena isi pasal 56 UUPA menyatakan bahwa selama Undangundang Hak Milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas
tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20
sepanjang itu tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini (UUPA).
Jika diikuti urutan logisnya, oleh karena bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, maka seyogyanya hak menguasai diatur lebih lengkap
kemudian dibentuk Undang-undang Hak Milik untuk melindungi kepentingan individu yang keduaduanya segera harus dituntaskan penyusunannya.
Salah satu contoh hak adat yang sekarang dalam bahaya ialah, hak adat yang terlambat
mengkonversinya berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962, jika buktibukti pemilikannya tidak ada dan tidak cukup, tanah tersebut akan menjadi hak pakai selama lima
tahun, dan akhirnya dapat jatuh menjadi tanah negara. Untuk memperolehnya seseorang harus
melalui permohonan hak. Jika ini terjadi, si pemohon akan dibebani uang pemasukan kepada negara.
Kurang dapat dipahami bagaimana mungkin peraturan tersebut dapat diterapkan di daerah
pedalaman luar Jawa misalnya masyarakat Timika, Irian Jaya atau masyarakat di pedalaman
Kalimantan yang tidak mengenal UUPA atau Peraturan Konversi.
Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa eksistensi hukum adat pada dewasa ini dalam
keadaan tidak menentu, seperti yang dikemukakan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional bahwa tanah adat bisa hilang karena tanah ini tidak berdasarkan peraturan hukum positif
yang tertulis. Batas-batasnya dan status pemilikannya tidak jelas karena hanya berdasarkan girik,
tidak berdasarkan sertifikat. Pemerintah mengakui (tanah adat) sepanjang masih ada. 6
Pernyataan Menteri tersebut menggambarkan dewasa ini, yaitu adanya proses pengingkaran dan
akhirnya pemusnahan hukum adat sebagai bagian hukum positif yang tidak tertulis. Pernyataan
tersebut juga menunjukkan bahwa dalam sistem hukum nasional terdapat dualisme hukum yaitu
antara hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis (hukum adat).
Pemusnahan tersebut tidak saja terjadi di daerah perkotaan akibat munculnya peraturan tertulis
yang baru, yang mengedepankan alat bukti sertifikat, tetapi juga terjadi di daerah pedesaan.
Warga Wakey dari suku Mee bersengketa dengan pemegang SK HPH No. 154/KPTS-II/93 yaitu suatu
perusahaan kayu, karena tanah ulayat suku tersebut seluas 28.000 hektar senilai 2,8 milyar dirambah
kayunya tanpa memberi kerugian, padahal pejabat setempat mengakui adanya kewajiban membayar
ganti rugi.
Gejala ini menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat terdapat pandangan yang ambivalen,
karena di satu pihak undang-undang menginginkan tampilnya hukum adat (pasal 5 UUPA) sebagai
landasan pembangunan hukum agraria nasional, di pihak lain terdapat praktek yang merendahkan dan
berusaha mengesampingkan hukum adat.
Hal tersebut di atas sebenarnya merupakan masalah klasik yang sudah ada sejak zaman Hindia
Belanda, seperti tercermin dalam pasal 11 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving) yang mengatur
hukum yang berlaku bagi Bumiputera. Bagianakhir pasal itu artinya sebagai berikut:..maka oleh
hakim Bumiputera diperlakukan peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan agama, lembagalembaga dan kebiasaan dari orang-orang Bumiputera sejauh peraturan itu tidak bertentangan dengan
asas-asas umum yang diakui yang mengenai bilijkheid dan rechtvaardigheid. Peraturan-peraturan
yang bersangkutan dengan agama, lembaga dan kebiasaan tersebut adalah yang dikenal dengan
hukum adat. Hukum adat yang dipersyaratkan berlakunya demikian itu menurut Nederburg dipandang
tidak sederajat dengan hukum Barat.
B. Setelah kemerdekaan diperoleh, terdapat keinginan kuat untuk membentuk hukum pertanahan
nasional yang menjamin kepastian hukum, sederhana serta memperhatikan unsur unsur yang
bersandar pada hukum agama seperti yang dicantumkan dalam pasal 5 UUPA.
Namun demikian sejak UUPA diundangkan lebih dari 35 tahun yang lalu, usaha penggalian hukum
adat untuk memerikan dan mengkompilasi hukum adat tidak banyak dilakukan. Di kalangan sarjana
hukum sangat langka yang memberikan perhatian, sebaliknya dari kalangan antropologi hukum
banyak memberikan perhatian.
Hal ini berdampak pada studi hukum adat di perguruan tinggi, yaitu khususnya di Fakultas Hukum
mata kuliah hukum adat semakin tidak menarik, karena bahan-bahan tertulis yang digunakan
mengesankan citra hukum adat dalam suasana masyrakat agraris, padahal masyrakat sudah berada
dalam suasana industrial.
C. Keterlambatan penggalian hukum adat dalam rangka mengisi dan menyempurnakan UUPA
memberikan peluang timbulnya peraturan baru yang isi dan jiwanya bertentangan dengan hukum adat
sekaligus bertentangan dengan UUPA. Seperti halnya pasal 6 ayat 3 PP 21-1970 menyatakan bahwa
demi keselamatan umum di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka penguasahaan
hutan, pelaksanaan hak ulayat untuk memungut hasil hutan dibekukan.
Terdesaknya hukum adat sudah barang tentu akan melenyapkan jaminan hukum yang nyata bagi
hak-hak masyarakat adat berdasarkan hukum adat, karena hukum nasional belum dapat
mengakomodasikan kepentingan yang secara nyata dibutuhkan oleh masyarakat adat.
banyak ketentuan yang didisain berdasarkan pertimbangan kepadatan penduduk tersebut tidak cocok
lagi dengan kenyataan karena pertambahan penduduk selama kurun waktu lebih dari 30 tahun.
Kriteria yang dipakai oleh pembentuk UU saat itu merupakan kriteria tunggal yaitu, seorang petani
dengan jumlah anggota keluarga 7 orang cukup mendapatkan tanah seluas 5 hektar tanah sawah
(basah). Kriteria demikian tentunya kurang dapat dipakai lagi. Beberapa faktor antara lain, para petani
sudah banyak yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan sampingan.
Sebagai sasaran pokok tanah yang dinyatakan sebagai objek landreform ialah: tanah-tanah yang
melebihi batas maksimum, tanah absente, tanah swapraja dan bekas swapraja, tanah-tanah lain yang
langsung dikuasai oleh negara. (PP 224-1961). Tanah-tanah yang akuisis karena melebihi batas
maksimum tersebut dikonstruksikan sebagai tanah yang dimiliki oleh kaum borjuis yang
mengakumulasikan pemilikan tanah. Dalam istilah kaum kiri saat itu terdapat banyak setan desa.
Dengan demikian telah terjadi konsentrasi tanah pada beberapa orang.
Namun, yang perlu dicatat, berdasarkan keterangan Wolf Ladejinsky 7 jika tanah objek landreform
tersebut dikumpulkan dan dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya, saat itu masih
banyak yang tidak akan menerima bagian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jelas
keputusan mengeluarkan Undang-undang Landreform saat itu, lebih bernuansa politis. 8
Konsentrasi pemilikan tanah sudah berlangsung lama, lebih-lebih pada zaman kolonial ketika
perkebunan banyak membutuhkan tanah rakyat, sudah terjadi apa yang disebut dengan
dislandowning-process yang nyata-nyata didukung oleh pemerintah Hindia Belanda.
Jika dibandingkan dengan masa sekarang, maka dislandowning-process tersebut juga telah terjadi,
namun bukan untuk kepentingan kapitalis perkebunan. Tuntutan pengadaan tanah untuk industri, real
esat serta pembangunan lainnya, ditambah dengan tekanan penduduk yang semakin besar
menyebabkan bagian tanah yang dimiliki seseorang menjadi sangat kecil. Oleh sebab itu maka kriteria
yang diberlakukan 35 tahun yang lalu dengan mengingat jumlah tanah sawah yang semakin
menyempit, peruntukan sawah yang lebih cenderung ke arah industri dan pemekaran kota
(pemukiman), maka perlu dicari formula baru yang lebih cocok dengan situasi dan peruntukannya.
Sudah banyak terjadi perubahan dalam pendekatan terhadap pembangunan pertanian, yang tidak
lagi berdasarkan formula landreform tetapi sudah melalui revolusi hijau. Pembangunan pertanian
pasca revolusi hijau berubah dari pendekatan yang mengutamakan produksi ke pendekatan yang
dihela oleh kebutuhan pasar. Pada saat Pelita I hasil pertanian langsung dikonsumsi oleh rakyat,
sekarang pasar lebih menentukan produk pertanian. Untuk itu petani selayaknya dapat memenuhi
permintaan pasar berupa barang yang berkualitas serta waktu yang telah ditentukan. Hal ini
merupakan konsekuensi dari pembangunan ekonomi yang mengarah pada industrialisasi, yaitu
industrialisasi pedesaan.
Semua pengamat kisah-kisah keberhasilan bersepakat bahwa aspek yang sangat penting dalam
keberhasilan industrialisasi pedesaan adalah pelaksana reforma agraria yang relatif menyeluruh (baik
reforma sosialis dalam kasus RRC maupun reforma-reforma jenis ekonomi pertanian skala kecil
termodernisasi model Taiwan, Korea Selatan atau Jepang). Reforma-reforma inilah yang telah
memungkinkan penyebaran relatif merata dari peningkatan penghasilan intefnsifikasi pertanian, yang
pada gilirannya menjadi sumber terpenting dari permintaan akan produk-produk industri pedesaan.
Di samping itu, di pedesaan sudah lazim terdapat part time-farming, dan keanekaragaman
sumber pendapatan di tingkat rumah tangga (occupational multiplicity), sehingga kriteria yang disebut
petani tentunya bukan lagi semata-mata mereka yang hanya memperoleh sumber penghidupan dari
sektor pertanian. Misalnya di Jepang sampai dengan tahun 1980, komposisi presentase rumah tangga
tani yang full-time di sektor pertanian tinggal 13% sementara part-time pertanian sebagai kegiatan
pokok ada 22% dan part-time non pertanian sebagai kegiatan pokok 65%. Di Taiwan
perbandingannya 10%, 34% dan 55%.9
Mengingat hal tersebut di atas maka pembaruan agraria (landreform) dalam jangjka panjang harus
melihat proses perkembangan masyarakat tani daei masyarakat yang semata-mata mengganutngkan
hidupnya dari penghasilan pertanian menjadi masyarakat yang industrial.
Dalam kasus demikian jika ketentuan pasal 7 UU No. 56 Prp 1960 diterapkan akan menjadikan
petani menjadi lebih sengsara, karena kehilangan lahan garapan. Jadi UU No. 56 Prp 1960 perlu
disempurnakan agar tidak merugikan petani lemah.
Hal tersebut di atas sulit dihindari, apalagi tanah-tanah subur tersebut berada di daerah yang nilai
ekonomisnya tinggi (strategis). Konversi tanah pertanian menjadi non pertanian di Jawa untuk
memenuhi kebutuhan perumahan sebanyak 90.000.000 unit rumah dalam waktu 15 tahun (19852000) akan mencapai 180.000 hektar.15
Keadaan demikianlah yang menyebabkan usaha penataan kembali pemilikan dan penguasaan
tanah dalam rangka tataguna tanah mengalami tantangan, oleh karena pertumbuhan kota dan
penyempitan desa berlangsung secara tidak terencana lebih dahulu. Kota tumbuh terlebih dahulu dari
rencana yang ditetapkan 16. Bahkan rencana yang telah ditetapkan pun akhirnya banyak yang
dilanggar karena motif ekonomi menaikkan pendapatan daerah.
Dalam Kepres 55 tahun 1993, juga terdapat keharusan memperhatikan Undang-undang No. 24
tahun 1992 tentang penataan ruang, bagi maksud pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan.
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak lagi menerbitkan izin baru pembebasan tanah
dan lokasi di wilayah Botabek) berdasarkan SK No. 410-2748, 3-10-1996.
Dengan adanya kredit macet di bidang properti yang diikuti dengan kebijakan pengetatan uang,
maka tanah-tanah yang terlantar akan semakin banyak, lalu mau diapakan dan dikemanakan tanahtanah tersebut?
KESIMPULAN
Persoalan tanah dalam era pembangunan dan industrialisasi, semakin rumit dan potensial
menimbulkan gejolak. Pendekatan pemecahannya tidak semata bersifat teknis yuridis, tetapi juga
menyangkut pertimbangan sosial ekonomis. Perlu UUPA direview untuk disempurnakan disesuaikan
dengan keadaan yang telah berkembang selama lebih dari 37 tahun.
*)
16
Seperti halnya pembangunan perumahan di kecamatan Maja, Kabupaten lebak, Jawa Barat, tidak
lazim terutama dalam pembuatan master plan yang dilakukan setelah sebagian besar tanah di sana
dikuasai oleh developer, padahal master-plan untuk kawasan perumahan biasanya dibuat sebelum
proses pembebasan tanah dilakukan. Kompas 30-12-1996.
17
G.Y. Adicondro, mempolakan organisasi petani menjadi empat tipe. Tipe pertama, organisasi yang
dibentuk atas kebijaksanaan politik pemerintah atau golongan politik yang berkuasa dan struktur
pelaksanaannya sentralistis. Kedua, tipe organisasi petani yang diprakarsai sepenuhnya oleh swasta
dengan struktur pelaksanaan yang sentralistis. Ketiga, tipe organisasi non-pemerintah yang
diprakarsai oleh swasta dengan struktur implementasi yang desentralistis. Keempat, tipe organisasi
petani yang diprakarsai oleh pemerintah, namun struktur implementasinya desentralistis. G.Y.
Adicondro, Landreform Swasta? Mungkinkah itu Dijalankan di Indonesia? makalah Seminar Nasional
Jalur Pemerataan dan Kemiskinan Struktural HIPPIS Malang, 1979, h. 3-4.
18
Kompas, 21, 23 Juni 1989.